PROBLEMATIKA FILSAFAT ISLAM - Bercorak Islam atau Bercorak Arab?

manawaLog - Filsafat Islam asan yang meliputi berbagai soal alam semesta dan berbagai macam masalah manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lainnya agama islam.
Sebelum penulis mendalami pembahasan mengenai berbagai persoalan tersebut dan sebelum diketengahkan beberapa masalah yang dihadapi dan usahakan pemecahannya oleh filsafat Islam, baiklah penulis akan menerangkannya terlebih dahulu: apakah filsafat itu bercorak Islam ataukah bercorak Arab. Pembicaraan mengenai hal itu penulisan pandang untuk mengingat pengaruh pemisahan corak tersebut terhadap soal filsafat itu sendiri.
Persoalan tersebut bukan hanya dihadapi oleh para sejarawan masa Islam, tetapi dihadapi juga oleh pada sejarawan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Terutama setelah lahirnya nasionalisme Arab dan tumbuhnya kesadaran bangsa Arab akan kepribadiannya. Tentang persoalan itu, baik para ahli fikir masa Islam maupu yang hidup dalam zaman belakang, masing-masing mempunyai pendapatnya sendiri-sendiri.
https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/od6bpu313/ini-penyebab-kemunduran-dunia-islam-di-timur-tengah
Ketika filsafat muncul dalam kehidupan islam kemudian berkembang sehingga banyak dibicarakan oleh orang-orang Arab, tampilah beberapa filosof seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain. Kaum sejarawan banyak menulis berbagai buku tentang kehidupan, pendapat serta pemikiran mereka. Para penulis buku itu menyebut mereka “Kaum Filosof Islam”. Adapula yang menamakan “Para Filofos beragama Islam”. Kadang juga disebut juga dengan ungkapan “Para Ahli Hikmah Islam” (Filasifatul-Islam, atau Al-Falasifatul-Islamiyyin atau Hukumaul-Islam),  mengikuti sebutan yang diberikan Syahrustani, Al-Qifthi, Al-Baihaqi dan lain-lain. 

Oleh karena itu Syaikh Musthafa ‘Abdurrazzaq mengatakan dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Islam : “para ahli filsafat telah sepakat memberi nama demikian, karena pemberian nama lain tidak dibenarkan dan tidak boleh dikisruhkan”. 

Selanjutnya ia menyimpulkan : “maka kami berpendapat perlu menamakan filsafat itu dengan nama yang telah diberikan oleh para ahli filsafat itu sendiri, filsafat Islam, dengan arti bahwa filsafat tersebut lahir dinegeri Islam dan berada dibawah pengayoman negara Islam. Tampa memandanga agama dan bahasa para ahli filsafat yang bersangkutan”.
Sesuai upacara pembukaan Universitas Mesir, seorang ahli masalah ketimuran (orientalis) Prof. Nallinou memberikan ceramah tentang sejarah ilmu falak (Astronomi) dikalangan orang Arab, dalam kesempatan itu ia menampilkan tentang penamaan tersebut dan mengupas beberapa tesis yang dibicarakan para ahli filsafat dari kedua belah pihak (yakni yang memberi nama filsafat Islam dan yang memberi nama filsafat Arab). Antara lain ia mengatakan sebagai berikut:
“Setiap pembicaraan masa jahiliah, atau masala awal masa kelahiran Islam, makna sesungguhnya dan yang wajar dari kata-kata “Arab” tidak diragukan lagi menunjuk pada suatu bangsa yang bermukin di daerah semenanjung yang dikenal dengan nama “Jazirah Arabiah”.

Akan tetapi, jika pembicaraan itu beralih ke abad-abad berikutnya, mulai abad pertama hijriyah, kata “Arab” berubah menjadi suatu istilah yang maknanya ialah segala bangsa dan rakyat yang bermukim diseluruh wilayah Islam yang pada umumnya mempergunakan bahasa Arab dalam menulis buku-buku ilmiah. 
Baca juga : Sejarah Lahirnya Buku-buku Filsafat
Dengan demikian istilah “Arab” mencakup orang Persia, India, Turki, Suriah, Mesir, Barbar (Barber = Penduduk Afrika Utara) Andalusia dan lain-lain. Yaitu orang dari berbagai kebangsaan yang menulis buku-buku ilmiah dalam bahasa Arab, karena mereka bernaung dibawah negara-negara Islam. Jika kita menyebut mereka dengan “Arab”, sukar sekali bagi kita untuk dapat berbicara tentang Ilmu Falak, karena sangat sedikit putra Qathan dan ‘Adnan yang memiliki kecerdasan berpikir”.
Dari pernyataannya tersebut jelaslah bahwa Nellinou menitik beratkan pendapatnya pada bahasa. Karena itu ia mengatakan bahwa ilmu tersebut (filsafat) oleh orang-orang Arab diartikan sebagai ilmu yang ditulis dalam bahasa Arab. 

Lantas Nellinou mengutip pendapat Ibnu Khaldun yang mengatakan : “para ahli ilmu (filsafat) dikalangan ummat Islam sebagaian besar terdiri dari orang-orang ‘Ajam (non Arab). Kemudian Nellinou membahas pendapat lain tentang persoalan itu yang bersifat kebalikannya, yaitu yang menamakan ilmu tersebut filsafat Islam. Ia menolak penamaan itu berdasarkan alasan, karena kata-kata “Islam” atau “Muslimin” menyingkirkan orang-oang Nasrani, Yahudi, Shabi-ah dan para pemeluk agama yang lain. 

Padahal andil mereka ini tidak kecil dalam berbagai cabang ilmu dan kesusateraan Arab, khususnya ilmu pasti, ilmu falak, ilmu kedokteran dan filsafat, Nellinou juga menegaskan, penggunaan kata “Islam” atau “Muslimin” mengharuskan orang melakukan penelitian lagi mengenai buku-buku yang ditulis oleh kaum muslimin dalam bahasa-bahasa asing (bukan bahasa Arab), seperti bahasa Persia dan Turki yang berada diluar pembicaraan kita. 
Atas dasar pendapat-pendapat tersebut diatas Nellinou menarik kesimpulan: “lebih tepatlah kiranya kalau kita semua menyetujui dengan bulat apa yang sudah lazim dipakai oleh para penulis zaman belakangan, yaitu menggunakan kata “Arab” sebagai istilah, yakni menurut bahasa yang digunakan untuk menulis buku-buku itu". Bukan menurut kebangsaan penulisnya.
Dalam suatu rangkaian studi tentang Filsafat Islam yang diselenggarakan di Colonia tahun 1959, rekan kami Al-Ab Qinwati mengumumkan hasil penelitiannya pada tahun itu juga. Hasil penelitiannya itu berupa kesimpulan berdasarkan suatu angket yang ditujukannya kepada para ahli Filsafat Islam di seluruh dunia. 

Semua jawaban yang diterima dikumpulkan, kemudian disiarkan secara l;uas. Dari hasil angket tersebut dapat diketahui denga jelas adanya perbedaan besar tentang penamaan filsafat tersebut. Di antara beberapa penamaan yang saling berlainan itu ialah: Filsafat Islam, Filsafat Arab, Filsafat Negara-Negara Islam, Filsafat Dalam Dunia Islam dan lain sebagainya. Pada bagian ini kami ingin mengtengahkan beberapa pendapat mengenai penamaan itu, karena persoalannya memang cukup menarik.
Orang-orang Iran, India dan Turki lebih suka menamakan Filsafat yang ditulis oleh oang Arab: Filsafat Islam, Istilah mereka itu pada zaman dewasa ini tidak mengherankan. Karena mereka telah sangat lama terputus hubungannya dengan Bahasa Arab, kecuali beberapa orang saja yang ahli dengan bahasa itu.

