DEFENISI
Pertama yang harus didefinisikan adalah kata defenisi itu sendiri. Mengapa
demikian? Tanpa kita sadari secara penuh, sebenarnya “Definisi” adalah
unsur pengetahuan yang kita butuhkan. Baik dalam kehidupan Ilmiah maupun dalam
kehidupan sehari-hari kita sering berurusan dengan “Definisi”.
Lalu apa defenisi dari “Defenisi”?
Secara sederhana defenisi
adalah Batasan/Membatasi sesuatu sehingga kita dapat memiliki pengertian
terhadap sesuatu atau memberikan pengertian/penjelasan tentang
sesuatu hal dan disertai dengan batasan-batasan sehingga hal tersebut menjadi
jelas. Karena teori ini mengharuskan adanya “Batas” dalam sebuah objek
yang hendak didefinisikan, secara langsung juga membutuhkan sesuatu yang
menjadi karakteristiknya. Apa karakteristik itu? Secara singkat dapat kita
sebut sebagai Genera (Jenis) dan Difffferentia (Sifat
pembeda).
Dapat disimpulkan bahwa inti dari definisi yang
pertama ini adalah menjelaskan sesuatu yang terbatas. Konsekwesinya, jika
sesuatu tidak terbatas maka tidak dapat didefinisikan.
Jika kita mencoba mendefinisikan judul diatas
(kerangka berpikir ilmiah) maka kurang lebih seperti berikut:
Kerangka adalah sesuatu yang menyusun atau menopang yang
lain, sehingga sesuatu yang lain dapat berdiri, dan Berpikir merupakan
gerak akal dari satu titik ke titik yang lain. Atau bisa juga gerak akal dari
pengetahuan yang satu ke pengetahuan yang lain. Pengetahuan pertama kita adalah
ketidaktahuan (kita tahu bahwa kita sekarang tidak mengetahui sesuatu),
pengetahuan yang kedua adalah tahu (kemudian kita mengetahui apa yang
sebelumnya tidak kita tahu).
Wajar kemudian ada juga yang mendefinisikan
berpikir sebagai gerak akal dari tidak tahu menjadi tahu. Tapi yang penting
(inti pembahasannya) adalah adanya gerak akal.
Ilmiah adalah sesuatu hal/penyataan yang bersifat
keilmuan yang sesuai dengan hukum-hukum ilmu pengetahuan. Atau
sesuatu yang dapat dipertanggung jawabkan, dengan menggunakan metode Ilmiah
(Prosedur atau langkah-langkah sistematis yang perlu diambil guna memperoleh
pengetahuan yang didasarkan atas uji coba hipotesis serta teori secara
terkendali). Satu hal yang menjadi garis bawah adalah “kebenaran ilmiah tidak
mutlak, melainkan bersifat sementara, relatif, metodologis, pragmatis, dan
fungsionalis, dan pasti Epistemologis”.
Dengan demikian dalam kacamata dunia
Ilmiah berdasarkan metode ilmiah, ilmu pengetahuan sebagai hasil fikir manusia
akan terus bertambah tanpa mengenal batas akhir. Permasalahan Berfikir
Ilmiah sudah tentu tidak terlepas dari kajian
filsafat ilmu, karena ia merupakan bagian dari pengetahuan
ilmiah.
Sebelum memasuki pembahasan mendalam penting kiranya saya jelaskan
secara singkat apa itu filsafat? (Mengingat kajian kita nantinya akan banyak
bersinggungan dengan keilmuan ini).
Filsafat atau Falsafah (Arab) Pilosopia (Latin)
bada dasarnya berasal dari bahasa Yunani “Philo” yang berarti cinta dan
“Sophia” yang berarti arif, bijaksana / pandai. Secara bahasa semula
Filsafat lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan, kepandaian. Namun, cakupan
pengertian “Sophia” yang semula itu ternyata luas sekali. Dahulu “Sophia” tidak
hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama,
pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat dll.
PEMBAHASAN
Seorang filosof pada dasarnya bukan sosok yang
menakutkan / kafir / tidak familier, karena tujuan awal dari filsafat sendiri
adalah "Love of Wisdom" sehingga orang yang berfikir filsafat
hakekatnya adalah pencari kebijaksanaan & mencintainya. Istilah ini konon
pertama di perkenalkan oleh pytagoras.
Jika diatas kita sudah membahas makna Filsafat secara
bahasa, sekarang bagaimana pemaknaan filsafat itu menurut para filosof
besar?
Plato; Filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai pengetahuan kebenaran asli.
Aristoteles; Filsafat adalah ilmu (Pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalam ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan estetika.
Al-Farbi; Filsafat adalah ilmu pengetahuan ttg alam wujud, bagaimana hakekat yang sebenarnya.
Hasbullah Bakry; Ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam.
Disini penulis akan menitik beratkan pada tradisinya,
bukan sekedar pengertiannya.Dari sekian filosof yang kita kenal baik didunia
barat maupun timur, ada satu tradisi yang hampir-hampir menjadi benang merah
ketika menyelesaikan sesuatu sdengan jalan filosofis, yaitu tradisi
berfikir.
Filsafat yang mempunyai arti sebagai berpikir secara radikal,
menyeluruh dan sistematis. Maksudnya, dengan berpikir radikal (bahasa Yunani
radix = akar) atau sampai ke akar-akarnya bukan cuman dlohirnya, sehingga
melihat sesuatu secara menyeluruh dan tersusun sehingga diharapkan kita dapat
lebih arif dalam melihat persoalan. Ketika dilekatkan dengan kata ilmu
maka berarti secara radikal, menyeluruh, komperhensif, diskriptif dan
sistematis terhadap ilmu.
Menurut Jujun S. Suriasumantri filsafat ilmu merupakan
bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji
hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah).
Lebih lanjut Jujun mengatakan bahwa semua
sistem kefilsafatan selalu berkisar pada masalah Ontologi, Epistemologi dan
Aksiologi karena, ketiga sub sistem tersebut selalu berkaitan satu sama lain.
Ontologi ilmu terkait dengan Epistemologi ilmu, dan Epistemologi ilmu terkait
dengan Aksiologi ilmu.
Atau secara sederhana dapat kita katakan bahwa: Epistemologi
adalah ilmu yang membahas tentang sumber pengetahuan berikut kevalidan sebuah
sumber. Kedua Ontologi, membahas tentang hakikat sesuatu dalam hal eksistensi
dan esensi. Atau dengan kata lain keberadaan dan keapaan sesuatu. Ketiga aksiologi,
membahas tentang kegunaan sesuatu. Dalam materi ini saya akan lebih
banyak membahas aspek Epistemologi, yang lainnya hanya untuk memperjelas saja.
Menurut William S. Sahakian; Epistemologi
merupakan “pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan : Apakah
sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan?
Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana
pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia.
Secara Bahasa / Lughowi, Epistemologi berasal
dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti
pengetahuan. Istilah yang sama dalam bahasa yunani adalah Genosis,
sehingga dalam sejarahnya istilah Epistemologi ini pernah juga disebut
“Genoseologi”.
Pengetahuan dalam hal ini ada beberapa persoalan pokok yang
secara garis besar terbagi dua.
Pertama, persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance) versus hakikat (noumena/essence): Apakah sumber pengetahuan? Dari mana sumber pengetahuan yang benar itu datang? Bagaimana cara diketahuinya? Benarkah ada realita di luar pikiran kita? Apakah kita mengetahuinya?.
Kedua, tentang mengkaji kebenaran atau verifikasi: Apakah pengetahuan kita itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dan yang salah?. (Ringkasnya; Bagaimana kita mengetahui atau memperoleh pengetahuan dan bagaimana menguji kebenaran pengetahuan tsb / Evaluatif dan Kritis).
Lantas apa itu pengetahuan?
Ada yang mengatakan
pengetahuan adalah informasi atau ide, yang telah diterima sebagai fakta yang
benar, bisa jadi itu diperoleh dengan pengindraan atau kegiatan empirik secara
langsung maupun melalui proses penalaran rasional terhadap ide-ide yang telah
ada dalam alam pikir manusia.
Dikemudian hari orang yang lebih menekankan
kegiatan empirik untuk memperoleh pengetahuan dikatagorikan dalam penganut
faham Empirisme sedangkan yang mengandalkan pada rasionalitas disebut sebagai
penganut faham Rasionalisme sebagaimana sejarah Filsafat Barat
mencatat; Ada dua aliran pokok dalam epistemologi.
Pertama, idealism atau rasionalism (Plato), yaitu suatu aliran pemikiran yang menekankan pentingnya peran “akal”, “idea”, “category”, “form”, sebagai sumber ilmu pengetahuan, dan mengesampingkan peran “indera”.
Kedua, adalah realism atauempiricism (Aristoteles), yaitu aliran pemikiran yang lebih menekankan peran “indera” sebagai sumber sekaligus alat memperoleh pengetahuan, serta menomorduakan akal. Kedua aliran tersebut lahir pada zaman Yunani antara tahun 423 sampai dengan tahun 322 sebelum Masehi.
Selanjutnya dalam sejarah filsafat Islam tercatat
aliran epistemologi yang menekankan pentingnya integrasi metode rasionalism dan empiricsm yang
melahirkan metode eksperimen.
Dalam metode ini pertentangan antara penalaran
rasio dan empiri seperti yang dianut Barat dihilangkan. Metode ini dikembangkan
oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad keemasan Islam, yaitu ketika ilmu dan
pengetahuan lainnya mencapai titik kulminasi antara abad IX dan XII Masehi.
Kemudian diperkenalkan di dunia Barat oleh filsuf Roger Bacon (1214-1294) serta
dimantapkan sebagai paradigma ilmiah atas usaha Francis Bacon (1561-1626).
Fakta ini diperkuat oleh H.G. Wells yang menyatakan bahwa “jika orang Yunani adalah bapak metode ilmiah, maka orang Muslim adalah bapak angkatnya”.
Dalam
perjalanan sejarah maka lewat orang Muslimlah dunia modern sekarang ini
mendapatkan kekuatan dan cahayanya, dan diakui telah memberi sumbangan besar
bagi lahirnya renaissans dalam peradaban Barat (Insya Allah akan dibahas
nanti, jika memungkinkan, jika tidak ya tetap bisa dipelajari & bisa
dibaca).
Setelah mengetahui pokok dasar dari epistemologi
adalah “Bagaimana kita mendapat pengetahuan” perlu kiranya kita mengetahui
sumber-sumber pengetahuan. Secara umum ada beberapa mazhab pemikiran
yang berusaha menawarkan sumber-sumber pengetahuan
sebagai mana berikut:
1. Skriptualisme
Skriptualisme adalah sebuah sistem berpikir yang dalam
menilai kebenaran digunakan teks kitab. Asumsi dasar yang terbangun adalah teks
dalam kitab mutlak adanya, oleh karenanya dalam penilain kebenaran harus sesuai
dengan teks kitab. Mempertanyakan teks kitab sama saja dengan mempertanyakan
kemutlakan.
Biasanya kaum skriptual adalah orang yang beragama secara
sederhana. Maksudnya, peran akal dalam wilayah keagamaan sangat sempit bahkan
hampir tidak ada. Akal dianggap terbatas dan tidak mampu menilai, olehnya
kembali lagi ke teks kitab. Namun dalam wilayah epistemologi,
skriptualisme memiliki beberapa kekurangan, antara lain:
Tidak memiliki alasan yang
jelas, mengapa kita harus mempercayai kitab tersebut. Kalau yang mutlak adalah
teks kitab, maka pertanyaannya “Bagaimana caranya diantara banyak kitab menilai
bahwa kitab inilah yang benar”.
Kalau kita langsung percaya, maka kitab lain
juga harus kita langsung percaya. Nah, kalau kontradisi, kitab yang mana benar?
Artinnya, kelemahan pertamanya adalah butuh sesuatu dalam membuktikan kebenaran
sebuah kitab.
Dari kelemahan pertama dapat
kita turunkan kelemahan berikutnya, yakni: terjebak pada subjektifitas.
Artinya, kebenaran sebuah kitab sangat tergantung pada umatnya. Kebenaran
Al-Qur’an, walau berbicara universal, hanya dibenarkan oleh umat Islam. Umat
Nasrani, Budha dan sebagainya meyakini kitab mereka masing-masing. Sementara
kita tidak dapat memaksakan kitab kita pada umat lain sebagaimana kita pun
pasti tidak akan menerima teks kitab umat lain.
- Kelemahan ketiga
adalah teks adalah “tanda” atau simbol yang membutuhkan penafsiran. Kitab tidak
bisa berinteraksi langsung, tetapi melewati proses penafsiran. Sementara dalam
penafsiran sangat tergantung kualitas intelektual dan spiritual seseorang.
Makanya kemudian, adalah wajar jika sebuah teks dapat dimaknai berbeda. Sebagai
contoh, surah 80:1 “Alif laam miin” Teks tidak dapat membuktikan pencipta.
2. Idealisme Platonian
Pemikiran Plato dapat digambarkan kurang lebih seperti
ini. Sebelum manusia lahir dan masih berada di alam ide, semua kejadian telah
terjadi. Olehnya, manusia telah memiliki pengetahuan.
Ketika terlahir di alam
materi ini, pengetahaun itu hilang. Untuk itu yang harus manusia lakukan
kemudian adalah bagaimana mengingat kembali. Pengetahuan yang kita miliki hari
ini kemarin dan akan datang sebetulnya (dalam perspektif teori ini) tidak lebih
dari pengingatan kembali.
Teori ini juga sering disebut sebagai teori
pengingatan kembal. Namun sebagai alat penilaian, teori ini memiliki beberapa
kekurangan.
- Tidak ada landasan yang memutlakkan bahwa dahulu kita pernah di alam ide.
- Turunan dari yang pertama, kalaupun (jadi diasumsikan teori ini benar) ternyata sebelum lahir kita telah memiliki pengetahuan, maka persoalannya adalah apakah pengetahuan kita saat ini selaran dengan pengetahuan kita sewaktu di alam ide. Kalau dikatakan selaras, apa yang dapat dijadikan bukti.
- Ketiga, tidak diterangkan dimanakah ide dan material itu menyatu (saat manusia belum dilahirkan), dan mengapa disaat kita lahir, tiba-tiba pengetahuan itu hilang. Kalau dikatakan material kita terlalu kotor untuk menampung ide, maka mengapa saat ini kita bukan saja memiliki ide, tapi bahkan mampu mengembangkan ide disaat material kita justru semakin kotor.
3. Empirisme
Doktrin empirisme berlandaskan pada pengalaman dan
persepsi inderawi. Oleh karena itu, kebenaran dalam doktrin ini adalah sesuatu
yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Bangunan sains kita pada hari ini
sangat kental nuansa empirisnya. Tetapi empirisme memiliki kekurangan sebagai
berikut:
- Indera terbatas mata misalnya memiliki daya
jangkau penglihatan yang berbeda. Begitupun telinga dan indera lainnya.
Olehnya indera hanya bisa menangkap hal-hal yang bersifat terbatas atau
material pula. Makanya fenomena penyembahan dan jatuh cinta misalnya, tidak
dapat dijawab dengan tepat oleh kaum empiris.
- Indera dapat mengalami distorsi.
Sebagai contoh terjadinya fatamorgana atau pembiasan benda pada dua zat dengan
kerapatan molekul berbesa. Ketika kita masukkan pensil ke dalam gelas berisi
air kita akan melihatnya bengkok karena kerapatan molekul air, gelas dan udara
sebagai medium berbeda. Padahal jika kita periksa ternyata pensil tetap lurus.
4. Kaum Perasa (Intuisi)
Kaum perasa selalu menjadikan perasaannya sebagai
tolok ukur kebenaran. Ciri khas mereka adalah “Yakin saja”. Mereka menganggap
dirinya sebagai orang yang paling mampu mendengar suara hatinya, dan menjadikan
suara hatinya sebagai ukuran kebenaran. Banyak orang beragama seperti ini
padahal sistem berpikir macam ini memiliki kekurangan dalam pembuktian
kebenaran sebagai berikut:
- Tidak jelas yang didengar itu adalah
suatu hati atau justru sekedar gejolak emosional, atau bahkan (dengan
pendekatan orang beragama) justru bisikan setan. Jangan sampai hanya gejolak
emosi lantas dianggap suara hati, atau bisikan setan. Nah persoalannya
bagaimana membedakannya?
- Kalau pun didengar adalah suara hati,
maka akan subjektif. Karena hati orang berbeda. Jika subjektif, maka yang
didapatkan adalah relativitas, bukan kemutlakan.
- Tidak punya landasan mengapa kita mesti
mengikuti suara hati. Kalau akal menjustifikasi penggunaan hati berarti tidak
konsisten. Tetapi kalau menggunakan hati sebagai alasan mengapa harus mengikuti
suara hati, maka kembali ke point sebelumnya.
Selanjutnya dalam kacamata Epistemologi ada beberapa
istilah yang penting untuk diketahui seperti:
Skeptisme; Dalam bahasa yunaninya adalah Skeptomai maknanya saya berfikir dengan seksama atau saya lihat dengan teliti, kemudian diturunkan arti yang dihubungkan dengan kata tersebut yaitu “Saya Meragukan”. Adalah Naif jika ada orang yang tidak pernah meragukan sesuatu apapun, dengan meragukan maka proses verifikasi akan terjadi.
Subjektivisme; Mengandaikan bahwa satu-satunya hal yang dapat kita ketahui dengan pasti ada dalam diri kita sendiri & kegiatan sadar kita. Dengan kata lain pengetahuan yang bukan AKU adalah pengetahuan yang tidak langsung. Sehingga muncul apa yang disebut dengan The Problem of Bridge (Soal Jembatan Pengetahuan), yaitu Bagaimana orang dapat keluar dari pikirannya sendiri dan mengetahui dunia objektiv diluar kita? Bagaimana kita bisa tau bahwa gagasan itu memang sesuai dengan Objeknya sendiri (Bukan cuman ilusi kita).
Relativisme; Mengingkari adanya dan diketahuinya kebenaran yang Objektiv dan Universal oleh manusia (Kebenaran yang ada dimanusia adalah kebenaran yang bersifat relatif).
Mana yang Rasional..?
Menurut Kang Jalal, sesutu kadang dianggap tidak
rasional karena tiga hal. Pertama tidak empiris. Sesuatu yang tidak dicerna
indra manusia biasanya dianggap tidak rasional. Hal ini umumnya menghinggapi
orang yang sangat empiris. Kedua menyimpang dari rata-rata. Sewaktu perang
Khaibar, kaum muslim menundukkan benteng terakhir kaum Yahudi.
Para sahabat
sejumlah 50 laki-laki yang kuat tidak mampu mengangkat pintu benteng itu, tapi
Sayyidina Ali mampu mengangkatnya sendirian. Ini dianggap tidak rasional,
padahal hal ini rasional hanya tidak seperti kebanyakan. Ketiga tidak tahu.
Ketidaktahuan adalah kelemahan yang orang berusaha tutupi dengan penisbahan
stigma irasional.
Rasionalisme tidak menutup diri dari teks, pengalaman
atau persepsi inderawi, juga perasaan. Akan tetapi kaum rasionalis menggunakan
akal dalam menilai semua yang ditangkap oleh bagian diri kita. Namun bagi
sekelompok orang, akal tidak dapat digunakan untuk menilai kebenaran.
Alasannya, akal terbatas. Artinya penggunaan akal sangat dekat dengan
mengakal-akali sesuatu.
Memang benar bahwa akal terbatas dibanding PenciptaNya
(selanjutnya dibahas dalam materi NDP / Dasar-Dasar Kepercayaan),
akan tetapi akal sebagai potensi untuk tahu, dimana batasnya? Hukum akal
menyatakan bahwa sebab selalu mendahului, lebih kuat dari akibat. Jadi
kesadaran akal sebagai ciptaan atau akibat pasti memiliki keterbatasan
dihadapkan dengan penciptaNya. Cuma persoalannya adalah sejauh mana kita
gunakan akal kita untuk mengetahui.
Dalam kacamata seorang filsuf bahwa manusia adalah
binatang berakal. Secara Biologis manusia memiliki syarat-syarat kebinatangan
seperti respirasi, eksresi, regenerasi dan sebagainya. Bedanya Cuma satu, akal.
Artinya manusia yang tidak menggunakan akalnya bisa lebih buruk daripada
binatang.
Kadang orang merancukan antara akal dan otak. Katanya,
otaklah yang berpikir. Untuk menjawab hal ini sederhana. Seandainya otak yang
berpikir, maka tentu saja kerbau adalah makhluk yang cerdas karena volume
otaknya lebih besar dari manusia.
Ternyata kedokteran modern menemukan bahwa
dalam otak terdapat sel yang disebut neuron. Neuron inilah yang
mengkoordinasikan kerja syaraf dalam tubuh dimana tubuh disisi kanan diatur
melalui tulang belakang menuju ke otak kiri begitupun sebaliknya. Artinya otak
tidak ada hubungannya dengan akal. Otak tidak lebih dari sebuah organ seperti
jantung, paru-paru dan sebagainya.
Dalam diri kita ada beberapa fakultas pengetahuan,
diantaranya:
Indera: Yakni yang mencakup warna, bentuk, bunyi, bau,dam sebagainya. Perbedaan dengan empirisme, empirisme menjadikan indera sebagai tolok ukur sedang rasionalisme menjadikan indera sebagai sumber pengetahuan namun bukan utama.
Khayal: Hasil persekutuan ide yang tidak memiliki realitas eksternal. Misalnya ide manusia dan monyet yang kesemuanya memiliki realitas eksternal, namun jika digabungkan menjadi kera sakti yang hanya memiliki realitas internal (dalam ide) tapi tidak direalitas eksternal.
Wahmi: Berkaitan dengan perasaan. Benci, cinta, rindu, jengkel dan sebagainya. Ilmu secara wahmiyah seperti pada kaum perasa diatas. Cuma perbedaannya wahmi masih dikontrol, bukan sebagai patokan utama.
Akal: Fakultas dalam diri kita yang mengontrol semuanya.
Kita telah sampai pada pentingnya akal dalam
menilai sesuatu. Namun, persoalannya lagi bahwa ternyata akal pun masih bisa
salah. Artinya akal tidak mutlak. Untuk menjawab hal ini, kita kembali ke
pendefinisian awal.
Berpikir adalah gerak akal. Hal ini berarti menandakan
adanya proses. Analogi sederhana motor adalah akalnya, mengendarai motor adalah
menggerakkan motor dari satu titik ke titik lain, atau berpikir.
Dalam proses
itu harus menaati aturan yang ada. Jika kita tidak menaati aturan seperti lampu
lalu lintas dan rambu-rambu maka akan terjadi kecelakaan. Berpikir dengan tidak
menaati rambu-rambu atau aturan berpikir akan menyebabkan kecelakaan berpikir.
Jadi terjadi kesalahan berpikir bukan akalnya yang
salah, tapi penggunaannya yang tidak tepat. Untuk itu kita harus mengetahui
bagaimana aturan berpikir yang mutlak adanya, yang itupun harus dinilai
kebenarannya.
Seorang pemikir telah membantu kita menyusun prinsip
atau aturan berpikir tersebut yang sering disebut logika aristotelian atau
logika formal sebagai berikut:
- 1. Prinsip Identitas.
Prinsip ini menyatakan bahwa sesuatu hanya sama dengan dirinya sendiri. Secara matematis dirumuskan: X=X
- 2. Prinsip Non
Kontradiksi
Prinsip ini menyatakan bahwa tiada sesuatu pun yang berkontradiksi. Sesuatu berbeda dengan bukan dirinya. Jika diturunkan melalui rumus matematika: X ≠ X
- 3. Prinsip Kausalitas
Prinsip ini menyatakan bahwa tidak ada sesuatupun yang kebetulan. Setiap sebab melahirkan akibat.
- 4. Prinsip Keselarasan
Prinsip ini menyatakan bahwa setiap akibat selaras dengan sebabnya.
Kira-kira begini:
Kambing jika kita beri emas dan rumput ia tidak akan
mengambil emas karena rumput = rumput dan emas = emas artinya justru prinsip
ini berlaku universal.
Ketika kita menangkap sesuatu kama akal kita akan
mengatakan bahwa tidak mungkin dia ada dengan sendirinya, pasti ada
penyebabnya. Dan akibat pasti selaras dengan sebabnya. Tidak mungkin benih
jagung menyebabkan tumbuhnya pohon kurma. Semua yang ada di alam ini adalah
bukti kemutlakan prinsip yang niscaya lagi rasional ini.
Untuk menjelaskan hal
itu Aristoteles juga mengembangkan metode ke dalambeberapa macam
(Yang sebenarnya tidak jauh beda):
Induksi, yaitu
penalaran dari yang khusus kepada yang umum,
Deduksi, yaitu
penalaran dari yang umum kepada yang khusus,
Observasi, yaitu
penggunaan bukti empiris,
Klasifikasi, yaitu
penggunaan definisi. Beberapa metode yang bermunculan sesuai dengan bidang
keilmuannya diantaranya phytagoras mengembangkan metode perhitungan matematika,
democritus dengan mengajukan konsep mekanisme.
Dengan demikian metode ilmiah akhirnya menjadi sebuah
tahapan yang bervariasi sesuai dengan disiplin ilmumyang
dihadapi dan untuk jelasnya silahkan baca buku logika atau kajian.