Sejarah Lahirnya Buku-buku Filsafat

manawaLog - Pada kesempatan ini, penulis tidak berpanjang lebar menyebutkan buku-buku ilmiah yang telah diterjemahkan (ke dalam bahasa Arab) karena penulis bermaksud membahas sejarah ilmu pengetahuan. Yang hendak penulis bahas ialah sejarah filsafat. Itulah sebabnya sebabnya mengapa penulis menyebut buku-buku ilmiah yang terpenting secara sepintas dan sekilas. Demikian pula mengenai gerakan penerjemahan berbagai ilmu pengetahuan, penulis sebut seperlunya karena pengetahuan soal itu sendiri mencakup semua jenis ilmu pengetahuan yang dapat dipandang sebagai cabang-cabanganya.
Akan tetapi, jika kita hendak membicarakan sejarah filsafat di dalam Islam, mau tak mau kita harus menyebut semua buku filsafat. Sebagaimana orang-orang Arab pada masa dahulu sangat memperhatikan penerjemahan buku-buku filsafat dari berbagai aliran : dari Plato, Aristoteles, berbagai tokoh Stoicisme (filsafat Zenon, abad ke-4 SM) dan para filosof Iskandariyah. Namun, seorang filosof yang karyanya paling banyak diterjemahkan dan paling besar pengaruhnya terhadap pemikiran Islam ialah Aristoteles, yang filsafatnya terkenal dengan sebutan Massya’iyyah di kalangan orang-orang Arab.

Sejarah Lahirnya Buku-Buku Filsafat

Sebelum penulis menyebut buku-buku Aristoteles yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, baiklah penulis ketengahkan terlebih dulu bahwa aliran Aristoisme dan Massya’iyaah terdapat perbedaan didalamnya. Walaupun kedua-duanya merupakan filsafat Aristoteles
Aristoisme mempunyai corak khusus, tidak sampai ke perguruannya dan tidak sampai pula ke tangan para penafsirnya. Sedangkan Massya’iyaah merupakan suatu aliran dari perguruan yang didirikan oleh Aristoteles, dimana tulisan-tulisannya tetap menjadi pelita yang menerangi jalan perguruannya yang berlangsung sejak abad ke-13 Masehi. 
Aliran perguruan tersebut dinamakan Massya’iyyah (dari kata ma-sya-ya yang berarti berjalan) karena Aristoteles tetap mengajar murid-muridnya selalu sambil berjalan-jalan dan mereka berkerumun di sekelilingnya sambil berjalan juga. Cara demikian itu sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh Aristoteles sendiri, Socrates dan kaum Stoicisme pun sering juga melakukan cara mengajar yang sama. Namun jika orang menyebut Massya’iyyah berarti tidak lain maksudnya hanya pada perguruan Aristoteles.
Filsafat Islam lebih banyak diwarnai aliran Massya’iyyah dari pada Platonisme (aliran Plato).

 Baca juga: Pengantar Teori-teori Filsafat - Ferry Hidayat
Sebagaimana diketahui, pada masa mudanya Aristoteles telah menulis suatu dialog mirip dengan dialog yang ditulis Plato, kemudian ia melepaskan cara penulisan seperti itu dan mulai menusun buku dengan cara yang teratur, sehingga mencakup semua bagian filsafatnya. Sewaktu hidup ia menyelesaikan beberapa buku dan telah pula menerbitkannya, antara lain buku tentang moral, misalnya.
Akan tetapi banyak pula bukunya yang hanya berupa catatan-catatan pada saat ia memberikan pelajaran. Tidak dipersiapkan untuk diterbitkan dan tidak pula disusun teratur sebagaimana yang dikenal sekarang ini: yang dimulai dari semantik, masalah alam dan kemudian problema metafisika. Penerbitan buku-buku ini merupakan hasil Andronicus, tiga abad setelah Aristoteles meninggal dunia. Andronicus adalah pengurus perpustakan Iskandariyah.
Buku Aristoteles tentang semantik ada enam buah : 
(1)  Al-Muqawwalat (Cathegorias),
(2)  Al-‘Ibarah (Parearmenias)
(3)  Al-Qiyas (Anatolica I)
(4)  Al-Burhan (Anatolica II)
(5)  Al-Jadal (Thopica)
(6)  Al-Aqwalul-Mughallithah (Sovetsica)
Para filosof Arab menambahnya dengan tiga buah buku pengantar, satu diantaranya Madkhal (yakni “Pintu”). Untuk memasuki pembahasan mengenai Al-Mukawwalat (Cathegorias), dalam bahasa Yunani disebut Isagoge yang berarti Mukaddimah atau pengantar. 
Isagoge merupakan karya Phorphyrius dari Shur murid Plotinus. Buku tersebut berisi pembahasan mengenai lima bentuk totalia (Kulliyat), yaitu : jenis, mutu, pemisahan, khusus dan umum. Adapun dua buah buku yang lainnya digabungkan dengan bagian terakhir buku semantik (Logika).
Dua buku tersebut ialah Al-Khithabah (Retorica) dan Asy-Sya’ir (Poetica). Penggabungan itu dilakukan oleh orang Arab karena pada masa itu mereka belum dapat memahami apa yang dimaksud Aristoteles dengan kedua bukunya itu, karena masing-masing berisi persoalan yang hanya sesuai dengan tabiat orang-orang Yunani pada abad ke-4 SM, ketika demokrasi masi menjadi asas kehidupan politik mereka yang khas. Pada masa itu mereka (orang Yunani) membutuhkan teknik berpidato untuk mengalahkan lawan dan memenangkan berbagai pikiran politik dan sosial.

Cara mereka berpidato tidak sama orang Arab menitik beratkan pada Fashahah dan Bayan atau apa yang disebut oleh orang Arab dengan nama Al-Balaghah, yang tujuannya berlainan sekali dengan orang Yunani. Orang-orang Yunani memandang pidato sebagai seni dalam arti kata yang sesungguhnya.
Demikian pula halnya mengenai Sya’ir (Puisi), yang oleh Aristoteles ciri yang lebih istimewa daripada bidang-bidang seni yang lain; apakah itu seni ukir, seni lukis, seni musik murni, lirik ataupun seni panggung. Dengan perkataan lain ialah bahwa seni yang paling indah adalah sya’ir (Puisi). 
Kesenian yang paling tinggi derajatnya ialah seni panggung yang berupa komedia atau tragedi, tetapi yang paling tinggi di antara keduanya adalah seni tragedi. Pada zaman itu orang-orang Arab belum mengenal seni panggung, yang mereka kenal hanyalah prosa dan puisi.
Orang Arab melihat buku Poetica (Sya’ir) dari sudut hubungan dengan filsafat yang mereka pandang sebagai cara untuk mencari kebenaran (Al-Haq) dan itu dapat dicapai secara meyakinkan jika ditempuh lewat jalan Al-Burhan (Anatolica), atau dapat dicapai dengan menempuh jalan Al-Jadal (Thopica) kalau ingin memperoleh kebenaran lewat perdebatan. 
Kebenaran (Al-haq) dapat juga diwujudkan dalam bentuk pidato (Retorica) bila kebenaran itu berdasarkan berbagai pendapat secara luas, atau dapat juga diwujudkan dalam bentuk sya’ir (Poetica) jika kebenaran itu diharapkan bakal datang lewat pemikiran khayal tentang hal-ikhwal yang serupa, tetapi ini merupakan Hujjah (pembuktian) yang paling rendah nilainya. Itulah sebabnya mereka menambahkan dua buah buku tentang Khithabah (Retorica) dan tentang Sya’ir (Poetica) kedalam buku semantik (Logika). 
Dengan demikian maka lengkaplah sudah sembilan buku tentang Semantik yang ada pada para filosof Arab zaman belakangan. Sedangkan para filosof terdahulu mendasarkan asas Semantik hanya pada 4 buku Aristoteles, yaitu : Catmu hegoriasParearmeniasAnatolica I, dan Anatolica II. Orang yang tidak menguasai 4 buah buku Semantik itu dipandang sebagai orang yang tidak mengetahui ilmu semantik sama sekali.
Perlu kiranya dikemukakan, bahwa orang-orang Arab mengenal buku-buku Aristoteles dengan judul aslinya seperti yang kami sebutkan diatas. Judul tersebut sebagian masih tetap hingga zaman kita dewasa ini. Universitas Al-Azhar, misalnya, hingga sekarang masih mempelajari buku  Isagoge, sekalipun yang dimaksud oleh istilah itu tidak hanya pengantar saja. 
Cobalah perhatikan kata safsathah yang diucapkan oleh orang Arab dan berarti Sovetica. kata tersebut berasal dari pembahasan orang-orang Yunani mengenai semantik. Hal itu menunjukan betapa pengaruh pemikiran orang-orang Yunani terhadap pemikiran Arab. Ini tidak mengherankan karena orang-orang Arab dalam kedudukannya sebagai “mediator” antara Timur dan Barat telah mengambil dari mana saja dan telah menerjemahkan  berbagai jenis peradaban. 
Dalam kurun waktu yang amat panjang mereka menjaga baik semua khazanah peninggalan zaman dahulu. Di samping itu mereka memberikan sumbangan pula dengan pengetahuan-pengetahuan baru dan demikianlah seterusnya. Memang benarlah kemanusiaan merupakan kesatuan yang tak  terpisahkan dan peradaban yang dicapai zaman kini bukan hasil karya suatu bangsa, melainkan hasil persenyawaan di antara berbagai macam peradaban yang berlangsung sepajang zaman.
Semua buku Aristoteles tentang problema alam, terjemahkan orang Arab. Kiranya kami tak perlu menyebutnya lagi karena telah kami kemukakan dalam pembicaraan mengenai pembagian pokok ilmu hikmah (filsafat) tentang alam sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn-Sina. 
Mereka juga telah menerjemahkan buku tentang metaphisika, yaitu buku yang diberi nama Al-Huruf, karena buku tersebut terdiri dari beberapa makalah yang disusun menurut huruf abjad Yunani, di antaranya yang paling terkenal ialah makalah yang dibawah huruf L (Makalah-Lam), yang membahas soal eksistensi Tuhan, yang Aristoteles sebut “Penggerak Yang tidak Bergerak”. Buku tersebut di kemudian hari diuraikan oleh Ibn Rusyd alenia demi alinea dan makalah demi makalah, dalamsebuah buku tafsir tentang metafisika.
Baca juga: Filsafat Aristoteles
Baiklah kiranya kalau disebutkan juga sebuah buku yang secara keliru dinasabkan kepada Aristoteles. Kekeliruan tersebut disebabkan oleh banyaknya pendapat yang meragukan filsafat Islam. Buku yang dimaksud ialah Theologia atau Rububiyyah (Ketuhanan) yang terjemahkan oleh Ibn Nai’imah Al-Himshi, kemudian dibetulkan oleh Ya’qub Al-Kindi. Buku tersebut sebenarnya ditulis oleh Plotinus, bukan Aristoteles. 
Terdapat perbedaan besar antara aliran dua filosof tersebut. Filsafat Aristoteles di dasarkan pada alam wujud (alam nyata), sedangkan filsafat Plotinus didasarkan pada “Yang Satu” (Supreme inmaterial force). Al-Farabi-lah oarng pertama yang mengetahui kekeliruan dan itu sangat meragukan kalau buku tersebut ditulis oleh Aristoteles.
Bagaimanapun juga, berkat kecerdasan orang-orang Arab dua asas yang berlainan itu dapat ditemukan titik persesuaiannya. Akhirnya metaphisika yang didasarkan tasn pandangan alam wujud dapat disatukan dengan metaphisika yang didasarkan “Yang Satu”. Dari penyatuan tersebut mereka menampilkan filsafat baru yang berupa persenyawaan dari dua macam filsafat tersebut karya pemikiran filsafat baru itu dipandang sebagai penemuan asli filsafat Islam.
Akan tetapi, bagaimanakah Plato, bagaimanakah filsafatnya dan bagaimana pulakah Muhawarat (dialog)-nya?
Orang Arab telah menerjemahkan beberapa buku yang ditulis Plato. Mereka telah menerjemahkan bukunya Respublica (Al-Jumhuriyyah) kemudian mereka beri judul baru Al-Madinatul-Fadhilah (Negara Utama). Mereka menyerap beberapa pemikirannya dan terpengaruh olehnya. Hal ini dapt diketahui dari Al-Madinatul-Fadhilah yang ditulis Al-Farabi. 
Mereka juga telah menerjemahkan buku Plato tentang Rahasia Gaib (Nawamis) dan merekapun terpengaruh juga olehnya. Al-Qifthi menyebut beberapa judul Dialog Plato dengan penjelasan sebagai berikut: “Pada masa itu buku diberi judul dengan nama orang yang mempelajarinya. Buku-buku ini mengenai berbagai jenis pengetahuan, antara lain: Buku Lakhus mengenai soal keberanian, buku Khirmedus mengenai kesuucian hidup, dan lain sebagainya”.
Pada masa itu tampaknya orang-orang Arab tampaknya belum mengenal cara menulis buku dalam bentuk dialog (percakapan). Apalagi sistem dialog Plato yang tidak hanya berupa percakapan antara beberapa orang, tetapi bahkan berlaku terus hingga zaman Ciceron (107 – 43 SM., yakni zaman 300 tahun kurang lebih setelah Plato sendiri meninggal dunia). 
Meskipun demikian Dialog Plato penuh dengan legenda Yunani yang menyebutkan nama macam-macam Tuhan. Ini sama sekali tidak disukai oleh oleh kauam Muslimin Arab. Karena itu sebagian besar Dialog Plato tidak mereka terjemahkan ke dalam bahasa Arab dan tidak laku dikalangan para filosof Islam. Itulah sebabnya mengapa orang-orang Arab lebih mengutamakan filsafat Aristoteles (Massya’iyyah) daripada filsafat Plato (Platonisme).
Akan tetapi filsafat Islam tidak hanya mengambil dari ‘Massya’-Iyyah saja, tetapi juga dari beberapa pemikiran filsafat Plato (Platonisme), dari pemikiran-pemikiran filsafat Platonium (Neo Platonisme), pemikiran filsafat Pythagoras, filsafat Hindu dan filsafat Persia. Dari semua khazanah pemikiran filsafat tersebut orang Arab merumuskan pemikiran filsafat baru berdasarkan ajaran Islam.
Dalam tulisan singkat ini tak mungkin penulis menyebut semua buku filsafat yang mempunyai pengaruh terhadap pemikiran Islam, seperti buku Al-Khairul-Mahdh (Kebaikan Murni) dan lain-lain. Kepada yang berminat menelaah persoalan itu lebih luas lagi, dalam mempelajari buku-buku yang memberikan informasi lebih panjang lebar.
Setelah membicarakan persoalan tersebut diatas, maka kita akan beralih membicarakan mengenai beberapa filosof Islam terkemuka yang terkenal dalam sejarah. Hal itu kita akan bicarakan terlebih dulu sebelum kita membicarakan berbagai kesukaran pokok yang telah mereka tanggulagi. Setidaknya kita telah memiliki gambaran bagaimana proses perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat yang lahir pada zaman ke zaman.

Related Posts: