Interaksi DPRD dan Pemda
manawLog -
Masalah interaksi politik menjadi masalah kursial saat ini dalam melihat
problematika politik anggaran di daerah. Seringkali terjadi tarik ulur
kepentingan aktor di daerah, khususnya DPRD dan Pemda yang mengakibatkan
masalah-masalah terlambatnya pembahasan anggaran belanja pembangunan di daerah.
Seringkali keterlambatan pembahasan anggaran juga memiliki Implikasi pada
proses transfer anggaran ke daerah.
Beberapa asumsi
yang berkembang bahwa seringkali terjadi tarik ulur waktu pembahasan anggaran
di daerah karena masi kuatnya kepentingan dari para politisi di daerah dalam
mengintervensi anggaran. Sehingga manakala dalam suatu angenda atau program
pembangunan terjadi perbedaan kepentingan diantara aktor politisi maupun
eksekutif dapat menjadi hambatan bagi kelancaran proses pembahasan
anggaran-anggaran program pembangunan yang seharusnya dibahas dengan efektif
dan seefisien mungkin.
Umumnya, jika
terjadi tarik ulur kepentingan yang berinplikasi pada masalah efisiensi
pembahasan anggaran program pembangunan selain berdampak pada masalah
terlambatnya proses penganggaran juga berdampak pada tidak efektifnya program
yang telah dicanangkan dan seharusnya dapat disegera direalisasikan. Masalahnya
semakin rumit jika program atau anggaran program yang semestinya dibahas adalah
berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. Hal ini sekaligus
berimplikasi pada pengabaian kepentingan publik secara luas.
Dalam beberapa
kasus, masalah yang umumnya terjadi adalah pada program yang bersifat proyek
infrastruktur fisik. Pembahasan anggaran program biasanya cepat terealisasi
jika masing-masing aktor baik SKPD (Satuan Kerja
Perangkat Daerah) terkait dengan Komisi di DPRD yang terkait
memiliki kepentingan yang sama (win-win solution), sama-sama memperoleh manfaat
dari kebijakan atau program yang akan diimplementasikan.
Secara normative, berdasarkan Permendagri No.13 tahun 2006 disebutkan
bahwa dalam menyusun anggaran tahunan, mekanisme dan proses yang ditempuh
adalah merupakan bagian dari upaya pencapaian visi, misi, tujuan, sasaran yang
telah ditetapkan dalam Rencana Strategis Daerah (Renstrada).
Selanjutnya, draf kebijakan pembangunan dan kebijakan anggaran tahunan yang
telah dibuat tersebut oleh pihak pemerintah daerah melalui panitia anggaran
nantinya akan dibahas dengan pihak DPRD untuk dimintai persetujuan
bersama.
Tentunya,
pembahasan program, adalah didasarkan pada aspirasi masyarakat yang telah
diserap melalui agenda Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang). Hal ini
didasarkan pada ketentuan perundang-undangan khususnya dalam undang-undang no.17 tahun 2003 tentang
keuangan negara. Sayangnya, materi dalam Musrembang seringkali hanya sebatas
dokumen informasi formal dan tidak sepenuhnya dapat direalisasikan mengingat
beberapa program memiliki bobot kepentingan di level elite baik itu eksekutif
maupun elite politisi.
Program Pembangunan sebagai Proyek….!!!
Pemahaman
terhadap program pembangunan sebagai proyek-proyek (proyeknisasi) masih cukup
dominan dalam perspektif aktor politik dan pelaku usaha di daerah. Artinya,
program atau kebijakan pembangunan seringkali memberikan peluang kepada aktor
pengambil kebijakan maupun aktor yang akan mengimplimentasikannya untuk
memperoleh keuntungan dari program tersebut, atau
berupa Fee ataupun Konvensasi pengerjaan proyek pembangunan
tersebut yang memberikan keuntungan kepada orang-orang terdekat pada pengambil
kebijakan.
Masalah tersebut
menjadi masalah mendasar dengan orientasi pembangunan di daerah oleh
aktor-aktor di daerah dalam memaknai atau mempersepsikan kebijakan pembangunan
bukan sebagai pembangunan kehidupan masyarakat yang lebih baik melalui
kebijakan publik.
Lebih jauh
perspektif ini tidak hanya berdampak pada proyeknisasi program pembangunan
melainkan lebih dari itu berdampak pula pada politik pembiayaan
program. Seringkalli, program pembangunan yang telah ditetapkan
melalui Musrembang tidak dianggarkan, atau sebaliknya terdapat program
pembangunan yang dianggarkan bukan merupakan hasil Musrembang.
Kenyataannya justru terjadi sebaliknya
Penentuan
program atau politik kebijakan pembangunan tidak didasarkan pada partisipasi
atau aspirasi masyarakat melainkan kepentingan elite di daerah dalam proses
pembuatan kebijakan atau program. Jika diTracking lebih jauh, nampaknya
masalah seperti ini telah dimulai di tingkat pusat, khususnya dalam pembahasan
mengenai politik anggaran pembangunan. Meskipun misalnya telah ada pembahasan
program secara formal yang merupakan dokumen daerah-nasional yang telah
dijadikan rencana strategis daerah-nasional yang telah diformulasikan dengan
baik-baik di level daerah (oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah – Bappeda)
maupun di level nasional (oleh Badan Perencana Pembangunan Nasional - Bappenas).
Jika demikian
adanya, maka yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana
peran Bappeda di daerah atau Bappenas di tingkat pusat
dalam kaitannya penentuan program-program pembangunan yang telah direncanakan
dan telah ditetapkan menjadi Rencana Pembangunan Daerah.
Kenyataan
tersebut tentunya tidak lagi sejalan dengan asumsi normative tentang logika
penganggaran dalam APBD maupun APBN sebagai “Monney Follows Function”.
Monney
Follows Function merupakan suatu konsepsi
manajemen tentang pengelolaan anggaran negara baik di tingkat nasional maupun
di tingkat lokal – daerah yang bertujuan agar anggaran dapat tepat sasaran dan
memperoleh legitimasi yang kuat karena bersumber dari masyarakat sebagai penerima
dampak program atau kebijakan pemerintah – Pemda.
Sebagaimana
disebutkan Kementerian Keuangan bahwa maksud dari pemahaman konsepsi tersebut
yakni dimana penyerahan beban kewenangan kepada daerah harus diikuti dengan
penyerahan sumber-sumber pendanaan kepada daerah pula.
Akan tetapi,
mewujudkan hal tersebut di tengah pragmatisme politik dan relasi DPRD – Pemda
yang lebih dominan bukan dalam fungsi manajemen melainkan fungsi interaksi
politik, masihkah
bisa diwujudkan????????
_________________________________________
Penulis : Alie Al-Hakim