manawaLog - Kajian tentang gender telah banyak dilakukan oleh para peneliti dalam memahami realitas sosial yang berkaitan dengan perempuan dan laki-laki. Wacana tentang gender tidak hanya dikaji dari sudut pandang sosial saja, tetapi juga ekonomi, politik, agama, maupun pendidikan.
Konsepsi Gender
Konsep kesetaraan perempuan dan laki-laki yang juga biasa dikenal dengan istilah feminisme, yaitu konsep yang ditawarkan oleh Barat. Akan tetapi, konsep tersebut baru dibicarakan dalam beberapa tahun belakangan ini.
Ketika membicarakan gender, kesan yang muncul adalah tentang feminisme dan perempuan. Padahal keduanya hanya merupakan bagian dari gender itu sendiri. Berbicara feminisme berarti membicarakan ideologi, bukan wacana.
Di masyarakat, gerakan dan konsep feminisme dan gender menjadi stigma. Mereka berasumsi bahwa gerakan para feminis dan gender merupakan gerakan yang menolak kemapanan terhadap keberadaan laki-laki dan perempuan.
Hal itu menjadi makin berkembang di mana masyarakat menggali media yang menampakkan perilaku kelompok-kelompok feminis yang radikal, seperti melegitimasi perempuan menjadi imam dalam salat Jumat, azan, dan lain-lain.
Ditambah lagi muncul gerakan feminis lesbian serta pengaju kritik terhadap heteroseksual sebagai sesuatu yang dilegalkan atau dianggap normal-normal saja.
Olehnya, perlu diretas ulang konsep feminisme dan gender yang sebenarnya, sehingga dapat dijadikan perbandingan antarkonsep feminis dan gender dan realitas yang terjadi di masyarakat.
Pada dasarnya feminisme dan gender merupakan konsep yang cukup sederhana, di mana perempuan ingin mendapatkan keadilan dalam berbagai hal, terutama di bidang edukasi, bukan untuk menyaingi atau melebihi laki-laki dan kodratnya.
Olehnya, para feminis membentuk suatu konsep gender yang berangkat dari perbedaan perempuan dan laki-laki yang terjadi karena konstruksi sosial di masyarakat, bukan karena bawaan dari lahir (aspek kodrati).
Baca juga: Antara Ada dan Waktu
Persoalan perbedaan kodrati itu tidak lagi dikaji karena hal itu memang sudah diatur oleh Tuhan. Sedangkan perbedaan sosial menjadi fokus yang utama dalam pokok kajian feminis atau peminat gender hingga dewasa ini.
Adapun gender pada dasarnya digunakan sebagai identification terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek sosial budaya.
Berbeda dengan gender, istilah seks secera sederhana bertujuan untuk mengetahui perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek biologis. Istilah seks lebih memfokuskan kepada anatomi biologi manusia, seperti perbedaan anatomi fisik, karakteristik biologis, komposisi kimia, dan hormon dalam tubuh.
Sedangkan gender, fokus utamanya adalah pada aspek sosial, psikologi, budaya, dan aspek-aspek non-biologis lainnya.
Heddy Shri Ahimsa membedakan pemaknaan gender menjadi beberapa pengertian, yakni :
1) Gender sebagai sebuah istilah asing dengan makna tertentu;
2) Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya;
3) Gender sebagai suatu kesadaran sosial;
4) Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya;
5) Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis;
6) Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.
Istilah gender lebih banyak digunakan daripada istilah seks dalam menjelaskan proses pertumbuhan seorang anak menjadi seorang laki-laki yang maskulin (masculinity) atau menjadi perempuan yang feminin (femininity).
Perspektif Sejarah
Sejarah awal arus pergerakan perempuan (first wave feminism) di dunia telah dimulai pada tahun 1800-an. Perempuan pada saat itu merasa tertinggal jauh dikarenakan kebanyakan perempuan masih buta aksara (tidak bisa membaca), menjadi kelas bawah, dan tidak mempunyai keahlian.
Kemudian pada tahap selanjutnya, kelompok perempuan kelas menengah mulai menyadari akan ketertinggalan mereka di masyarakat. Mereka kemudian mulai keluar dari wilayah domestik (rumah) dan melihat maraknya ketimpangan sosial dengan para perempuan sebagai korban.
Hingga kemudian muncul seorang filsuf dari Prancis, Simone de Beauvior, yang dengan karya pertamanya berjudul The Second Sex, membahas tentang rancangan teori feminis, sehingga mulai bermunculan pergerakan perempuan Barat (Second Wave Feminism) yang menuntut terhadap persoalan ketidakadilan (inequity), seperti cuti haid, upah yang tidak sesuai, aborsi, hingga kekerasan mulai didiskusikan dengan terbuka.
Baja juga: Kesadaran Berpikir
Tokoh-tokoh yang terkenal dengan perjuangannya mengedepankan perubahan sistem sosial di mana perempuan bisa ikut dalam pemilu pada saat itu, yaitu Susan B. Anthony, Elizabet Cady Stanton, dan Marry Wollstonecraft.
Aktivitas feminisme dan penggiat gender dalam perkembangannya, hingga kini, memiliki perbedaan antarnegara dengan setting budaya masing-masing. Begitu pula dengan sebuah isme dalam pergerakan kaum feminis juga mengalami interpretasi dan penekanan yang berbeda di masing-masing tempat.
Feminis di Italia, misalnya, lebih menekankan kesamaan peran dalam mengupayakan setiap pelayanan sosial, dan hak-hak perempuan sebagai istri, ibu, dan pekerja. Adapun feminis Indonesia, menggiatkan hal yang sama yang dicontoh dari gerakan Dewi Sartika, RA. Kartini, dan Cut Nyak Dien.
Sedangkan penggiat gender dan feminis di Perancis menolak disebut sebagai feminis, akan tetapi lebih memilih dijuluki Mouvment de liberation des femmes atau gerakan pembebasan perempuan yang berbasis psikoanalisis (fungsi dan perilaku psikologis manusia) dan kritik sosial.
Disini kita mampu memahami antara segala macam problem yang mengaitkan tentang soal-soal gender yang selalu diperbincangkan pada aspek sosial, agama, politik maupun budaya. Sehingga penulis menitik beratkan permasalahan gender bukan berada para soal kekuatan dan superioritas antara golongan maskulin dan feminisme.
Gender tidak serta merta mencari dan mendudukan diri sebagai simbol diskriminasi antara maskulin dan feminis sebagai hasil dari kritik, melainkan meletakannya pada sisi keadilan secara fungsional dalam kehidupan, disitu akan hadir stigma bahwa keadilan bukanlah hasil produksi dari superioritas suatu golongan semata (diskriminatif), melainkan aplikasi kehendak manusia yang sadar sebagai upaya untuk memerdekakan diri dari aspek kognisi, afeksi, konasi maupun aksi. Sehingga dalam aktualisasi diri, manusia mampu memecahkan segala problematika dalam hidup yang dapat direduksi dan dipertanggungjawabkan secara bersama.