Oleh: Iswara N Raditya || 8 November 2017
8 November 1512
Perang Ternate-Portugis vs Tidore-Spanyol
Ilustrasi Portugis di Maluku. tirto.id/Wikimedia Commons |
Portugis dan Spanyol berebut pengaruh di Maluku pada 1512 — pertanda kolonialisme di Nusantara telah dimulai.
Usai menaklukkan Malaka pada 1511, rombongan besar Portugis bersiap
melanjutkan misi. Sasarannya kali ini adalah Maluku, kepulauan nun di timur
sana yang konon menjadi surga rempah-rempah. Puluhan kapal yang mengangkut
ratusan orang pun disiapkan untuk menjelajahi samudera yang mengelilingi
kawasan Nusantara.
Kapal-kapal berbendera Portugis itu berlayar menyusuri perairan Jawa.
Transit sejenak di Gresik, kemudian melintasi Kepulauan Sunda Kecil sebelum
mengarahkan tujuan akhir ke gugusan pulau-pulau kaya raya di Maluku.
Armada besar tersebut akhirnya tiba awal November 1512. Namun, Portugis
bukanlah satu-satunya bangsa Eropa yang terpikat oleh kekayaan Maluku. Tanggal
8 di bulan dan tahun yang sama, Spanyol juga berlabuh di kepulauan itu. Maka,
persaingan sekaligus pertempuran sesama penghuni kawasan Andalusia itu tinggal
menunggu waktu.
Andalusia adalah suatu kawasan khusus yang terletak di ujung barat daya
Eropa atau di sekitar Semenanjung Iberia. Wilayah inilah yang menjadi pintu
gerbang masuknya pasukan Islam Bani Umayyah dari Timur Tengah ke Eropa setelah
menaklukkan Afrika Utara pada abad ke-8 M (W. Montgomery Watt, A History of
Islamic Spain, 1967:17).
Sebagian wilayah Spanyol dan Portugis masuk dalam area Andalusia yang
pernah dikuasai Bani Umayyah cukup lama. Dan, pada abad ke-16 M, dua bangsa
bersaudara tersebut bertemu di Maluku untuk saling menanamkan pengaruh demi
memperebutkan rempah-rempah yang sangat laku di Eropa.
Ketika Portugis tiba di Kepulauan Maluku, dua kerajaan Islam terbesar di
kawasan itu, yakni Kesultanan Ternate dan Tidore, sedang berseteru. Kesempatan
inilah yang kemudian dimanfaatkan Portugis untuk menjajaki kemungkinan turut
serta dalam pergocohan itu.
Baca Juga: Al-Zahrawi, Mahaguru Dokter Bedah Dari Andalusia
Baik Ternate maupun Tidore sebenarnya sama-sama mengajak Portugis untuk
bekerjasama. Kedatangan Spanyol di Maluku membuat Portugis harus segera
menentukan pilihan. Portugis menyadari bahwa mereka wajib memperkuat posisi di
kepulauan rempah-rempah itu (Bernard Hubertus Maria Vlekke, Nusantara: Sejarah
Indonesia, 2008:106).
Akhirnya, Portugis memilih bersekutu dengan Ternate. Dengan sendirinya,
pilihan itu membawa mereka ke dalam pertentangan dengan saudara sesama penghuni
kawasan Andalusia: Spanyol. Ya, Spanyol yang datang belakangan memilih berdiri
di sisi Tidore untuk menghadapi Ternate dan Portugis.
Pilihan Portugis kepada Ternate didasari iming-iming. Kala itu, penguasa
Ternate Sultan Bayanullah menjanjikan monopoli perdagangan rempah-rempah,
terutama cengkeh. Sang raja juga mengizinkan Portugis membangun pos atau kantor
di wilayah Ternate.
Setelah sekian lama terlibat perang, Ternate dengan bantuan Portugis
ternyata lebih unggul ketimbang koalisi Tidore dan Spanyol. Perseteruan antara
dua bangsa Eropa itu baru benar-benar usai setelah Perjanjian Zaragoza
ditandatangani pada 22 April 1529.
Dari Kawan Menjadi Lawan
Sultan Bayanullah wafat pada 1521 dan meninggalkan dua pewaris takhta
yang masih berusia sangat belia. Untuk sementara, kendali pemerintahan dipegang
dua orang: Permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese (adik kandung sultan).
Permaisuri Nukila berasal dari Kesultanan Tidore. Karena itu, setelah
konflik antara kedua kesultanan usai, sang permaisuri ingin menyatukan kembali
Tidore dan Ternate. Harapannya: gabungan kerajaan itu akan dipimpin salah satu
dari dua putranya, yakni Pangeran Hidayat dan Pangeran Abu Hayat.
Namun, upaya itu ternyata mendapatkan tentangan dari Pangeran Taruwese.
Adik lelaki Sultan Bayanullah ini berniat menguasai takhta Ternate, dan juga
Tidore, untuk dirinya sendiri. Perang saudara pun sudah di depan mata.
Permaisuri Nukila mendapatkan dukungan dari Tidore, sementara Portugis
memilih berada di pihak Pangeran Taruwese (Sejarah Sosial Kesultanan Ternate,
2010:9). Berkat bantuan Portugis, Pangeran Taruwese berhasil memenangkan
pertikaian keluarga itu. Pangeran Hidayat, putra pertama mendiang Sultan
Bayanullah dan Permaisuri Nukila, tewas pada usia yang masih belia.
Namun, Portugis justru menyingkirkan Pangeran Taruwese dengan cara
membunuhnya. Secara otomatis, yang berhak naik takhta adalah Pangeran Abu
Hayat. Ia dinobatkan sebagai Sultan Ternate ke-21 pada 1529 dan bergelar Sultan
Abu Hayat II.
Baca Juga: Kerajaan Tanah Hitu danJurang Dua Agama di Maluku
Ternyata, sultan baru ini sangat membenci Portugis karena dianggap
terlalu jauh mencampuri urusan internal kesultanan. Karena itu, Portugis harus
mencari cara untuk melengserkan Sultan Abu Hayat II. Pada 1531, sultan dituding
sebagai otak pembunuhan Gubernur Portugis Gonzalo Pereira, sehingga ditangkap
dan diasingkan ke Malaka sampai wafatnya.
Portugis kemudian memengaruhi dewan kerajaan agar mengangkat Pangeran
Tabariji, saudara tiri Sultan Abu Hayat II, sebagai pemimpin Ternate
berikutnya. Upaya ini berhasil. Namun, Sultan Tabariji lama-lama kesal dengan
Portugis dan berniat melawannya. Portugis kembali menggunakan cara lama tapi
efektif: sang sultan difitnah dan dibuang jauh ke Gowa, India, pada 1534.
Tamatnya Kiprah Portugis
Di India, Sultan Tabariji dipaksa mengakui Ternate sebagai bagian dari
Kerajaan Portugis. Ia juga dipaksa masuk Kristen. Selain itu, Portugis juga
meminta Ambon, Buru, dan Seram untuk diserahkan. Dengan terpaksa, Sultan
Tabariji akhirnya setuju dengan imbalan ia akan dipulangkan ke Ternate.
Kabar tersebut membuat Kesultanan Ternate gempar. Segenap rakyat Ternate
menolak kembalinya Sultan Tabariji lantaran dianggap telah berkhianat sekaligus
murtad. Penentang utamanya adalah Sultan Khairun yang naik takhta setelah
Sultan Tabariji diasingkan ke India. Khairun adalah saudara tiri Tabariji.
Sultan Tabariji, sementara itu, tidak pernah pulang ke Ternate karena
meninggal dunia dalam perjalanan. Portugis harus menghadapi lawan baru dalam
diri Sultan Khairun. Awalnya, sultan belia ini diremehkan karena dianggap masih
bocah. Namun, ternyata ia mampu bertahan cukup lama di singgasana Ternate.
Portugis pun akhirnya menjebak Sultan Khairun dan membunuhnya secara
licik pada 1570 (Maryam R.L. Lestaluhu, Sejarah Perlawanan Masyarakat Islam
Terhadap Imperialisme, 1988:25). Pembunuhan Sultan Khairun tak pelak memantik
murka rakyat Ternate dan Maluku terhadap Portugis. Dipimpin Sultan Baabullah –
putra Sultan Khairun – yang masih muda, peperangan melawan Portugis berkobar
secara besar-besaran.
Baca Juga: Sultan Baabullah Sang Penakluk
Sultan Baabullah bersumpah akan membalaskan dendam sang ayah. Ia tidak
akan berhenti berperang sebelum orang Portugis terakhir pergi dari wilayah
Ternate dan seluruh Kepulauan Maluku (Djokosurjo, Agama dan Perubahan Sosial,
2001:126). Kekuatan gabungan itu berjumlah 2.000 kapal tempur dengan lebih dari
120.000 prajurit.
Ternate merangkul berbagai kekuatan dari seluruh Kepulauan Maluku,
Makassar, Jawa, bahkan Melayu (Sumatera), yang membuat Portugis kewalahan.
Pertempuran besar pun berlangsung. Dengan taktik jitunya, yakni mengepung dan
menutup seluruh akses benteng milik Portugis, Sultan Baabullah akhirnya meraih
kemenangan gemilang pada 1575.
Pasukan Portugis lalu tercerai-berai. Kebanyakan melarikan diri ke
negeri-negeri lain di Kepulauan Maluku, tapi tetap saja diusir, dan akhirnya
sebagian kabur ke Pulau Timor. Ambisi Portugis yang sejak lama ingin menguasai
perdagangan dan wilayah Maluku pun kandas.
Riwayat Portugis di Nusantara benar-benar tamat setelah kehadiran
Belanda di Maluku pada 1605. Di sisi lain, kekuatan Ternate juga semakin
melemah setelah Sultan Baabullah wafat pada 1583. Kelak, Belanda lah yang
berhasil menguasai Maluku, bahkan nyaris seluruh wilayah Nusantara, dan
mengendalikannya selama berabad-abad.
Portugis tidak pernah bisa menaklukkan dan menguasai Maluku sepenuhnya.
_________________________________________
Reporter :
Iswara N Raditya
Penulis :
Iswara N Raditya
Editor : Ivan Aulia Ahsan