manawaLog - Filsafat Islam asan yang meliputi berbagai soal alam
semesta dan berbagai macam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan
yang turun bersama lainnya agama islam.
Sebelum penulis
mendalami pembahasan mengenai berbagai persoalan tersebut dan sebelum
diketengahkan beberapa masalah yang dihadapi dan usahakan pemecahannya oleh
filsafat Islam, baiklah penulis akan menerangkannya terlebih dahulu: apakah
filsafat itu bercorak Islam ataukah bercorak Arab. Pembicaraan mengenai hal itu
penulisan pandang untuk mengingat pengaruh pemisahan corak tersebut terhadap
soal filsafat itu sendiri.
Persoalan
tersebut bukan hanya dihadapi oleh para sejarawan masa Islam, tetapi dihadapi
juga oleh pada sejarawan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Terutama setelah
lahirnya nasionalisme Arab dan tumbuhnya kesadaran bangsa Arab akan
kepribadiannya. Tentang persoalan itu, baik para ahli fikir masa Islam maupu
yang hidup dalam zaman belakang, masing-masing mempunyai pendapatnya
sendiri-sendiri.
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan islam kemudian berkembang
sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampilah beberapa filosof seperti
Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain. Kaum sejarawan banyak menulis
berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis
buku itu menyebut mereka “Kaum Filosof Islam”. Adapula yang menamakan “Para
Filofos beragama Islam”. Kadang juga disebut juga dengan ungkapan “Para Ahli
Hikmah Islam” (Filasifatul-Islam, atau Al-Falasifatul-Islamiyyin atau
Hukumaul-Islam), mengikuti sebutan yang diberikan Syahrustani,
Al-Qifthi, Al-Baihaqi dan lain-lain.
Oleh karena itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazzaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam : “para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisruhkan”.
Selanjutnya ia menyimpulkan : “maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh para ahli filsafat itu sendiri, filsafat Islam, dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir dinegeri Islam dan berada dibawah pengayoman negara Islam. Tampa memandanga agama dan bahasa para ahli filsafat yang bersangkutan”.
Oleh karena itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazzaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam : “para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisruhkan”.
Selanjutnya ia menyimpulkan : “maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh para ahli filsafat itu sendiri, filsafat Islam, dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir dinegeri Islam dan berada dibawah pengayoman negara Islam. Tampa memandanga agama dan bahasa para ahli filsafat yang bersangkutan”.
Sesuai upacara pembukaan Universitas Mesir, seorang ahli masalah
ketimuran (orientalis) Prof. Nallinou memberikan ceramah tentang sejarah ilmu
falak (Astronomi) dikalangan orang Arab, dalam kesempatan itu ia menampilkan
tentang penamaan tersebut dan mengupas beberapa tesis yang dibicarakan para
ahli filsafat dari kedua belah pihak (yakni yang memberi nama filsafat Islam
dan yang memberi nama filsafat Arab). Antara lain ia mengatakan sebagai berikut:
“Setiap
pembicaraan masa jahiliah, atau masala awal masa kelahiran Islam, makna
sesungguhnya dan yang wajar dari kata-kata “Arab” tidak diragukan lagi menunjuk
pada suatu bangsa yang bermukin di daerah semenanjung yang dikenal dengan nama
“Jazirah Arabiah”.
Akan tetapi, jika pembicaraan itu beralih ke abad-abad berikutnya,
mulai abad pertama hijriyah, kata “Arab” berubah menjadi suatu istilah yang
maknanya ialah segala bangsa dan rakyat yang bermukim diseluruh wilayah Islam
yang pada umumnya mempergunakan bahasa Arab dalam menulis buku-buku ilmiah.
Baca juga : Sejarah Lahirnya Buku-buku FilsafatDengan demikian istilah “Arab” mencakup orang Persia, India, Turki, Suriah, Mesir, Barbar (Barber = Penduduk Afrika Utara) Andalusia dan lain-lain. Yaitu orang dari berbagai kebangsaan yang menulis buku-buku ilmiah dalam bahasa Arab, karena mereka bernaung dibawah negara-negara Islam. Jika kita menyebut mereka dengan “Arab”, sukar sekali bagi kita untuk dapat berbicara tentang Ilmu Falak, karena sangat sedikit putra Qathan dan ‘Adnan yang memiliki kecerdasan berpikir”.
Dari pernyataannya tersebut jelaslah bahwa Nellinou menitik
beratkan pendapatnya pada bahasa. Karena itu ia mengatakan bahwa ilmu tersebut
(filsafat) oleh orang-orang Arab diartikan sebagai ilmu yang ditulis dalam
bahasa Arab.
Lantas Nellinou mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang mengatakan : “para ahli ilmu (filsafat) dikalangan ummat Islam sebagaian besar terdiri dari orang-orang ‘Ajam (non Arab)”. Kemudian Nellinou membahas pendapat lain tentang persoalan itu yang bersifat kebalikannya, yaitu yang menamakan ilmu tersebut filsafat Islam. Ia menolak penamaan itu berdasarkan alasan, karena kata-kata “Islam” atau “Muslimin” menyingkirkan orang-oang Nasrani, Yahudi, Shabi-ah dan para pemeluk agama yang lain.
Padahal andil mereka ini tidak kecil dalam berbagai cabang ilmu dan kesusateraan Arab, khususnya ilmu pasti, ilmu falak, ilmu kedokteran dan filsafat, Nellinou juga menegaskan, penggunaan kata “Islam” atau “Muslimin” mengharuskan orang melakukan penelitian lagi mengenai buku-buku yang ditulis oleh kaum muslimin dalam bahasa-bahasa asing (bukan bahasa Arab), seperti bahasa Persia dan Turki yang berada diluar pembicaraan kita.
Lantas Nellinou mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang mengatakan : “para ahli ilmu (filsafat) dikalangan ummat Islam sebagaian besar terdiri dari orang-orang ‘Ajam (non Arab)”. Kemudian Nellinou membahas pendapat lain tentang persoalan itu yang bersifat kebalikannya, yaitu yang menamakan ilmu tersebut filsafat Islam. Ia menolak penamaan itu berdasarkan alasan, karena kata-kata “Islam” atau “Muslimin” menyingkirkan orang-oang Nasrani, Yahudi, Shabi-ah dan para pemeluk agama yang lain.
Padahal andil mereka ini tidak kecil dalam berbagai cabang ilmu dan kesusateraan Arab, khususnya ilmu pasti, ilmu falak, ilmu kedokteran dan filsafat, Nellinou juga menegaskan, penggunaan kata “Islam” atau “Muslimin” mengharuskan orang melakukan penelitian lagi mengenai buku-buku yang ditulis oleh kaum muslimin dalam bahasa-bahasa asing (bukan bahasa Arab), seperti bahasa Persia dan Turki yang berada diluar pembicaraan kita.
Atas dasar pendapat-pendapat tersebut diatas Nellinou menarik
kesimpulan: “lebih tepatlah kiranya kalau kita semua menyetujui dengan bulat
apa yang sudah lazim dipakai oleh para penulis zaman belakangan, yaitu
menggunakan kata “Arab” sebagai istilah, yakni menurut bahasa yang digunakan
untuk menulis buku-buku itu". Bukan menurut kebangsaan penulisnya.
Dalam suatu rangkaian studi tentang Filsafat Islam yang
diselenggarakan di Colonia tahun 1959, rekan kami Al-Ab Qinwati mengumumkan
hasil penelitiannya pada tahun itu juga. Hasil penelitiannya itu berupa
kesimpulan berdasarkan suatu angket yang ditujukannya kepada para ahli Filsafat
Islam di seluruh dunia.
Semua jawaban yang diterima dikumpulkan, kemudian disiarkan secara l;uas. Dari hasil angket tersebut dapat diketahui denga jelas adanya perbedaan besar tentang penamaan filsafat tersebut. Di antara beberapa penamaan yang saling berlainan itu ialah: Filsafat Islam, Filsafat Arab, Filsafat Negara-Negara Islam, Filsafat Dalam Dunia Islam dan lain sebagainya. Pada bagian ini kami ingin mengtengahkan beberapa pendapat mengenai penamaan itu, karena persoalannya memang cukup menarik.
Semua jawaban yang diterima dikumpulkan, kemudian disiarkan secara l;uas. Dari hasil angket tersebut dapat diketahui denga jelas adanya perbedaan besar tentang penamaan filsafat tersebut. Di antara beberapa penamaan yang saling berlainan itu ialah: Filsafat Islam, Filsafat Arab, Filsafat Negara-Negara Islam, Filsafat Dalam Dunia Islam dan lain sebagainya. Pada bagian ini kami ingin mengtengahkan beberapa pendapat mengenai penamaan itu, karena persoalannya memang cukup menarik.
Orang-orang Iran, India dan Turki lebih suka menamakan Filsafat yang
ditulis oleh oang Arab: Filsafat Islam, Istilah mereka itu pada zaman dewasa
ini tidak mengherankan. Karena mereka telah sangat lama terputus hubungannya
dengan Bahasa Arab, kecuali beberapa orang saja yang ahli dengan bahasa itu.
Seorang asisten dosen pada Universitas Terheran berpandapat, bahwa
penamaan Filsafat Arab berarti mengeluarkan para ahli fikirnya yang dari Iran,
Afganhistan, Pakistan, dan India. Ia lebih suka memilih istilah lain, misalnya:
Filsafat Islam atau Filsafat Negeri-Negeri Islam dan sekitarnya.
Profesor Asynah mengatakan: “Jika
yang dimaksud dengan istilah itu pemikiran Filsafat yaang tersebar di sebagian
permukaan bumi setelah agama Islam dan bahasa Arab meluas kemana-mana. Yaitu
pemikiran Filsafat yang dirumuskan dalam Bahasa Arab, atau yang kadang-kadang
oleh para penulisnya sendiri dirumuskan dalam bahasa Persia, maka pemisahan
sebagian dari pemikiran itu dari bagiannya yang lain merupakan kejanggalan dan
tampak dibuat-buat. Apalagi kalau pemisahan itu didasarkan pada alat (bahasa)
yang dipergunakan untuk merumuskan pemikiran filsafat itu, atau didasarkan pada
keyakinan agama para penulisnya. Bagaimana mungkin kita dapat mengambil
sebagian dari pemikiran seorang Filosof yang dituangkan dalam bahasa
Arab,sedangkan sebagian lainnya dituangkan dalam bahasa Persia kita abaikan?
Bagaimana mungkin kita dapat menolak begitu saja pemikiran seorang Filosof
hanya karena ia beragama Yahudi? Bagaimanakah halnya dengan pemikiran
Sahruwardi arau Ar-Razi penulis buku Makhariqul-Anbiya? Itulah sebabnya saya menghindari penamaan
Filsafat Arab atau Filsafat Islam. Saya lebih suka menyebutnya Filsafat Di
Dunia Islam.”
Courban, seorang orientalis Prancis ahli tentang Islam dan Iran
mempertahankan istila filsafat Islam. Ia mengatakan : “jika kita berpegang pada
penamaan filsafat Arab, maka pemikiran itu menjadi sempit, bahkan keliru."
Bagaimana kita bisa menempatkan pemikiran Nashir Khasru, misalnya, atau pemikiran Afdhal Kasyani dan para ahli fikir Persia (Islam) lainnya yang hidup pada abad ke-11 hingga abad ke-13. Mereka tidak menuliskan pemikirannya kecuali dalam bahasa Persia! Jika sebutan “Arab” dalam zaman kita dewasa ini mencakup pengertian politik dan kebangsaan dapat dibenarkan, pengertian itu tidak bisa membawa kita kelapangan ilmu lapangan atau sastra. Lagi pula penulis sendiri menolak mengaitkan pengertian keagamaan dengan tanah air atau kebangsaan tertentu.
Karena itu, istila yang paling tepat dan benar ialah Filsafat Dalam Islam, atau Filsafat Islam, atau Filsafat di Negeri-negeri Islam. Kalau penamaan yang terakhir disebutkan terasa terlampau panjang dan dianggap kurang baik untuk dijadikan istila penulis tetap menolak memberi predikat ‘Muslimah’ (Musulman) pada filsafat tersebut. Sebab penamaan itu masih tetap mencakup keyakinan pribadi filosof yang bersangkutan, sedangkan filsafat Islam mencakup segala hal ihwal, jika kita hendak memasukan para filosof yang beragama Nasrani dan Yahudi kedalam lingkaran pemikiran itu, bolehlah kita menyebut filsafat itu sebagai filsafat di dalam Islam sebagaimana yang dilakukan oleh De Boer.
Bagaimana kita bisa menempatkan pemikiran Nashir Khasru, misalnya, atau pemikiran Afdhal Kasyani dan para ahli fikir Persia (Islam) lainnya yang hidup pada abad ke-11 hingga abad ke-13. Mereka tidak menuliskan pemikirannya kecuali dalam bahasa Persia! Jika sebutan “Arab” dalam zaman kita dewasa ini mencakup pengertian politik dan kebangsaan dapat dibenarkan, pengertian itu tidak bisa membawa kita kelapangan ilmu lapangan atau sastra. Lagi pula penulis sendiri menolak mengaitkan pengertian keagamaan dengan tanah air atau kebangsaan tertentu.
Karena itu, istila yang paling tepat dan benar ialah Filsafat Dalam Islam, atau Filsafat Islam, atau Filsafat di Negeri-negeri Islam. Kalau penamaan yang terakhir disebutkan terasa terlampau panjang dan dianggap kurang baik untuk dijadikan istila penulis tetap menolak memberi predikat ‘Muslimah’ (Musulman) pada filsafat tersebut. Sebab penamaan itu masih tetap mencakup keyakinan pribadi filosof yang bersangkutan, sedangkan filsafat Islam mencakup segala hal ihwal, jika kita hendak memasukan para filosof yang beragama Nasrani dan Yahudi kedalam lingkaran pemikiran itu, bolehlah kita menyebut filsafat itu sebagai filsafat di dalam Islam sebagaimana yang dilakukan oleh De Boer.
Orang-orang India juga menentang penamaan filsafat Arab.
Sehubungan dengan itu Profesor Tarashand mengatakan bahwa:
“Penamaan filsafat Arab samasekali tidak sesuai, pertama, karena
mereka menekuni bidang ilmu tersebut tidak semuanya orang Arab, bahkan sebagian
besar orang Persia Asia Tengah, Andalusia, India dan lain-lain. Pemikiran
filsafat tersebut tidak hanya dituangkan dalam bahasa Arab, tapi juga dalam
bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Persia dan sebagainya. Suatu hal yang lebih
penting lagi ialah, pernyataannya bahwa filsafat tersebut kenyataannya bahwa
filsafat tersebut tumbuh dari kebutuhan Islam pada argumentasi dalam diskusi
keagamaan untuk mempertahankan prinsip-prinsip ajarannya. Pada dasarnya filsafat
tersebut menekankan perhatian terhadap kepentingan memperkokoh sendi-sendi
aqidah Islam, atau untuk mengungkapkan dasar-dasar filsafatnya, atau untuk
menumbuhkan dan membentuk pemikiran keagamaan secara teologis. Filsafat
tersebut tidak dapat dipandang sebagai cristisism atau opportunism yang
mengeksploitasi keyakinan agama, karena ia tetap berkisar disekitar pemikiran
keagamaan. Adapun orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis buku-buku
filsafat cristisism atau
pemikiran-pemikiran lain yang terpengaruh oleh Islam, mereka itu patut
dimasukan kedalam filsafat Islam secara umum”.
Pada zaman berikutnya muncullah sekelompok kaum penyanggah yang
mengartikan Islam tidak sebagai agama saja, tetapi merupakan suatu yang lebih
luas, yakni suatu peradaban tertentu. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh
Profesor Bouzani dari Italia, yang mengartikan filsafat Islam sebagai
peradaban, bukan sebagai agama. Ia mengambil contoh Bergson, seorang filosof
Yahudi kelahiran Perancis yang memasukan zaman sekarang ini kedalam sejarah
agama Nasrani di Eropa.
Demikian juga pendapa Doktor Ibrahim Madzkur dengan pernyataannya :
Demikian juga pendapa Doktor Ibrahim Madzkur dengan pernyataannya :
“Penamaan filsafat Arab tidak berarti pemikiran filsafat itu hasil
karya suatu ras atau suatu bangsa. Saya lebih suka menyebutnya filsafat Islam,
karena islam bukan hanya aqidah atau keyakinan melainkan juga peradaban, dan
setiap peradaban mencakup segi-segi kehidupan moral material, pemikiran dan
perasaan. Jadi filsafat Islam ialah segala studi filsafat yang ditulis didalam
dunia Islam, baik penulisnya orang Muslimin Nasrani ataupun Yahudi, saya tidak
perlu menyebut kalian Nestorian, jacodian dan Sabean (pemeluk agama Shabiah)
sebagai kaum yang merintis studi filsafat. Sebab, sebagaimana anda diketahui
Ibnu Maimun (orang Yahudi) adalah penulis karya-karya Al-Farabi dan Ibnu Rusyd”.
Pembicaraan ini jadi berkepanjangan jika penulis mengukit semua
yang disebutkan oleh mereka yang menekuni filsafat tersebut. Penulis hendak
mengakhiri dengan pendapat yang tertulis dalam buku yang berjudul
Islamic Fhilosophy, sebagai berikut:
“Orang-orang yang menyebut pemikiran itu filsafat Arab beralasan
karena pemikiran tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan karena pemikiran
filsafat itu pertama kali diterjemahkan dalam bahasa Arab, kemudia disusun oleh
filosof dan ditambahkan keterangan-keterangan yang dituangkan dalam bahasa
Arab. Akan tetapi harus di ingat, penerjemahan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab
tidak cukup dijadikan alasan untuk menamakannya filsafat Arab. Sebab berbagai
tokoh filsafat pada masa itu bukanlah orang-orang Arab melainkan orang Turki,
seperti Al-Farabi dan orang Persia seperti Ibnu Sina, misalnya. Bahkan beberapa
filosof menuliskan karya pemikiran mereka kedalam bahasa Persia. Dengan
demikian karya pemikiran mereka turut membentuk sebagian dari filsafat yang
dinamakan filsafat Islam karena didalammnya terdapat unsur baru yang telah
mempengaruhi filsafat Yunani, filsafat Iskandariah dan pandangan filsafat
lainnya. Itulah filsafat yang diterjemahhkan ke dalam bahasa Arab. Para filosof
pada masa itu berpegang pada pandangan Islam sebagai pedoman dalam usaha mereka
mencari persesuaian antara Islam, unsur baru dan pandangan-pandangan filsafat
yang lain. Oleh karena itu, pemikiran filsafat tersebut kita namakan saja
filsafat Islam dan di dalam istila tersebut tidak mengandung kekisruha
sebagaimana yang dikatakan oleh sementara orang”.
Catatan:
1) Qathan dan Adnan adalah dua kabilah tertua di Semenanjung Arabia yang secara umum dapat dipandang sebagai cikal bakal bangsa Arab.
2) Shabi-ah adalah Agama kuno di negeri Arab. Sementara ahli sejarah menyebutnya sebagai sisa-sisa peninggalan agama Nabi Ibrahim As. Orang barat menyebutnya Sabean.
3) “Sejarah Filsafat didalam Islam”. Karangan De Boer (Seorang orientalis Belanda), diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Muhammad ‘Abdulhadi Abu Raidah.
4) A.E. El Ehwaniy: (Islamic Fhilosophy”, Anglo-Egyptian Library, Cairo, 1975.