EPISTEMOLOGI ISLAM Bagian 2


C. CARA MEMPEROLEH ILMU

Setiap obyek kajian keilmuan, menuntut suatu metode yang sesuai dengan obyek kajiannya itu, sehingga metode kajian selalu menyesuaikan dengan obyeknya. Metode kajian adalah jalan dan cara yang ditempuh untuk menemukan prinsip-prinsip kebenaran yang terkandung pada obyek kajiannya, dan kemudian dirumuskan dalam konsep teoritik, dengan menyesuaikan dengan obyek kajian, sehingga tidak terjadi kesalahan pendekatan, seperti mengergaji untuk menumbangkankan pohon jati dengan pisau silet.[8]

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjcfM5MPB-i6YLNuvR1Hsa8jWL0_DyUbdLICZKeChxUoBuzgNVyeKnMKIfgoNxOM9IR_IRJmYdMDP7rpVRrB-somTAP-NFt3xKRxBqVQ6IAsLFyoIQ34vvPAQw88In9u5x5pnHuNrKvRh1X/s1600/Epistemologi+Dalam+Perspektif+Islam.png
Secara umum, konsep teoritik tidak bisa dilepaskan dari suatu metode yang menjadi bagian penting dari proses ilmu. Dalam ilmu alam, proses itu berlangsung melalui kegiatan pengamatan untuk menyusun hipotesis, kemudian diikuti percobaan-percobaan empirik, untuk menjadi dasar perumusan dan penentuan suatu teori, dari susunan hukum-hukum keilmuan (scientific laws).[9] Demikian juga halnya yang berlaku dalam ilmu humaniora (kemanusiaan), yang berusaha mengikuti cara kerja ilmu alam, akan tetapi karena obyek kajiannya adalah manusia yang bersifat kompleks dan multi dimensi, dan pelaku atau subyek ilmunya adalah manusia juga, sebagai individu dan warga masyarakat, maka tidak cukup proses ilmu dijelaskan hanya dengan hukum sebab akibat, sehingga hermenetika[10] diperlukan, disamping itu juga sulit menjaga obyektivitasnya. Sedangkan cara kerja filsafat, sulit dirumuskan secara umum, karena masing-masing filosof mempunyai metodenya sendiri-sendiri. Metode para filosof dibangun oleh pengalamannya sendiri selama bertahun-tahun dalam perenungan dan pemikiran bebas. Filsafat pada dasarnya bekerja mulai dengan pertanyaan dan berakhir dengan pertanyaan. Berbeda dengan filsafat, maka agama dimulai dari keyakinan, yang dikembangkan dalam pemikiran dan kemudian memasuki peoses pencerahan, dengan menjalani pengalaman spiritual dalam keyakinan kegaiban.
Dalam konsep filsafat Islam, ilmu bisa diperoleh melalui dua jalan yaitu jalan kasbi atau khushuli dan jalan ladunni atau khudhuri, jalan kasbi atau khusuli adalah cara berfikir sistematik dan metodik yang dilakukan secara konsisten dan bertahap melaui proses pengamatan, penelitian, percobaan dan penemuan, ilmu ini biasa diperoleh oleh manusia pada umumnya, sehingga seseorang yang menempuh proses itu, dengan sendirinya ia akan memperoleh ilmu tersebut. Sedangakan ilmu ladunni atau khudhuri, diperoleh orang-orang tertentu, dengan tidak melalui proses ilmu pada umumnya, tetapi oleh proses pencerahan oleh hadirnya cahaya Ilahi dalam qalb, dengan hadirnya cahaya Ilahi itu semua pintu ilmu terbuka menerangi kebenaran, terbaca dengan jelas dan terserap dalam keadaan intelek, seakan-akan orang tersebut memperoleh ilmu dari Tuhan secara langsung. Disini Tuhan bertindak sebagai pengajarnya.[11]
Apakah ilmu ladunni atau khudhuri itu mungkin? Ya, sangat mungkin, karena seperti djelaskan dalam Al-Qur’an bahwa Tuhan bertindak sebagai pengajar bagi adam yang telah mengajarkan kepadanya nama-nama benda. Al-Qur’an 2:31 mengatakan :
وَعَلَّمَ آدَمَ الأَسْمَاء كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى الْمَلاَئِكَةِ فَقَالَ أَنبِئُونِي بِأَسْمَاء هَـؤُلاء إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ (١)
Artinya :    Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”
Bukan hanya kepada Adam, kepada manusia lainpun Tuhan juga bertindak sebagai pengajar yang mengajarkan kepada manusia tentang apa yang tidak diketahuinya, seperti yang ditegaskan oleh Al-Qur’an 96:3-5
 اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (٣)الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ (٥)
Artinya : Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dalam kaitan ini secara teknis Al-Qur’an memeperkenalkan suatu cara membaca dengan kesadaran bahiyah, seperti dinyatakan Al-Qur’an 96:1
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (١)
Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
Membaca yang diperintahkan Tuhan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti yang dijelaskan Al-Qur’an di atas, tidak membaca deretan-deretan huruf-huruf dan susunan kata-kata, akan tetapi membaca realitas dalam berbagi dimensinya dalam kehidupan di sekelilingnya, dan melalui bacaan demikian, nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, memperoleh wawasan spiritual dan penguasaan pengetahuan hikmah. Ini dimungkinkan karena nabi mempunyai kecerdasan suci. Barangkali karena hikmah ini juga yang dinasehatkan oleh gurunya imam Syafi’i ketika ia mengeluhkan kemampuannya mengenai hafalannya yang jelek, dan gurunya memberi nasihat kepadanya untuk meninggalkan atau tidak melakukan tindakan maksiat.
Dengan membersihkan qalbu dan mengosongkan egoisme dan keakuannya ketitik nol, maka ia berdiri dihadapan Tuhan, seperti seorang murid berhadapan dengan gurunya, Tuhan hadir membukakan pintu kebenaran dan manusia masuk ke dalamnya, memasuki kebenaran itu, dan ketika ia keluar, maka ia menjadi satu dengan kebenaran yang telah dimasukinya.[12]  Dalam keadaan demikian, ia mempunyai komitmen yang tinggi atas kebenaran yang diserapnya dan ia melibatkan diri dalam proses menjadikan kebenaran dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, mereka yang sudah mencapai ilmu ladunni, akan ditandai oleh komitmennya yang tinggi dalam perilaku kemanusiaan untuk membela kebenaran dan berusaha mewujudkannya dalam kehidupan masyarakat.

D. KEBENARAN ILMU

Kebenaran selalu berkaitan dengan dimensi keilmuan, menjadi prinsip yang fundamental dalam epistemologi, dan di dalamnya tersusun nilai-nilai benar dan salah. Kebenaran dalam wacana keilmuan, sepenuhnya bersandar kepada manusia, melalui kemampuannya mengembangkan kapasitas berfikirnya yang bekerja untuk mencapai suatu kebenaran, dan seringkali kebenaran itu gagal dicapainya, sebaliknya berbagai kesalahan justru muncul, dan dari berbagia kesalahan, baru kemudian didapatkan suatu kebenaran dan kebenaran menjadi anak kandung kesalahan. Kebenaran hanya dapat diketahui seseorang karena ada kesalahan yang ditemuinya. Oleh karena itu, kesalahan seharusnya membawa seseorang kepada kebenaran.
Kebenaran dalam wacana ilmu adalah ketetapan metode dan kesesuaiannya antara pemikiran dengan hukum-hukum internal dari obyek kajiannya.[13] Setiap obyek pemikiran secara internal sudah ada hukum-hukum yang menajadi bagian dari adanya sejak awal keberadaannya. Dengan pemahaman atas hukum-hukum itu, maka manusia bisa memanfaatkan untuk kepentingan hidupnya, karena melalui pemahaman dan penguasaan atas hukum-hukum itu, suatu kebudayaan akan terbentuk.
Oleh karena obyek pemikiran itu berbeda, maka hukum-hukum internal dari obyek-obyek pemikiran itu juga berbeda, sehingga perbedaan ini juga berakibat pada perbedaan kebenaran, dan masing-masing ilmu pada dasarnya memiliki tingkat kebenarannya sendiri-sendiri, yang masing-masing kebenaran itu tidak bisa saling meniadakan. Kebenaran ilmu alam, berbeda dengan kebenaran filsafat dan berbeda pula dengan kebenaran agama. Kebenaran ilmu alam lebih bersifat lebih obyektif daripada kebenran filsafat dan agama, akan tetapi tidak berarti tingkat obyektivitasnya dapat dicapai 100%.[14] Bagaimana pun juga, suatu kebenaran ilmu, pada dataran apa pun, tidak terlepas dari kapasitas pemikiran, dan pemikiran adalah bagian dari diri pribadi yang sangat kompleks, yang tidak pernah dapat melepaskan diri dari bawaan pribadinya, dan ini akan sangat berpengaruh pada realitas kebenaran itu.
Kebenaran ilmu pada hakikatnya bersiafat relatif dan sementara, karena setiap kajian ilmu selalu dipengaruhi oleh pilihan atau fokus yang bersifat parsial, selalu tidak pernah menyeluruh yang meliputi berbagai dimensinya, dan dipengaruhi oleh realitas ruang dan waktu yang selalu berubah. Perubahan-perubahan ini, tentu akan berpenagruh pada realitas kebenaran yang ada. Apalgi sandaran ilmu adalah pemikiran manusia, dan apapun yang bersandar kepada manusia, tidak akan pernah menempati posisi mutlak dan abadi. Agama memang diyakini pemeluknya mempunyai kebenaran mutlak, akan tetapi pemahaman, pemikiran, dan penafsiran manusia terhadap agama yang mutlak itu, tidak pernah mutlak, karena pemikiran, pemahaman dan pentafsiran itu bersandar pada manusia yang selamanya tidak akan pernah menempati kemutlakan. Agama itu sendiri memang bersifat mutlak, karena agama bersandar dan datang dari Tuhan, tetapi kemutlakannya itu bersifat internal, bagi dan dalam dirinya. Memutlakan agama dapat dimengerti jika berlaku internal, akan tetapi secara eksternal dalam arti pemikiran, penghayatan dan pentafsiran manusia terhadap agama, dan juga dalam hubungannya dengan agama yang lain, maka klaim mutlak-mutlakan itu akan dapat menjadi ancaman bagi kerukunan umat beragama.
Dalam konsep filasafat Islam, kebenaran sesungguhnya datang dari Tuhan, melalui hukum-hukum yang sudah ada dan diterapkan pada setiap ciptaan-Nya, yaitu dalam alam semesta, manusia dan Al-Qur’an. Semua itu merupakan ayat Tuhan yang menjadi sumber kebenaran yang terkandung dalam sunnatullah: hukum alam, hukum akal sehat dan juga hukum agama (moralitas). Al-Qur’an 3:60 menegaskan :
الْحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلاَ تَكُن مِّن الْمُمْتَرِينَ (٦٠)
 Artinya : (apa yang telah Kami ceritakan itu), Itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu Termasuk orang-orang yang ragu-ragu.
Selanjutnya Al-Qur’an 34:6 menegaskan :
وَيَرَى الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ الَّذِي أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ هُوَ الْحَقَّ وَيَهْدِي إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ (٦)
Artinya : Dan orang-orang yang diberi ilmu (ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu Itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.
Tentang alam semesta, Al-Qur’an 10:5 mengatakan :
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاء وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُواْ عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللّهُ ذَلِكَ إِلاَّ بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (٥)
 Artinya : Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[669]. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Selanjutnya Al-Qur’an 15:85 mengatakan :
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا إِلاَّ بِالْحَقِّ وَإِنَّ السَّاعَةَ لآتِيَةٌ فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ (٨٥)
Artinya :    Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, melainkan dengan benar. dan Sesungguhnya saat (kiamat) itu pasti akan datang, Maka maafkanlah (mereka) dengan cara yang baik.
Adapun mengenai Al-Qur’an, ditegaskan dalam Al-Qur’an 2: 213:
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ وَأَنزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُواْ فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلاَّ الَّذِينَ أُوتُوهُ مِن بَعْدِ مَا جَاءتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ لِمَا اخْتَلَفُواْ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللّهُ يَهْدِي مَن يَشَاء إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ (٢١٣)
Artinya :    Manusia itu adalah umat yang satu. (setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus Para Nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, Yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Sedangkan untuk manusia, Al-Qur’an 41:53 mengatakan:
 سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (٥٣)
Artinya :    Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?

_______________________________________________
[8] Ada dua komponen pokok dalam ilmu, yaitu: 1) data exsperimen dan observasi, dan 2) konsep-konsep dan teori-teori. Secara induktif, pencarian ilmu dimulai dengan observasi-observasi dan kemudian merumuskan teori dengan menggeneralisasikan pola-pola dalam data tersebut dan secara deduktif, teori-teori tersebut dapat dicoba kembali melalui exsperimen- exsperimen dan observasi-observasi. Lihat Ian G. Barbour, op. Cit, hlm.31-33.

[9] Teori-teori ilmiah, dalam berbagai lapangan eksperimen dan observasional, secara umum bergantung dan disandarkan pada prinsip-prinsip dan hukum kausalitas. Beberapa hukum kausalitas itu adalah: 1) prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa setiap peristiwa mempunyai sebab, 2) hukum keniscayaan, yang menyatakan bahwa setiap sebab niscaya melahirkan akaibat alaminya, dan bahwa tidak mungkin akaibat terpisah dari sebabnya, dan 3) hukum keselarasan antara sebab dan akibat yang menyatakan bahwa setiap himpunan alam yang secara esesnsial selaras mesti pula selaras dengan sebab akibatnya. Muhammad Baqir ash-Shadr, op.cit., hlm. 208-209.

[10]Secara bahasa, kata hermeneutika berasal dari kata bahasa yunani hermeneuein, yang berarti “menafsirkan” (to interpret). Kata benda hermeneia, yang berarti penafsiran (interpretation), dan penafsiran itu sendiri merupakan hasil gabungan dari pernyataan ”menerangkan” dan ”menerjemahkan.”  sedangkan menurut istilah, ada enan definisi, antara lain: 1) teori tentang penafsiran kitab suci, 2) metodologi filologi yang dipakai pada umumnya, 3) untuk memahami segala bahasa, 4) dasar-dasar metodologi, 5) fenomenologi tentang eksistensi dan pemahaman tentang eksistensi, dan 6) sistem tentang interpretasi yang digunakan oleh seseorang untuk memperoleh makna dibalik mitos dan simbol. Masing-masing definisi tersebut memiliki titik pandang yang berbeda, namun penekanannya adalah pada aktifitas interpretasi, terutama teks. Lihat Josef Bleicher, Contemporary Hermeneutics; Hermeneutics as Method, Philoshopy and Critique, London: Routledge & Paul Kegan, 1980, hlm. 3-5 dan 33-35. bandingkan dengan David Ingram, “Hermeneutics and Truth”, dalam Robert Hollinger (ed), Hermeneutics and Praxis, Indiana: university of Notre Dame Press, 1985, hlm. 32-49. lihatjuga Richard J. Bernstein,” From Hermeneutics to Praxis”, dalam, ibid., hlm. 272-290. bagi Barthes, Hermeneutika sebagai sebuah kode, adalah artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, response stigma, penangguhan jawaban, yang akhirnya menuju pada jawaban. Lihat Yasraf Amir Piliang, sebuah Dunia yang Dilipat, Bandung : Mizan, 1998, hlm.298.

[11] Konsep al-‘ilm al-hudhuri pertama kalinya diungkap oleh Syihabuddin Suhrawardi. Bagi Suhrawardi, orang tidak bisa menyelidiki pengetahuan orang lain yang berada di luar realitas dirinya sendiri sebelum masuk dan mendalami pengetahuan tentang kediriannya sendiri yang tak lain adalah ilmu al-hudhuri. Ciri utama ilmu ini dikemukakan oleh Shadruddin Syirazi (Mullasadra), yaitu swa-obyektifitas, yakni apa yang sesungguhnya diketahui oleh subyek yang mengetahui dan apa yang sesunguhnya eksis dalam sendirinya adalah satu dan sama. Lawan dari jenis ilmu ini adalah al-ilm al-khushuli al-irtisami, yaitu pengetahuan yang berdasarkan atas prinsip kebenaran korespondensi atau representasional dan perolehan. Lihat Mehdi Ha’iri Yazdi. Ilmi hudhuri; Prinsip-prinsip Epistemologi dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Mohammad, Bandung: Mizan, 1994.

[12] Ada enam langkah pengalaman keagamaan yang terjadi diberbagai tradisi agama di dunia, antara lain: 1) pengalaman diri terhadap yang suci, 2) pengalaman mistis tentang adanya kesatuan, yaitu antara Tuhan dan individu, 3) pengalaman reorientasi transpormatif, contoh: dari perpisahan menjadi pertemuan, 4) keberanian menanggung derita, 5) pengalaman kewajiban moral, dan 6) pengalaman adanya keteraturan dan kreativitasnya terhadap alam. Ian G. Barbour, op.cit., hlm. 36-38

[13] Beberapa teori dan konsep tentang kebenaran ilmu misalnya: 1) teori korespondensi, kebenaran sama dengan kenyataan yang ada, 2) teori koherensi, kebenaran adalah sama dengan system ide yang koheren atau masuk akal, 3) teori pragmatis, kebenaran adalah pencerahan sejauh memuaskan terhadap satu situasi yang dihadapi. A.C. Ewing, The Fundamental Questions of Philoshopy, Cambridge: Macmillan Company, 1962, hlm. 59-62.

[14] Obyektif atau ‘obyektivitas’ dalam hal ini harus dipahami bukan dalam standar kebenaran yang tidak terkait dengan kepentingan-kepentingan non-positivistik. Melainkan obyektif dalam arti bahwa materi fisik sebagi bidang garaf ilmu alam dieksplanasi sedemikian rupa oleh metode kerja ilmu tersebut. Berkaitan dengan bidang ilmu-ilmu sosial, meskipun obyektivitas ini dapat digunakan sebagai karakteristik kebenarannya, tetapi semakin disadari bahwa persepsi tentang manusia dan masyarakat, desain maupun metode penelitiannya berpangkal pada asumsi nilai tersebut. Misalnya teori ilmu sosial terbatas pada watak kebudayaan dan kelas tertentu. Lihat kritik Jurgen Habermas, Knowledge and Human Interest, Bosto, 1971, terutama hlm. 43-63


Related Posts: