EPISTEMOLOGI ISLAM Bagian 1


A. PENDAHULUAN

Epistemologi[1] adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses yakni usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Apakah objek kajian ilmu itu, dan seberapa jauh tingkat kebenaran yang bisa dicapainya dan kebenaran yang bagaimana yang bisa dicapai dalam kajian ilmu, kebenaran obyektif, subyektif, absolute atau relative.
Subyek ilmu adalah manusia, dan manusia hidup dalam ruang dan waktu yang terbatas, sehingga kajian ilmu pada realitasnya, selalu berada dalam batas-batas, baik batas-batas yang melingkupi hidup manusia, maupun batas-batas obyek kajian yang menjadi fokusnya, dan setiap batas-batas itu, dengan sendirinya selalu membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu.[2] Batas-batas hidup seseorang, berpengaruh pada kualitas kajiannya, sehingga banyak sekali revisi dan koreksi dilakukan oleh seseorang terhadap hasil kajiannya yang terdahulu. Demikian juga batas-batas pendidikan yang ditempuhnya, sehingga hasil kajian di saat ia menjalani tingkat pendidikan SI, S2, S3 tentunya sedikit banyak juga berpengaruh pada kualitas hasil kajiannya, meskipun ini tidak berlaku mutlak.

https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcS0c31dZBLCLKM_ErtiECOA-ehqjsOUIyp56O7p1X0V6DAIfDbzRw
Di samping itu, kajian ilmu juga dibatasi oleh obyek yang menjadi fokus kajiannya, dan batas obyek kajian akan membawa pada konsekuensi terhadap pilihan metodologinya. Metodologi sebagai jalan penalaran sebuah kajian, akan mengikuti obyek kajiannya, sehingga jika seseorang menetapkan pilihan obyek kajiannya pada satu sisi dari emosi seseorang, ini berarti menjadi kajian psikologi, maka tentunya metode yang harus ditempuhnya adalah metode yang berlaku dalam kajian psikologi, dan dengan sendirinya kajian teknik mesin tidak bisa dipakai sebagai sebuah pendekatan metodologisnya. Jika seseorang memaksakan kajian psikologi dengan metode teknik mesin, akan berakibat pada hasil kajiannya, yang tentu saja kemungkinan besar terjadi penyimpangan dan tingkat kebenarannya diragukan.

B. OBYEK KAJIAN ILMU
Dalam konsep filsafat Islam, obyek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan sendiri, yaitu ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci yang berisi firman-firman-Nya, dan ayat-ayat Tuhan yang tersirat dan terkandung dalam ciptaan-Nya yaitu alam semesta dan diri manusia sendiri.[3] kajian terhadap kitab suci dan kembali melahirkan ilmu agama, sedangkan kajian terhadap alam semesta, dalam dimensi fisik atau materi, melahirkan ilmu alam dan ilmu pasti, termasuk di dalamnya kajian terhadap manusia dalam kaitannya dengan dimensi fisiknya, akan tetapi kajiannya pada dimensi non fisiknya, yaitu perilaku, watak dan eksistensinya dalam berbagai aspek kehidupan, melahirkan ilmu Humaniora, sedangkan kajian terhadap ketiga ayat-ayat Tuhan itu yang dilakukan pada tingkatan makna, yang berusaha untuk mencari hakikatnya, melahirkan ilmu filsafat.[4]
Oleh karena itu, jika dilihat pada obyek kajiannya, maka agama, ilmu dan filsafat adalah berbeda, baik dalam hal metode yang ditempuhnya, maupun tingkat dan sifat dari kebenaran yang dihasilkannya. Akan tetapi jika dilihat dari sumbernya, maka ketiganya berasal dari sumber yang Satu, yaitu ayat-ayat-Nya. Dalam kaitan ini, maka ketiganya pada hakikatnya saling berhubungan dan saling melengkapi. Ilmu dipakai untuk memecahkan persoalan-persoalan teknis, filsafat memberikan landasan nilai-nilai dan wawasan yang menyeluruh, sedangkan agama mengantarkan kepada realitas pengalaman spiritual, memasuki dimensi yang Ilahi.
Agama dilihat dari segi doktrin, kitab suci dan eksistensi kenabian, adalah bidang kajian ilmu agama, akan tetapi jika dilihat dari pemahaman, pemikiran dan pentafsiran manusia terhadap doktrin, kitab suci, Tuhan dan kenabian itu, maka kajian atas pemikiran dan pemahaman manusia tersebut dapat masuk pada kajian ilmu humaniora.[5] Sedangkan kajian filsafat dapat memberikan penjelasan dan konsep mengenai Tuhan, doktrin dan kenabian, tetapi sifatnya spekulatif, dan hanya agama yang dapat memberikan tata cara yang teknis bagaimana berhubungan dengan Tuhan dan menghayati ajaran-ajaran-Nya, yang dibawa oleh para Nabi utusan-Nya dan yang tertuang dalam kitab suci.
Oleh karena itu, wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya bercorak tauhid, dan tauhid dalam konsep Islam, tidak hanya berkaitan dengan konsep teologi saja, tetapi juga dalam konsep antropologi dan epistemologi. Epistemologi Islam sesungguhnya tidak mengenal prinsip dikotomi keilmuan, seperti yang sekarang banyak dilakukan di kalangan umat Islam Indonesia, yang membagi ilmu agama dan ilmu umum, atau syariah dan non syariah,[6] yang secara institusional dipisahkan penyelenggaraannya, yang ilmu agama penyelenggaraan pendidikan di bawah Departemen Agama, dan yang umum penyelenggaraan pendidikannya di bawah Departemen Pendidikan.[7]
Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa di dalam ayat-ayat Tuhan, yaitu alam, manusia dan kitab suci, di dalamnya terdapat hukum-hukum dan semuanya itu diciptakan agar manusia mau memikirkannya, karena melalui proses pemikiran keilmuan itu, maka akan tersingkap dan diketahui makna kebenaran yang ada di dalamnya, yang memungkinkan manusia memanfaatkan untuk kemungkinan hidupnya. Al-Qur’an 43:3-4 menjelaskan tentang dirinya sebagai obyek berpikir dan menjadi pusat pengetahuan hikmah :
إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (٣)وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ (٤)
Artinya :  Sesungguhnya Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan Sesungguhnya Al Quran itu dalam Induk Al kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar Tinggi (nilainya) dan Amat banyak mengandung hikmah.
Selanjutnya Al-Qur’an 45:5 mengatakan tentang alam semesta sebagai obyek pemikiran untuk kepentingan hidup manusia:
وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا أَنزَلَ اللَّهُ مِنَ السَّمَاء مِن رِّزْقٍ فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَتَصْرِيفِ الرِّيَاحِ آيَاتٌ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (٥)
Artinya :    Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada perkisaran angin terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berakal.

