C.
CARA MEMPEROLEH ILMU
Setiap obyek
kajian keilmuan, menuntut suatu metode yang sesuai dengan obyek kajiannya itu,
sehingga metode kajian selalu menyesuaikan dengan obyeknya. Metode kajian
adalah jalan dan cara yang ditempuh untuk menemukan prinsip-prinsip kebenaran
yang terkandung pada obyek kajiannya, dan kemudian dirumuskan dalam konsep
teoritik, dengan menyesuaikan dengan obyek kajian, sehingga tidak terjadi
kesalahan pendekatan, seperti mengergaji untuk menumbangkankan pohon jati
dengan pisau silet.[8]
Secara umum, konsep
teoritik tidak bisa dilepaskan dari suatu metode yang menjadi bagian penting
dari proses ilmu. Dalam ilmu alam, proses itu berlangsung melalui kegiatan
pengamatan untuk menyusun hipotesis, kemudian diikuti percobaan-percobaan
empirik, untuk menjadi dasar perumusan dan penentuan suatu teori, dari susunan
hukum-hukum keilmuan (scientific laws).[9] Demikian juga halnya yang berlaku
dalam ilmu humaniora (kemanusiaan), yang berusaha mengikuti cara kerja ilmu
alam, akan tetapi karena obyek kajiannya adalah manusia yang bersifat kompleks
dan multi dimensi, dan pelaku atau subyek ilmunya adalah manusia juga, sebagai
individu dan warga masyarakat, maka tidak cukup proses ilmu dijelaskan hanya
dengan hukum sebab akibat, sehingga hermenetika[10] diperlukan, disamping itu
juga sulit menjaga obyektivitasnya. Sedangkan cara kerja filsafat, sulit
dirumuskan secara umum, karena masing-masing filosof mempunyai metodenya
sendiri-sendiri. Metode para filosof dibangun oleh pengalamannya sendiri selama
bertahun-tahun dalam perenungan dan pemikiran bebas. Filsafat pada dasarnya
bekerja mulai dengan pertanyaan dan berakhir dengan pertanyaan. Berbeda dengan
filsafat, maka agama dimulai dari keyakinan, yang dikembangkan dalam pemikiran
dan kemudian memasuki peoses pencerahan, dengan menjalani pengalaman spiritual
dalam keyakinan kegaiban.
Dalam konsep
filsafat Islam, ilmu bisa diperoleh melalui dua jalan yaitu jalan kasbi atau
khushuli dan jalan ladunni atau khudhuri, jalan kasbi atau khusuli adalah cara
berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap
melaui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan, ilmu ini biasa
diperoleh oleh manusia pada umumnya, sehingga seseorang yang menempuh proses
itu, dengan sendirinya ia akan memperoleh ilmu tersebut. Sedangakan ilmu
ladunni atau khudhuri, diperoleh orang-orang tertentu, dengan tidak melalui
proses ilmu pada umumnya, tetapi oleh proses pencerahan oleh hadirnya cahaya
Ilahi dalam qalb, dengan hadirnya cahaya Ilahi itu semua pintu ilmu terbuka
menerangi kebenaran, terbaca dengan jelas dan terserap dalam keadaan intelek,
seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung. Disini
Tuhan bertindak sebagai pengajarnya.[11]
Apakah ilmu
ladunni atau khudhuri itu mungkin? Ya, sangat mungkin, karena seperti djelaskan
dalam Al-Qur’an bahwa Tuhan bertindak sebagai pengajar bagi adam yang telah
mengajarkan kepadanya nama-nama benda. Al-Qur’an 2:31 mengatakan :
وَعَلَّمَ
آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ
أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ (١)
Artinya : Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama
(benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu
berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar
orang-orang yang benar!”
Bukan hanya
kepada Adam, kepada manusia lainpun Tuhan juga bertindak sebagai pengajar yang
mengajarkan kepada manusia tentang apa yang tidak diketahuinya, seperti yang
ditegaskan oleh Al-Qur’an 96:3-5
اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (٣)الَّذِي عَلَّمَ
بِالْقَلَمِ (٤)عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Artinya :
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dalam kaitan
ini secara teknis Al-Qur’an memeperkenalkan suatu cara membaca dengan kesadaran
bahiyah, seperti dinyatakan Al-Qur’an 96:1
اقْرَأْ
بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١)
Artinya :
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
Membaca yang
diperintahkan Tuhan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti yang dijelaskan Al-Qur’an di
atas, tidak membaca deretan-deretan huruf-huruf dan susunan kata-kata, akan
tetapi membaca realitas dalam berbagi dimensinya dalam kehidupan di
sekelilingnya, dan melalui bacaan demikian, nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, memperoleh wawasan
spiritual dan penguasaan pengetahuan hikmah. Ini dimungkinkan karena nabi
mempunyai kecerdasan suci. Barangkali karena hikmah ini juga yang dinasehatkan
oleh gurunya imam Syafi’i ketika ia mengeluhkan kemampuannya mengenai
hafalannya yang jelek, dan gurunya memberi nasihat kepadanya untuk meninggalkan
atau tidak melakukan tindakan maksiat.
Dengan
membersihkan qalbu dan mengosongkan egoisme dan keakuannya ketitik nol, maka ia
berdiri dihadapan Tuhan, seperti seorang murid berhadapan dengan gurunya, Tuhan
hadir membukakan pintu kebenaran dan manusia masuk ke dalamnya, memasuki
kebenaran itu, dan ketika ia keluar, maka ia menjadi satu dengan kebenaran yang
telah dimasukinya.[12] Dalam keadaan demikian, ia mempunyai komitmen yang
tinggi atas kebenaran yang diserapnya dan ia melibatkan diri dalam proses
menjadikan kebenaran dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, mereka yang
sudah mencapai ilmu ladunni, akan ditandai oleh komitmennya yang tinggi dalam
perilaku kemanusiaan untuk membela kebenaran dan berusaha mewujudkannya dalam
kehidupan masyarakat.
D. KEBENARAN ILMU
Kebenaran
selalu berkaitan dengan dimensi keilmuan, menjadi prinsip yang fundamental
dalam epistemologi, dan di dalamnya tersusun nilai-nilai benar dan salah.
Kebenaran dalam wacana keilmuan, sepenuhnya bersandar kepada manusia, melalui
kemampuannya mengembangkan kapasitas berfikirnya yang bekerja untuk mencapai
suatu kebenaran, dan seringkali kebenaran itu gagal dicapainya, sebaliknya
berbagai kesalahan justru muncul, dan dari berbagia kesalahan, baru kemudian
didapatkan suatu kebenaran dan kebenaran menjadi anak kandung kesalahan.
Kebenaran hanya dapat diketahui seseorang karena ada kesalahan yang ditemuinya.
Oleh karena itu, kesalahan seharusnya membawa seseorang kepada kebenaran.
Kebenaran
dalam wacana ilmu adalah ketetapan metode dan kesesuaiannya antara pemikiran
dengan hukum-hukum internal dari obyek kajiannya.[13] Setiap obyek pemikiran
secara internal sudah ada hukum-hukum yang menajadi bagian dari adanya sejak
awal keberadaannya. Dengan pemahaman atas hukum-hukum itu, maka manusia bisa
memanfaatkan untuk kepentingan hidupnya, karena melalui pemahaman dan
penguasaan atas hukum-hukum itu, suatu kebudayaan akan terbentuk.
Oleh karena
obyek pemikiran itu berbeda, maka hukum-hukum internal dari obyek-obyek
pemikiran itu juga berbeda, sehingga perbedaan ini juga berakibat pada
perbedaan kebenaran, dan masing-masing ilmu pada dasarnya memiliki tingkat
kebenarannya sendiri-sendiri, yang masing-masing kebenaran itu tidak bisa
saling meniadakan. Kebenaran ilmu alam, berbeda dengan kebenaran filsafat dan
berbeda pula dengan kebenaran agama. Kebenaran ilmu alam lebih bersifat lebih
obyektif daripada kebenran filsafat dan agama, akan tetapi tidak berarti
tingkat obyektivitasnya dapat dicapai 100%.[14] Bagaimana pun juga, suatu
kebenaran ilmu, pada dataran apa pun, tidak terlepas dari kapasitas pemikiran,
dan pemikiran adalah bagian dari diri pribadi yang sangat kompleks, yang tidak
pernah dapat melepaskan diri dari bawaan pribadinya, dan ini akan sangat
berpengaruh pada realitas kebenaran itu.
Kebenaran ilmu pada
hakikatnya bersiafat relatif dan sementara, karena setiap kajian ilmu selalu
dipengaruhi oleh pilihan atau fokus yang bersifat parsial, selalu tidak pernah
menyeluruh yang meliputi berbagai dimensinya, dan dipengaruhi oleh realitas
ruang dan waktu yang selalu berubah. Perubahan-perubahan ini, tentu akan
berpenagruh pada realitas kebenaran yang ada. Apalgi sandaran ilmu adalah
pemikiran manusia, dan apapun yang bersandar kepada manusia, tidak akan pernah
menempati posisi mutlak dan abadi. Agama memang diyakini pemeluknya mempunyai
kebenaran mutlak, akan tetapi pemahaman, pemikiran, dan penafsiran manusia
terhadap agama yang mutlak itu, tidak pernah mutlak, karena pemikiran,
pemahaman dan pentafsiran itu bersandar pada manusia yang selamanya tidak akan pernah
menempati kemutlakan. Agama itu sendiri memang bersifat mutlak, karena agama
bersandar dan datang dari Tuhan, tetapi kemutlakannya itu bersifat internal,
bagi dan dalam dirinya. Memutlakan agama dapat dimengerti jika berlaku
internal, akan tetapi secara eksternal dalam arti pemikiran, penghayatan dan
pentafsiran manusia terhadap agama, dan juga dalam hubungannya dengan agama
yang lain, maka klaim mutlak-mutlakan itu akan dapat menjadi ancaman bagi
kerukunan umat beragama.
Dalam konsep
filasafat Islam, kebenaran sesungguhnya datang dari Tuhan, melalui hukum-hukum
yang sudah ada dan diterapkan pada setiap ciptaan-Nya, yaitu dalam alam
semesta, manusia dan Al-Qur’an. Semua itu merupakan ayat Tuhan yang menjadi
sumber kebenaran yang terkandung dalam sunnatullah: hukum alam, hukum akal
sehat dan juga hukum agama (moralitas). Al-Qur’an 3:60 menegaskan :
الْحَقُّ
مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُن مِّن الْمُمْتَرِينَ (٦٠)
Artinya
: (apa yang telah Kami ceritakan itu), Itulah yang benar, yang datang dari
Tuhanmu, karena itu janganlah kamu Termasuk orang-orang yang ragu-ragu.
Selanjutnya
Al-Qur’an 34:6 menegaskan :
وَيَرَى
الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ هُوَ الْحَقَّ
وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (٦)
Artinya : Dan
orang-orang yang diberi ilmu (ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Itulah yang benar dan menunjuki (manusia)
kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.
Tentang alam
semesta, Al-Qur’an 10:5 mengatakan :
هُوَ
الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ
لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ
بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (٥)
Artinya
: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan
ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu,
supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak
menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[669]. Dia menjelaskan
tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Selanjutnya
Al-Qur’an 15:85 mengatakan :
وَمَا
خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلاَّ بِالْحَقِّ وَإِنَّ
السَّاعَةَ لآتِيَةٌ فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ (٨٥)
Artinya : Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi
dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar. dan Sesungguhnya
saat (kiamat) itu pasti akan datang, Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang
baik.
Adapun
mengenai Al-Qur’an, ditegaskan dalam Al-Qur’an 2: 213:
كَانَ
النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ
وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ
النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُواْ فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلاَّ الَّذِينَ
أُوتُوهُ مِن بَعْدِ مَا جَاءتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى
اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ لِمَا اخْتَلَفُواْ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ
وَاللّهُ يَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ (٢١٣)
Artinya : Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah
timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi
peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi
keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah
berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada
mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang
nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk
orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka
perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang
yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Sedangkan
untuk manusia, Al-Qur’an 41:53 mengatakan:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ
حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ
عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (٥٣)
Artinya : Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah
cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
_______________________________________________
[8] Ada dua komponen pokok dalam ilmu, yaitu: 1) data exsperimen
dan observasi, dan 2) konsep-konsep dan teori-teori. Secara induktif, pencarian
ilmu dimulai dengan observasi-observasi dan kemudian merumuskan teori dengan
menggeneralisasikan pola-pola dalam data tersebut dan secara deduktif, teori-teori
tersebut dapat dicoba kembali melalui exsperimen- exsperimen dan
observasi-observasi. Lihat Ian G. Barbour, op. Cit, hlm.31-33.
[9] Teori-teori ilmiah, dalam berbagai lapangan eksperimen dan
observasional, secara umum bergantung dan disandarkan pada prinsip-prinsip dan
hukum kausalitas. Beberapa hukum kausalitas itu adalah: 1) prinsip kausalitas
yang menyatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab, 2) hukum keniscayaan,
yang menyatakan bahwa setiap sebab niscaya melahirkan akaibat alaminya, dan
bahwa tidak mungkin akaibat terpisah dari sebabnya, dan 3) hukum keselarasan
antara sebab dan akibat yang menyatakan bahwa setiap himpunan alam yang secara
esesnsial selaras mesti pula selaras dengan sebab akibatnya. Muhammad Baqir
ash-Shadr, op.cit., hlm. 208-209.
[10]Secara bahasa, kata hermeneutika berasal dari kata bahasa
yunani hermeneuein, yang berarti “menafsirkan” (to interpret). Kata benda
hermeneia, yang berarti penafsiran (interpretation), dan penafsiran itu sendiri
merupakan hasil gabungan dari pernyataan ”menerangkan” dan
”menerjemahkan.” sedangkan menurut istilah, ada enan definisi, antara
lain: 1) teori tentang penafsiran kitab suci, 2) metodologi filologi yang
dipakai pada umumnya, 3) untuk memahami segala bahasa, 4) dasar-dasar metodologi,
5) fenomenologi tentang eksistensi dan pemahaman tentang eksistensi, dan 6)
sistem tentang interpretasi yang digunakan oleh seseorang untuk memperoleh
makna dibalik mitos dan simbol. Masing-masing definisi tersebut memiliki titik
pandang yang berbeda, namun penekanannya adalah pada aktifitas interpretasi,
terutama teks. Lihat Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as
Method, Philoshopy and Critique, London: Routledge & Paul Kegan, 1980, hlm.
3-5 dan 33-35. bandingkan dengan David Ingram, “Hermeneutics and Truth”, dalam
Robert Hollinger (ed), Hermeneutics and Praxis, Indiana: university of Notre
Dame Press, 1985, hlm. 32-49. lihatjuga Richard J. Bernstein,” From
Hermeneutics to Praxis”, dalam, ibid., hlm. 272-290. bagi Barthes, Hermeneutika
sebagai sebuah kode, adalah artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki,
response stigma, penangguhan jawaban, yang akhirnya menuju pada jawaban. Lihat
Yasraf Amir Piliang, sebuah Dunia yang Dilipat, Bandung : Mizan, 1998, hlm.298.
[11] Konsep al-‘ilm al-hudhuri pertama kalinya diungkap oleh
Syihabuddin Suhrawardi. Bagi Suhrawardi, orang tidak bisa menyelidiki
pengetahuan orang lain yang berada di luar realitas dirinya sendiri sebelum
masuk dan mendalami pengetahuan tentang kediriannya sendiri yang tak lain
adalah ilmu al-hudhuri. Ciri utama ilmu ini dikemukakan oleh Shadruddin Syirazi
(Mullasadra), yaitu swa-obyektifitas, yakni apa yang sesungguhnya diketahui
oleh subyek yang mengetahui dan apa yang sesunguhnya eksis dalam sendirinya
adalah satu dan sama. Lawan dari jenis ilmu ini adalah al-ilm al-khushuli
al-irtisami, yaitu pengetahuan yang berdasarkan atas prinsip kebenaran
korespondensi atau representasional dan perolehan. Lihat Mehdi Ha’iri Yazdi.
Ilmi hudhuri; Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin
Mohammad, Bandung: Mizan, 1994.
[12] Ada enam langkah pengalaman keagamaan yang terjadi
diberbagai tradisi agama di dunia, antara lain: 1) pengalaman diri terhadap
yang suci, 2) pengalaman mistis tentang adanya kesatuan, yaitu antara Tuhan dan
individu, 3) pengalaman reorientasi transpormatif, contoh: dari perpisahan
menjadi pertemuan, 4) keberanian menanggung derita, 5) pengalaman kewajiban
moral, dan 6) pengalaman adanya keteraturan dan kreativitasnya terhadap alam.
Ian G. Barbour, op.cit., hlm. 36-38
[13] Beberapa teori dan konsep tentang kebenaran ilmu misalnya:
1) teori korespondensi, kebenaran sama dengan kenyataan yang ada, 2) teori
koherensi, kebenaran adalah sama dengan system ide yang koheren atau masuk
akal, 3) teori pragmatis, kebenaran adalah pencerahan sejauh memuaskan terhadap
satu situasi yang dihadapi. A.C. Ewing, The Fundamental Questions of
Philoshopy, Cambridge: Macmillan Company, 1962, hlm. 59-62.
[14] Obyektif atau ‘obyektivitas’ dalam hal ini harus dipahami
bukan dalam standar kebenaran yang tidak terkait dengan kepentingan-kepentingan
non-positivistik. Melainkan obyektif dalam arti bahwa materi fisik sebagi
bidang garaf ilmu alam dieksplanasi sedemikian rupa oleh metode kerja ilmu
tersebut. Berkaitan dengan bidang ilmu-ilmu sosial, meskipun obyektivitas ini
dapat digunakan sebagai karakteristik kebenarannya, tetapi semakin disadari
bahwa persepsi tentang manusia dan masyarakat, desain maupun metode
penelitiannya berpangkal pada asumsi nilai tersebut. Misalnya teori ilmu sosial
terbatas pada watak kebudayaan dan kelas tertentu. Lihat kritik Jurgen
Habermas, Knowledge and Human Interest, Bosto, 1971, terutama hlm. 43-63