Oleh: Petrik Matanasi || 19 Februari 2019
19 Februari 1887
Petani Sengsara, Eduard Douwes Dekker Ikutan Menderita
Petani Sengsara, Eduard Douwes Dekker Ikutan Menderita
Eduard Douwes Dekker. tirto.id/Deadnauval |
Douwes Dekker adalah asisten residen yang tiada duanya karena melaporkan Bupati Lebak yang dianggapnya semena-mena.
Eduard Douwes Dekker belum genap 19 tahun waktu tiba di Hindia Belanda
pada awal 1839. Dia ikut kapal Dorothea yang dinakhodai ayahnya. Dia memilih
tinggal di Hindia Belanda dan memutuskan tidak ikut kapal ayahnya berlayar
kembali ke Eropa. Waktu Eduard Douwes Dekker datang, Jawa sedang mengalami
periode panjang penuh penderitaan bernama Tanam Paksa (1830-1870).
Birokrasi kolonial kemudian jadi jalan hidupnya. Sedari muda, dia
memulai karier di birokrasi kolonial. Mulai dari juru tulis, komis, dan pada
1842 diangkat sebagai kontrolir di Natal, Tapanuli, Sumatra Utara. Di periode
ini dia menikmati hidup sebagai amtenar kolonial yang cukup dihormati.
Dari Natal, dia lalu pindah ke Padang. Di situ dia jadi pegawai
bermasalah, karena ceroboh dalam urusan kas pemerintah, hingga pemerintah
kolonial rugi. Dia pun dimusuhi Gubernur Andries Victor Michiels dan diskors
sebagai hukuman atas kelalaiannya itu.
“Di Padang ia menderita kemiskinan dan masyarakat Eropa di sana
memperlakukannya sebagai sampah,” catat Rob Nieuwenhuys seperti ditulis ulang
Dick Hartoko dalam Bianglala Sastra: Bunga Rampai Sastra Belanda tentang
Kehidupan di Indonesia (1979: 98).
Di masa-masa menderita di Padang itu, menulis jadi pelariannya, sebelum
akhirnya dia menuju Jawa.
Waktu di Jawa Barat dia bertemu gadis keturunan bangsawan yang tidak
tajir lagi, Everdine van Wijnbergen. Mereka menikah pada 1846, ketika Eduard
ditugaskan di Purwakarta. Di masa awal pernikahannya ini, posisi Eduard sebagai
pegawai kolonial pulih lagi.
Eduard sempat bertugas di Purworejo dan akhirnya dikirim ke Manado
sebagai sekretaris residen, sejak 1848. Setelah beberapa tahun, dia naik
jabatan lagi sebagai asisten residen di Ambon, dari 1851-1853. Setelah
bertahun-tahun di Indonesia timur, datang perintah baru yang cukup menyenangkan
baginya: pindah ke Jawa—pulau paling maju di zaman kolonial. Pada 1856, dia
dipindahkan ke Lebak dengan posisi tetap sebagai asisten residen.
Si Belanda yang Tidak Tahu Adat
Waktu Douwes Dekker datang sebagai asisten residen di Lebak, bupati
daerah itu adalah Raden Adipati Karta Nata Negara. Di masa itu bupati tidak
ubahnya raja kecil yang ditakuti rakyat. Bupati dan jajarannya juga bagian dari
birokrasi kolonial. Lebak dianggap daerah miskin dan hal ini memengaruhi pemasukan
bupati dan para pejabat di bawahnya. Mereka golongan feodal berkuasa, tapi
miskin di zaman itu. Pada masa kolonial, di mana feodalisme terpelihara, kuasa
bupati dan jajarannya terhadap rakyat jelata sangatlah besar.
Di Lebak, tepatnya di Rangkasbitung, Eduard Douwes Dekker kemudian
melihat bagaimana orang bekerja membersihkan rumput tanpa diupah. Selain itu,
jelang perjamuan agung di kediaman adipati, Douwes Dekker mendengar cerita soal
adanya kerbau-kerbau yang diambil paksa oleh orang-orangnya bupati tanpa bayar
kepada si rakyat jelata pemilik kerbau.
Dalam kondisi itu, rakyat petani diperas dua kali, oleh pemerintah
Belanda dan oleh penguasa feodal. Eduard Douwes Dekker sendiri bagian dari
pemerintah Belanda, gajinya dibayar uang negara yang di antaranya diperoleh
dari hasil bumi yang disetor rakyat.
Eduard Douwes Dekker tentu tahu adanya kewajiban seperlima hasil panen
disetor kepada pemerintah dalam rangka tanam paksa. Dan dengan aksi penjarahan
kerbau dan kerja tanpa bayar itu, di mata Douwes Dekker dan orang-orang waras,
makin membuat rakyat petani makin menderita.
Meski dianggap berlebihan oleh sebagian pihak, Eduard Douwes Dekker
kemudian menggambarkan—dalam laporan kepada atasannya dan terutama dalam novel
legendarisnya, Max Havelaar—bagaimana bupati harus hidup mewah terutama kala
menjamu kerabatnya yang sesama bupati di sebuah hajatan. Demi hajatan itu,
kerbau-kerbau rakyat dirampas kaki tangan bupati.
Mengambil milik orang lain, meski itu orang yang hidup di wilayah
sendiri, bagi Eduard adalah kejahatan. Eduard jelas terlalu naif bagi
masyarakat kolonial yang feodalistis. Barangkali layak juga bagi kaum feodal
dan pendukung mengatakan Douwes Dekker itu orang Belanda yang "tidak tahu
adat".
Hidup seorang rakyat jelata harus dibayar dengan segala apapun yang
dimilikinya seumur hidup kepada penguasa feodalnya. Seorang pemuka masyarakat,
entah itu bupati atau raja, boleh melakukan dan mengambil apa saja di
wilayahnya dan semua yang ada di wilayah itu adalah milik bupati atau raja itu.
Soal kenaifan Eduard itu, Rob Nieuwenhuys dalam Hikayat Lebak (1977)
menyebut, “Apa yang dalam mata orang Barat disebut sebagai 'sewenang-wenang',
'penyalahgunaan kekuasaan', dan 'pemerasan', tidak selalu demikian dalam mata
penduduk” (hlm. 44).
Soal yang terjadi di Lebak—yang disebut Perkara Lebak ini—dilaporkan
Eduard Douwes Dekker ke atasannya.
Laporannya soal bupati yang menyalahgunakan kekuasaan itu tidak
ditindaklanjuti seperti harapannya. Eduard malah disuruh pindah ke Ngawi.
Posisi itu tidak diambilnya. Sementara itu adat kerja gratis kepada bupati dan
setoran-setoran rakyat kepada penguasa terus berjalan.
Soal pemerasan yang dilakukan penguasa pribumi, Jan Breman dalam
Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di
Jawa 1920-1870 (2014) menyebut, “sikap merendahkan yang terang-terangan
ditunjukkan para pejabat kolonial terhadap para bangsawan pribumi disebabkan
oleh kecurigaan bahwa lapisan perantara ini telah memeras penduduk.”
Orang Indonesia di masa sekarang lebih banyak menganggap kejahatan hanya
dilakukan orang-orang Belanda. Di masa itu orang-orang Belanda yang jadi
pejabat kolonial merasa apa yang mereka lakukan lewat tanam paksa itu tidak
jahat. Namun, orang-orang Indonesia di masa sekarang seolah-olah tidak mau tahu
bahwa tanpa para bupati atau raja atau penguasa lokal, kolonialisme tidak akan
berjalan lancar.
Max
Havelaar Kisah Bermasalah
Eduard Douwes Dekker terlalu berkeras. Pada 1857 ia akhirnya mundur dari
pekerjaan yang lumayan prestisius dan menjauhkannya dari kemiskinan itu. Kini
dia harus hidup tanpa pemasukan seperti di masa sebagai asisten residen. Dia
terpukul di masa-masa pengunduran dirinya itu. Dalam suratnya kepada kawannya,
Kruseman, Dekker menyebut dirinya "telah banyak menderita dan banyak
berpikir.”
Dari situlah muncul nama pena baginya: Multatuli.
Dua tahun setelah pengunduran dirinya, waktu di Brusel, Belgia, antara
September hingga Oktober 1859, Eduard Douwes Dekker menuliskan kisahnya sewaktu
jadi asisten residen dalam sebuah roman Max Havelaar.
“Buku ini merupakan sebuah roman, jadi khayalan dan kenyataan bercampur
baur,” catat Rob Nieuwenhuys (hlm. 105).
Novel berjudul lengkap Max Havelaar: Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda
dan pertama kali terbit pada 1860 itu kemudian menggemparkan Belanda. Satu
dekade kemudian, Sistem Tanam Paksa dihapuskan pada 1870.
Seperti ditulis ulang Dick dari Rob: sebagai pegawai departemen dalam
negeri, Douwes Dekker gagal dan tidak paham situasi bahkan dalam kariernya. Tapi
sebagai pengarang ia telah berhasil memengaruhi haluan pemerintah Belanda.
Tanam Paksa memang hilang dan bergantilah dengan masuknya kaum kapitalis yang
menyulap lahan-lahan menjadi perkebunan yang sangat menguntungkan Belanda dan
para pengusaha kapitalis itu.
Max Havelaar belakangan difilmkan oleh Mondial Motion Pictures. Film ini
dirilis pada 1976, namun di masa produksi terjadi masalah. J.B. Kristanto dalam
Katalog Film Indonesia 1926-2007 (2007: 130) menyebut Daniel Albert Peransi
yang jadi ko-sutradara mengundurkan diri di masa penggarapan karena perbedaan
prinsip dalam penuangan kisah. Dalam tulisannya di Suara Pembaruan
(14/12/1987), Peransi mengkritik kisah Max Havelaar.
“Usulan-usulan saya yang penting sekali dalam menggambarkan perlawanan
rakyat Banten terhadap kolonialisme Belanda sebagai latar sosial-politik dan
historis dihilangkan sama sekali. Setelah skenario itu saya baca, ceritanya
menjadi sederhana sekali: Raden Adipati Karta Natanegara, Bupati Lebak, memeras
rakyat, menyalahgunakan kekuasaannya, berpesta pora dan meminjam uang dari
Belanda,” tulis Peransi.
Film Max Havelaar juga
tertahan di Badan Sensor Film (BSF). Meski ada adegan serdadu-serdadu KNIL
Belanda membantai orang-orang kampung, film ini, karena dianggap hanya
memamerkan Bupati Lebak dan kejahatannya, tentu sulit diterima orang-orang
Indonesia. Bagaimanapun, bagi banyak orang Indonesia, yang jahat itu pasti
Belanda, bukan orang Indonesia, termasuk bupati Lebak zaman Douwes Dekker.
Douwes Dekker meninggal pada 19 Februari 1887, tepat hari ini 132 tahun
silam. Karyanya dikenang sebagai novel yang menginspirasi gerakan melawan
kolonialisme. Untuk mengenang jasanya, pada awal 2018 didirikanlah museum
antikolonialisme di Rangkasbitung. Museum itu diberi nama Museum Multatuli.
Eduard gagal dalam karier birokrasi, tapi sebagai pengarang ia berhasil memengaruhi haluan pemerintah Belanda._________________________________________
Penulis :
Petrik Matanasi
Editor :
Ivan Aulia Ahsan