Replika kapal dagang VOC di Amsterdam. FOTO/modelships.de |
Akhir tahun 1799 menjadi tahun terakhir eksisnya VOC. Besarnya
pengeluaran ditambah korupsi dan utang yang mencapai 136,7 juta gulden membuat
VOC bangkrut di jelang tahun baru 1800 itu.
Maskapai dagang Hindia Timur alias Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC) ini dikenal sebagai pemonopoli rempah-rempah dari bumi nusantara. Mereka
beli murah dari petani pribumi, lalu menjual dengan harga tinggi di Eropa.
Demi memperbesar keuntungan, agar tercapai Gold & Glory bagi
Kerajaan Belanda, maka hak Oktroi pun diberikan kepada VOC di hari berdirinya.
Maka, sejak hari itu VOC menjadi perpanjangan tangan kerajaan di Hindia Timur
alias nusantara. VOC diizinkan mencetak mata uang sendiri—untuk memperlancar
pembayaran barang dagangan. Mereka diberi wewenang memungut pajak di daerah
yang mereka kuasai itu.
Terkait urusan dengan kerajaan lain, termasuk kerajaan dari Eropa,
mereka diberi kuasa untuk berhubungan diplomatik, membuat perjanjian dagang,
memaklumkan perang, membuat perjanjian damai dan tak kalah penting adalah
diperbolehkan membangun angkatan perang sendiri.
VOC seringkali mengedepankan cara damai untuk menjaga kepentingan
monopoli rempah-rempahnya. Tak semua kerajaan mau tunduk dengan VOC. Di sinilah
fungsinya angkatan perang.
Mataram dari Jawa Tengah, Gowa-Tallo dari Sulawesi Selatan, Ternate-Tidore
dari Maluku, Banten, Palembang dan lainnya termasuk kerajaan-kerajaan yang
pernah membangkang.
VOC punya ilmu pengetahuan dan teknologi militer yang unggul.
Setidaknya, VOC punya benteng kuat dan rapat, senjata api yang lebih memadai,
serdadu-serdadu sewaan yang terampil serta sekutu-sekutu lokal yang mendukung
VOC. Itulah kenapa banyak kerajaan-kerajaan lokal terpaksa tunduk pada VOC.
Selain itu, orang-orang Belanda VOC adalah orang-orang yang suka
menerapkan politik belah bambu alias Devide et Impera, yang intinya: pecah
belah dan jajahlah. Contohnya: Gowa-Tallo harus tunduk pada perjanjian Bongaya
(1667) atau Mataram harus terpecah belah dengan perjanjian Giyanti (1755) atau
Salatiga (1757).
Meski banyak perang dimenangkan, namun perang tetap butuh banyak biaya.
Anggaran pertahanan alias dana perang ini pun sering jadi ladang korupsi
mereka. Sudah memakan banyak biaya, banyaknya biaya yang diperlukan untuk
perang-perang tersebut, ditambahkan lagi dana itu dibengkakan lagi, maka makin
menguras kas VOC.
Setelah ditaklukkan dan menjadi milik VOC, tentu saja daerah tersebut
harus diawasi oleh VOC. Artinya, tenaga pengawas yang harus dibayar dan biaya
operasional lain. Anggaran VOC pun bertambah lagi. Tak jarang, daerah-daerah
yang sudah direbut akhirnya mengajak perang VOC untuk melepaskan diri.
Daerah-daerah yang jauh dari kantor VOC di Batavia tentu tidak mudah
untuk diawasi. Marle Ricklefs, dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 (2009),
menulis: “pos-pos yang letaknya jauh, seperti Timor, Makassar, Palembang,
Padang dan Kalimantan Selatan pada dasarnya pun sekedar menjadi lambang
kehadiran VOC belaka. Bahkan monopoli cengkeh VOC di Ambon juga tumbang.”
Saingan
dagang Belanda di Asia juga tergolong kuat. Sebutlah Inggris dan Perancis yang
juga punya koloni dan mengirim rempah-rempah juga ke Eropa. Menurut Ricklefs,
tahun 1769 hingga 1772, dua ekspedisi Perancis merampas cengkeh-cengkeh di sana
dan membawanya ke Mauritius. Persaingan usaha yang kasar ini mempengaruhi
pemasukan juga.
Kepada pemegang sahamnya tentu saja VOC harus membagikan deviden
(keuntungan). Beban VOC makin berat. Besar pasak daripada tiang. Pemasukan
mereka tidak sebanding dengan pengeluarannya.
Paruh kedua abad XVIII itu, “kondisi keuangan VOC mengalami kemunduran.
VOC sangat letih menghadapi peperangan, dan tidak menghendaki terjadinya perang
lagi...Imperium Belanda yang pertama di Indonesia ini terlena dalam tidur yang
pulas di tengah-tengah merajalelanya korupsi, ketidakefisienan dan krisis
keuangan,” tulis Ricklefs.
Di negeri Belanda, terjadi perubahan akibat Revolusi Perancis
(1789-1799) yang membuat Republik Bataaf berdiri pada 1795. Pemikiran
demokratis dan liberal yang menganjurkan perdagangan bebas pun berkembang.
Monopoli VOC terancam. Utang VOC sendiri mencapai 136,7 juta gulden dan tak
tertolong lagi. “Terhitung sejak 31 Desember 1799 VOC dinyatakan pailit, utang
dan asetnya diserahkan kepada Pemerintah Belanda,” tulis sejarawan Ong Hok Ham
dalam Dari Soal Priayi Sampai Nyi Blorong (2002).
Bangkrutnya VOC tak mengurangi eksploitasi, bahkan kolonialisasi
pelan-pelan menjadi makin kuat. Seperti kata jargon kerajaan yang seabad
kemudian disahkan: Je Maintiendrai. Jargon itu dikawal dua singa galak berdiri.
Dalam bahasa Perancis, ia artinya "aku akan bertahan." Namun, ada
juga yang menafsirkannya menjadi: aku akan berkuasa selamanya.
_________________________________________
Reporter :
Petrik Matanasi
Penulis :
Petrik Matanasi
Editor :
Maulida Sri Handayani