Oleh: Iswara N Raditya || 16 Desember 2017
16 Desember 1817
Perjuangan Pattimura Purna di Tiang Gantungan
Ilustrasi Pattimura. tirto.id/Gery
Sebuah benteng.Tali di tiang gantung bergoyang-goyang.
Sepanjang tahun 1817 adalah masa-masa yang mengesalkan bagi Belanda.
Baru saja mendapatkan kembali Kepulauan Maluku dari Inggris, yang terjadi
kemudian justru tak seindah yang semula dibayangkan. Di bawah komando Kapitan
Pattimura, rakyat Maluku kompak melawan Belanda dan menimbulkan kehancuran bagi
mereka.
Belanda sadar, sepak terjang Pattimura harus segera dihentikan jika tidak
ingin menderita kerugian yang semakin besar. Tapi, itu bukan perkara mudah.
Pattimura adalah sosok yang amat tangguh, pemberani, dan sukar dikalahkan.
Terlebih lagi, ia didukung segenap rakyat serta raja-raja kecil di Kepulauan
Maluku.
Maka, Belanda menyiapkan taktik khasnya, devide et impera, untuk
memecah-belah kesolidan rakyat dan para pemimpin Maluku. Upaya itu ternyata
berhasil. Berkat bantuan beberapa sekutu Pattimura yang berhasil dipengaruhi,
sang kapitan akhirnya bisa ditangkap, dan dijatuhi hukuman mati.
Tanggal 16 Desember 1817, tepat hari ini persis dua abad lalu, Pattimura
dan beberapa orang pejuang Maluku lainnya, yakni Anthony Reebook, Philip
Latumahina, serta Said Parintah, digantung di depan Benteng Nieuw Victoria,
Ambon.
Pattimura Beragama Islam?
Pattimura menyandang nama Thomas Matulessy saat dilahirkan pada 8 Juni
1783 di Haria, Pulau Saparua, Maluku. Mengenai asal-usul Pattimura ternyata
masih menjadi perdebatan. Setidaknya ada dua versi mengemuka terkait hal ini.
Menurut buku tentang Pattimura versi pemerintah RI yang pertama kali
diterbitkan, Sedjarah Perdjuangan Pattimura: Pahlawan Indonesia karya M. Sapija
(1960), Pattimura masih memiliki darah keluarga Kerajaan Sahulau yang terletak
di Teluk Seram bagian selatan, sebagaimana dituliskan sebagai berikut:
“… bahwa pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari
Nusa Ina [Seram]. Ayah beliau yang bernama Antoni Matulessy adalah anak dari
Kasimilali Pattimura Matulessy, sedangkan yang tersebut terakhir ini adalah
putera Raja Sahulau.” (hlm. iii).
Versi awal dan pertama ini dijadikan rujukan hingga muncul versi lain
tentang asal-usul Pattimura, termasuk agama yang dipeluknya. Versi kedua ini
dikemukakan Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah Volume I (2009) yang
menegaskan pemaparan berbeda mengenai Pattimura.
Disebutkan, nama asli Patimura adalah Ahmad Lussy atau Mat Lussy, lahir
di Hualoy, Seram Selatan. Suryanegara menyebut Pattimura merupakan bangsawan
dari Kerajaan Sahulau yang diyakininya telah menganut ajaran Islam di bawah
pemerintahan Sultan Kasimillah atau yang dalam bahasa Maluku disebut
Kasimiliali (hlm. 200).
Ditegaskan kembali oleh Suryanegara, perlawanan rakyat Maluku yang
dipimpin Pattimura pada 1817 terjadi akibat penindasan dan kekejaman penjajah
Protestan Belanda. Di Ambon, lanjutnya, penyandang nama Pattimura adalah
muslim. Oleh karena itu, Suryanegara menilai salah jika dalam penulisan
sejarah, Pattimura disebut seorang penganut Kristen (hlm. 202).
Dua versi ini ada kesamaan, yakni tentang Kerajaan Sahulau, termasuk
lokasi dan nama rajanya, meskipun tempat lahir Pattimura disebutkan berbeda.
Hanya saja, versi pertama dari M. Sapija, yang menjadi versi “resmi” tentang
Pattimura, tidak menyebutkan secara gamblang apa agama yang dianut oleh sang
kapitan. Demikian pula buku-buku lain yang merujuk pada versi ini.
Pemimpin Rakyat Maluku Pattimura tumbuh ketika Kepulauan Maluku
mengalami masa peralihan penguasaan dari Belanda ke Inggris sejak tahun 1798.
Kala Inggris mulai berkuasa, Thomas Matulessy alias Pattimura muda masuk dinas
militer (Korps Ambon) bentukan negeri Britania Raya itu hingga mencapai pangkat
sersan (Wajah dan Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional, Volume 1-2, 1983:53).
Tanggal 13 Agustus 1814, Inggris dan Belanda menyepakati Traktat London
(Rusdiat & Sulaiman T.S., Api nan tak Kunjung Padam, 1983:3). Salah satu
poin penting yang menjadi hasilnya adalah bahwa Inggris harus mengembalikan
wilayah di Nusantara yang semula merupakan hak milik Belanda, termasuk
Kepulauan Maluku.
Kembali berada di bawah cengkeraman Belanda menimbulkan petaka bagi
rakyat Maluku. Belanda memberlakukan kebijakan yang sangat merugikan rakyat,
termasuk monopoli perdagangan rempah-rempah, menetapkan pajak tanah (landrente)
yang tinggi, memindahkan penduduk untuk dijadikan pekerja paksa, hingga
persoalan pelayaran Hongi (hongitochten).
Situasi ini tak pelak membuat rakyat Maluku semakin sengsara dan miskin.
Tak hanya berbagai kebijakan yang mencekik, sikap para petinggi Belanda juga
amat tak terpuji. Menurut M. Sapija, mereka bertindak kasar dan culas terhadap
rakyat (hlm. 35).
Belanda juga melanggar Pasal 11 dalam Traktat London yang memuat
ketentuan bahwa seiring berakhirnya masa pemerintahan Inggris di Maluku, maka
Korps Ambon seharusnya dibubarkan dan para anggotanya dibebaskan, apakah akan
masuk dinas militer bentukan Belanda atau keluar.
Akan tetapi, yang terjadi kemudian adalah Belanda memaksakan kehendaknya
dengan tetap mempekerjakan para tentara eks Korps Ambon (J.B. Soedarmanta,
Jejak-jejak Pahlawan: Perekat Kesatuan Bangsa Indonesia, 2007:199P). Inilah
yang membuat Pattimura memutuskan untuk melawan, juga karena sudah tidak tahan
lagi melihat penderitaan rakyat Maluku.
Keinginan Pattimura mendapat sambutan dan dukungan penuh dari segenap
rakyat serta raja-raja juga tokoh-tokoh adat. Pada 14 Mei 1817, Pattimura
diangkat sebagai pemimpin dan panglima perang (kapitan) untuk memimpin
perlawanan terhadap Belanda (Arya Ajisaka & Dewi Damayanti, Mengenal
Pahlawan Indonesia, 2010:9).
Dikhianati dan Dihukum Mati
Segera setelah diresmikan sebagai pemimpin rakyat Maluku, Kapitan
Pattimura segera menyusun siasat untuk menyerang pos-pos Belanda. Dalam
perjuangan ini, Pattimura didukung tokoh-tokoh pejuang Maluku lainnya, termasuk
Anthony Reebook, Philip Latumahina, Melchior Kesaulya, Said Parintah, juga
Paulus Tiahahu beserta putrinya, Christina Martha Tiahahu.
Operasi penyerangan pun dimulai. Tanggal 16 Mei 1817, catat M. Sapija,
pasukan Pattimura berhasil merebut Benteng Duurstede dan menewaskan Residen
Johannes Rudolph van den Berg beserta 19 orang prajurit Belanda (hlm. 69).
Pattimura sekuat tenaga mempertahankan benteng dari serbuan Belanda yang
bergantian datang. Dalam Pattimura-Pattimura Muda Bangkit Memenuhi Tuntutan
Sejarah karya David Matulessy (1979) dikisahkan, pasukan Belanda yang
berkekuatan 200 tentara menyerbu pada 20 Mei 1817, namun luluh-lantak dan hanya
tersisa 30 orang saja yang selamat (hlm. 70).
Rentetan perang juga terjadi di titik-titik krusial lainnya, baik di
darat maupun di laut. Kemenangan demi kemenangan pun diraih pasukan Pattimura,
termasuk dalam pertempuran di Waisisil, Hatawano, Hitu, hingga Seram Selatan.
Belanda yang semakin terdesak lantas berpikir keras demi menemukan cara
untuk menghentikan sepak-terjang Pattimura yang kian menakutkan. Akhirnya,
devide et impera alias politik pecah-belah pun diterapkan. Belanda, tulis M.
Sapija, berhasil memengaruhi tokoh-tokoh rakyat yang dirasa tidak suka kepada
Pattimura, termasuk Pati Akoon dan Dominggus Thomas Tuwanakotta (hlm. 124).
Baca juga: Sultan Baabullah SangPenakluk
Hasilnya mujarab. Berkat informasi dari Pati Akoon dan Dominggus Thomas
Tuwanakotta, strategi pasukan Pattimura diketahui Belanda. Perlawanan rakyat
Maluku di beberapa tempat dapat dipatahkan, bahkan Benteng Duurstede mampu
kembali direbut Belanda.
Atas informasi dari orang dalam itu pula, Belanda akhirnya bisa
menangkap Pattimura yang saat itu sedang berada di Siri Sori, Maluku Tengah,
pada 11 November 1817. Menurut Soedarmanta, Pattimura ditangkap bersama
beberapa orang kepercayaannya (hlm. 201).
Belanda menawarkan kerjasama kepada Pattimura, namun selalu ditolak
mentah-mentah. Tak ada pilihan lain, Belanda pun menjatuhkan hukuman mati.
Akhirnya, pada 16 Desember 1817, Pattimura bersama Anthony Reebook, Philip
Latumahina, dan Said Parintah dihukum gantung di depan Benteng Nieuw Victoria,
Kota Ambon.
Kapitan Pattimura gugur di tiang gantungan pada usia yang masih muda, 34
tahun. Pada 6 November 1973, pemerintah Republik Indonesia menetapkannya
sebagai Pahlawan Nasional.
Ada sebuah versi yang meyakini bahwa Kapitan Pattimura adalah seorang Muslim.
Penulis : Iswara N Raditya
Editor : Ivan Aulia Ahsan