Oleh: Iswara N Raditya || 1 Agustus 2017 - Traktat Breda (31 Juli 1667)
susana malam hari dengan bioskop broadway dan animasi lampu led, simbol new york city dan amerika serikat. [foto/www.theodysseyonline.com] |
Melalui Traktat Breda, Belanda dan Inggris bertukar pulau
pada 1667: Manhattan (Amerika) dan Pulau Run (Maluku).
Perjanjian pada pertengahan tahun 1667 itu disiapkan dengan tergesa-gesa
demi menghentikan perang secepatnya. Belanda menjamu Inggris di Breda, dan
hanya dalam 10 hari, tercapailah kesepakatan antara kedua belah pihak. Hari
itu, tanggal 31 Juli 1667, Treaty of Breda atau Traktat Breda resmi ditandatangani.
Hasilnya adalah, Inggris harus mengembalikan Pulau Run (Rhun) yang
terletak di Kepulauan Maluku kepada Belanda. Sebagai gantinya, Belanda
menyerahkan pulau kecil yang didudukinya di Benua Amerika bernama Nieuw
Amsterdam alias Manhattan. Nantinya, Inggris mengganti Nieuw Amsterdam dengan
nama baru: New York.
Perang Ambisi Belanda vs Inggris
Sejak 4 Maret 1665, Belanda dan Inggris terlibat Perang Anglo-Dutch II.
Ini merupakan kelanjutan dari perang seri pertama pada 1652-1654, dan nantinya
masih berlanjut hingga episode keempat (1780-1784) yang turut mempengaruhi
riwayat perjalanan terbentuknya peradaban modern (Bart Westerweel, Anglo-Dutch
Relations in the Field of the Emblem, 1997:182).
Belanda dan Inggris bertikai karena sama-sama berambisi menguasai
perdagangan dunia. Situasi ini membuat beberapa teritori menjadi tidak jelas
kepemilikannya dan berpotensi menjadi sengketa yang berkepanjangan jika tidak
segera dituntaskan. Untuk menghindari kerugian yang lebih besar, keduanya
sepakat melakukan perjanjian damai di Breda pada 1667.
Bertindak selaku tuan rumah, Kerajaan Belanda diwakili lima orang, yakni
Adolf Ripperda, Hieronymus van Beverningh, Pieter de Huybert, Allard Jonghstal,
dan Ludolph Tjarda van Starckenborgh. Sedangkan Raja Charles II dari Inggris
mengirimkan dua utusan, Lord Denzil Holles dan Sir Henry Coventry (Davenport
& Paullin, eds., European Treaties Bearing on the History of the United
States and Its Dependencies, 2004:191).
Perundingan memang berjalan alot, namun dibutuhkan kesepakatan
secepatnya karena situasi yang semakin gawat. Pasalnya, kedua belah pihak punya
pasukan yang siap bergelut di ajang tempur. Semula, Inggris menawarkan
penukaran Nieuw Amsterdam (Manhattan) yang dikuasai Belanda dengan pabrik gula
mereka di pesisir Suriname, tapi ditolak.
Belanda tidak sepakat dengan penawaran tersebut karena ingin mendapatkan
kembali Pulau Run di Kepulauan Maluku yang telah jatuh dalam cengkeraman
Inggris. Jika Pulau Run bisa direngkuh lagi, maka akan sangat mendukung upaya
dominasi monopoli perdagangan Belanda di timur jauh, tepatnya di Hindia Timur.
Sempat terjadi tarik-ulur antara Belanda dan Inggris dalam rangkaian
perundingan di Breda itu. Dalam tempo 10 hari, titik temu pun akhirnya berhasil
dicapai oleh kedua belah pihak. Tepat pada 31 Juli 1667, Traktat Breda
ditandatangani. Manhattan menjadi milik Inggris, Pulau Run di Maluku diserahkan
kepada Belanda.
Pesona Masa Lalu Pulau Run
Pulau Run dan Manhattan sama-sama pulau yang terbilang mungil. Pulau Run
adalah pulau paling terpencil di Kepulauan Maluku yang panjangnya hanya 3
kilometer dengan lebar kurang dari 1 kilometer. Manhattan sedikit lebih besar
dengan luas daratan hampir mencapai 6 kilometer persegi. Namun, kala itu Pulau
Run ternyata lebih menjanjikan ketimbang Manhattan.
Pada abad ke-17, Pulau Run adalah satu-satunya pulau yang ditumbuhi
pohon pala (Poesponegoro & Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan
Penjajahan di Indonesia, 2010). Ingat, tujuan awal kedatangan bangsa-bangsa
Eropa ke Nusantara adalah untuk menemukan pusat rempah-rempah, dan pala saat
itu menjadi salah satu jenis rempah yang paling laku di pasar Eropa.
Sedangkan Pulau Manhattan di Amerika pertama kali ditemukan oleh seorang
pelayar Inggris yang bekerja untuk Kerajaan Belanda, bernama Henry Hudson pada
1609. Pulau ini sebenarnya sudah beberapa kali dilewati sejumlah pelayar Eropa
lainnya, namun tidak pernah disinggahi. Sejak 1624, Belanda mengklaim
kepemilikan Manhattan yang kemudian diberi nama Nieuw Amsterdam (Amsterdam
Baru).
Sementara itu, sengketa antara Belanda dan Inggris terkait Pulau Run
sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Belanda datang ke pulau tersebut untuk
membeli rempah-rempah pada 1603. Inggris yang masuk belakangan pada 1616
langsung melakukan aksi nyata, mengikat penduduk setempat dengan kontrak.
Pihak Belanda tentu saja tidak terima dan berkali-kali mengganggu
penguasaan Inggris atas Pulau Run, setidaknya untuk mengurangi nilai lebih
pulau tersebut. Orang-orang Belanda, misalnya, memindahkan atau bahkan
menghancurkan pohon-pohon pala di Pulau Run sehingga Inggris tidak bisa
memanfaatkannya (Willard Anderson Hanna, Kepulauan Banda: Kolonialisme dan
Akibatnya di Kepulauan Pala, 1983:69).
Giles Milton (2015:456) dalam buku Pulau Run: Magnet Rempah-rempah
Nusantara menyebutkan bahwa ada laporan penyelidikan terakti tindakan biadab
Gubernur Banda (orang Belanda) yang menyiksa penduduk, merampok barang-barang
berharga, memusnahkan pepohonan pala dan rempah-rempah lainnya.
Antara Maluku dan Manhattan
Setelah Traktat Breda disepakati pada 31 Juli 1667, polemik antara
Belanda dan Inggris terkait sengketa Pulau Run memang berangsur mereda. Namun,
pertikaian antara keduanya ternyata masih berbuntut panjang. Perang
Belanda-Inggris pecah lagi dalam dua episode berikutnya yakni pada 1672-1674
dan 1780-1784.
Inggris akhirnya menjadi pemenang seiring rontoknya perekonomian Belanda
pada masa itu (Edler, F., The Dutch Republic and The American Revolution,
2001). Namun, kepemilikan atas Pulau Run tetap atas nama Belanda yang kala itu
justru semakin mengukuhkan pengaruhnya di kawasan Hindia atau Indonesia.
Begitu pula dengan Manhattan yang tetap menjadi milik Inggris. Seiring
berdirinya negara Amerika Serikat, pulau ini berkembang pesat. Bahkan, New
York, nama baru sekaligus pusat keramaian Manhattan, kini menjelma menjadi kota
metropolitan terpadat di dunia. Populasi penduduk Manhattan pada 2016
menunjukkan angka 1.643.734 juta jiwa ("Current Population
Estimates", NYC.gov, update 10 Juni 2017).
Lantas, apa kabar Pulau Run di Maluku?
Popularitas pulau ini sebagai pusat penghasil pala dan jenis
rempah-rempah lainnya justru meredup setelah dikuasai Belanda. Lagi-lagi
Inggris berada di balik pelemahan ini. Inggris ternyata sempat memindahkan
pohon-pohon pala ke sejumlah negeri koloninya, termasuk Ceylon (Sri Lanka),
Singapura, dan Grenada di Kepulauan Karibia. Saat ini, Grenada dikenal sebagai
penghasil pala terbesar di dunia.
Pulau Run semakin merana ketika pada 1810 Inggris berhasil menduduki
Banda Besar, pulau utama di Kepulauan Maluku. Pendudukan ini berpengaruh besar
dan kian menggerogoti supremasi Belanda dalam perdagangan rempah-rempah (Des
Alwi, Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon, 2005:167).
Baca juga: Pulau Onrust, Permata Masa Lalu Kepulauan Seribu.
Meski di kemudian hari sebagian besar wilayah Nusantara diambil-alih
kembali oleh Belanda -- hingga Indonesia merdeka pada 1945 dan penyerahan
kedaulatan pada akhir 1949 -- namun pesona Pulau Run tampaknya sudah
benar-benar surut, berbanding terbalik dengan Manhattan dengan New York sebagai
pusatnya.
Hingga saat ini, momen Traktat Breda yang ditandatangani tepat 350 tahun
silam masih diperingati, baik di New York maupun di Pulau Run, Maluku Tengah,
yang saat ini “hanya” berupa wilayah setara desa di Kecamatan Banda, Kabupaten
Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
_________________________________________
Reporter :
Iswara N Raditya
Penulis :
Iswara N Raditya
Editor :
Zen RS