Oleh: Fadrik Aziz Firdausi || 19 Juli 2018
Malaria menjadi momok mengerikan bagi penduduk Batavia pada abad ke-18. Penyebabnya masih misterius, tetapi obatnya telah diketahui.
Pabrik kina sebagai obat Malaria pada era kolonial di Bandung (ca. 1920). FOTO/Tropenmuseum |
Malaria menjadi momok mengerikan bagi penduduk Batavia pada abad ke-18. Penyebabnya masih misterius, tetapi obatnya telah diketahui.
Pada tahun-tahun awal perkembangan Batavia, kota ini pernah mendapat
julukan sebagai “Ratu dari Timur”—sebuah permukiman Eropa terbaik di dunia oriental.
Tetapi, predikat itu perlahan luntur pada abad ke-18. Malaria jadi
gara-garanya.
Pada 1732, VOC baru saja menyelesaikan penggalian kanal baru. Tak lama
setelah itu, banyak penduduk yang bermukim di sekitar kanal mendadak jatuh
sakit. Kanal baru tersebut agak jauh dari benteng kota Batavia, akan tetapi
wabah penyakit menyebar juga ke dalam kota. Hingga seabad selanjutnya, penyakit
itu, yang kemudian dikenal sebagai malaria, menjadi momok mengerikan bagi warga
kota.
Sejarawan Bernard H.M. Vlekke dalam karya klasiknya, Nusantara: Sejarah
Indonesia (2018), menulis, “tidak bisa dijelaskan mengapa penyakit itu muncul
begitu tiba-tiba atau, paling tidak, mengapa penyakit itu menyebar luas begitu
mendadak setelah 1731 dan apakah penggalian kanal baru itu berhubungan dengan
hal itu. Dokter masa itu gagal menemukan penyebabnya” (hlm. 197).
Penduduk Batavia mengira epidemi itu disebabkan cuaca tropis dan kondisi
kebersihan kota yang kian hari kian memburuk. Dalam anggapan mereka, udara
berbau busuk yang menguar dari kanal-kanal yang kotor adalah pembawa penyakit
itu. Selama bertahun-tahun korban paling banyak adalah orang Eropa. Penduduk
pribumi, meskipun tak terlalu peduli dengan kualitas lingkungan, justru lebih
kebal.
Dengan cepat pamor Batavia sebagai kota persinggahan orang Eropa di
Kepulauan Hindia merosot. Dari awalnya dikenal sebagai kota tercantik, pada
paruh akhir abad ke-18 ia berubah jadi kota paling tak sehat di timur. Penduduk
Eropa yang cukup berada memilih pindah ke pedesaan di selatan yang lebih sehat.
Kondisi itu membuat kapal-kapal orang Eropa sebisa mungkin menghindari
singgah di Batavia. Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011)
mencatat penyesalan pelaut Inggris Kapten James Cook yang pada 1770 terpaksa
berlabuh di Batavia karena kapalnya rusak. Ketika ia tiba pada Oktober, seluruh
awak kapalnya dalam keadaan sehat. Namun, hanya berselang dua bulan banyak di
antara mereka terjangkiti malaria dan tujuh orang meninggal (hlm. 58).
“Lebih banyak orang Eropa meninggal karena udara yang tidak sehat di
Batavia daripada di tempat-tempat lain di dunia,” tulis Kapten Cook dalam
jurnalnya sebagaimana dikutip Blackburn.
Penanaman Kina
Meskipun sebab pasti malaria belum diketahui, tetapi orang Eropa sudah
tahu obat penangkalnya. Obat itu diperoleh dengan mengekstrak sari pati kulit
pohon kina yang disebut kinine. Sayangnya, pohon kina saat itu hanya bisa
ditemukan di pegunungan Andes di Amerika Selatan.
Pada awal abad ke-19, produksi kinine dari Amerika Selatan dikendalikan
Peru dan Bolivia. Pasokannya sedikit dan hanya orang-orang tertentu saja yang
mampu membelinya. Padahal, pada 1840-an, pengobatan malaria dengan kinine
menjadi praktik standar di koloni Inggris di Afrika. Penggunaan kinine kemudian
menyebar pula ke Asia, termasuk Hindia Belanda.
Karena itu, aklimatisasi pohon kina di Jawa lantas jadi obsesi
pemerintah kolonial. Selain menjanjikan keuntungan ekonomis, produksi kina juga
berguna untuk menekan epidemi malaria di tanah jajahan.
Seturut penelusuran Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan:
Dari Hindia Belanda sampai Orde Baru (2014), adalah botanikus J.K. Hasskarl
yang berhasil membawa bibit pohon kina dari Peru ke Jawa pada 1854. Usaha
Hasskarl itu lalu dilanjutkan Franz Wilhelm Junghuhn, botanikus Belanda
kelahiran Jerman, yang cukup berhasil mengembangkan perkebunan kina di dataran
tinggi Malabar.
“Selama delapan tahun berikutnya Junghuhn bekerja tanpa kenal
lelah—menanam stek, menguji kulit batang, dan menulis buku petunjuk—semuanya
demi menghasilkan lebih banyak lagi pohon kina,” tulis Goss (hlm. 61).
Riset Malaria Modern
Parasit penyebab malaria baru diketahui pada 1880 oleh Dokter Charles
Alphonse Laveran. Patologis asal Perancis itu menemukannya ketika bertugas
sebagai dokter bedah di Algeria. Ketika mengotopsi tubuh seorang korban malaria
di sana, Dokter Laveran mengidentifikasi adanya protozoa dalam darah si korban.
Protozoa itu dinamainya Oscillaria malariae dan kemudian lebih dikenal sebagai
plasmodium.
Penemuan Dokter Laveran itu mematahkan persepsi bahwa malaria disebabkan
kondisi udara yang buruk. Temuan Dokter Laveran itu juga memicu
penelitian-penelitian lebih lanjut mengenai malaria, tak terkecuali di Hindia
Belanda.
Sebagaimana diungkapkan parasitolog Jan Peter Verhave dalam “First Phase
of Modern Malaria Research in the Dutch Indies 1880-1918” yang jadi bagian
bunga rampai The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942: A Platform for
Medical Research (2017: 396), orang pertama yang tercatat melakukan riset
terkait malaria adalah petugas dinas kesehatan kolonial bernama Allard van der
Scheer.
Fokus utama van der Scheer adalah mengobservasi morfologi plasmodium. Ia
pikir, pengetahuan morfologi yang mendalam akan bermanfaat bagi diagnosis
malaria. Soal ini penting karena saat itu petugas-petugas kesehatan dihadapkan
pada perkembangan variasi spesies plasmodium.
Dari mikroskopnya, van der Scheer mengamati sesuatu yang unik. Dalam
sampel darah pasien malaria itu, eritrosit (sel-sel darah merah) yang sehat
saling menempel dan membentuk semacam gulungan. Sementara itu eritrosit yang
terinfeksi tak ikut bergerombol. Ia juga mendapati morfologi plasmodium yang
menyebabkan malaria tertiana dan kuartana tak banyak memiliki perbedaan.
Dari riset pertamanya itu, ia yakin bahwa pengamatan mikroskopis
mestinya jadi metode pertama untuk diagnosis malaria. Pada 1891, ia
memublikasikan hasil observasinya dalam jurnal Geneeskundig Tijdschrift voor
Nederlandsch-Indie (GTNI), jurnal ilmu kesehatan paling prestisius di tanah
jajahan.
Selanjutnya van der Scheer meneliti pola-pola demam yang sering didapati
di Hindia Belanda. Pada zaman itu orang menganggap bahwa setiap demam adalah
malaria. Hal ini membuatnya penasaran, karena tentunya ada perbedaan antara
demam malaria dan demam karena penyakit lain. Persoalan ini penting bagi bidang
etiologi (cabang ilmu kedokteran yang mempelajari sebab dan asal penyakit).
Kali ini van der Scheer tak bekerja sendirian. Ia mendapat bantuan
fasilitas dan tenaga dari Direktur Laboratorium Medis Dokter Djawa School
Christiaan Eijkman. Mereka berdua melakukan otopsi terhadap pasien meninggal
yang dianggap terserang malaria. Van der Scheer dan Eijkman mendapati adanya
parasit di limpa beberapa pasien meninggal, tetapi sebagiannya bukanlah
plasmodium. Artinya, sebagian pasien itu sejatinya tak terserang malaria, tapi
penyakit lain.
Hasil ini tentu mematahkan anggapan umum bahwa setiap demam pasti
berujung malaria. Selain itu, ia juga berhasil mengidentifikasi demam yang
polanya nisbi baru dari yang sudah diketahui. Pola itu disebut sebagai “demam
knokkel” atau “demam lima hari”. Kini pola demam itu dikenal sebagai demam
dengue.
Hasil penelitian van der Scheer itu akhirnya diterbitkan dalam GTNI pada
1893. Dalam artikelnya, ia sekaligus menjelaskan tentang pentingnya
penyelidikan etiologi dan klinis terkait bentuk-bentuk demam di Hindia Belanda
(hlm. 398).
Pada 1898, van der Scheer mengakhiri masa tugasnya di Hindia Belanda.
Sayang sekali, ketika ia pulang kembali ke Belanda riset malaria di tanah
jajahan juga terhenti. Tak ada koleganya yang melanjutkan penelitian-penelitian
yang telah diinisiasinya. Baca juga artikel terkait SEJARAH SAINS atau tulisan
menarik lainnya Fadrik Aziz Firdausi (tirto.id - Kesehatan)
_________________________________________
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan