Oleh: Petrik Matanasi || 2 Januari 2019
2 Januari 1818
Martha Christina Tiahahu: Mati Muda di Laut Banda
Martha Christina Tiahahu. tirto.id/Deadnauval |
Martha Christina Tiahahu adalah salah satu Pahlawan Nasional termuda. Ia membantu ayahnya melawan Belanda.
Kapiten Paulus Tiahahu adalah orang terpandang di Nusa Laut, Maluku.
Sejak awal Mei 1817, ia dan beberapa orang terpandang terlihat sibuk. Mereka
punya rencana melawan pemerintah kolonial.
Paulus hanya punya satu anak, namanya Martha Christina. Saat itu Martha
baru berusia 17 dan sudah tahu soal rencana bapaknya. Martha memang sangat
dekat dengan sang bapak karena ibunya telah meninggal dunia.
Dalam buku yang disusun Dra. Nyonya L.J.H. Zacharias terbitan Depdikbud
berjudul Martha Christina Tiahahu (1981) disebutkan, tiga kali Martha ingin
ikut bertempur melawan pemerintah kolonial, tapi tiga kali pula Paulus
melarang. Pada akhirnya larangan pun jadi kesia-siaan. Putri tunggalnya itu
ikut pula (hlm. 60).
Meski terlambat, mereka akhirnya tiba di Saparua. Terlibatlah mereka
dalam perlawanan terbesar orang Maluku terhadap Belanda yang selalu disinggung
dalam narasi sejarah nasional Indonesia.
Kapiten memang sebuah pangkat militer. Tapi dalam konteks Maluku zaman
Pattimura, kapiten bukan pemimpin pasukan terlatih. Kapiten adalah pemuka
masyarakat yang bisa mengerahkan rakyat yang berada di bawah pengaruhnya.
Seperti dalam peperangan lain dengan tentara Belanda, orang-orang
Indonesia yang melawan bukanlah militer terlatih. Mereka lazimnya adalah
petani. Orang-orang yang jadi tentara para raja biasanya hanya abdi raja atau
petani yang dijadikan milisi.
Negara-negara tradisional di Nusantara tak mengenal istilah tentara
profesional di masa lalu. Berbeda dengan Belanda yang sedari zaman VOC sudah
punya tentara profesional terlatih. Baik tentara bayaran maupun tentara
reguler.
Akhirnya, pada 14 Mei 1817, dalam sebuah rapat, Kapiten Paulus Tiahahu
dan kapiten-kapiten atau raja-raja di sekitar Saparua itu memercayakan komando
kepada Kapiten Pattimura. “Thomas Matulessy alias Pattimura adalah bekas sersan
Mayor dari tentara milisi Inggeris,” tulis Mattijs Sapija dalam Sedjarah
Perdjuangan Pattimura: Pahlawan Indonesia (1960: 201).
Pengalaman militer Pattimura tentu bisa berguna dalam menembus benteng
Belanda.
Perlawanan yang Mudah Padam Setelah rapat, perahu-perahu disiapkan. Dua
hari kemudian, mereka sudah ada di Benteng Duurstede, Saparua. Dalam serangan
itu, Residen van den Berg terbunuh. “Setelah benteng Duurstede di Saparua jatuh
di tangan rakyat pada tanggal 17 Mei 1817, para pemimpin seluruh Nusalaut [...]
ikut menandatangani proklamasi,” catat buku Srikandi Bangsaku (1989: 2).
Mereka kemudian menyatakan tidak lagi tunduk pada hukum kolonial
Belanda.
Setelah Duurstede berhasil dikuasai, maka kekuatan dibagi-bagi. Kapiten
Paulus Tiahahu ditunjuk oleh Kapiten Pattimura memimpin perlawanan di Nusa
Laut, dengan dibantu Raja Hihanusa.
Paulus dan pengikutnya pun merebut benteng Beverwijk lewat serangan
mendadak. Serdadu-serdadu Belanda yang ada di dalamnya terbunuh. Setelahnya
mereka menuju ke arah tenggara Saparua. Seperti biasa dalam perang itu, Martha
Christina selalu bersama ayahnya.
Aparat kolonial tentu saja bertindak. Bukan orang satu kampung yang
dilawan pemerintah kolonial, tapi banyak kampung. Beberapa kapal berisi serdadu
pun diperintahkan untuk menindak para “pembangkang.” Tak hanya pakai cara
kekerasan, pendekatan pada orang setempat diadakan aparat kolonial, tentu saja
bagi yang mau bekerjasama. Dominggus Tuwanakotta, Patih Akoon, adalah salah
satunya.
Bukan cerita baru soal adanya orang lokal yang bekerjasama dengan
Belanda. Entah di Jawa, di Sumatra, Sulawesi, dan daerah lain, Belanda selalu
dapat pemuda untuk dijadikan tentara atau antek.
Kepada Belanda, patih itu memberi bahan intelijen soal kondisi di Nusa
Laut. Berdasarkan laporan itu, pada 6 November 1817, Benteng Beverwijk
disambangi. Dengan kapal Zwaluw, di bawah komando Letnan Kolonel Duval, mereka
mendarat di Nusa Laut.
Pasukan itu tidak langsung menyerang, tapi mengumumkan dulu seruan dari
Laksamana Muda Buyskes yang bermarkas di Ambon agar mereka menyerah. Seruan
tersebut tidak dihiraukan para pengikut Kapiten Paulus yang menjaga benteng.
Berkat bantuan seorang guru bernama Sosalisa, mereka dibujuk agar tidak
melawan. Katanya para raja lokal Nusa Laut akan bikin perjanjian dengan
Belanda. Benteng pun diduduki dengan mudah pada 10 November 1817. Dan seperti
biasa, tentara pendudukan memang terbiasa melakukan penangkapan.
Pemudi yang Berani
Sementara itu, di daerah Ulat dan Ouw, Saparua, terjadi pertempuran yang
bukan cuma bikin rakyat sipil terluka, tapi juga perwira militer Belanda. Di
sanalah Martha Christina terlibat dan orang-orang menganggapnya sebagai sosok
yang luar biasa berani.
“Dalam suasana pertempuran bukan saja ia telah menolong memikul senjata
ayahnya, tetapi juga telah ikut serta dengan pemimpin perang mengadakan tarian
perang dan telah memperlihatkan kecakapan, keberanian dan kewibawaannya,” ujar
perwira Belanda Verheul yang dikutip Nyonya Zacharias dalam bukunya (hlm. 94).
Christina terbiasa memegang tombak untuk bertempur. Dia cukup
berhati-hati hingga selamat dalam pertempuran.
Ketika Paulus dan pasukannya keras melawan, armada pemerintah kolonial
tetap sabar menghadapinya. Setiap musuh pemerintah kolonial yang memberontak
selalu bermasalah dalam logistik perang. Entah untuk menjaga perut maupun untuk
menembaki lawan.
Jadi, sedari dulu hingga sekarang, setiap pemberontakan terhadap
pemerintah selalu ada durasinya. Memang ada masa bergelora melawan, tapi akan
ada masanya berhenti. Ini berlaku juga bagi ayah-anak Tiahahu.
Pada 12 November 1817, para pemimpin Nusa laut berhasil disergap.
Termasuk di dalamnya Martha Christina dan ayahnya yang makin tua. Setelah
ditahan dan diperiksa pada 15 November oleh Laksamana Buyskes, Martha berusaha
bersikap tenang.
Namun setelah ada vonis mati untuk ayahnya, Martha berusaha membujuk
para pejabat Belanda agar dirinya menggantikan ayahnya dalam menjalani hukuman.
Martha sendiri termasuk yang mendapat hukuman untuk dibuang ke Jawa.
Hukuman mati Paulus dilaksanakan pada 17 November 1817. Ketika hukuman
mati hendak dilaksanakan, Martha dibawa masuk agar tidak melihat kematian
ayahnya, yang dieksekusi di sebuah tanah lapang.
Tubuh Paulus dirobohkan dengan peluru-peluru algojo yang merupakan
serdadu rekrutan dari daerah Maluku lainnya. Sesudahnya, seperti ditulis Nyonya
Zacharias, tubuh Paulus Tiahahu ditusuk-tusuk kelewang (hlm. 101).
Mati Muda sebagai Pahlawan
Martha Christina sempat tidak ditahan dan dibiarkan bergerak dalam ruang
yang agak lebar. Namun, karena tingkah lakunya yang dianggap gila oleh aparat,
Martha pun ditangkap. Bersama pemberontak lain, Martha Christina Tiahahu
dinaikkan ke kapal Eversten. Di kapal dia ditempatkan dalam ruangan kosong.
Rasa sedih atas kematian ayahnya masih ada. Ketika jatuh sakit, dia tak
mau menerima obat dari aparat Belanda. Makanan pun sebenarnya dia ogah
menerima, meski dimakannya sedikit. Semangat hidupnya sudah habis seperti
remaja putus asa.
Tak hanya ayahnya yang hilang, tapi juga kebebasannya. Hidup Martha jadi
hampa di usia yang baru 17. Gadis di zaman itu seharusnya bukan di dalam
tahanan aparat kolonial, tapi di dalam "tahanan" orang tua untuk
dikawinkan dengan laki-laki pilihan mereka.
Atau setidaknya, di usia itu harusnya Martha adalah gadis yang menikmati
hura-hura ala muda-mudi Indonesia timur yang bahagia. Apa yang dialami Martha
kebalikannya.
Malam tahun baru 1818, tubuhnya makin lemah. Pada dini hari 2 Januari
1818, tepat hari ini 201 tahun lalu, di perairan antara Pulau Buru dan Manippa,
Martha Christina Tiahahu mengembuskan napas terakhir. Saat itu umurnya hampir
18 tahun. Martha diperkirakan lahir pada 4 Januari 1800 di Nusa Laut.
Seperti kebiasaan pelayaran zaman itu, mereka yang meninggal langsung
dibuang ke laut. Pemudi pembela rakyat Maluku ini pun bersemayam di sekitar
Laut Banda.
Orang Maluku mengenal Martha Christian Tiahahu sebagai sosok yang luar biasa berani.
Penulis :
Petrik Matanasi
Editor :
Ivan Aulia Ahsan