Seni Memahami - F. Budi Hardiman


manawaLog - Sebelum masuk ke dalam ulasan tentang keempat tokoh hermeneutika modern, yaitu Schleiermacher, Dilthey, Heidegger dan Gadamer, dalam Kelas Filsafat Komunitas Salihara ini saya akan lebih dahulu mengantar anda ke dalam hermeneutika pada umumnya. Hermeneutika atau hermeneutik bukan barang asing lagi bagi mereka yang menggumuli ilmu-ilmu seperti teologi, kitab suci, filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Metode ini menurut sejarahnya telah dipakai di dalam penelitian teks-teks kuna yang otoritatif, misalnya, Kitab Suci, kemudian juga diterapkan di dalam teologi dan direfleksikan secara filosofis, sampai pada akhirnya juga menjadi metode di dalam ilmu-ilmu sosial. Lalu sejauh hermeneutika adalah penafsiran teks, ia juga dipakai di dalam berbagai bidang lainnya, seperti ilmu sejarah, hukum, sastra, dan sebagainya.
Hermeneutika terutama berurusan dengan teks-teks. Manakala kita sedang membaca sebuah teks dari seorang pengarang yang kita kenal baik yang hidup sezaman dengan kita, kita tak akan menghadapi kesulitan memahami kalimat-kalimat dan kata-kata atau istilah-istilah khusus yang termuat di dalam teks tersebut. Ketidakjelasan makna teks dapat diatasi secara lisan oleh pengarangnya, bila ia masih hidup, atau oleh pemahaman kata-kata, kalimat-kalimat dan terminologi khusus yang memang sudah dikenal pada zaman kita ini. Apa yang tertulis dalam teks itu dapat ditangkap secara kurang lebih “lurus” dari makna yang dimaksud pengarangnya.
Persoalannya menjadi lain bila teks yang kita baca berasal dari zaman dahulu. Kontak kita dengan pengarangnya terputus oleh sebuah rentang waktu yang panjang sehingga kata-kata, kalimat-kalimat dan terminologi-terminologi khusus dalam teks itu sulit kita pahami atau akan kita salah pahami. Di sini kita berusaha keras untuk menangkap makna sebagaimana dimaksudkan oleh pengarangnya. Kita menghadapi problematik otentisitas makna teks. Dan di sinilah kita berhadapan dengan “problematik hermeneutika”: bagaimana menafsirkan teks itu. Problematik ini dihadapi dalam berbagai bidang sejauh menyangkut penafsiran, misalnya bidang kesusastraan, tradisi-tradisi religius (kitab-kitab suci, doktrin-doktrin, hukum-hukum), bidang hukum, ilmu sejarah (prasasti, dokumen-dokumen kuna dan seterusnya), musikologi, politikologi dan sebagainya. Oleh karena itu, memahami apa itu hermeneutika teks akan sangat bermanfaat untuk menambah wawasan atau cara pandang kita terhadap produk-produk budaya masa lalu atau tradisi serta ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya.
Kata hermeneutika atau hermeneutik adalah pengindonesiaan dari kata Inggris hermeneutics. Kata terakhir ini berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang berarti “mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata”. Kata kerja itu juga berarti “menerjemahkan” dan “bertindak sebagai penafsir”. Ketiga pengertian ini sebenarnya mau mengungkapkan bahwa hermeneutika adalah usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif gelap ke sesuatu yang lebih terang. Dalam pengertian pertama, hermeneuein dapat dipahami sebagai semacam peralihan dari sesuatu yang relatif abstrak dan gelap, yakni pikiran-pikiran, ke dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang jelas, yaitu dalam bentuk bahasa. 

Pemadatan pikiran dalam bahasa sudah merupakan penafsiran. Dalam pengertian kedua “menerjemahkan”, terdapat usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya gelap bagi kita ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya jelas. Dalam pengertian ketiga pada waktu seseorang sedang menafsirkan sesuatu, ia melewati suatu ungkapan pikiran yang kurang jelas menuju ke yang lebih jelas; bentuk pemikiran yang kurang jelas diubah menjadi bentuk pemikiran yang lebih jelas; itulah menafsirkan.
Di dalam mitologi Yunani ada tokoh yang namanya dikaitkan dengan “hermeneuein”, yaitu: Hermes. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manusia. Pengertian dari mitologi ini kerap dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab-kitab suci.
Dalam pemakaiannya, hermeneutika di masa lampau memiliki arti yang luas, yaitu sebagai sejumlah pedoman untuk pemahaman teks-teks yang bersifat otoritatif, seperti dogma dan kitab suci. Teknik pemahaman ini lebih merupakan sebuah “seni” pemahaman daripada suatu “teori” atau “science” tentang pemahaman. Baru dewasa ini ada usaha memberi wujud metodologis dan teoretis atas teknik-teknik penafsiran menjadi sebuah ilmu pengetahun hermeneutika.
Untuk memahami apa itu hermeneutika, kita juga dapat menemukan jawabnya dalam sejarah filsafat dan teologi, karena hermeneutika dikembangkan di dalam kedua disiplin ini.
Pertama, sejarah perkembangan hermeneutika, khususnya hermeneutika atas teks-teks dapat ditelusuri dalam sejarah teologi, dan lebih umum lagi, sejarah pemikiran teologis Yudeo-Kristiani. Dalam tradisi agama Yahudi, tafsir atas teks-teks Taurat (Tora) dilakukan oleh para ahli kitab, yaitu mereka yang membaktikan hidup mereka untuk belajar dan menafsirkan hukum-hukum agama. Selain para ahli kitab itu, dalam masyarakat Yahudi juga muncul tokoh-tokoh tafsir lainnya, yaitu para nabi. Mereka ini mendidik masyarakat sambil melontarkan kritik sosial atas praktik-praktik keagamaan yang tidak diikuti tindakan yang adil. Dalam menjalankan fungsinya ini mereka terus- menerus berupaya memberi tafsir tentang apa itu agama yang benar dan mana yang sesat dan palsu. Dasarnya adalah tradisi Yahudi dan pengalaman pribadi sang nabi.
Tradisi Kristiani awal juga segera menerapkan hermeneutika pada teks-teks Perjanjian Lama. Orang-orang Kristen purba menafsirkan teks-teks itu dengan wawasan baru yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang beragama Yahudi, yaitu pengalaman iman akan Yesus Kristus yang wafat dan bangkit. Oleh karena itu teks-teks Perjanjian Lama itu dipahami “secara Kristiani”. Hasil tafsir tersebut termuat di dalam Perjanjian Baru.
Masalah hermeneutika teks-teks kitab suci mulai jelas dalam abad-abad pertama Masehi. Terhadap teks-teks kitab suci itu, orang-orang Kristen mencoba memberi dua macam penafsiran: penafsiran simbolis dan penafsiran harfiah. Kedua macam hermeneutika ini tampil dalam kontroversi antara mazhab Antiokhia dan mazhab Aleksandria, dua pusat agama Kristen pada abad-abad pertama perkembangannya.
Mazhab Antiokhia menafsirkan kitab suci secara harfiah, sedangkan mazhab Aleksandria secara alegoris atau simbolis.
Puncak permasalahan hermeneutika teks kitab suci dialami agama Kristen pada zaman Reformasi. Agama Kristen terpecah karena perbedaan prinsip-prinsip hermeneutis. Sementara golongan Protestan memegang prinsip sola scriptura (hanya kitab suci), gereja Katolik memegang prinsip tradisi: kitab suci ditafsirkan dalam terang tradisi. Pada masa-masa inilah hermeneutika menjadi kegiatan yang sangat penting dan memiliki implikasi sosiopolitis yang sangat luas. Masing-masing aliran dalam agama Kristen pasca-Reformasi memperkembangkan bangunan teologisnya menurut prinsip-prinsip hermeneutisnya sendiri sehingga perbedaan ini juga terwujud dalam bentuk sosioreligius yang berbeda-beda.


Daftar Isi Bacaan Seni Memahami - F. Budi Hardiman.

Klik Link dibawah ini untuk membacanya lebih lengkap.


Related Posts: