BERPIKIR YANG SADAR

manawaLOG - Manusia mempunyai satu titik sumber sinergi yang mendorong atau menstimulasi seluruh aktivitas tubuh untuk berinteraksi dengan dunia. Hal ini dibuktikan bahwa pada waktu mempuyai kesadaran yang penuh ada sesuatu yang berperan padanya. Manusia dengan dikaruniai akal budi merupakan mahluk hidup yang sadar dengan dirinya. 
Kesadaran yang dimiliki oleh manusia kesadaran dalam diri, akan diri sesama, masa silam, dan kemungkinan masa depannya.
Descartes, seorang filsuf modern asal Prancis, secara garis besar ia berpendapat bahwa pikiran manusia merupakan entitas yang lebih tinggi tingkatannya dari pada tubuh. Pikiran mempunyai prioritas atas tubuh. 
Fakta bahwa kita dapat berpikir menunjukkan bahwa manusia merupakan entitas yang memiliki kesadaran. Ada relasi internal antara kesadaran dan pikiran. Pikiran juga memiliki prioritas atas dunia. Tanpa pikiran tidak ada realitas eksternal. Dengan demikian pikiran terpisah dari dunia. Pikiran adalah entitas yang mandiri. Pikiran juga terlepas dari tubuh. Argumen Descartes banyak dikenal sebagai teori tentang dualisme tubuh dan jiwa.
https://manawalog.blogspot.com/

Mahluk hidup khususnya manusia mendambakan kesadaran jasmani maupun rohani. 
Kesadaran membawa kita kepada titik temu dimana kita menyadari bahwa kita hanya seoonggok materi berpolutan keduniawian. 
Polemik kehidupan menjadi hal yang sangat mengganggu, kesalahan dan dosa menjadi hal yang sangat signifikan dalam menentukan benar atau tidaknya tindakan yang akan dilakukan nanti. Itu juga dapat menghambat kita kepada “character building” yang sesungguhnya, karena proses terbentuknya karakter kepribadian seorang manusia akan bisa terjadi jikalau kita senantiasa pada taraf kesadaran. 
Pada kondisi itulah kita digodok untuk mencipta kembali ke asalnya manusia.
Di tengah kegelisahan manusia terkadang kita suka termenung dan kembali pada alam niruang dengan mengeksplorasi seluruh potensi berpikir kita. Alam angan menjanjikan kita ketenangan, membawa kita kepada titik kesadaran dan mempercepat kembalinya kita kepada nilai fitrah manusia. 
Dari aspek keduniawian, menjadi suatu kewajaran bila hidup ini terasa mati atau kita merasa mati padahal realitasnya kita hidup. perasaan itu sering terjadi bila pada saat kita menemukan kejenuhan yang pada dasarnya itu hanya sesaat akan tetapi kita membiarkannya untuk berlarut-larut membasahi perasaan kita dan pada akhirnya kita merasakan kehidupan yang mati. 
Maka dari itu diperlukan kedewasaan berpikir serta bersikap agar nilai kewajaran tersebut bisa menjadi sesuatu yang patut disadari sehingga kita tak terbuai didalamnya.
Baca juga: Kontemplasi Kosmos
Bila kita sadar, pada saat nanti kita akan lebih menghargai hidup sebagai anugrah Tuhan, merasakan kenyamanan dari setiap helah nafas sampai kepada kepatuhan terhadap aturannya tanpa bertolak belakang dari konteks fitrahnya manusia itu sendiri. Semua yang terjadi akan menjadi pengalaman, dan pengalaman yang kita alami akan menjadi guru yang paling berharga untuk mengajarkan kita kepada kualitas hidup yang lebih baik.
Proses berkelangsungannya tata surya pada orbitnya menyebabkan kita merasakan sebuah sensasi, yaitu sebentuk sensasi waktu sehingga pada masa tertentu kita kembali merasakan nilai-nilai kesadaran yang sudah menjadi ketentuan sang maha pencipta kita dan juga manusia hanya menanti dan sekaligus mencari akan nilai kesadaran yang telah ditunjukkan secara explisit tersebut oleh tuhan.
Pada dasar pengembaraan pemikiran manusia memiliki tingkatan kesadaran yang bertahap. Yakni kesadaran yang memiliki nilai korelasi antara satu sama lain. Tingkatan kesadaran itu digolongkan menjadi tiga yang saling mengikat dan apabila salah satu dari tiga itu gugur maka akan sulit untuk kita merasakan kembali keasal (fitrah). Ketiga tingkatan itu adalah kesadaran intelektual, humanis, ilahiyah.

1. Kesadaran Intelektual mengajarkan kita arti Berpikir Dewasa dan Bijaksana
Dalam hal kesadaran intelektual yang berperan adalah akal budi, jadi segala sesuatu yang kita ketahui pada akhirnya direalisasikan oleh akal budi tersebut. Dan pola pikir kita yang akan menentukan segala sesuatu yang baik dan yang buruk, akan kita lakukan atau tidak, itu semua terlepas dari korespondensi hati yang secara hakiki telah mendiktekan mana yang benar atau yang sebaliknya.
Kesadaran ini menuntut penggunaan akal budi seutuhnya tanpa terkontaminasi oleh pola berpikir ego dan arogansi. Karena akal budi konteksnya adalah kebaikan, jadi bila kita sungguh-sungguh mengembalikan pikiran kepada akal budi murni pastinya kita akan menemukan kesadaran intelektual tersebut.
Berpikir murni akal budi dalam tingkatan kesadaran intelektual pada dasarnya membentuk karakter kedewasaan serta membimbing kita kepada kebijaksanaan. Akan tetapi bila jauh dari konteks kesadaran berpikir tersebut yang akan kita dapatkan adalah arogansi berpikir yang membawa kita pada keterpurukan intelektual.
Konsekuensinya kita harus sadar akan ketidak-tahuan atau apapun yang membuat kita menjadi seperti bodoh atau memang benar-benar membuat kita bodoh akan pengetahuan yang sudah menjadi fitrah kita. Itu semua dapat diantisipasi jikalau kita sudah mulai memasuki dan merasakan getaran berpikir murni akal-budi, dan pada akhirnya segala ego dan arogansi akan lenyap tergilas dikarenakan kita sudah menjadi sadar dalam taraf intelektualitas kita.

2. Humanis Sebagai Bentuk Kesadaran dari Kesadaran Intelektual
Hakikatnya manusia adalah sebagai mahluk sosial, manusia tidak mungkin bisa hidup tanpa sumbang-sih atau kehadiran manusia lainnya di bumi ini. Jadi manusia antar satu sama lain saling menutupi bila ada sekat yang menghalau dan saling membuka diri bila sekat memang tidak bisa ditutupi lagi.
Manusia dapat mengerti ini semua apabila ia tahu posisinya ditengah dunia ini dan kembali lagi kepada hasil perenungan akal manusialah yang membimbing manusia mengetahui posisinya bahwa Ia berada dalam individu, individu-individu manusia lainnya di dunia. Yang akhirnya dapat memperkuat realitas bahwa manusia adalah sebagai mahluk sosial.
Dari opini tersebut diatas bisa kita tarik benang merah disini bahwa ada korelasi antara kesadaran intelektual dan kesadaran humanis. Karena kesadaran humanis merupakan realitas kehidupan yang tak mungkin bisa diimplementasikan bila kesadaran intelektual tak kita sadari sepenuhnya.
Didalam konteks humanis atau kemanusiaan yang terpenting adalah bagaimana kita sebagai manusia bisa mengartikan sinyal-sinyal yang ditebar oleh manusia lainnya sebagai sebuah pesan manusiawi yang kemudian kita interpretasikan pesan tersebut sebagai bentuk kesusahan, kesenangan dll.., sehingga tercipta kesinambungan yang selaras yang kemudian menjauhkan kita dari sikap bermasyarakat yang eksklusif, Itu tidak diinginkan.
Kita sebagai pribadi yang merasakan kesadaran humanis dengan sendirinnya dapat membangun siklus kehidupan bermasyarakat berjenjang, menghargai dan juga pribadi yang memanusiakan manusia baik bagi diri kita sendiri maupun untuk semua. Ini akan melahirkan nilai, dalam bentuk nilai luhur yang memuliakan manusia dari mahluk hidup lainnya dimuka bumi ini.
Kita harus bisa empati terhadap manusia lainnya, kita juga harus bisa respect terhadap apa yang ada diantara hidup kita yang bertetangga.
Seyogyanya semua itu dapat terwujud harmonis bila kita mengerti akan kesadaran intelektualitas seutuhnya. Maka itu harus tercipta sebuah keselarasan antara keduannya agar kesadaran humanis terlaksana. Sungguh indah untuk dibayangkan bila siklus sosial kemanusiaan didukung dengan implementasi seutuhnya dari kesadaran intelektual.

3. Kesadaran Ilahiyah 
Kesadaran Ilahiyah adalah merupakan bentuk penyederhanaan dari konsep lama tentang spiritualitas yang tetap mempunyai hakikat sama. Konsepnya selalu mempunyai ruang relevansi di setiap zaman, baik dari dahulu hingga sekarang ataupun yang akan datang. Kesadaran ilahiyah menempatkan seseorang pada kesadaran tertinggi, yang digunakan adalah hati dan juga yang paling dalam yaitu alam bawah sadar.
Kesadaran ini biasanya cepat mengadaptasi pada manusia yang tingkat kemandiriannya seimbang dengan keimanannya.
Sebenarnya ini merupakan konsep sederhana yang menyadarkan kita akan adanya kekuatan diatas kekuatan, penggerak diatas yang digerakkan, serta pencipta diatas yang diciptakan. Singkatnya segala dari segalanya, yang kita biasa menyebut-Nya Tuhan.
Titik temu Ilahi ini adalah puncak kesadaran yang menggerakkan semua kesadaran. Ilahi merupakan nilai absolute dan sebagai harga mati dalam pencapaian kesadaran manusia. Kita sudah menemukan puncak tertinggi dimana semua kedudukan nilai sadar manusia berada diatas ambang niruang dan nirwaktu yang ada hanyalah perasaan terlahir kembali sebagai manusia fitri.
Fitrah manusia yang kita dambakan telah didepan mata, jalannya terbentang lebar, segala ketentraman dan kebahagiaan yang bersifat lintas kelas dan lintas alam telah mulai mendekati kita.
Tugas kita kini hanya meraihnya dan merasakannya untuk kembali mengambil manfaatnya menjadi manusia fitri.
Oleh karena itu semua, sepatutnya kita mulai membuka diri dan merenungkan semua untuk menemukan kesadaran kita, sembari menilai sampai mana titik batas kesadaran yang telah kita raih dan kita refleksikan kedalam kehidupan kita, yang akhirnya nanti kita akan terhanyut dalam suasana kembali seperti asal yaitu dalam keadaan senantiasa fitrah.
Berpikir murni akal budi dalam tingkatan kesadaran intelektual pada dasarnya membentuk karakter kedewasaan serta membimbing kita kepada kebijaksanaan.
Akan tetapi bila jauh dari konteks kesadaran berpikir tersebut yang akan kita dapatkan adalah arogansi berpikir yang membawa kita pada keterpurukan intelektual.
Kita juga sebagai pribadi yang merasakan kesadaran humanis dengan sendirinnya dapat membangun siklus kehidupan bermasyarakat berjenjang, menghargai dan juga pribadi yang memanusiakan manusia baik bagi diri kita sendiri maupun untuk semua.

Oleh karena itu semua, sepatutnya kita mulai membuka diri dan merenungkan semua untuk menemukan kesadaran kita, sembari menilai sampai mana titik batas kesadaran yang telah kita raih dan kita refleksikan kedalam kehidupan kita, yang akhirnya nanti kita akan terhanyut dalam suasana kembali seperti asal yaitu dalam keadaan senantiasa fitrah.

Tulisan ini diolah dari beberapa referensi buku dan sumber internet untuk mengenang literatur-literatur Filsafat Ilmu.


Related Posts: