Interaksi DPRD dan Pemda - Program Pembangunan sebagai Proyek!

Interaksi DPRD dan Pemda
manawLog - Masalah interaksi politik menjadi masalah kursial saat ini dalam melihat problematika politik anggaran di daerah. Seringkali terjadi tarik ulur kepentingan aktor di daerah, khususnya DPRD dan Pemda yang mengakibatkan masalah-masalah terlambatnya pembahasan anggaran belanja pembangunan di daerah. Seringkali keterlambatan pembahasan anggaran juga memiliki Implikasi pada proses transfer anggaran ke daerah.
Beberapa asumsi yang berkembang bahwa seringkali terjadi tarik ulur waktu pembahasan anggaran di daerah karena masi kuatnya kepentingan dari para politisi di daerah dalam mengintervensi anggaran. Sehingga manakala dalam suatu angenda atau program pembangunan terjadi perbedaan kepentingan diantara aktor politisi maupun eksekutif dapat menjadi hambatan bagi kelancaran proses pembahasan anggaran-anggaran program pembangunan yang seharusnya dibahas dengan efektif dan seefisien mungkin.
Umumnya, jika terjadi tarik ulur kepentingan yang berinplikasi pada masalah efisiensi pembahasan anggaran program pembangunan selain berdampak pada masalah terlambatnya proses penganggaran juga berdampak pada tidak efektifnya program yang telah dicanangkan dan seharusnya dapat disegera direalisasikan. Masalahnya semakin rumit jika program atau anggaran program yang semestinya dibahas adalah berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. Hal ini sekaligus berimplikasi pada pengabaian kepentingan publik secara luas. 
Dalam beberapa kasus, masalah yang umumnya terjadi adalah pada program yang bersifat proyek infrastruktur fisik. Pembahasan anggaran program biasanya cepat terealisasi jika masing-masing aktor baik SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait dengan Komisi di DPRD yang terkait memiliki kepentingan yang sama (win-win solution), sama-sama memperoleh manfaat dari kebijakan atau program yang akan diimplementasikan.

Interaksi DPRD dan Pemda
Secara normative, berdasarkan Permendagri No.13 tahun 2006 disebutkan bahwa dalam menyusun anggaran tahunan, mekanisme dan proses yang ditempuh adalah merupakan bagian dari upaya pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran yang telah ditetapkan dalam Rencana Strategis Daerah  (Renstrada). Selanjutnya, draf kebijakan pembangunan dan kebijakan anggaran tahunan yang telah dibuat tersebut oleh pihak pemerintah daerah melalui panitia anggaran nantinya akan dibahas dengan pihak DPRD untuk dimintai persetujuan bersama. 
Tentunya, pembahasan program, adalah didasarkan pada aspirasi masyarakat yang telah diserap melalui agenda Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang). Hal ini didasarkan pada ketentuan perundang-undangan khususnya dalam undang-undang no.17 tahun 2003 tentang keuangan negara. Sayangnya, materi dalam Musrembang seringkali hanya sebatas dokumen informasi formal dan tidak sepenuhnya dapat direalisasikan mengingat beberapa program memiliki bobot kepentingan di level elite baik itu eksekutif maupun elite politisi.

Program Pembangunan sebagai Proyek
….!!!
Pemahaman terhadap program pembangunan sebagai proyek-proyek (proyeknisasi) masih cukup dominan dalam perspektif aktor politik dan pelaku usaha di daerah. Artinya, program atau kebijakan pembangunan seringkali memberikan peluang kepada aktor pengambil kebijakan maupun aktor yang akan mengimplimentasikannya untuk memperoleh keuntungan dari program tersebut, atau berupa Fee ataupun Konvensasi pengerjaan proyek pembangunan tersebut yang memberikan keuntungan kepada orang-orang terdekat pada pengambil kebijakan.
Masalah tersebut menjadi masalah mendasar dengan orientasi pembangunan di daerah oleh aktor-aktor di daerah dalam memaknai atau mempersepsikan kebijakan pembangunan bukan sebagai pembangunan kehidupan masyarakat yang lebih baik melalui kebijakan publik.
Lebih jauh perspektif ini tidak hanya berdampak pada proyeknisasi program pembangunan melainkan lebih dari itu berdampak pula pada politik pembiayaan program.  Seringkalli, program pembangunan yang telah ditetapkan melalui Musrembang tidak dianggarkan, atau sebaliknya terdapat program pembangunan yang dianggarkan bukan merupakan hasil Musrembang.
Padahal secara normative, Musrembang yang dilakukan dari tingkat bawah (Desa-Kecamatan) merupakan mekanisme dalam menentukan program yang tepat sasaran dan memperoleh legitimasi politik karena melibatkan partisipasi masyarakat. Masyarakat dalam hal ini tidak hanya sebagai objek melainkan juga ditempatkan sebagai subjek dari pembangunan itu sendiri. Masyarakat dalam hai ini merupakan orang yang paling mengetahui tentang kebutuhan sesungguhnya (aspirasi).

Kenyataannya justru terjadi sebaliknya
Penentuan program atau politik kebijakan pembangunan tidak didasarkan pada partisipasi atau aspirasi masyarakat melainkan kepentingan elite di daerah dalam proses pembuatan kebijakan atau program. Jika diTracking lebih jauh, nampaknya masalah seperti ini telah dimulai di tingkat pusat, khususnya dalam pembahasan mengenai politik anggaran pembangunan. Meskipun misalnya telah ada pembahasan program secara formal yang merupakan dokumen daerah-nasional yang telah dijadikan rencana strategis daerah-nasional yang telah diformulasikan dengan baik-baik di level daerah (oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah – Bappeda) maupun di level nasional (oleh Badan Perencana Pembangunan Nasional - Bappenas).
Jika demikian adanya, maka yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana peran Bappeda di daerah atau Bappenas di tingkat pusat dalam kaitannya penentuan program-program pembangunan yang telah direncanakan dan telah ditetapkan menjadi Rencana Pembangunan Daerah.
Kenyataan tersebut tentunya tidak lagi sejalan dengan asumsi normative tentang logika penganggaran dalam APBD maupun APBN sebagai “Monney Follows Function”.
Monney Follows Function merupakan suatu konsepsi manajemen tentang pengelolaan anggaran negara baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal – daerah yang bertujuan agar anggaran dapat tepat sasaran dan memperoleh legitimasi yang kuat karena bersumber dari masyarakat sebagai penerima dampak program atau kebijakan pemerintah – Pemda.
Sebagaimana disebutkan Kementerian Keuangan bahwa maksud dari pemahaman konsepsi tersebut yakni dimana penyerahan beban kewenangan kepada daerah harus diikuti dengan penyerahan sumber-sumber pendanaan kepada daerah pula.
Akan tetapi, mewujudkan hal tersebut di tengah pragmatisme politik dan relasi DPRD – Pemda yang lebih dominan bukan dalam fungsi manajemen melainkan fungsi interaksi politik, masihkah bisa diwujudkan????????

_________________________________________
Penulis : Alie Al-Hakim

Related Posts: