Oleh: Petrik Matanasi || 1 September 2017
Orang Yahudi Naik Haji: Leopold Weiss
Leopold Weiss alias Mohammad Asad. FOTO/Istimewa
|
Leopold Weiss melakukan petualangan besar yang membawanya bertemu dengan Islam.
Tak ada yang lebih indah melebihi petualangan bagi remaja laki-laki
berusia 14 tahun seperti Leopold Weiss. Kebetulan, jelang akhir 1914, perang
besar telah berkecamuk di Eropa setelah Gravilo Princip menembak putra mahkota
Austro-Hongaria, Pangeran Franz Ferdinand von Habsburg.
Perang yang dikenal sebagai Perang Dunia Pertama itu, di mata Leopold
adalah “kesempatan besar pertama untuk wujudkan mimpi kanak-kanaknya yang
seolah ada dalam genggaman,” tulisnya dalam buku sohornya Road to Mecca—autobiografinya
yang pertama dirilis pada 1954.
Leopold pun mengambil langkah nekad ala remaja belasan tahun, hanya saja
dia lebih gila dari kebanyakan remaja lainnya.
“Di umur 14 tahun, aku melarikan diri dari sekolah dan bergabung masuk
tentara Austria dengan nama palsu.” Kebetulan, tinggi badan Leopold melebihi
remaja seusianya. Dia terlihat seperti pemuda 18 tahun, usia terendah untuk
bergabung dalam ketentaraan Austria. “Kira-kira seminggu kemudian, ayahku yang
malang berhasil melacakku melalui polisi, dengan segera aku dikawal kembali ke
Wina, di mana keluargaku tinggal.”
Ketika umurnya mendekati prasyarat menjadi tentara Austria, ia malah
berhenti memimpikan dirinya menjadi tentara dan mulai mencari hal lain.
Apalagi, perang berakhir dan kekaisaran Austro-Hongaria pun tamat riwayatnya.
Leopold menjadi pemuda terpelajar yang belajar sejarah seni dan filsafat di
Universitas Wina. Namun, dalam hati di merasa, “hatiku tidak berada dalam
kuliah-kuliah itu. Karier akademis yang tenang tidak menarik bagiku.”
Leopold pun meninggalkan Universitas Wina dan luntang-lantung di sekitar
Jerman di sekitar 1920. Hidupnya tak menentu. Pemuda dari keluarga kelas
menengah—ayahnya adalah pengacara—ini tak pernah jelas isi kantongnya. Namun,
dia sempat merasa terbebas dari beban keuangan selama dua bulan dan mendapat
pengalaman baru.
“Aku bekerja sebagai asisten FW Murnau. Kepercayaan diriku tumbuh pastinya,” kata Leopold.
Dia menjadi asisten sutradara, dan akhirnya menjadi penulis naskah film.
Tahun berikutnya, dia menjadi operator telepon di kantor berita Amerika di
Berlin. Tahun berikutnya lagi, 1922, Leopold berangkat ke Palestina, yang kala
itu berada di bawah pendudukan Inggris. Palestina menjadi awal petualangannya
ke dunia Islam.
Leopold tinggal di Yerusalem. Dia tinggal di rumah paman dari pihak
ibunya, Dorian—seorang psikiater di rumah sakit jiwa Yerusalem. Leopold bekerja
sebagai wartawan paruh waktu bagi surat kabar Frankfurter Zeitung. Di
Palestina, Leopold punya kawan baru, baik Arab maupun Yahudi.
Pendukung Zionisme melihat Leopold dengan penuh curiga karena
simpati-simpatinya kepada orang-orang Arab dalam laporannya ke Frankfurter
Zeitung. Namun, Leopold tak mau ambil pusing. Baginya, kala itu, “tidak semua
orang Yahudi di Palestina adalah bagian dari Zionis.”
Di Timur Tengah, Leopold tak hanya tinggal di Yerusalem yang merupakan
kota suci bagi Yahudi, Kristen juga Islam. Dia berkelana hingga ke Iskandariah,
Mesir, dan daerah-daerah lain di Timur Tengah. Dia banyak bertemu dengan
orang-orang beragama Islam, tentunya. Dia sempat kembali ke Eropa dan bertemu
Elsa, wanita beranak satu. Mereka kemudian menikah. Heinrich, anak Elsa,
menjadi anaknya juga.
“Setelah beberapa tahun dalam pengembaraannya ke sekitar Timur Tengah;
setelah menjadi Muslim pada 1926; setelah masuk Islam...” Leopold Weiss pun
mengubah namanya menjadi Muhammad Asad. Sementara itu, Elsa menjadi Aziza dan
Heinrich menjadi Ahmad.
Sebagai orang Islam, mereka pun penasaran dengan kota Mekkah. Pasangan
itu, bersama anak mereka, melakukan perjalanan ke Arab Saudi pada awal 1927.
Asad dan Aziza sering membaca Alquran bersama. “Dan Elsa sepertiku, semakin
terkesan dengan keterkaitan batin antara ajaran moral dan pedoman praktisnya.”
Sayangnya, petualangan hebatnya sebagai orang Islam itu harus diwarnai
dengan kehilangan. Di tahun tersebut juga istrinya meninggal di Madinah.
Belakangan, dia bertemu dengan perempuan lain yang belakangan menjadi istrinya,
Munira.
Setelah melewati Laut Tengah, mereka tiba di kota pelabuhan Arab Saudi,
Jeddah. Asad menulis, “Jeddah hari itu (1927) satu-satunya tempat di Hijaz di
mana orang-orang non Muslim dimungkinkan untuk tinggal.” Menurut Paul Lunde
dalam "The Lure of Mecca" di jurnal Saudi Aramco World, dari Tayma,
Asad melintasi gurun Arafah menuju Mekah.
Setidaknya, dia lima kali naik haji. “Aku tinggal enam tahun di Arab
Saudi.” Nama Arab pun disematkan pada dirinya sebagai Muhammad Asad. Semasa
berada di Arab Saudi, Raja Ibnu Saud sudah berkuasa. “Pertemuan pertamaku
dengan Raja Abdul Azis ibn Saud bertempat di Mekah awal tahun 1927, beberapa
bulan setelah masuk Islam,” katanya.
Setelah masuk Islam dan berkali-kali naik haji, Asad tak hanya mengenal
Raja Abdul Azis, tapi dekat dan menjadi penasihat dari Pangeran Fayzal. Dalam
satu kunjungan menemui raja, Asad bertemu dengan tamu asing asal Indonesia,
yakni Haji Agus Salim.
Tak hanya dengan Agus Salim, tokoh Islam lain yang ditemui bahkan
kemudian mempercayainya adalah kaum terpelajar Pakistan. Setelah Pakistan
merdeka, dia menjadi Duta Besar Pakistan pertama di Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB).
Leopold Weiss tadinya bercita-cita menjadi tentara Austria saat Perang Dunia I.
_________________________________________
Reporter :
Petrik Matanasi
Penulis :
Petrik Matanasi
Editor : Maulida Sri Handayani
Editor : Maulida Sri Handayani