Pada tempat lain, Al-Qur’an 16:11-12 juga menambahkan:
يُنبِتُ لَكُم بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالأَعْنَابَ وَمِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (١١)وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالْنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالْنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (١٢
Artinya :    Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.
Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya),
Sedangkan mengenai manusia Al-Qur’an 30:20-21 mengatakan:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنتُم بَشَرٌ تَنتَشِرُونَ (٢٠)وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (٢١)
Artinya :    Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

_______________________________________________________
[1] Secara historis, istilah epistemology digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Wilayah epistemologi ini setidaknya berkaitan dengan tiga disiplin, yaitu metafisika, logika dan psikologi. Lihat Ledger Wood, ”Epistemology”, dalam Dagobert D. Runes, The Dictionary of Philoshopy, New Jersey: litlle Field, Adam &co., 1976, hlm, 94. epistemology dapat diartikan sebagai studi yang menganalisa dan menilai secara kritis tentang mekanisme dan prinsip-prinsip yang membentuk keyakinan. Lihat Alvin I. Goldman,”Epistemics and the Sciences of Knowledge” dalam The Open Curtain, A. U.S. Soviet Philoshopy Summit, Boulder: Keith Lehrer and Ernest Sosa, 1991. Persoalan epistemology menempati pokok bahasan yang begitu penting, sehingga seorang philoshop Muslim modern Muhammad Baqir al-Shadr menyatakan, “Jika sumber-sumber pemikiran manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilai pengetahuannya tidak ditetapkan, maka tidaklah mungkin melakukan studi apapun, bagaimanapun bentuknya.” lihat Muhammad Baqir ash-Shadr, Falsafatuna terj. M. Nur Mufid bin Ali, Bandung: Mizan, 1991, hlm. 25. bandingkan dengan Paul Edward, The Encyclopedya of Philosophy, New York : Macmillan Publishing co., inc., 1972, Vol. III.

[2] Ilmu pengetahuan atau sains tetap memiliki batas-batas penjelasan. Batas-batas itu tidak meski terletak pada pencarian atau pembuktian baru dari laju eksperimen sains, tetapi terbukti bahwa semenjak kelahiran suatu teori sains, batas-batas itu telah dimunculkan sebagai bidang-bidang khusus untuk membedakan suatu disiplin atas yang lain. Sebuah rumusan teoritis sains dilegitimasi melaui kontradiksi dan kritik. Hans-Georg Gadamer, Reason in the Age of Science, terj. Frederick G. Lawrence, Cambridge : Cambridge : University, 1993, hlm. 12.

[3] Para filosof Muslim, sejak al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, ar-Razi, Ibnu al-Rawandi, dll, meski begitu simpatik terhadap filsafat Hellenistik, semuanya menyatakan bahwa yang mereka lakukan dengan filsafat itu adalah untuk mempelajari konsep-konsep Alqur’an baik menyangkut penciptaan dunia, validitas nubuat, kebanmgkitan, dan lain-lain. Di pihak lain, para filosof itu juga mempelajari ayat-ayat Tuhan yang terkait dengan eksplorasi ilmiah eksperimental. Lihat Majid Fakhri,”Philoshopy and History,” dalam John S. Badeau, Majid Fakhri , The Genius of Arab Civilization, Canada : MIT. Pres, 1983, hlm. 58

[4] Sebagai perbandingan, al-Farabi mengklasifikasikan ilmu sebagai berikut: 1. Ilmu Bahasa, 2. Logika (’ilm al-manthiq), 3. Ilmu Matematika (‘ulum al-ta’lim) terdiri : a) Aritmatika, b) Geometri, c) Optika, d) Ilmu Perbintangan, e) Music, f) ilmu tentang Berat, g) Ilmu Pembuatan Alat, 4. Fisika atau Ilmu Kealaman, 5. Metafisika, 6. Ilmu politik terdiri : a) Ilmu Politik, b) Yurisprudensi, c) Teologi Dialektis. Lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu ; Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, terj. Purwanto, Bandung : Mizan, 1998, hlm. 145-148.
Dalam dunia keilmuan modern, biasanya yang dipakai adalah klasifikasi yang diajukan oleh Dewey, yaitu sebagai berikut: 1) kelompok ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural Sciences); biologi, antropologi  fisik dan ilmu pasti, 2) kelompok ilmu-ilmu kemasyarakatan (Social Science) ilmu hokum, ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi budaya dan social, 3) kelompok ilmu-ilmu Humaniora ( Humanities Studies); ilmu agama, filsafat dan bahasa . Lihat Verhaak dan R. Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan ; telaah atas cara kerja ilmu-ilmu, Jakarta: Gramedia, 1989

[5] Keyakinan terhadap agama juga dapat dinilai dan diukur menurut kriteria tertentu sebagaimana teori-teori ilmiah, yaitu: 1) kesucian dengan data, keyakinan agama harus dapat memberikan pengertian yang meyakinkan tentang hal-hal yang dialaminya yang dianggap penting oleh masyarakat. Data keagamaan ini bisa berupa pengalaman keagamaan individu, ritual dan lain-lain, 2) koherensi, konsistensi dengan keyakinan-keyakinan yang dimiliki oleh orang lain dapt menentukan kelangsungan sebuah teradisi paradigma, 3) runang-Lingkup, keyakinan agama dapat diperluas untuk menafsirkan jenis-jenis pengalaman yang lain dari data keagamaan, 4) Fertilitas, di dalam agama, teori harus dapat diuji dan dinilai melalui riset-riset baik yang sekarang maupun yang akan datang dan dinilai kemampuannya mempengaruhi transformasi pribadi. Lihat Ian G. Barbour, Religion in the Age of Science, London: SCM Press, 1990, hlm. 34-35.

[6] Dikotomi keilmuan dalam system pendidikan Islam, khususnya di Indonesia, dapat juga dilihat secara politis dari kebijaksanaan pendidikan bisa masa kolonial. Penggabungan system pendidikan umum dengan system pendidikan Islam tidak terlaksana sebagai akibat konsekuensi logis dari kebijaksanaan pemerintah kolonial Belanda yang tidak mau ikut campur tangan dalam persoalan Islam.
Sejak permulaan inilah, pendidikan Islam mulai mengembangkan satu model pendidikan sendiri yang berbeda dan terpisah dari system pendidikan Belanda, maupun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Lihat Karel A. Streenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP#ES, 1986, khusus bagian asal-usul system pendidikan yang dualistis. Bandingkan dengan Isma’il Raji al-Faruqi, Tawhid; Its Implications for Thought and Life, Temple : The International Institute of Islamics Thought, hlm.48.

[7] Dalam Islam, suatu realitas adalah sekaligus merupakan wujud, pengetahuan dan wujud kebahagiaan. Tidak ada pemilihan di antara bagian-bagian itu. Pengetahuan mempunyai pengetahuan yang mendalam dengan realitas yang pokok dan primordial, yang merupakan Yang Kudus dan sumber segala hal yang Kudus. Dengan demikian pengetahuan Islam adalah perwujudan dari cermin Dia sendiri, Yang Maha Mengetahui. Sayyed Husein Nasr, Knowledge and the Sacred, Edinburgh, 1981, hlm.4.


Related Posts: