Sesungguhnya
cara berpikir rasional dan empirik merupakan bagian yang sah dari epistemologi Islam, bahkan menjadi unsur permanen dalam sistem epistemologinya. Metode
eksperimen misalnya adalah produk kultur otentik dari budaya berpikir logis
dengan bukti-bukti empiris yang dikembangkan sarjana-sarjana Muslim. Sejarah
membuktikan dengan ditemukannya Aljabar, Manthiq, Ilmu Falak dan
lain-lain di dunia Islam jauh sebelum Eropa mengenal metode eksperimen
dan hanya terkungkung pada corak berpikir monolinear antara
rasionalisme atau empirisme serta mengesampingkan peran ajaran agama
(sekularisme).
Di
samping itu, salah satu karakteristik terpenting dari epistemologi Islam serta
membedakannya dari epistemologi Barat yang sekular adalah masuknya nilai-nilai
ajaran normatif agama secara signifikan sebagai prinsip-prinsip dalam
epistemologi Islam. Wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) diyakini memiliki peran
sentral dalam memberi inspirasi, mengarahkan, serta menentukan skop kajian ke
arah mana sains Islam itu harus ditujukan. Konsepsi ini mempunyai akibat-akibat
penting terhadap metodologi sains dalam Islam. Sehingga tidak heran bila
kemudian wahyu diletakkan pada posisi tertinggi sebagi cara, sumber dan
petunjuk pengetahuan Islam.
Permasalahannya,
mengapa epistemologi Islam masih harus disandarkan pada wahyu apabila dengan
metode eksperimennya telah dicapai titik sebuah kebenaran logis-empiris?
Jawabnya adalah bahwa manusia diyakini memilki keterbatasan kemampuan untuk
mengetahui hakikat ilmu pengetahuan. Kenyataan membuktikan paradigma yang telah
dibangun manusia terus menghadapi dilema-dilema besar yang semakin sulit
dipecahkan. Dalam konteks ini manusia memerlukan petunjuk sebagai premis dari
kebenaran. Premis kebenaran itu pastilah bersumber dari yang Maha Benar, yaitu
Tuhan. Tuhan telah mewahyukan kebenarannya lewat Al-Qur’an. Namun begitu,
Kuntowijoyo mengatakan bahwa penerimaan premis kebenaran yang bersumber dari
wahyu ini bersifat observable, dan manusia diberi kebebasan untuk
mengujinya.
Pertanyaan
selanjutnya adalah apa sesungguhnya dasar paling sentral dari nilai-nilai
ajaran Islam yang menjadi prinsip-prinsip epistemologinya?. Dalam Islam kita
mengenal adanya konsep tauhid (iman), yaitu konsep sentral yang menekankan
keesaan Allah, Allah tunggal secara mutlak, tertinggi secara metafisis dan
aksiologis, dan bahwa Allah adalah pusat dari segala sesuatu, berawal dan
berakhir pada-Nya. Dia-lah Sang Pencipta, dengan perintah-Nya segala sesuatu
dan peristiwa terjadi. Implikasi doktrinalnya yang lebih jauh adalah bahwa
tujuan kehidupan manusia tak lain kecuali menyembah kepada-Nya.
Dalam
Al-Qur’an, fenomena alam sering dilukiskan sebagai tanda-tanda Allah; bahwa
semua yang terjadi, pada akhirnya menuju kepada satu Pencipta yang menciptakan,
Pengatur dengan suatu sistem tunggal dan Penggerak dengan keteraturan tunggal.
Konsep tauhid (iman) inilah yang kemudian dipakai oleh ilmuwan muslim dalam
berusaha menjabarkan kesatuan alam semesta, kesatuan kebenaran, kesatuan
pengetahuan, kesatuan hidup, dan kesatuan umat manusia serta dijadikan dasar
sentral dari landasan epistemologi Islam.
Ok, Kaitannya
dengan ini, Dr. Mahdi Gulsyani menulis
“Suatu
keyakinan kokoh pada prinsip tauhid membuat sang peneliti melontarkan pandangan
menyeluruh kepada alam, bukannya hanya melihat alam secara sepotong-sepotong.
Hal ini membuatnya mampu menerangkan keselarasan dan tatanan dunia fisik. Tanpa
suatu keyakinan kokoh pada kehadiran tatanan dan koordinasi pada alam,
penelitian ilmiah tidak akan memiliki makna universal; dan paling banyak
nilainya hanya bersifat sementara. Beberapa ilmuwan percaya pada keberadaan
tatanan dan koordinasi pada alam, tanpa mempercayai atau memperhatikan prinsip
tauhid; namun, menurut kami, tanpa mempercayai at-tauhid, tidak
akan ada keterangan memuaskan tentang tatanan kosmis” (Gulsyani, 1984)
Sampai
di sini ilmuwan muslim bersepakat bahwa konsep tauhidlah yang menjadi prinsip
pokok dalam epistemologi Islam.
Dengan
begitu semakin jelas bagi kita, bahwa epistemologi Islam berupaya untuk
menunjukkan arah kepastian kebenaran, di mana epistemologi ini berangkat dan
berawal dari kepercayaan, serta selanjutnya memantapkan kepercayaan itu melalui
perenungan-perenungan, penalaran, pemikiran, dan pengamatan yang disandarkan
pada wahyu Tuhan (Al-Qur’an dan Al-Hadits), dan diyakini bahwa kebenaran wahyu
tersebut merupakan kebenaran tertinggi, mengandung ayat (bukti), isyarat,
hudan (pedoman hidup) dan rahmah(rahmat).
Sebenarnya
konsep tauhid dalam Islam ini hampir serupa dengan konsep panteologisme yang
dianut agama lain. Yaitu sama-sama berakar pada pandangan teosentris. Namun,
paradigma teosentris yang dianut Islam berbeda dengan teosentris agama lain
dengan alasan bahwa sistem tauhid memiliki arus balik kepada manusia. Paradigma
teosentris Islam (iman) selalu dikaitkan dengan amal manusia. Keduanya
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pusat dari perintah zakat –
misalnya – adalah iman kepada Allah, tapi ujungnya adalah terwujudnya
kesejahteraan sosial. Dengan demikian, dalam Islam, konsep teosentris bersifat
humanistik. Artinya, manusia harus memusatkan diri kepada Allah (iman), tetapi
tujuannya adalah untuk kepentingan manusia sendiri (amal). Dalam formulasi
lain, Islam mengenalkan konsep dualisme manusia; sebagai hamba (abdun)
yang menyembah Penciptanya (beriman), dan sebagai wakil Tuhan (khalifah)
di muka bumi yang harus senantiasa bersosialisasi dengan jenis dan
lingkungannya (beramal).
Lantas,
apabila prinsip epistemologi Islam adalah tauhid, bagaimanakah bentuk kongkrit
dari epistemologi Islam dalam mengkaji ilmu pengetahuan?
Seperti
yang dijelaskan sebelumnya bahwa, pada awalnya diakui jika epistemologi Islam
dipengaruhi oleh epistemologi yang berkembang di Yunani. Aliran pokok yang
diikuti oleh ilmuwan muslim adalah aliran rasionalism yang
dikembangkan oleh Plato (423-347 SM) dan aliran realism yang
dikembangkan oleh Aristoteles (384-322). Namun karena didapati antara keduanya
saling memposisikan aliran “dirinyalah” yang paling benar, maka ilmuwan
muslimpun mencari alternatif pemecahannya dengan cara menggabungkan antara
keduanya sehingga lahirlah metode eksperimen.
Metode
ini telah dikembangkan oleh ilmuwan muslim antara abad ke-9 dan ke-12 Masehi,
diantaranya adalah Hasan Ibn Haitsam – biasa disebut Alhazen di Eropa –yang melahirkan
karya tentang teori-teori fisika dasar, Jabir Ibn Hayyan atau Al-Jabar – biasa
disebut Geber di Eropa – yang lahir pada pertengahan abad ke-8, melahirkan
karya tentang kimia secara konfrehensif, dan masih banyak ilmuwan lainnya.
Selain
metode eksperimen di atas, Islam mengakui intuisi sebagai salah satu bentuk
epistemologinya. Terlepas dari kontroversi yang digencarkan ilmuwan Barat yang
menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi tidak dapat
dijelaskan melalui proses logis-empiris, yakni tanpa pengamatan (observasi),
tanpa deduksi (logis), bahkan tanpa spekulasi (rasional), ilmuwan muslimpun
meyakini intuisi sebagai sumber kebenaran paling tinggi. Dan sumber kebenaran
ini hanya berada di bawah otoritas wahyu Tuhan (al-Qur’an), termasuk tradisi
kenabian (Al-Hadits).
Selain
dinisbahkan kepada wahyu, metode intuisi sering juga disebut dengan istilah
lain yang subtansinya relatif sama, di antaranya adalah ilham (kasfy).
Terminologi tersebut dimaksudkan untuk membedakan antara pengetahuan intuitif
yang berbentuk wahyu (Al-Qur’an dan Al-Hadits) yang diterima oleh Nabi, dengan
pengetahuan intuitif yang berbentuk ilham yang diterima oleh manusia. Pembedaan
tersebut adalah implikasi dari keyakinan Islam bahwa kemampuan pengetahuan
antara Nabi dan manusia biasa berbeda.
Pada
perkembangan epistemologi Islam selanjutnya, lahirlah metode lain sepertinadzr,
tadabbur, tafakkur, bayyinah, burhan, mulahadzah, tajrib, istiqra’, qiyas,
tamsil, ta’wil, dzati, hissi, khayali, ‘aqli, syibhi dan lain sebagainya.
Namun pada dasarnya dalam diskursus dunia pemikiran Muslim setidaknya ada tiga
aliran penting yang mendasari teori pengetahuannya. Yaitu:
(1) Pengetahuan
Rasional,
(2) Pengetahuan Inderawi, dan
(3) Pengetahuan Kasfy lewat
Ilham atau Intuisi.