Oleh: Iswara N Raditya || 20 Juni 2017
Teori Cina (9 M) dan Persia (13 M)
Perdebatan dan Ragam Versi Masuknya Islam ke Nusantara
Sejumlah umat muslim melaksanakan salat Jumat pertama di bulan Ramadan di selasar dan lorong di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat, (2/6). tirto.id/Andrey Gromico |
Kapan pertama kali ajaran Islam masuk ke Nusantara? Dari mana dan dibawa oleh siapa? Ternyata banyak versi dan teori.
Berbagai teori mengenai kapan dan berasal dari mana masuknya ajaran
Islam ke Nusantara ternyata masih menarik untuk dikulik, terlebih ketika
“kajian” tentang Kesultanan Majapahit dan klaim Gaj Ahmada sebagai nama muslim
Gajah Mada dimunculkan yang lantas memantik kehebohan.
Kerajaan (bukan kesultanan atau istilah untuk menyebut kerajaan Islam)
Majapahit yang selama ini dipercaya menganut agama Hindu dan Buddha berdiri
sejak 1293 M atau akhir abad ke-11 dengan pusatnya di Jawa bagian timur
(Nicholas Tarling, The Cambridge History
of Southeast Asia, 1999).
Lantas, apakah agama Islam sudah masuk dan berkembang di Jawa ketika
atau bahkan sebelum Majapahit berdiri? Setidaknya ada 5 versi terkait
teori-teori tentang masuknya ajaran Islam ke Nusantara beserta para pembawanya
dan asalnya dari mana, yakni teori Arab (Timur Tengah), teori Cina, serta teori
Gujarat (India) dan teori Persia (Iran), hingga teori Maritim.
Teori Timur Tengah (Abad 7 M)
Teori Timur Tengah, atau tepatnya dari Arab, merupakan versi yang
cenderung paling banyak diyakini terkait perkiraan masuknya ajaran Islam ke
Nusantara. Beberapa ahli yang mendukung teori ini adalah J.C. van Leur, Anthony
H. Johns, T.W. Arnold, dan Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka.
Buya Hamka menolak anggapan bahwa Islam dibawa oleh pedagang dari
Gujarat (India) sejak abad ke-13 Masehi. Sanggahan ini dikemukakan oleh tokoh
asal Sumatera Barat itu dalam “Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam ke
Indonesia” di Medan pada 1963 (Yusran Rusydi, Buya Hamka: Pribadi dan Martabat,
2017).
Menurut Hamka, Islam sudah ada di Nusantara sejak abad ke-7 M atau
tahun-tahun awal Hijriah, dibawa oleh bangsa Arab, khususnya dari Mekkah.
Hamka, seperti dikutip dari A. Shihabuddin (2013:474) dalam Membongkar
Kejumudan: Menjawab Tuduhan-Tuduhan Salafi Wahhabi, disebutkan bahwa Gujarat
hanya sebagai tempat singgah bagi para pedagang Arab itu sebelum menuju ke
Nusantara
Baca Juga: Al-Zahrawi, Mahaguru Dokter Bedah Sedunia
Salah satu bukti yang diajukan Hamka adalah naskah kuno dari Cina yang
menyebutkan, sekelompok bangsa Arab telah bermukim di kawasan Pantai Barat
Sumatera (tepatnya di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara) pada 625 M
(Hamka, Sejarah Umat Islam, 1997). Di Barus, yang pernah dikuasai Kerajaan
Sriwijaya, juga ditemukan nisan kuno bertuliskan nama Syekh Rukunuddin, wafat
tahun 672 M.
Keyakinan Hamka tersebut dikuatkan oleh teori yang dikemukakan oleh T.W.
Arnold sebelumnya, berdasarkan sumber yang sama yaitu berita dari Cina. Arnold
(1935) dalam The Preaching of Islam menyebut bahwa ada seorang pembesar Arab
yang menjadi kepala daerah pendudukan bangsa Arab di Pantai Barat Sumatera pada
674 M .
Teori datangnya Islam ke Nusantara berasal dari Timur Tengah, meskipun
tidak hanya dari Mekkah, juga pernah dimunculkan. Crawfurd (1820), Keyzer
(1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan P.J. Veth (1878), meyakini
Islam datang dari Hadramaut atau Yaman Selatan (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, 2004).
Yang menjadi landasan atas teori ini adalah bahwa orang-orang Islam di
Hadramaut adalah pengikut mazhab Syafii, seperti halnya di Indonesia
(Hermansyah & Zulkhairi, Transformasi Syair Jauharat At-Tauhid di
Nusantara, 2014). Selain itu, ada pula yang menyebut Islam datang ke Nusantara
dari Mesir dengan alasan serupa.
Teori Gujarat-India (Abad 13 M)
Sebelum Hamka membantah, ada teori lain yang mempercayai ajaran Islam
dibawa ke Nusantara oleh pedagang Gujarat (India) pada awal abad ke-13 M. Teori
ini dicetuskan oleh G.W.J. Drewes yang lantas dikembangkan oleh Snouck
Hugronje, J. Pijnapel, W.F. Sutterheim, J.P. Moquette, hingga Sucipto
Wirjosuparto.
Drewes sebenarnya tidak menyebut bahwa yang membawa ajaran Islam ke
Indonesia adalah para pedagang India, namun oleh kaum saudagar asal Arab yang
terlebih dulu menetap di Gujarat sebelum melanjutkan rute dagangnya ke
Nusantara sekaligus untuk syiar Islam (Nur Syam, Islam Pesisir, 2005).
Teori Drews lalu dikembangkan, terutama oleh Hurgronje yang menyebut
bahwa Islam masuk ke Nusantara seiring terjalinnya relasi niaga antara kerajaan
atau masyarakat lokal dengan pedagang Gujarat dari India Selatan (Habib
Mustopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur, 2001).
Baca Juga: Tamatnya Kerajaan Kristen Pertama di Nusantara
Argumen Hurgronje ini didasarkan atas peranan orang-orang Gujarat yang
telah membuka hubungan dagang dengan bangsa lokal Indonesia sebelum para
pedagang dari Timur Tengah atau Arab. Menurutnya, yang pertamakali dimasuki
para saudagar muslim-Gujarat itu adalah wilayah Kesultanan Samudera Pasai di
Aceh.
Hurgronje didukung oleh sejumlah pakar lainnya, termasuk Moquette dan
Wirjosuparto, yang memaparkan bukti berupa corak batu nisan Sultan Malik
As-Saleh (Marah Silu) memiliki kemiripan dengan corak nisan di Gujarat, juga
hubungan dagang antara Nusantara dengan India telah lama terjalin (Uka
Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, 2009).
Namun, teori ini dinilai kurang sahih karena memiliki banyak kelemahan.
Selain seperti kata Hamka, yakni bahwa India hanya menjadi persinggahan para
pedagang dari Arab, Gujarat pada abad ke-12 hingga 13 M masih merupakan wilayah
Hindu. Ajaran Islam yang kemudian masuk ke Gujarat pun berasal dari mazhab
Hanafi, bukan mazhab Syafii yang lebih lekat dengan muslim Nusantara.
Baca Juga: Sejarah Pemikiran - Bercorak Islam atau Bercorak Arab
Teori Cina (9 M) dan Persia (13 M)
Pendapat lain terkait masuknya Islam ke Nusantara adalah teori Cina.
Diyakini bahwa Islam memasuki Indonesia bersama migrasi orang-orang Cina ke
Asia Tenggara dan memasuki Palembang pada 879 atau abad 9 M. Slamet Muljana dan
Sumanto Al Qurtuby adalah pendukung teori ini (Tsabit Azinar Ahmad, Sejarah
Kontroversial di Indonesia, 2016). Ajaran Islam sendiri berkembang di Cina pada
masa Dinasti Tang (618-905 M), dibawa oleh panglima muslim dari kekhalifahan di
Madinah semasa era Khalifah Ustman bin Affan, yakni Saad bin Abi Waqqash. Jean
A. Berlie (2004) dalam buku Islam in China menyebut relasi pertama antara
orang-orang Islam dari Arab dengan bangsa Cina terjadi pada 713 M.
Namun, teori ini juga diragukan. Relasi langsung Cina dengan Nusantara
baru terjadi antara abad 13-15 M (semisal terkait Panglima Cheng Ho, atau Raden
Patah dan beberapa orang Walisongo yang oleh Slamet Muljana [2005] dalam
Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara
disebut keturunan Cina) meskipun hubungan dagang jarak jauhnya sudah ada
sebelum itu.
Berkembang pula teori Persia dari Umar Amir Husen dan Hoesein
Djajadiningrat. Dikutip dari Reception Through Selection-Modification:
Antropologi Hukum Islam di Indonesia karya Abdurrahman Misno (2016),
Djajadiningrat berpendapat bahwa tradisi dan kebudayaan Islam di Indonesia
memiliki persamaan dengan Persia (Iran), semisal seni kaligrafi yang terpahat
pada batu-batu nisan bercorak Islam di Nusantara.
Contoh lain adalah tradisi peringatan 10 Muharam atau tradisi budaya
Islam-Persia yang juga mirip dengan tradisi serupa di Nusantara, yakni upacara
Tabuik atau Tabut di beberapa wilayah pesisir Sumatera (Abdurrachman Mas'ud,
Dari Haramain ke Nusantara, 2006).
Baca Juga: Sejarah Masuknya Islam di Nusantara
Selain itu, seperti yang dinukil dari Jaih Mubarak (2008) dalam buku
Sejarah Peradaban Islam, ada kesamaan mazhab antara muslim Indonesia dan
sebagian wilayah Persia pada saat itu, yakni menganut mazhab Syafii. Namun,
teori Persia ini juga masih kalah kuat ketimbang teori Arab, dan akhirnya
runtuh.
Teori Maritim dan Lainnya
Di samping teori-teori “besar” terkait klaim masuknya ajaran Islam ke
Nusantara, muncul pula sejumlah versi lainnya, termasuk teori Maritim. Ini
mirip dengan salah satu teori masuk dan berkembangnya ajaran Hindu-Buddha di
Indonesia, yakni teori Arus-Balik.
Teori Maritim meyakini bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotori oleh
orang lokal sendiri yang ulung dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Mereka
berlayar ke negeri-negeri yang jauh, termasuk ke wilayah asal Islam atau negeri
yang sudah menganut Islam, berinteraksi dengan orang-orang di sana, dan kembali
ke tanah air dengan membawa ajaran Islam yang kemudian disebarkan.
Sejarawan asal Pakistan, N.A. Baloch, mempertegas argumen itu dengan
menyebut bahwa para pelaut dan pedagang asli Nusantara bersinggungan langsung
dengan para saudagar muslim, terutama yang datang dari Timur Tengah, khususnya
Arab.
Mereka kemudian memperkenalkan Islam di jalur perniagaan yang
disinggahi. Menurut Baloch, ini terjadi pada sekitar abad ke-7 M dan dimulai
dari pesisir Aceh dan seterusnya hingga tersebar lebih luas (Akhmad Jenggis
Prabowo, Kebangkitan Islam, 2011).
Masih ada pula sekelumit teori lainnya, seperti dari Mesir atau Turki.
Namun argumen dan bukti-bukti yang dipaparkan tidak cukup kuat sehingga
terpatahkan. Atau, teori-teori lain itu biasanya tetap bermuara pada peran kaum
pedagang dari Arab yang diyakini memiliki andil paling sentral dalam upaya
masuknya ajaran Islam ke Indonesia.
Ada berbagai pendapat dari para ahli terkait masuknya ajaran Islam ke wilayah Nusantara.
_________________________________________
Reporter :
Iswara N Raditya
Penulis :
Iswara N Raditya
Editor :
Iswara N Raditya