Oleh: Dea Anugrah || 10 Mei 2017
Botanis Jerman, Georg Eberhard Rumphius, 1705. Ilustrasi/Istimewa |
“Lupakan
tragedi yang menimpamu. Kita semua nahas sejak awal dan kau memang harus
terluka habis-habisan agar dapat menulis secara serius. Saat kau terluka,
gunakanlah—jangan curang. Setialah kepadanya seperti seorang ilmuwan—tetapi
jangan anggap penderitaan itu istimewa hanya karena ia terjadi kepadamu atau
orang-orang terdekatmu (Ernest Hemingway, dalam sebuah surat untuk F. Scott
Fitzgerald).
Ketika membicarakan nyali,
umumnya orang akan merujuk kisah-kisah yang melibatkan luka, darah, erangan,
dan sakaratul maut: peperangan, perburuan di alam liar, olahraga brutal, dan
seterusnya. Apakah nyali hanya terdapat dalam urusan-urusan itu? Tentu tidak.
Orang dapat pula merujuk Sokrates atau Giordano Bruno yang bersetia sampai mati
terhadap ilmu pengetahuan dan tanggung jawab keilmuan mereka.
Namun, yang jarang orang bicarakan, nyali ada
bukan hanya dalam pertarungan manusia melawan manusia, alam, atau para
penguasa. Ia juga ada dan dibutuhkan dalam pertarungan manusia melawan hidupnya
sendiri, untuk bertahan dari hari ke hari dan menuntaskan kerja.
Contoh kisah tentang nyali jenis ini adalah
kisah Job atau Nabi Ayub dalam kitab-kitab suci agama-agama Abrahami. Kisah
lainnya, yang lebih dekat dengan kita dan sungguh-sungguh terjadi, berlangsung
pada abad ke-17 di Kepulauan Maluku: tentang pakar botani Georg Eberhard Rumpf.
Rumpf lahir di Hanau, Jerman, pada 1627. Dari
ayahnya, ia belajar matematika, bahasa Latin, dan teknik menggambar mekanik.
Namun, alih-alih meneruskan jejak ayahnya menjadi insinyur sipil, Rumpf remaja
malah tergoda untuk bertualang ke negeri-negeri jauh.
Saat berumur 18 tahun, ia mendaftar jadi
serdadu bayaran buat membela Venesia, tetapi malah diperintahkan menumpangi
kapal tujuan Brazil—Belanda dan Portugis sedang berebut wilayah di negeri
itu—dan akhirnya terdampar sebagai tawanan di Portugal.
Tiga tahun di Portugal, Rumpf banyak mendengar
cerita tentang Kepulauan Rempah-rempah beserta pelbagai daya pikatnya. Hasrat
avonturnya berkobar. Setelah kembali tinggal di Hanau sekitar setahun, ia
melamar jadi serdadu VOC dan berangkat ke Hindia Belanda.
Pada 1653, Rumpf ditugaskan merancang dan
membangun benteng-benteng di Pulau Ambon. Empat tahun kemudian, menurut Dick
Hartoko dalam Bianglala Sastra (1979), ia naik pangkat menjadi perwira muda
zeni. Namun, pada waktu itu minat Rumpf di dunia militer telah pudar.
"Ia sudah menemukan jalan hidupnya. Ia
mengajukan permohonan agar dapat dibebaskan dari dinas ketentaraan dan dapat
diterima dalam bidang sipil. Permintaan tersebut dikabulkan dan ia diangkat
sebagai saudagar muda [onderkoopman] di Larike di pantai utara Ambon, di
semenanjung Hitu," tulis Dick.
Larike pada masa itu cuma desa kecil yang
meliputi tiga dusun dan jumlah penduduknya hanya 837 orang, dan letaknya amat
terpencil. Bagi kebanyakan pegawai VOC, situasi itu merupakan pembuangan,
tetapi tidak untuk Rumpf. Di sana, karena tak banyak yang ia perlu lakukan
sebagai agen VOC, Rumpf justru jadi punya banyak waktu buat menekuni urusan
yang disebut Dick sebagai “jalan hidupnya.”
Rumpf jatuh cinta kepada kekayaan alam tropis.
Ia tergugah buat mempelajarinya dan bertekad merangkumnya dalam katalog ilmiah
yang lengkap.
Di Larike jugalah Rumpf berjumpa dan mengawini
perempuan lokal bernama Susanna (mungkin keturunan Tionghoa, menurut J.F.
Veldkamp dari Universitas Leiden dalam “Georgius Everhardus Rumphius, The Blind
Seer of Ambon” [2011]). Susanna memperkenalkan tanaman anggrek Maluku kepada Rumpf
dan ia menamai anggrek itu Flos Susannae—kini Pecteilis susannae (L.) Raf.
Tentang penamaan itu, di kemudian hari Rumpf
menulis, “Untuk kenanganku bersamanya—kawan dan rekan pertamaku dalam mencari
tumbuhan dan jamu-jamuan. Ia yang pertama kali menunjukkan kepadaku bunga ini.”
Rumpf alias Rumphius (pada masa itu, kaum
intelektual menyukai citra kelatin-latinan) kelak akan dikenal sebagai pakar
botani penting penulis Herbarium Amboinense atau Kitab Jamu-jamuan Ambon (1741)
dan D'Amboinsche Rariteitkamer alias Kotak Keajaiban Pulau Ambon (1705),
masing-masing tentang spesies tumbuh-tumbuhan dan kerang-kerangan di kepulauan
Maluku. Namun, seakan-akan mengulang pengalamannya bertualang semasa muda,
jalan menuju situasi itu ruwet dan penuh kesukaran.
Tugas pertama Rumphius ialah menamai setiap
tanaman dan kerang yang ia koleksi. Ia melakukannya dalam bahasa Latin, Melayu,
Ambon, dan, kalau mungkin, juga dalam bahasa Jawa, Hindi, Portugis, Cina, dan
Belanda. “Ia memikul beban itu dengan keriangan seorang Nabi Adam baru,” tulis
Jacob Mikanowski dari Atlas Obscura.
Selayaknya Nabi Adam baru, Rumphius menciptakan
nama-nama unik dan, kadang, ganjil bagi temuan-temuannya. Dari kategori
kerang-kerangan, ada nama-nama yang berarti “Tanduk Impian Kecil”, “Pemakaman
Pangeran”, “Musik Petani”, dan “Harpa Venus Rangkap.” Dan nama-nama
tumbuhannya: “Pohon Bugil”, “Tanaman Selingkuh”, “Tanaman Kenangan”, “Semak
Quis-Qualis yang Menakjubkan”, “Tali Empedu”, “Janggut Saturnus”, dan—yang
paling dahsyat—“Kembang Kelentit Biru.”
Tetapi tentu Rumphius tak berhenti sampai di
situ. Lebih dari sekadar memberi nama, ia menggambarkan struktur, bentuk akar,
susunan daun-daun, dan warna kembang setiap tanaman. “Ia bahkan menjelaskan
manfaat setiap tanaman dalam koleksinya … Ia menerangkan tanaman apa yang baik
buat menghentikan mencret, buat mengobati sakit kuning, dan buat membikin lawan
jenis kelojotan menahan birahi,” tulis Mikanowski.
Hal paling berharga dari karya-karya Rumphius
ialah kekayaan penjelasannya. Dalam hal isi, misalnya, ia tak hanya menulis
tentang fakta spesies-spesies yang ia teliti, tetapi juga mitos-mitos rakyat
tentangnya. Itu berarti, sebagai seorang ilmuwan, Rumphius tak arogan. Ia
memberi tempat kepada hal-hal dari luar alam pikir dan pengetahuannya.
Dalam hal penyampaian, ia peka terhadap rincian
dan relatif terampil berbahasa. Berikut deskripsi Rumphius tentang layar baksi
atau holothuria, semacam ubur-ubur: “Badannya tembus pandang seperti botol
kristal berisi zat hijau-biru. Layar-layarnya putih bagaikan kristal, sedangkan
tepi atasnya merah padam atau ungu tua … Pada satu sisi, kalau tak salah ingat
bagian kanan, dan di sekitarnya tergantunglah sejumlah benang tipis. Warnanya
molek, biru bercampur hijau remang-remang. Benang-benang itu sangat rapuh,
sehingga mudah sekali pecah dan melekat pada alat yang kita pakai untuk
menyentuhnya.”
“Ia adalah etnografer sekaligus biolog, munsyi
sekaligus ilmuwan,” tulis Mikanowski tentang Rumphius. Namun,bakat dan
keterampilan yang luar biasa itu mendapat lawan sepadan: nasib buruk.
Pada 1670, ketika berumur 43 tahun dan kerjanya
belum apa-apa, kedua mata Rumphius buta karena penyakit staar alias glaukoma.
Saat itu belum ada dokter-dokter yang dapat menyembuhkan penyakit tersebut,
tetapi Rumphius tak patah arang. Ia pindah ke Ambon dan meneruskan karyanya
dengan bantuan Susanna. Salah seorang anaknya, Paulus Augustus, ia latih untuk
mencatat apa-apa yang ia diktekan serta menggambarkan spesimen-spesimen yang
telah mereka kumpulkan.
Tanpa penglihatan, Rumphius mengandalkan
indera-inderanya yang lain buat memahami dan menggambarkan temuannya. Ia
menyentuh, mencecap, dan menghidu aroma spesimen-spesimennya dengan perhatian
lebih, dan upaya itu melengkapi ingatannya yang kuat atas warna dan
keterampilannya menciptakan perumpamaan visual. Ia pernah menulis tentang
ketam-ketam kecil yang “berkeliaran seperti busa di permukaan laut” dan
umang-umang yang “meninggalkan zirah lama mereka buat kuintip.”
Kata Dick Hartoko, Rumphius punya julukan yang
ciamik: “Orang buta berpandangan jauh.”
Pada 17 Februari 1674, Rumphius, Susanna, dan
putri mereka berjalan-jalan ke pecinan kota Ambon untuk menyaksikan perayaan
Imlek. Susanna dan putrinya mampir ke sebuah toko sementara Rumphius tinggal di
luar. Lalu terjadilah gempa besar, 2.322 penduduk Ambon meninggal dunia.
“Pilu betul rasanya menyaksikan pria itu
meratapi gempa dan kebutaaannya di samping mayat istri dan anaknya,” ujar
seorang saksi mata yang dikutip Mikanowski. Namun, Rumphius agaknya tak
dilahirkan buat kalah. Kematian Susanna dan putri mereka mungkin menghancurkan
pria itu, tetapi jelas tak mengalahkannya.
Selain melanjutkan penelitian dan penulisan
herbariumnya, pada tahun-tahun itu Rumphius berhasil merampungkan manuskrip
tentang sejarah dan geografi Pulau Ambon. Naskah itu, sayangnya, tak kunjung
diterbitkan karena VOC, menurut Dick, khawatir “apakah dalam buku Rumphius itu
terdapat sesuatu yang dapat menjatuhkan nama dan gengsi VOC, apalagi memberikan
petunjuk kepada para musuh untuk menyaingi maskapai dagang Belanda itu dan
mengurangi labanya” sampai suatu ketika “pendeta Valentijn, seorang yang
menamakan diri sahabat Rumphius, mempergunakan isi buku itu lalu menerbitkannya
atas namanya sendiri.”
Berselang 13 tahun dari kematian Susanna,
Rumphius tertimpa bencana lagi. Pemukiman orang Belanda di kota Ambon dilanda
kebakaran hebat. Rumah Rumphius terbakar dan perpustakaannya musnah.
Gambar-gambar yang akan melengkapi Kitab Jamu-jamuan, manuskrip tentang
kerang-kerang dan siput-siput (calon buku Kotak Keajaiban), dan koleksi
spesimennya terbakar habis. Yang selamat hanya naskah Kitab Jamu-jamuan.
Pelan-pelan, dengan bantuan juru tulis dan juru
gambar yang digaji VOC, Rumphius mengerjakan ulang naskah-naskahnya yang
terbakar. Pada akhir 1690, manuskrip herbarium selesai. Bagian pertamanya yang
terdiri dari enam jilid ia kirimkan ke Betawi buat disalin, sebab pada masa itu
pelayaran ke Eropa berisiko besar—dan benar, pada 1692, kapal yang hendak
mengantarkan naskah itu ke Belanda ditenggelamkan angkatan laut Prancis.
Setelah beberapa kali pengiriman, baru pada
1697 naskah Kitab Jamu-jamuan terkumpul lengkap di Belanda. Apakah VOC segera
menerbitkannya? Tidak. Sebagaimana naskah Rumphius tentang sejarah dan geografi
Pulau Ambon, manuskrip itu cuma tersimpan di gudang arsip karena pertimbangan “keamanan”
(menurut Dick Hartoko) dan biaya (menurut Veldkamp). Untuk mencetak 500
eksemplar saja, perlu biaya sebesar 100 guilder—setara 20 ribu Euro hari ini.
Rumphius menyelesaikan karya besarnya yang
kedua, Kotak Keajaiban, pada 1699. Belajar dari kesalahannya, ia tak
mengirimkan naskah itu kepada petinggi VOC, tetapi menyelundupkannya kepada
walikota Delft, Hendrik d'Acquet, pada 1701. Sebagian ilustrasi untuk naskah
itu dikerjakan oleh Maria Sybille Merian. Menurut Veldkamp, jika Rumphius ialah
penemu zoologi dan botani di Kepulauan Maluku, Merian punya posisi serupa di
Suriname.
Kotak Keajaiban lebih beruntung ketimbang Kitab
Jamu-jamuan. Walaupun kelar belakangan, buku itu terbit 36 tahun lebih dulu.
Sayang, bagi Rumphius, perbedaan waktu yang besar itu tak ada artinya. Ia telah
meninggal dunia pada 1702, dalam usia 74 tahun, tanpa pernah melihat dan
menyentuh buku-buku hasil kerja seumur hidupnya.
Tetapi, betapa pun sukarnya, Rumphius berhasil
menyelesaikan karya-karyanya. Ia menang dan nasib buruk "bertingkah"
seperti pecundang yang tak kenal malu: sebuah monumen untuk mengenang Rumphius
didirikan di Ambon, lalu serombongan tentara Inggris membongkarnya karena
mereka mengira di bawahnya ada emas terpendam. Gubernur Jenderal van der
Capellen mendirikan monumen baru pada 1824 dan Pasukan Sekutu membomnya pada
1944. Adapun rumah peninggalan Rumphius di Ambon juga terbakar habis pada awal
abad ke-20.
Nasib buruk tak tahu bahwa monumen terbaik yang
mengingatkan kita kepada Rumphius mustahil dihancurkan: dari buku-bukunya, kita
mengembangkan ilmu pengetahuan; dari kehidupannya, kita mendapat teladan
tentang keberanian.
_________________________________________
Reporter :
Dea Anugrah
Penulis :
Dea Anugrah
Editor :
Nurul Qomariyah Pramisti