Seorang asisten dosen pada Universitas Terheran berpandapat, bahwa penamaan Filsafat Arab berarti mengeluarkan para ahli fikirnya yang dari Iran, Afganhistan, Pakistan, dan India. Ia lebih suka memilih istilah lain, misalnya: Filsafat Islam atau Filsafat Negeri-Negeri Islam dan sekitarnya.
Profesor Asynah mengatakan: “Jika yang dimaksud dengan istilah itu pemikiran Filsafat yaang tersebar di sebagian permukaan bumi setelah agama Islam dan bahasa Arab meluas kemana-mana. Yaitu pemikiran Filsafat yang dirumuskan dalam Bahasa Arab, atau yang kadang-kadang oleh para penulisnya sendiri dirumuskan dalam bahasa Persia, maka pemisahan sebagian dari pemikiran itu dari bagiannya yang lain merupakan kejanggalan dan tampak dibuat-buat. Apalagi kalau pemisahan itu didasarkan pada alat (bahasa) yang dipergunakan untuk merumuskan pemikiran filsafat itu, atau didasarkan pada keyakinan agama para penulisnya. Bagaimana mungkin kita dapat mengambil sebagian dari pemikiran seorang Filosof yang dituangkan dalam bahasa Arab,sedangkan sebagian lainnya dituangkan dalam bahasa Persia kita abaikan? Bagaimana mungkin kita dapat menolak begitu saja pemikiran seorang Filosof hanya karena ia beragama Yahudi? Bagaimanakah halnya dengan pemikiran Sahruwardi arau Ar-Razi penulis buku Makhariqul-Anbiya? Itulah sebabnya saya menghindari penamaan Filsafat Arab atau Filsafat Islam. Saya lebih suka menyebutnya Filsafat Di Dunia Islam.”

Courban, seorang orientalis Prancis ahli tentang Islam dan Iran mempertahankan istila filsafat Islam. Ia mengatakan : “jika kita berpegang pada penamaan filsafat Arab, maka pemikiran itu menjadi sempit, bahkan keliru." 

Bagaimana kita bisa menempatkan pemikiran Nashir Khasru, misalnya, atau pemikiran Afdhal Kasyani dan para ahli fikir Persia (Islam) lainnya yang hidup pada abad ke-11 hingga abad ke-13. Mereka tidak menuliskan pemikirannya kecuali dalam bahasa Persia! Jika sebutan “Arab” dalam zaman kita dewasa ini mencakup pengertian politik dan kebangsaan dapat dibenarkan, pengertian itu tidak bisa membawa kita kelapangan ilmu lapangan atau sastra. Lagi pula penulis sendiri menolak mengaitkan pengertian keagamaan dengan tanah air atau kebangsaan tertentu. 

Karena itu, istila yang paling tepat dan benar ialah Filsafat Dalam Islam, atau Filsafat Islam, atau Filsafat di Negeri-negeri Islam. Kalau penamaan yang terakhir disebutkan terasa terlampau panjang dan dianggap kurang baik untuk dijadikan istila penulis tetap menolak memberi predikat ‘Muslimah’ (Musulman) pada filsafat tersebut. Sebab penamaan itu masih tetap mencakup keyakinan pribadi filosof yang bersangkutan, sedangkan filsafat Islam mencakup segala hal ihwal, jika kita hendak memasukan para filosof yang beragama Nasrani dan Yahudi kedalam lingkaran pemikiran itu, bolehlah kita menyebut filsafat itu sebagai filsafat di dalam Islam sebagaimana yang dilakukan oleh De Boer.

Orang-orang India juga menentang penamaan filsafat Arab.
Sehubungan dengan itu Profesor Tarashand mengatakan bahwa:

“Penamaan filsafat Arab samasekali tidak sesuai, pertama, karena mereka menekuni bidang ilmu tersebut tidak semuanya orang Arab, bahkan sebagian besar orang Persia Asia Tengah, Andalusia, India dan lain-lain. Pemikiran filsafat tersebut tidak hanya dituangkan dalam bahasa Arab, tapi juga dalam bahasa-bahasa lain, seperti bahasa Persia dan sebagainya. Suatu hal yang lebih penting lagi ialah, pernyataannya bahwa filsafat tersebut kenyataannya bahwa filsafat tersebut tumbuh dari kebutuhan Islam pada argumentasi dalam diskusi keagamaan untuk mempertahankan prinsip-prinsip ajarannya. Pada dasarnya filsafat tersebut menekankan perhatian terhadap kepentingan memperkokoh sendi-sendi aqidah Islam, atau untuk mengungkapkan dasar-dasar filsafatnya, atau untuk menumbuhkan dan membentuk pemikiran keagamaan secara teologis. Filsafat tersebut tidak dapat dipandang sebagai cristisism atau opportunism  yang mengeksploitasi keyakinan agama, karena ia tetap berkisar disekitar pemikiran keagamaan. Adapun orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis buku-buku filsafat cristisism atau pemikiran-pemikiran lain yang terpengaruh oleh Islam, mereka itu patut dimasukan kedalam filsafat Islam secara umum”.

Pada zaman berikutnya muncullah sekelompok kaum penyanggah yang mengartikan Islam tidak sebagai agama saja, tetapi merupakan suatu yang lebih luas, yakni suatu peradaban tertentu. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Profesor Bouzani dari Italia, yang mengartikan filsafat Islam sebagai peradaban, bukan sebagai agama. Ia mengambil contoh Bergson, seorang filosof Yahudi kelahiran Perancis yang memasukan zaman sekarang ini kedalam sejarah agama Nasrani di Eropa. 

Demikian juga pendapa Doktor Ibrahim Madzkur dengan pernyataannya :

“Penamaan filsafat Arab tidak berarti pemikiran filsafat itu hasil karya suatu ras atau suatu bangsa. Saya lebih suka menyebutnya filsafat Islam, karena islam bukan hanya aqidah atau keyakinan melainkan juga peradaban, dan setiap peradaban mencakup segi-segi kehidupan moral material, pemikiran dan perasaan. Jadi filsafat Islam ialah segala studi filsafat yang ditulis didalam dunia Islam, baik penulisnya orang Muslimin Nasrani ataupun Yahudi, saya tidak perlu menyebut kalian Nestorian, jacodian dan Sabean (pemeluk agama Shabiah) sebagai kaum yang merintis studi filsafat. Sebab, sebagaimana anda diketahui Ibnu Maimun (orang Yahudi) adalah penulis karya-karya Al-Farabi dan Ibnu Rusyd”.

Pembicaraan ini jadi berkepanjangan jika penulis mengukit semua yang disebutkan oleh mereka yang menekuni filsafat tersebut. Penulis hendak mengakhiri dengan pendapat yang tertulis dalam buku  yang berjudul Islamic Fhilosophy, sebagai berikut:

“Orang-orang yang menyebut pemikiran itu filsafat Arab beralasan karena pemikiran tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan karena pemikiran filsafat itu pertama kali diterjemahkan dalam bahasa Arab, kemudia disusun oleh filosof dan ditambahkan keterangan-keterangan yang dituangkan dalam bahasa Arab. Akan tetapi harus di ingat, penerjemahan filsafat Yunani kedalam bahasa Arab tidak cukup dijadikan alasan untuk menamakannya filsafat Arab. Sebab berbagai tokoh filsafat pada masa itu bukanlah orang-orang Arab melainkan orang Turki, seperti Al-Farabi dan orang Persia seperti Ibnu Sina, misalnya. Bahkan beberapa filosof menuliskan karya pemikiran mereka kedalam bahasa Persia. Dengan demikian karya pemikiran mereka turut membentuk sebagian dari filsafat yang dinamakan filsafat Islam karena didalammnya terdapat unsur baru yang telah mempengaruhi filsafat Yunani, filsafat Iskandariah dan pandangan filsafat lainnya. Itulah filsafat yang diterjemahhkan ke dalam bahasa Arab. Para filosof pada masa itu berpegang pada pandangan Islam sebagai pedoman dalam usaha mereka mencari persesuaian antara Islam, unsur baru dan pandangan-pandangan filsafat yang lain. Oleh karena itu, pemikiran filsafat tersebut kita namakan saja filsafat Islam dan di dalam istila tersebut tidak mengandung kekisruha sebagaimana yang dikatakan oleh sementara orang”.






Catatan:
1)   Qathan dan Adnan adalah dua kabilah tertua di Semenanjung Arabia yang secara umum dapat dipandang sebagai cikal bakal bangsa Arab.
2)    Shabi-ah adalah Agama kuno di negeri Arab. Sementara ahli sejarah menyebutnya sebagai sisa-sisa peninggalan agama Nabi Ibrahim As. Orang barat menyebutnya Sabean.
3)    “Sejarah Filsafat didalam Islam”. Karangan De Boer (Seorang orientalis Belanda), diterjemahkan kedalam bahasa Arab oleh Muhammad ‘Abdulhadi Abu Raidah.
4)    A.E. El Ehwaniy: (Islamic Fhilosophy”, Anglo-Egyptian Library, Cairo, 1975.


Related Posts: