Sultan Baabullah Sang Penakluk
Pertemuan Francis Drake dan Sultan Baabullah tahun 1579, Lukisan Theodor de Bry (1528-1598). FOTO/Istimewa |
Tanggal 10 Februari 1528, pangeran Ternate yang kelak berjuluk penguasa 72 negeri itu lahir. Dia adalah Sultan Baabullah, sang penakluk dari timur Nusantara.
Pagi itu, Ternate berduka. Jasad Sultan Khairun Jamil diangkat dari
lautan dalam kondisi mengenaskan. Tampak beberapa luka tusukan melubangi raga
penguasa Ternate itu. Pangeran Baabullah, sang putra mahkota, membopong sendiri
jenazah ayahnya sembari berucap dalam hati: dendam harus dituntaskan!
Sehari sebelumnya, 25 Februari 1570, Sultan Khairun datang tanpa
pengawalan ketat ke Benteng Sao Paulo milik Portugis yang hanya berjarak
sekitar 5 kilometer istananya. Sang sultan sama sekali tidak mengira bahwa
undangan perdamaian dari Gubernur Portugis di Ternate, Lopez de Mesquita, itu
ternyata jebakan dan berujung petaka.
Seperti yang direncanakan, de Mesquita mengajak Sultan Khairun
berbincang. Tanpa diduga, Antonio Pimental yang tidak lain adalah keponakan
gubernur, perlahan mendekat dari belakang dan dengan cepat menusukkan kerisnya.
Sultan Khairun tersungkur bersimbah darah. Tubuhnya dibuang ke laut malam itu
juga.
De Mesquita rupanya tak sadar, tindakan liciknya itu akan membawa
kehancuran yang mengerikan bagi Portugis.
Dendam Sang Penerus
Beberapa jam setelah jasad Sultan Khairun ditemukan, para pejabat tinggi
istana dan para pemuka masyarakat segera bersepakat untuk menobatkan sang putra
mahkota. Pangeran Baab pun resmi menjadi penguasa Kesultanan Ternate dengan
gelar Sultan Baabullah Datu Syah.
Saat itu juga di atas singgasananya, Sultan Baabullah bersumpah akan
membalaskan dendam sang ayah dan mengusir bangsa penjajah. Ia tidak akan
berhenti berperang sebelum orang Portugis terakhir pergi dari wilayah
kerajaannya (Djokosurjo, Agama dan Perubahan Sosial, 2001:126).
Sang sultan baru tak main-main. Strategi tempur segera dirancang. Tak
cuma berniat menghancurkan lawan di area sekitar Ternate saja, ia juga bertekad
menghabisi orang-orang Portugis yang ada di seluruh Kepulauan Maluku. Ambon,
Seram, Bacan, Banggai, Buton, Luwik, Sula, Halmahera, hingga Celebes
dikondisikan untuk menyiapkan serangan besar-besaran.
Tak hanya itu, Sultan Baabullah juga meminta bantuan Makassar, Jawa,
hingga Melayu (Sumatera), untuk bersama-sama melenyapkan kaum kolonialis dari
bumi Maluku. Sultan mengobarkan Perang Soya-Soya atau perang pembebasan negeri
dengan menyiapkan 2000 armada perahu tempur beserta lebih dari 120.000
prajurit.
Sejak 1571, pos-pos Portugis di berbagai tempat dihancurkan. Benteng
penjajah pun satu per satu dapat direbut, dari Fort Tolocce, Santo Lucia
Fortress, hingga Santo Pedro, tinggal Sao Paulo yang tersisa. Baabullah memang
sengaja tidak langsung menyerang benteng yang didiami de Mesquita sekaligus
lokasi pembunuhan ayahnya itu.
Sultan Baabullah menerapkan strategi pengepungan untuk Sao Paulo dengan
menutup semua akses, baik jalan maupun distribusi bahan makanan yang dibatasi
dalam jumlah tertentu. Benteng yang dibangun pada 1525 ini memang berlokasi
tidak jauh dari pusat kesultanan dan termasuk ke dalam wilayah ibukota Ternate
(Bambang Budi Utomo, Warisan Bahari Indonesia, 2016:157).
Pengepungan Benteng Sao Paulo berlangsung selama 5 tahun. Selama itu
pula, orang-orang Portugis yang tinggal di dalamnya merasakan penderitaan yang
teramat sangat dengan segala keterbatasan karena tidak bisa menjalin hubungan
dengan dunia luar.
Sultan Baabullah akhirnya memberi kesempatan kepada para penghuni
benteng untuk pergi dari wilayah Ternate dalam waktu 24 jam. Sementara bagi
mereka yang sudah beristrikan wanita lokal boleh tetap tinggal tapi harus
mengabdi kepada kerajaan.
Setelah 15 Juli 1575, Ternate telah bersih dari orang-orang Portugis.
Pamor Portugis di Ternate dan sebagian besar Kepulauan Maluku runtuh total.
Kekuasaan Sultan Baabullah kini mencapai puncaknya (Vlekke, Bernard H.M.,
Nusantara: Sejarah Indonesia, 2008:114).
Penguasa 72 Negeri
Majapahit dengan duet Hayam Wuruk dan Gadjah Mada-nya boleh saja
mengklaim pernah menguasai sebagian besar wilayah Nusantara, bahkan hingga
Semenanjung Malaya. Setelah era Majapahit berakhir, tidak ada kerajaan di Jawa yang
mampu mengulang kejayaan itu. Tapi, tidak demikian halnya dengan di timur jauh
sana.
Sultan Baabullah tidak hanya mengusir orang-orang Portugis dari
wilayahnya, tapi juga berperan besar dalam upaya syiar Islam di Kepulauan
Maluku dan sekitarnya. Setelah Portugis ditendang, jumlah pemeluk Kristen di
kawasan tersebut menurun drastis. Banyak orang Kristen yang diislamkan oleh
Sultan Ternate itu (Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia, 2004:39).
Luas wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate di era pemerintahan Sultan
Baabullah juga semakin bertambah. Dengan mengusung misi Islamisasi, Sultan
Baabullah berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di Kepulauan Maluku.
Bahkan, di luar kepulauan tersebut, masih cukup banyak kerajaan yang
akhirnya memilih bernaung di bawah panji-panji Kesultanan Ternate. Sultan
Baabullah menempatkan perwakilannya yang disebut Sangaji di berbagai daerah,
termasuk Bali, Nusa Tenggara Barat dan Timur, juga di wilayah Timor Leste
sekarang.
Tak hanya itu, Sultan Baabullah juga punya perwakilan yang ditempatkan
di Jawa dan Sumatera, sampai Papua. Di Papua sendiri ada cukup banyak daerah
yang berhasil dirangkul, seperti Raja Ampat, Sorong, Biak, Jayapura, dan
Merauke.
Wilayah taklukan Kesultanan Ternate juga membentang dari Sulawesi Utara
dan Tengah hingga Kepulauan Marshall di kawasan Mikronesia, dekat Australia.
Filipina bagian selatan alias Mindanao juga berhasil ditundukkan (A.G. Anshori,
Hukum Islam: Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, 2008:98).
Seorang peneliti Belanda bernama Valentijn merinci setidaknya ada 72
wilayah atau kerajaan yang berada di bawah pengaruh Kesultanan Ternate. Dari
situlah Sultan Baabullah memperoleh julukan sebagai “Penguasa 72 Negeri” (Reid,
Anthony, Southeast Asia in the Early Modern Era, 1993:38).
Meskipun sangat berkuasa, namun Sultan Baabullah tidak lantas menutup
pintu rapat-rapat bagi orang-orang dari Eropa yang kemudian datang. Mereka
tetap dirangkul dan dipersilakan menjalin kerja sama, tapi tidak diberi hak-hak
istimewa seperti yang dulu pernah dinikmati oleh bangsa Portugis.
Pada awal 1583, Sultan Baabullah wafat. Hingga sekarang, penyebab
kematiannya masih misteri dan menjadi perdebatan. Yang pasti, Sultan Baabullah
adalah raja terbesar yang pernah memimpin Ternate. Setelahnya, kejayaan
Kesultanan Ternate berangsur-angsur melemah dan kembali dijamah tangan-tangan
asing, dari Spanyol kemudian Belanda.
Sutan Baabullah adalah Sultan Ternate yang berhasil mengusir Portugis.
_________________________________________
Reporter :
Iswara N Raditya
Penulis :
Iswara N Raditya
Editor :
Nurul Qomariyah Pramisti