Oleh: Iswara N Raditya || 28 November 2017
Jalan Setapak Syekh Siti Jenar
Masjid Agung Demak. FOTO/commons.wikimedia.org |
Ajaran tasawuf yang diyakini Syekh Siti Jenar ditentang oleh Walisongo. Mati adalah hukuman yang dirasa paling pantas untuknya.
Suatu hari di Istana Argapura, Giri (Gresik), para wali dan sejumlah
tokoh penting menggelar sarasehan. Telah hadir Sunan Bonang, Sunan Kalijaga,
Sunan Ampel, Sunan Kudus, Tan Go Wat alias Syekh Bentong, Pangeran Palembang,
Panembahan Madura, hingga Syekh Lemah Abang.
Masing-masing hadirin bergantian memaparkan pengetahuan dan pemahaman
mereka tentang agama atau hal-hal lainnya. Saat tiba giliran Syekh Lemah Abang,
ia berucap dengan mantap:
“Menyembah Allah dengan bersujud beserta ruku'-nya, pada dasarnya sama
dengan Allah, baik yang menyembah maupun yang disembah. Dengan demikian,
hambalah yang berkuasa, dan yang menghukum pun hamba juga." (Ngabei
Ranggasutrasna, dkk., Centhini: Tambangraras-Amongraga, Jilid I, 1991:120-123).
Kata-kata itu membuat forum riuh seketika. Beberapa orang menuding Syekh
Lemah Abang berdosa besar karena menyamakan dirinya dengan Tuhan. Banyak pula
yang menyebutnya keblinger, terlalu jauh dalam memaknai tasawuf.
Syekh Lemah Abang tetap tenang. Dengan kalem, ia menjawab segala
tudingan yang diarahkan kepadanya itu, “Biar jauh tapi benar, sementara yang
dekat belum tentu benar.”
Suasana kembali ramai. Beberapa wali memperingatkan bahwa pemikiran
Syekh Siti Jenar itu bisa berdampak hukuman mati karena melenceng dari Islam
(Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan, 2007:11).
Pandangan Syekh Siti Jenar dianggap mengancam proses tumbuh-kembang
Islam yang sedang subur-suburnya di Jawa selepas runtuhnya Majapahit itu.
Apalagi Syekh Siti Jenar punya banyak murid dan pengikut yang beberapa di
antaranya cukup berpengaruh.
Sosok sufi yang memantik kontroversi di kalangan Walisongo dan kaum
ulama serta tokoh-tokoh penting dalam pusaran kekuasaan di pusat peradaban Jawa
itulah yang juga dikenal dengan nama Syekh Siti Jenar.
Jejak Syekh Siti Jenar
Keberadaan Syekh Siti Jenar secara fisik masih menjadi perdebatan.
Lokasi di mana jasadnya dikebumikan setelah dihukum penggal pada masa-masa
akhir kepemimpinan Raden Patah (1475-1518) selaku penguasa Demak pun masih
simpang-siur.
Yang menjadi pegangan bahwa Syekh Siti Jenar memang pernah hadir dan
berperan penting adalah peninggalan ajarannya yang disebut pupuh atau ajaran
budi pekerti. Beberapa sumber lama berupa babad maupun serat merekam apa saja
yang dipelajari, diyakini, dan dijalankan Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat
itu.
Syekh Siti Jenar diyakini berasal dari Persia (Iran), lahir sekitar 1404
M. Ia berguru kepada ayahnya, Sayyid Shalih, yang dikenal sebagai ahli tafsir
kitab suci. Konon, Jenar sudah hafal Alquran sejak usia 12 tahun (Shohibul
Farojo Al-Robbani, Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya
Jawab Agama Islam, 2013:1474).
Dirunut dari silsilah, para pengikutnya yakin bahwa Syekh Siti Jenar
keturunan langsung Nabi Muhammad melalui jalur Siti Fatimah dan Ali bin Abi
Thalib (Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah
Walisongo, 1995:49).
Pada usia 17 tahun, Jenar tiba di Kepulauan Nusantara, mengikuti ayahnya
berdagang sekaligus berdakwah di Malaka. Ayah Jenar lalu diangkat sebagai mufti
(ulama yang berwenang menafsirkan kitab dan memberikan fatwa kepada umat) oleh
penguasa Kesultanan Malaka saat itu, yakni Sultan Iskandar Syah (1414-1424).
Setelah Sultan Iskandar Syah meninggal dunia, Sayyid Shalih pindah ke
Cirebon pada 1425 dan dipercaya sebagai penasihat agama kesultanan di sana,
bersama Maulana Malik Ibrahim atau yang kelak dikenal sebagai Sunan Gresik.
Sayyid Shalih wafat di Cirebon. Jenar pun ditunjuk sebagai penerusnya.
Inilah mengapa Abdul Munir Mulkhan (1999:50) dalam Syekh Siti Jenar: Pergumulan
Islam-Jawa menyebut Jenar merupakan keturunan bangsawan Cirebon sebelum datang
ke Demak.
Di Demak yang merupakan pusat ajaran Islam di Jawa, Jenar berguru kepada
sejumlah wali, termasuk Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati. Mohammad Zazuli
dalam Syekh Siti Jenar: Mengungkap Misteri dan Rahasia Kehidupan (2011:18),
meyakini bahwa Jenar juga sempat berguru kepada pertapa Hindu/Buddha. Dari
sinilah ia mulai mengenal konsep manunggaling kawula gusti.
Kendati demikian, perlu untuk dipahami bahwa mistisisme dalam Islam,
yang dikenal sebagai tasawuf atau sufisme, sudah muncul jauh sebelumnya.
Beberapa mistikus Islam sudah berperan dan memainkan pengaruhnya di berbagai
belahan dunia Islam, bahkan sudah muncul sejak abad-abad pertama perkembangan
Islam.
Manunggaling Kawula Gusti
Syekh Siti Jenar bermukim di Jepara, memimpin pondok pesantren. Suatu
kali, ketika Jenar sedang mengajar santri-santrinya di dalam masjid, tiba
rombongan dari Demak. Ada Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan
Geseng (Raden Mas Cakrajaya), dan lainnya. Mereka datang untuk menyampaikan
titah dari Raden Patah, Sultan Demak.
Sunan Bonang berucap salam. Tapi salam itu rupanya tidak terdengar
karena suasana yang sedang ramai oleh para santri. Merasa tidak dihargai, Sunan
Bonang naik pitam dan mendatangi Syekh Siti Jenar seraya berkata keras:
“Wahai Jenar yang sedang berada di alam kematian. Hentikan sejenak
pengajaranmu. Jangan kau teruskan mengajar murid-muridmu!” bentak Sunan Bonang
(R. Sasrawidjaja, Serat Syaikh Siti Jenar, 1958:48). Rupanya kedatangan para
ulama sekaligus politisi berpengaruh dari Demak itu atas perintah Raden Patah.
Sang sultan mendapatkan kabar bahwa apa yang diajarkan oleh Jenar terindikasi
telah menyimpang dari ajaran Islam.
Para wali dan ulama di wilayah kekuasaan Demak kala itu, termasuk Syekh
Siti Jenar, hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid. Sementara
Jenar dikabarkan sudah berani memberikan materi tentang ilmu ma’rifat dan
hakikat.
Digelarlah forum sebagai ajang pertanggungjawaban atas keyakinan Jenar
itu. Sebagian besar anggota Walisongo hadir dan “mengeroyok” Jenar dengan
melancarkan berbagai argumen tentang ketuhanan.
Bagi Syekh Siti Jenar, inti paling mendasar tentang syahadat dan tauhid
adalah manunggal (bersatu). Artinya, seluruh ciptaan Tuhan pasti akan kembali
menyatu dengan yang menciptakan, manunggaling kawula gusti. Para wali
beramai-ramai menyanggah keyakinan Jenar itu.
“Allah adalah yang bewujud haq,” kata Sunan Gunung Jati.
“Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak adanya,” tandas Sunan Bonang.
“Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan,” imbuh Sunan Giri.
“Allah itu adalah seumpama (dalang) memainkan wayang,” sambung Sunan Kalijaga.
Sebagai penegas sekaligus sabda pamungkas, Sunan Kudus mengatakan,
“Adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama (manusia).”
Namun, Syekh Siti Jenar tetap bertahan dengan keyakinannya. “Tak usah
kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun (saya) inilah Allah. Nyata Ingsun Yang
Sejati,” balasnya (R. Tanaja, Suluk Walisanga, 1954:54).
“Jika Anda menanyakan di mana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit.
Allah berada pada zat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam
tubuh (manusia itu sendiri),” lanjut Syekh Siti Jenar.
Masih panjang paparan Jenar tentang konsep ketuhanan versinya yang oleh
Walisongo disebut musyrik karena menganggap diri sebagai Tuhan. Jenar
sebenarnya hanya ingin meyakinkan bahwa manusia dan Sang Pencipta suatu saat
akan bertemu dan bersatu.
Dan, forum diskusi itu pun beralih fungsi menjadi persidangan. Dengan
suara bulat memutuskan bahwa Syekh Siti Jenar harus diproses hukum, kemungkinan
besar hukuman mati.
Vonis mati dijatuhkan kepada Syekh Siti Jenar dalam sidang para wali
yang dipergelarkan di Cirebon (Achmad Chodjim, 2007:13). Belum dapat
dipastikan, kapan tepatnya nyawa Jenar dipungkasi, diperkirakan antara tahun
1515 hingga 1517.
Sosok pasti Syekh Siti Jenar memang masih menjadi misteri. Namun,
berdasarkan penemuan jejak pemikirannya yang kemudian dirangkum oleh berbagai
sumber berupa babad, serat, kitab, atau bentuk referensi lainnya, Jenar tidak
pernah takut mati, justru itulah yang diyakininya sebagai titik kesempurnaan
manusia.
“Syukur jika saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati… Sakit dan
sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas di alam
kematian. Saya akan hidup sempurna, langgeng, tiada ini dan itu.” (R.
Sasrawidjaja, 1958:20).
“Tak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun (saya) inilah Allah," kata Syekh Siti Jenar.
_________________________________________
Reporter :
Iswara N RadityaPenulis : Iswara N Raditya
Editor :
Zen RS