manawaLog - Tulisan primer ini
adalah refleksi ontologis dari upaya untuk meleburkan dan mengsingkronisasikan
relasi-relasi objektif antara perkataan MARHENISME ajaran bung Karno dan
tradisi "Pela Gandong" di Maluku yang sudah tumbuh subur ratusan
tahun di tubuh masyarakat Maluku.
Bermula dari pertanyaan
teoritis apa dan bagaimana singkronitas antara "Marhaenisme dan "Pela
Gandong"itu?? Dan kemudian berupaya untuk sistesiskan kedua perkataan ini
dalam presfektif realitas sosial!
Presfektif Sosial “Pela
Gandong”
Negara Indonesia adalah
negara kaya akan jenis dan ragam, budaya,bahasa daerah dan suku.
Jenis-jenis keragaman
itu sudah tumbuh subur beratus-ratus tahun lamanya di dalam pergaulan hidup
masyarakat Indonesia.
Bahkan oleh para leluhur
keberagaman itu di jadikan sebagai alat untuk memperkuat dan membangun bangsa
ini dan di ikat dalam satu semboyan "BHINEKA TUNGGAL IKA" secara
sosiologis dan politik kultural yang di kontruksikan untuk membangun bangsa ini
tidak terlepas dari anatomi perkembangan historis dan kultural yang sarat
dengan kebersamaan, saling tolong-menolong, menghargai satu sama lain. Anatomi
sub-kultural itu di jadikan sebagai instrumen negosiasi konflik.
Sejarah telah membuktikan kultur masyarakat Indonesia yang sudah begitu lama hidup berdampingan,
saling dan bergaul secara harmonis, menjaga toleransi antar umat beragama
katakan saja Maluku dengan tradisi pela gandongnya yang masih subur dan tetap
terjaga.
"Pela Pandong"
menjadi satu refleksi objektif historikal yang ternyata masih kuat,
ikatan persaudaraan di tengah-tengah gebiarnya geterogenitas suku bangsa dewasa
ini memiliki tantangan tersendiri.
Pada masa penjajahan
dulu bangsa kolonial katakanlah portugis dan belanda pernah mencobah untuk
mempertentangkan agama-agama yang ada di Maluku, untuk kepentingan monopoli
politik dan ekonomi.
Akan tetapi para leluhur
sadar betul akan upaya pejat para kolonial itu, bahwa masyarakat Maluku sedang
di adudomba dan ingin mengikis nilai-nilai kultural itu.
Baca Juga : GMNI - Sebagai Gerbong Penjaga Toleransi
Pendekatan Terminologi
Pela berasal dari kata
"pila" yang bermakna membuat sesuatu untuk bersama!!.
Adapun yang
menghubungkan kata "pela" dengan "pela-pela"
yang berarti saling tolong-menolong. "Pela" juga bisa di
artikan pekerjaan saling membantu satu sama lain. Tujuannya untuk menjaga
persatuan, persaudaraan/kekeluargaan antar 2 desa/lebih, dan saling merasakan
senasip dan sependeritaan.
Sebagai institusi nilai
yang hidup di level masyarakat desa/negeri atau dalam sebutan lainnya.
Masyarakat Maluku sangat mengimani "Pela Gandong" sebagai jargon
penyelesaian berbagai sengketa-sengketa politik, ekonomi maupun sosial.
Pela gandong
muncul karena ada ikatan keturunan, biasanya antara negeri satu dengan negeri
yang lainnya, memiliki hubungan keturunan.
Pela gandong juga bisa
terjadi antara negeri satu dengan negeri yang lain yang menganggap diri mereka
bersaudara walau berbedah agama dan bahasa maka bisa terjadi pela gandong,
faktor sosiologis inilah yg harus dan hendak di jaga agar bangsa Indonesia yang
kaya akan ragam budaya ini bisa tumbuh dan menjadi bangsa yang besar.
Suprastruktur sosial itu diikat berupa perjanjian-perjanjian yang mengikat, adapula acara-acara adat
seperti panas gandong sala satu acara adat yang di bentuk untuk mengingat
kembali jalinan persaudaraan itu.
Hubungan – Pela Gandong
memiliki bias yang sangat penting di mana semua elemen masyarakat turut serta
untuk menjunjung tinggi persatuan dan persaudaraan. Dengan animo ini akan
menjadi tolak ukur untuk menghidupkan negosiasi ketika ada
sengketa/kesalapahaman yang berpotensi konflik.
Selain mengikat
negeri-negeri sedaratan, juga mengikat negeri-negeri berlainan pulau serta
mengikat antar etnis dan agama.
Selama ini tradisi ini
mampu menyelesaikan perselisihan paham di tengah-tengah masyarakat yang
biasanya terjadi karena pemaknaan tentang ajaran agama dan bias sejarah,
enisitas dan kepentingan politik dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Baca juga : Kontemplasi Kosmos
Marhaenisme Ideologi
Persaudaraan
Secara garis besar di
atas telah di uraikan secara sederhana dan objektif tentang ruang lingkup dari
"Pela Gandong".
Maka saya mengajak untuk
memahami dengan sederhana gambaran singkat tentang Marhaenisme dan hubungan
teoretis di dalamnya.
Marhaenisme adalah hasil
refleksi-ontologis dan epistemologis yang di kembangkan dari pemikiran presiden
pertama Republik Indonesia "Ir. Soekarno". Marhaenisme dalam ajaran
bung Karno adalah sintesis dari filsafat neo-marxis yang mengidamkan satu
tatanan masyarakat yang adil dan makmur di dalamnya tidak ada lagi kelas-kelas yang
saling bertentangan, dan saling menindas untu hidup dalam iklim persaudaraan
dan persatuan.
Ide marxisme ini di
adopsi di nusantara sesuai dengan kultur dan natur bangsa Indonesia.
Bung Karno katakan: “Marxisme
menitik-fokuskan perhatiannya yang pada ploretar yang bergerak di wilayah industri”. Sedangan psikologis masyarakat Indonesia bukan ploletar semata
tapi lebih kompleks dari pada itu yaitu kaum Marhaen.
Komunitas ini menjadi mayoritas masyarakat yang hidup di Indonesia, mereka bukan hanya proletar yang tidak memiliki alat-alat
produksi tapi jauh daripada itu.
Mereka ada yang memiliki
dan ada pula yang tidak memiliki alat produksi sama sekali. Tapi kondisi
ekonomi masyarakat Indonesia sama-sama sangat memprihatinkan, di sebabkan karena sistem.
Sistem politik dan
ekonomi yang di bangun yang membentuk kondisi kehidupan mereka. Sistem inilah
yang di sebut sebagai sistem penindasan manusia atas manusia!.
Marhaenisme di ambil
dari nama yang merupakan sosok petani miskin yang di temui Soekarno yang
bernama Marhen, petani ini yang memiliki alat produksi tapi tetap miskin
karena ulah dari sistem pada saat itu.
Kondisi keprihatinan para petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bung Karno untuk mengadopsi
gagasan kaum ploletar ala Marxisme kala itu, dan di jadikan sebagai teori
perjuangan untuk mempersatukan dan membangun persaudaraan senasib oleh seluruh
bangsa Indonesia untuk membongkar sistem penindasan yang terjadi di Nusantara.
Idiologi Marhaenisme
sesungguhnya ialah marwah dari bangsa dan negara Indonesia di mana tidak adanya
batas pembedah untuk semua kelas-kelas sosial di Indonesia.
Oleh karena itu, Marhenisme menitik-beratkan perhatian untuk menentang penindasan manusia atas
manusia, bangsa atas bangsa.
Mempersatukan masyrakat,
membangun persaudaraan dan mempererat serta memperkokoh talih persaudaraan
dengan semangat kesamaan nasib itulah maka setiap bangsa Indonesia harus
menjaga toleransi atas etnis, agama, suku dan budaya.
Unsur-unsur pembentuk
Marhaenisme
Secara teoretis
Marhaenisme terbentuk dari 3 (tiga). Unsur pemikiran, yang nantinya 3 unsur ini
akan di jabarkan menjadi 5 (lima) unsur oleh bung Karno dalam sidang
BPUPKI di sebut sebagai Pancasila, antara lain:
-
Sosio-Nasionalisme
-
Sosio-Demokrasi
-
Ketuhanan yang Maha Esa.
Sosio- Nasionalisme: adalah nasionalisme masyarakat Indonesia.
Nasionalisme yang bukan saja mencintai bangsa Indonesia tapi nasionalisme yang
tumbuh di taman sarinya internasionalisme. Nasionalisme Indonesia adalah rasa
cinta terhadap manusia dan kemanusiaan.
Nasionalisme Indonesia
di bangun di atas dasar persatuan, persaudaraan dan toleransi antar golongan
antar kelas sosial .
Sosio-Nasionalisme
menghendaki adanya satu sistem sosial dunia yang hidup dengan damai dengan
penuh persaudaraan tanpa adanya penindasan manusia atas manusia, bangsa atas
bangsa. Oleh sebab itu, maka Sosio-Nasionalisme menghendaki persaudaraan antar
agama, suku dan etnitas.
Cita-cita sistem sosial
inilah yang idam-idamkan oleh bung Karno dengan nama sistem sosial yang disebut
Gotong-Royong.
Bung Karno menyatakan
sosio-nasionalisme menghendaki perjuangan untuk mengemansipasi nasion tidak
terpisakan dengan mendamaikan nasion-nasion lainnya dunia, untuk mencapai
masyarakat tanpa kelas atau masyarakat sama rasa-sama rata/adil dan makmur.
Oleh karena itu, pemahaman
tentang Sosio-Nasionalisme atau nasionalisme Indonesia sebagai refleksi dari
kultur dan natur bangsa indonesia yang mencintai sesama manusia yang hidup
tolong-menolong,membanting tulang bersama, karena nasionalisme Indonesia adalah
nasionalisme yang hidup di atas prinsip-prinsip persatuan dan persaudaraan.
Sosio-Demokrasi: adalah demokrasinya rakyat. Demokrasi
yang bukan hanya rakyat/kaum Marhaen yang menguasai politik, tapi juga ekonomi.
Demokrasi Indonesia
bukan seperti demokrasi barat yang hanya demokrasi di lapangan politik tapi
demokrasi Indonesia adalah demokrasi di mana rakyat mengusai negara baik
politik ekonomi maupun kebudayaan.
Demokrasi Indonesia
menghendaki satu manifestasi persatuan dan persaudaraan.
Selama 350 tahun
lamanya, bangsa Indonesia telah di jajah oleh satu sistem ekonomi-politik yang
sangat menindas itu yang melatar belakangi bahwa demokrasi indonesia yang
mencari keselamatan manusia dan memberi kemakmuran dan keadilan sosial
bagi masyarakat.
Demokrasi Indonesia
ditekankan pada prinsip “permusyawaratan dan kebijaksanaan” agar perdebatan di
lembaga-lembaga permusyawaratan harus memprioritaskan nilai toleransi, saling
menghargai, menjaga persaudaraan dan suasana sidang rakyat, sehingga dari
pembenturan antara ide-ide itu dapat ajukan sebagai nilai persaudaraan.
Demokrasi-dengan
semangat musyawarah yang menjadi karakter asli bangsa Indonesia. Inilah yang
akan mewarnai rancang-bangun sistem ketatanegaraan Indonesia untuk mencapai
sosialisme ekonomi dan yang benar adil.
Maka, Sosio-Demokrasi
melihat seluruh masyarakat untuk hidup dalam satu gerbong, persatuan,
persaudaraan, hidup tolong menolong membangun negara dan bangsa agar penguasan
alat-alat produksi negara bisa di kuasai dan di kontrol baik itu di lapangan
politik ekonomi maupun di lapangan sosial untuk mencapai keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Ketuhanan yang maha Esa
- Menurut bung Karno
ketuhanan yang Maha Esa haruslah tumbuh di atas nilai-nilai tolerasi yang sudah
mengakar kuat di dalam nilai, dan norma sosial-kultural serta budih pekerti
yang luhur.
Ke-Tuhan-an yang hormat
menghormati agama satu dengan agama yang lain. Dalam pusaran kuntinyuitas
perjalanan historis bangsa Indonesia, agama tidak pernah
sekedar mengurusi urusan-urusan personal semata akan tetapi juga terlibat aktif
mengolah urusan-urusan publik.
Masyarakat yang hidup di
kepulauan nusantara ini tidak memiliki satu budaya yang pahit seperti
bangsa-bangsa eropa yang secara total dan sengaja, melibatkan agama di ruang-ruang
politik untuk kepentingan perut buncit mereka dengan memakai dalil tuhan untuk
memeras dan menindas umat manusia.
Lebih dari itupula
penyemaian doktrin sekularisme politik oleh rezim kolonial berjalan secara
kontinyu-simultatif dengan peran agama sehingga membangkitkan persatuan
perlawanan di dalam masyarakat.
Teoretis-Komparatif
Melalui tulisan minor
dan sederhana di atas sudah menguraikan gambaran-gambaran singkat secara argumentatif tentang perkataan "Marhaenisme dan "Pela Gandong".
Dalam pesfektif
teoretis-komparatif ini saya ingin memperbandingkan apa unsur-unsur dan inti
sari dari kedua narasi di atas.
Bahwa “Marhaenisme”
sebagai ajaran bung Karno dan "Pela Gandong" merupakan satu
refleksi dari kepribadian bangsa Indonesia, tentunya bukan saja budaya
masyarakat Maluku dengan "Pela Gandongnya" tapi masih banyak
budaya-budaya lain di seluruh Indonesia ini yang masih memiliki kandungan akan
arti persatuan, persaudaraan dan nilai Gotong-royong.
“Pela Gandong”
memiliki persamaan-persamaan dan hubungan-hubungan substansial yang terserap kuat
di dalam fikiran-fikiran bung karno tentang Marhaenisme, terutama pada
prinsip-prinsip persatuan, persaudaraan dan toleransi sebagai kerangka nilai
MARHAENISME.
Dalam naskah pidato bung
Karno 1 juni 1945 yang di kenal dengan hari lahirnya Pancasila. Di depan sidang
BPUPKI, bung Karno dengan lugasnya berbicara gagasan persatuan, persaudaraan
dan toleransi yang lama hidup sebagai kultur dan natur bangsa Indonesia.
"kita mendirikan negara indonesia yang kita semua harus mendukungnya, semua buat semua, bukan Kristen buat Indoneaia, bukan golongan Islam buat golongan Indonesia, bukan Hindhu buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Nitisomito buat Indonesia, tapi semua buat semua, perkataan sosio-nasionalisme, sosia-demokrasi dan ketuhanan jika di peras maka akan menjadi satu yaitu Gotong- Royong. Negara Indonesia adalah negara gotong-royong”.
Dari uraian pidato bung
karno di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa “Pela Gandong” sala
satu tradisi yang menghendaki satu sistem sosial dimana semua golongan baik
agama, suku dan etnisitas. Semua harus bersatu paduh, bekerja bersama, membanting tulang dan keringat secara bersama-sama, saling hormat menghormati, saling tolong menolong manusia
antar manusia, masyarakat antar masyarakat, negeri antar negeri maupun bangsa
antar bangsa.
Inilah refleksi
dari soaialisme Indonesia!!!
Semoga tulisan sederhana ini bernilai guna bagi pembaca!
MERDEKA!.
_____________________________________________
Penulis: Bung Adam Wailissa
Editor : Alie Al-Hakim