Seni Memahami - F. Budi Hardiman


manawaLog - Sebelum masuk ke dalam ulasan tentang keempat tokoh hermeneutika modern, yaitu Schleiermacher, Dilthey, Heidegger dan Gadamer, dalam Kelas Filsafat Komunitas Salihara ini saya akan lebih dahulu mengantar anda ke dalam hermeneutika pada umumnya. Hermeneutika atau hermeneutik bukan barang asing lagi bagi mereka yang menggumuli ilmu-ilmu seperti teologi, kitab suci, filsafat dan ilmu-ilmu sosial. Metode ini menurut sejarahnya telah dipakai di dalam penelitian teks-teks kuna yang otoritatif, misalnya, Kitab Suci, kemudian juga diterapkan di dalam teologi dan direfleksikan secara filosofis, sampai pada akhirnya juga menjadi metode di dalam ilmu-ilmu sosial. Lalu sejauh hermeneutika adalah penafsiran teks, ia juga dipakai di dalam berbagai bidang lainnya, seperti ilmu sejarah, hukum, sastra, dan sebagainya.
Hermeneutika terutama berurusan dengan teks-teks. Manakala kita sedang membaca sebuah teks dari seorang pengarang yang kita kenal baik yang hidup sezaman dengan kita, kita tak akan menghadapi kesulitan memahami kalimat-kalimat dan kata-kata atau istilah-istilah khusus yang termuat di dalam teks tersebut. Ketidakjelasan makna teks dapat diatasi secara lisan oleh pengarangnya, bila ia masih hidup, atau oleh pemahaman kata-kata, kalimat-kalimat dan terminologi khusus yang memang sudah dikenal pada zaman kita ini. Apa yang tertulis dalam teks itu dapat ditangkap secara kurang lebih “lurus” dari makna yang dimaksud pengarangnya.
Persoalannya menjadi lain bila teks yang kita baca berasal dari zaman dahulu. Kontak kita dengan pengarangnya terputus oleh sebuah rentang waktu yang panjang sehingga kata-kata, kalimat-kalimat dan terminologi-terminologi khusus dalam teks itu sulit kita pahami atau akan kita salah pahami. Di sini kita berusaha keras untuk menangkap makna sebagaimana dimaksudkan oleh pengarangnya. Kita menghadapi problematik otentisitas makna teks. Dan di sinilah kita berhadapan dengan “problematik hermeneutika”: bagaimana menafsirkan teks itu. Problematik ini dihadapi dalam berbagai bidang sejauh menyangkut penafsiran, misalnya bidang kesusastraan, tradisi-tradisi religius (kitab-kitab suci, doktrin-doktrin, hukum-hukum), bidang hukum, ilmu sejarah (prasasti, dokumen-dokumen kuna dan seterusnya), musikologi, politikologi dan sebagainya. Oleh karena itu, memahami apa itu hermeneutika teks akan sangat bermanfaat untuk menambah wawasan atau cara pandang kita terhadap produk-produk budaya masa lalu atau tradisi serta ilmu-ilmu yang berkenaan dengannya.
Kata hermeneutika atau hermeneutik adalah pengindonesiaan dari kata Inggris hermeneutics. Kata terakhir ini berasal dari kata kerja Yunani hermeneuo yang berarti “mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata”. Kata kerja itu juga berarti “menerjemahkan” dan “bertindak sebagai penafsir”. Ketiga pengertian ini sebenarnya mau mengungkapkan bahwa hermeneutika adalah usaha untuk beralih dari sesuatu yang relatif gelap ke sesuatu yang lebih terang. Dalam pengertian pertama, hermeneuein dapat dipahami sebagai semacam peralihan dari sesuatu yang relatif abstrak dan gelap, yakni pikiran-pikiran, ke dalam bentuk ungkapan-ungkapan yang jelas, yaitu dalam bentuk bahasa. 

Pemadatan pikiran dalam bahasa sudah merupakan penafsiran. Dalam pengertian kedua “menerjemahkan”, terdapat usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya gelap bagi kita ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya jelas. Dalam pengertian ketiga pada waktu seseorang sedang menafsirkan sesuatu, ia melewati suatu ungkapan pikiran yang kurang jelas menuju ke yang lebih jelas; bentuk pemikiran yang kurang jelas diubah menjadi bentuk pemikiran yang lebih jelas; itulah menafsirkan.
Di dalam mitologi Yunani ada tokoh yang namanya dikaitkan dengan “hermeneuein”, yaitu: Hermes. Menurut mitos itu, Hermes bertugas menafsirkan kehendak dewata (orakel) dengan bantuan kata-kata manusia. Pengertian dari mitologi ini kerap dapat menjelaskan pengertian hermeneutika teks-teks kitab suci, yaitu menafsirkan kehendak Tuhan sebagaimana terkandung di dalam ayat-ayat kitab-kitab suci.
Dalam pemakaiannya, hermeneutika di masa lampau memiliki arti yang luas, yaitu sebagai sejumlah pedoman untuk pemahaman teks-teks yang bersifat otoritatif, seperti dogma dan kitab suci. Teknik pemahaman ini lebih merupakan sebuah “seni” pemahaman daripada suatu “teori” atau “science” tentang pemahaman. Baru dewasa ini ada usaha memberi wujud metodologis dan teoretis atas teknik-teknik penafsiran menjadi sebuah ilmu pengetahun hermeneutika.
Untuk memahami apa itu hermeneutika, kita juga dapat menemukan jawabnya dalam sejarah filsafat dan teologi, karena hermeneutika dikembangkan di dalam kedua disiplin ini.
Pertama, sejarah perkembangan hermeneutika, khususnya hermeneutika atas teks-teks dapat ditelusuri dalam sejarah teologi, dan lebih umum lagi, sejarah pemikiran teologis Yudeo-Kristiani. Dalam tradisi agama Yahudi, tafsir atas teks-teks Taurat (Tora) dilakukan oleh para ahli kitab, yaitu mereka yang membaktikan hidup mereka untuk belajar dan menafsirkan hukum-hukum agama. Selain para ahli kitab itu, dalam masyarakat Yahudi juga muncul tokoh-tokoh tafsir lainnya, yaitu para nabi. Mereka ini mendidik masyarakat sambil melontarkan kritik sosial atas praktik-praktik keagamaan yang tidak diikuti tindakan yang adil. Dalam menjalankan fungsinya ini mereka terus- menerus berupaya memberi tafsir tentang apa itu agama yang benar dan mana yang sesat dan palsu. Dasarnya adalah tradisi Yahudi dan pengalaman pribadi sang nabi.
Tradisi Kristiani awal juga segera menerapkan hermeneutika pada teks-teks Perjanjian Lama. Orang-orang Kristen purba menafsirkan teks-teks itu dengan wawasan baru yang tidak dimiliki oleh orang-orang yang beragama Yahudi, yaitu pengalaman iman akan Yesus Kristus yang wafat dan bangkit. Oleh karena itu teks-teks Perjanjian Lama itu dipahami “secara Kristiani”. Hasil tafsir tersebut termuat di dalam Perjanjian Baru.
Masalah hermeneutika teks-teks kitab suci mulai jelas dalam abad-abad pertama Masehi. Terhadap teks-teks kitab suci itu, orang-orang Kristen mencoba memberi dua macam penafsiran: penafsiran simbolis dan penafsiran harfiah. Kedua macam hermeneutika ini tampil dalam kontroversi antara mazhab Antiokhia dan mazhab Aleksandria, dua pusat agama Kristen pada abad-abad pertama perkembangannya.
Mazhab Antiokhia menafsirkan kitab suci secara harfiah, sedangkan mazhab Aleksandria secara alegoris atau simbolis.
Puncak permasalahan hermeneutika teks kitab suci dialami agama Kristen pada zaman Reformasi. Agama Kristen terpecah karena perbedaan prinsip-prinsip hermeneutis. Sementara golongan Protestan memegang prinsip sola scriptura (hanya kitab suci), gereja Katolik memegang prinsip tradisi: kitab suci ditafsirkan dalam terang tradisi. Pada masa-masa inilah hermeneutika menjadi kegiatan yang sangat penting dan memiliki implikasi sosiopolitis yang sangat luas. Masing-masing aliran dalam agama Kristen pasca-Reformasi memperkembangkan bangunan teologisnya menurut prinsip-prinsip hermeneutisnya sendiri sehingga perbedaan ini juga terwujud dalam bentuk sosioreligius yang berbeda-beda.


Daftar Isi Bacaan Seni Memahami - F. Budi Hardiman.

Klik Link dibawah ini untuk membacanya lebih lengkap.


Related Posts:

Perdebatan dan Ragam Versi Masuknya Islam ke Nusantara

Oleh: Iswara N Raditya || 20 Juni 2017

Perdebatan dan Ragam Versi Masuknya Islam ke Nusantara
Sejumlah umat muslim melaksanakan salat Jumat pertama di bulan Ramadan di selasar dan lorong di kawasan Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Jumat, (2/6). tirto.id/Andrey Gromico
Kapan pertama kali ajaran Islam masuk ke Nusantara? Dari mana dan dibawa oleh siapa? Ternyata banyak versi dan teori.

Berbagai teori mengenai kapan dan berasal dari mana masuknya ajaran Islam ke Nusantara ternyata masih menarik untuk dikulik, terlebih ketika “kajian” tentang Kesultanan Majapahit dan klaim Gaj Ahmada sebagai nama muslim Gajah Mada dimunculkan yang lantas memantik kehebohan.
Kerajaan (bukan kesultanan atau istilah untuk menyebut kerajaan Islam) Majapahit yang selama ini dipercaya menganut agama Hindu dan Buddha berdiri sejak 1293 M atau akhir abad ke-11 dengan pusatnya di Jawa bagian timur (Nicholas Tarling, The Cambridge History of Southeast Asia, 1999).
Lantas, apakah agama Islam sudah masuk dan berkembang di Jawa ketika atau bahkan sebelum Majapahit berdiri? Setidaknya ada 5 versi terkait teori-teori tentang masuknya ajaran Islam ke Nusantara beserta para pembawanya dan asalnya dari mana, yakni teori Arab (Timur Tengah), teori Cina, serta teori Gujarat (India) dan teori Persia (Iran), hingga teori Maritim.

Teori Timur Tengah (Abad 7 M)
Teori Timur Tengah, atau tepatnya dari Arab, merupakan versi yang cenderung paling banyak diyakini terkait perkiraan masuknya ajaran Islam ke Nusantara. Beberapa ahli yang mendukung teori ini adalah J.C. van Leur, Anthony H. Johns, T.W. Arnold, dan Abdul Malik Karim Amrullah atau Buya Hamka.
Buya Hamka menolak anggapan bahwa Islam dibawa oleh pedagang dari Gujarat (India) sejak abad ke-13 Masehi. Sanggahan ini dikemukakan oleh tokoh asal Sumatera Barat itu dalam “Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia” di Medan pada 1963 (Yusran Rusydi, Buya Hamka: Pribadi dan Martabat, 2017).
Menurut Hamka, Islam sudah ada di Nusantara sejak abad ke-7 M atau tahun-tahun awal Hijriah, dibawa oleh bangsa Arab, khususnya dari Mekkah. Hamka, seperti dikutip dari A. Shihabuddin (2013:474) dalam Membongkar Kejumudan: Menjawab Tuduhan-Tuduhan Salafi Wahhabi, disebutkan bahwa Gujarat hanya sebagai tempat singgah bagi para pedagang Arab itu sebelum menuju ke Nusantara
Baca Juga: Al-Zahrawi, Mahaguru Dokter Bedah Sedunia
Salah satu bukti yang diajukan Hamka adalah naskah kuno dari Cina yang menyebutkan, sekelompok bangsa Arab telah bermukim di kawasan Pantai Barat Sumatera (tepatnya di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara) pada 625 M (Hamka, Sejarah Umat Islam, 1997). Di Barus, yang pernah dikuasai Kerajaan Sriwijaya, juga ditemukan nisan kuno bertuliskan nama Syekh Rukunuddin, wafat tahun 672 M.
Keyakinan Hamka tersebut dikuatkan oleh teori yang dikemukakan oleh T.W. Arnold sebelumnya, berdasarkan sumber yang sama yaitu berita dari Cina. Arnold (1935) dalam The Preaching of Islam menyebut bahwa ada seorang pembesar Arab yang menjadi kepala daerah pendudukan bangsa Arab di Pantai Barat Sumatera pada 674 M .
Teori datangnya Islam ke Nusantara berasal dari Timur Tengah, meskipun tidak hanya dari Mekkah, juga pernah dimunculkan. Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Niemann (1861), De Hollander (1861), dan P.J. Veth (1878), meyakini Islam datang dari Hadramaut atau Yaman Selatan (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, 2004).
Yang menjadi landasan atas teori ini adalah bahwa orang-orang Islam di Hadramaut adalah pengikut mazhab Syafii, seperti halnya di Indonesia (Hermansyah & Zulkhairi, Transformasi Syair Jauharat At-Tauhid di Nusantara, 2014). Selain itu, ada pula yang menyebut Islam datang ke Nusantara dari Mesir dengan alasan serupa.

Teori Gujarat-India (Abad 13 M)
Sebelum Hamka membantah, ada teori lain yang mempercayai ajaran Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang Gujarat (India) pada awal abad ke-13 M. Teori ini dicetuskan oleh G.W.J. Drewes yang lantas dikembangkan oleh Snouck Hugronje, J. Pijnapel, W.F. Sutterheim, J.P. Moquette, hingga Sucipto Wirjosuparto.
Drewes sebenarnya tidak menyebut bahwa yang membawa ajaran Islam ke Indonesia adalah para pedagang India, namun oleh kaum saudagar asal Arab yang terlebih dulu menetap di Gujarat sebelum melanjutkan rute dagangnya ke Nusantara sekaligus untuk syiar Islam (Nur Syam, Islam Pesisir, 2005).
Teori Drews lalu dikembangkan, terutama oleh Hurgronje yang menyebut bahwa Islam masuk ke Nusantara seiring terjalinnya relasi niaga antara kerajaan atau masyarakat lokal dengan pedagang Gujarat dari India Selatan (Habib Mustopo, Kebudayaan Islam di Jawa Timur, 2001).
Baca Juga: Tamatnya Kerajaan Kristen Pertama di Nusantara
Argumen Hurgronje ini didasarkan atas peranan orang-orang Gujarat yang telah membuka hubungan dagang dengan bangsa lokal Indonesia sebelum para pedagang dari Timur Tengah atau Arab. Menurutnya, yang pertamakali dimasuki para saudagar muslim-Gujarat itu adalah wilayah Kesultanan Samudera Pasai di Aceh.
Hurgronje didukung oleh sejumlah pakar lainnya, termasuk Moquette dan Wirjosuparto, yang memaparkan bukti berupa corak batu nisan Sultan Malik As-Saleh (Marah Silu) memiliki kemiripan dengan corak nisan di Gujarat, juga hubungan dagang antara Nusantara dengan India telah lama terjalin (Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, 2009).
Namun, teori ini dinilai kurang sahih karena memiliki banyak kelemahan. Selain seperti kata Hamka, yakni bahwa India hanya menjadi persinggahan para pedagang dari Arab, Gujarat pada abad ke-12 hingga 13 M masih merupakan wilayah Hindu. Ajaran Islam yang kemudian masuk ke Gujarat pun berasal dari mazhab Hanafi, bukan mazhab Syafii yang lebih lekat dengan muslim Nusantara.
Baca Juga: Sejarah Pemikiran - Bercorak Islam atau Bercorak Arab







Teori Cina (9 M) dan Persia (13 M)
Pendapat lain terkait masuknya Islam ke Nusantara adalah teori Cina. Diyakini bahwa Islam memasuki Indonesia bersama migrasi orang-orang Cina ke Asia Tenggara dan memasuki Palembang pada 879 atau abad 9 M. Slamet Muljana dan Sumanto Al Qurtuby adalah pendukung teori ini (Tsabit Azinar Ahmad, Sejarah Kontroversial di Indonesia, 2016). Ajaran Islam sendiri berkembang di Cina pada masa Dinasti Tang (618-905 M), dibawa oleh panglima muslim dari kekhalifahan di Madinah semasa era Khalifah Ustman bin Affan, yakni Saad bin Abi Waqqash. Jean A. Berlie (2004) dalam buku Islam in China menyebut relasi pertama antara orang-orang Islam dari Arab dengan bangsa Cina terjadi pada 713 M.
Namun, teori ini juga diragukan. Relasi langsung Cina dengan Nusantara baru terjadi antara abad 13-15 M (semisal terkait Panglima Cheng Ho, atau Raden Patah dan beberapa orang Walisongo yang oleh Slamet Muljana [2005] dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara disebut keturunan Cina) meskipun hubungan dagang jarak jauhnya sudah ada sebelum itu.
Berkembang pula teori Persia dari Umar Amir Husen dan Hoesein Djajadiningrat. Dikutip dari Reception Through Selection-Modification: Antropologi Hukum Islam di Indonesia karya Abdurrahman Misno (2016), Djajadiningrat berpendapat bahwa tradisi dan kebudayaan Islam di Indonesia memiliki persamaan dengan Persia (Iran), semisal seni kaligrafi yang terpahat pada batu-batu nisan bercorak Islam di Nusantara.
Contoh lain adalah tradisi peringatan 10 Muharam atau tradisi budaya Islam-Persia yang juga mirip dengan tradisi serupa di Nusantara, yakni upacara Tabuik atau Tabut di beberapa wilayah pesisir Sumatera (Abdurrachman Mas'ud, Dari Haramain ke Nusantara, 2006).
Baca Juga: Sejarah Masuknya Islam di Nusantara
Selain itu, seperti yang dinukil dari Jaih Mubarak (2008) dalam buku Sejarah Peradaban Islam, ada kesamaan mazhab antara muslim Indonesia dan sebagian wilayah Persia pada saat itu, yakni menganut mazhab Syafii. Namun, teori Persia ini juga masih kalah kuat ketimbang teori Arab, dan akhirnya runtuh.

Teori Maritim dan Lainnya
Di samping teori-teori “besar” terkait klaim masuknya ajaran Islam ke Nusantara, muncul pula sejumlah versi lainnya, termasuk teori Maritim. Ini mirip dengan salah satu teori masuk dan berkembangnya ajaran Hindu-Buddha di Indonesia, yakni teori Arus-Balik.
Teori Maritim meyakini bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotori oleh orang lokal sendiri yang ulung dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Mereka berlayar ke negeri-negeri yang jauh, termasuk ke wilayah asal Islam atau negeri yang sudah menganut Islam, berinteraksi dengan orang-orang di sana, dan kembali ke tanah air dengan membawa ajaran Islam yang kemudian disebarkan.
Sejarawan asal Pakistan, N.A. Baloch, mempertegas argumen itu dengan menyebut bahwa para pelaut dan pedagang asli Nusantara bersinggungan langsung dengan para saudagar muslim, terutama yang datang dari Timur Tengah, khususnya Arab.
Mereka kemudian memperkenalkan Islam di jalur perniagaan yang disinggahi. Menurut Baloch, ini terjadi pada sekitar abad ke-7 M dan dimulai dari pesisir Aceh dan seterusnya hingga tersebar lebih luas (Akhmad Jenggis Prabowo, Kebangkitan Islam, 2011).
Masih ada pula sekelumit teori lainnya, seperti dari Mesir atau Turki. Namun argumen dan bukti-bukti yang dipaparkan tidak cukup kuat sehingga terpatahkan. Atau, teori-teori lain itu biasanya tetap bermuara pada peran kaum pedagang dari Arab yang diyakini memiliki andil paling sentral dalam upaya masuknya ajaran Islam ke Indonesia.

Ada berbagai pendapat dari para ahli terkait masuknya ajaran Islam ke wilayah Nusantara.

_________________________________________
Reporter  : Iswara N Raditya
Penulis    : Iswara N Raditya
Editor      : Iswara N Raditya


Related Posts:

Al-Zahrawi, Mahaguru Dokter Bedah Sedunia

Oleh: Iswara N Raditya || 31 Mei 2017

Al-Ilmu Nuurun
Al-Zahrawi, Mahaguru Dokter Bedah Sedunia
Abul Qasim. tirto.id/Gery 
Al-Zahrawi atau El Zahrawi alias Abulcasis adalah ahli dari para ahli bedah yang sumbangsihnya sangat besar bagi dunia kedokteran modern.

Sejak catgut atau benang bedah ditemukan, luka tidak lagi ditutup dengan semut. Semut? Ya, dahulu kala, semut-semut berukuran besar kerap digunakan sebagai media menjahit luka, ini pernah lazim dilakukan di pelosok-pelosok Amerika Selatan, juga di pedalaman Afrika.
Selain semut, ada jenis dedaunan tertentu yang juga bisa dipakai untuk menutup luka. Daun itu harus dikunyah terlebih dulu sebelum ditempelkan di atas luka sampai tertutup rapat, dengan harapan luka tersebut cepat mengering.
Baca juga: Orang Yahudi Naik Haji: Leopold Weiss alias Mohammad Asad
Catgut mulai dikenal pada pertengahan abad ke-10 atas peran besar Al-Zahrawi. Benang bedah temuan Al-Zahrawi ini dibuat dari jaringan hewan –biasanya dari usus kambing atau sapi– sehingga dapat diterima oleh tubuh manusia dan halal digunakan oleh orang Islam.
Siapakah sebenarnya Al-Zahrawi si penemu catgut itu?
Bapak Ilmu Bedah Modern Nama panjangnya adalah Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi, biasa dipanggil Al-Zahrawi atau El Zahrawi. Orang-orang Eropa lebih suka memakai nama Abulcasis untuk menyebutnya.
Al-Zahrawi lahir pada 936 Masehi di Zahra, sebelah barat daya Cordoba, Provinsi Andalusia, Spanyol. Inilah pusat pengetahuan, kebudayaan, sekaligus simbol kedigdayaan Islam di Eropa, berjuluk “permata dunia abad ke-10” di bawah naungan Kekhalifahan Dinasti Umayyah.
Kala itu, Cordoba adalah wilayah yang sangat kaya, amat kuat, dan termasuk kota yang paling maju di Eropa Barat (Ana Ruiz, Vibrant Andalusia: The Spice of Life in Southern Spain, 2007:39). Di sinilah yang menjadi tempat munculnya para ilmuwan muslim, Al-Zahrawi salah satunya.
Sumbangsih Al-Zahrawi bagi dunia kedokteran modern –termasuk dan khususnya ilmu bedah– sangat besar. Catgut hanyalah satu dari puluhan penemuan Al-Zahrawi yang sangat berdaya-guna hingga berabad-abad berikutnya, bahkan sampai saat ini, tentunya dengan inovasi demi inovasi seiring kemajuan zaman.
Al-Zahrawi telah menemukan 26 peralatan bedah yang semuanya belum pernah ada di masa-masa sebelumnya. Selain catgut, ia juga memperkenalkan alat-alat baru lainnya, sebutlah pisau bedah, sendok bedah, retractor, pengait, surgical rod, specula, bone saw, plaster, dan masih banyak lagi (Robert Kretsinger, History and Philosophy of Biology, 2015:24).
Tak hanya penemuan berupa barang atau peralatan saja, Al-Zahrawi juga merumuskan pemikiran yang sangat membantu perkembangan ilmu kedokteran modern. Banyak dokter dari berbagai penjuru Eropa dan belahan bumi lainnya yang datang kepada Al-Zahrawi untuk belajar.
Maka tidak heran ketika seorang penerjemah asal Italia bernama Pietro Argallata menyebut Al-Zahrawi sebagai “pemimpin dari seluruh ahli bedah” (M.R. Islam, et.al., The Greening of Pharmaceutical Engineering, 2015:257). Dengan kata lain, ia ibarat mahaguru bagi dokter-dokter bedah sedunia.
BAPAK ILMU BEDAH MODERN

Perumus Kitab Ilmu Kedokteran
Karya monumental hasil pemikiran Al-Zahrawi adalah sebuah buku setebal 1.500 halaman yang terdiri dari 30 jilid dengan tajuk At-Tasrif liman Ajiza an at-Ta'lif. Inilah kitab suci bagi kaum dokter sedunia yang beberapa pengetahuan di dalamnya bahkan masih dijadikan rujukan dan pedoman sampai sekarang.
Melalui kitab inilah Al-Zahrawi memaparkan kurang lebih 200 peralatan bedah, termasuk 26 alat hasil temuannya itu, ia juga mengupas bermacam teknik dalam operasi bedah. Di atas lembar-lembar Al-Tasrif pula, ia mengklasifikasikan 325 macam penyakit beserta gejala dan cara pengobatannya.
Tak hanya tentang bedah dan daftar penyakit saja yang dipaparkan Al-Zahrawi lewat kitab tebal itu, banyak sekali pengetahuan lainnya terkait ilmu kedokteran yang terhimpun di dalamnya. Al-Tasrif telah diterjemahkan ke bahasa Latin, Inggris, Perancis, hingga Ibrani, dan menjadi acuan utama kalangan medis di Eropa kala itu.
Baca juga: Tabariji, Sultan Ternate yang Terpaksa Pindah Agama
Ahli bedah ternama abad ke-14 asal Prancis, Guy de Chauliac, bahkan mengutip isi ajaran Al-Tasrif lebih dari 200 kali (Fred Ramen, Abulcasis: Renowned Muslim Surgeon of the Tenth Century, 2006:90). Sampai abad ke-16, Al-Tasrif masih dijadikan rujukan utama hingga diambil-alihnya kembali maskot ilmu pengetahuan Eropa oleh bangsa barat sejak masa Renaisans yang mulai menggejala sejak dua abad sebelumnya.
Al-Zahrawi meninggal dunia pada 1013 M dalam usia 77 tahun dan sempat mengabdi untuk keluarga penguasa Andalusia dari Dinasti Umayyah saat itu, Khalifah Al-Hakam II, sebagai dokter khusus kerajaan (Yahya Muhammad, Islam and Science, 2007: 63).
Abul Qasim Khalaf ibn al-Abbas az-Zahrawi termasuk generasi emas Islam Andalusia yang terakhir. Tidak seberapa lama setelah ia wafat, era gemilang Dinasti Umayyah di Cordoba juga turut purna yang sekaligus menjadi sinyal bakal berakhirnya keperkasaan Islam di Eropa.
Sepanjang Ramadan, redaksi menayangkan naskah-naskah yang mengetengahkan penemuan yang dilakukan para sarjana, peneliti dan pemikir Islam di berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kami percaya bahwa kebudayaan Islam -- melalui para sarjana dan pemikir muslim -- pernah, sedang dan akan memberikan sumbangan pada peradaban manusia melalui ilmu pengetahuan dan teknologi. Naskah-naskah tersebut akan tayang dalam rubrik "Al-ilmu nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".
Al-Zahrawi menemukan puluhan alat bedah sejak abad ke-10 yang hingga saat ini masih digunakan.

_________________________________________
Reporter  : Iswara N Raditya
Penulis    : Iswara N Raditya
Editor      : Nurul Qomariyah Pramisti


Related Posts:

Tamatnya Kerajaan Kristen Pertama di Nusantara


Oleh: Iswara N Raditya || 29 Agustus 2017

Tamatnya Kerajaan Kristen Pertama di Nusantara, Larantuka
Ilustrasi Larantuka dengan latar belakang gunung Ile Mandiri, 1656, oleh Vlaming van Oudshoorn, Arnold. FOTO/franotukan.blogspot.co.id/Facebook Joseph Letor

Larantuka menjadi kerajaan Katolik setelah berinteraksi dengan Portugis pada abad ke-16 M.

Pada masanya, Kerajaan Larantuka pernah amat perkasa di Flores bagian timur. Salah satu faktor yang memungkinkan hal itu terjadi adalah dukungan bangsa Portugis sejak abad ke-16 Masehi.
Sebagai kerajaan yang penting, interaksi dengan kerajaan-kerjaan lain bahkan negara lain pun terjadi. Larantuka yang sempat dipengaruhi ajaran Hindu dari Majapahit, menjelma menjadi kerajaan Kristen-Katolik pertama di Nusantara. Faktor inilah yang kian memperkuat hubungan Larantuka dengan Portugis.
Namun, kehadiran Belanda merusak segalanya. Belanda yang berambisi merebut dominasi perdagangan kayu cendana menyerang Portugis. Tak butuh waktu lama, Portugis takluk. Larantuka menyusul jatuh, dan nantinya, status kerajaan dihapuskan. Riwayat Larantuka sebagai kerajaan pun tamat, berganti menjadi wilayah koloni Hindia Belanda.

Antara Larantuka dan Jawa
Dahulu kala, kawasan yang kemudian menjadi wilayah Kerajaan Larantuka disebut dengan nama Nusa Dipa, artinya Pulau Ular atau Pulau Naga. Nama ini berasal dari istilah Sanskerta. Orang-orang Timor ternyata pernah punya kenangan lama dengan saudara-saudara jauhnya dari Jawa.
Nusa Nipa menggambarkan bentuk pulau yang memang menyerupai ular (Paramita Rahayu Abdurachman, Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-jejak Kebudayaan Portugis di Indonesia, 2008:60). Manggarai dan Ngada di ujung barat sebagai ekornya, di tengah ada Endeh dan Sika yang menjadi badannya, sementara lengkungan Larantuka di semenanjung timur laut adalah kepalanya.
Kisah klasik antara orang-orang Timor dan Jawa menjadi awal cerita Kerajaan Larantuka yang konon berdiri sejak abad ke-13. Dikisahkan, cikal-bakal pemerintahan di kawasan ini didirikan oleh pasangan suami-istri bernama Pati Golo Arakian dan Wato Wele, dengan nama Kerajaan Ata Jawa (Douglas Kammen, Three Centuries of Conflict in East Timor, 2015:114).
Sang istri, Wato Wele, adalah perempuan lokal dari Suku Ile Jadi, penghuni asli yang dikeramatkan. Sedangkan Pati Golo Arakian merupakan anak dari seorang bangsawan Kerajaan Wehali (Wehale) dengan wanita berdarah Jawa. Wehali merupakan salah satu kerajaan di pantai selatan Timor bagian tengah, kerajaan pesisir yang kerap berhubungan dagang dengan bangsa lain, termasuk orang-orang dari Jawa.
Nantinya, Wehali dan Larantuka memilih jalur berbeda. Wehali memeluk Islam dan bersekutu dengan orang-orang Bugis/Makassar untuk memerangi Portugis. Sedangkan Larantuka justru menjadi sekutu terbaik Portugis yang menganut Katolik, dan bersama-sama menghadapi Belanda (Rosihan Anwar, Sejarah Kecil "Petite Histoire" Indonesia, 2004:7). Nama Larantuka sendiri mulai dipakai sejak era raja ketiga, Sira Demon Pagu Molang.
Hubungan antara Timor, khususnya Larantuka, dengan Jawa semakin intensif dalam perjalanan abad ke-14. Slamet Muljana (2005) dalam buku Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit menyebut bahwa kala itu, Majapahit melebarkan kekuasaannya ke bagian timur Nusantara. Larantuka menjadi salah satu daerah yang ditaklukkan.
Cerita ekspedisi penaklukan oleh Majapahit itu tersurat dalam Kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca yang ditulis pada 1365, termasuk menyebut wilayah Larantuka dengan nama Galiyao (R.H. Barnes, The Majapahit Dependency Galiyao, 1982:407). Sedangkan penguasanya disebut sebagai Raja Lewonama (Kongres Nasional Sejarah 1996, 1997:202).
Pengaruh Majapahit masih terasa hingga kini. Ada beberapa desa di Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang memiliki nama dengan nuansa Jawa atau Sanskerta, seperti Amagarapati, Balela, Ekasapta, Lamawalang, Sarotari, dan lainnya.
 Baca Juga: Menjinakkan Malaria di Zaman Kolonial
Intim dengan Portugis
Ada perbedaan mendasar antara Larantuka dengan mayoritas kerajaan lain di Nusantara. Jika alur riwayat kerajaan lainnya, termasuk beberapa kerajaan di kawasan Timor, pernah memasuki fase Islam –agama yang dibawa oleh orang-orang dari Arab, Timur-Tengah, juga India atau bahkan Cina– Larantuka nyaris tidak mengalami tahap tersebut.
Dari kerajaan lokal, kemudian sempat menganut Hindu karena pengaruh Majapahit, Larantuka setelah itu justru menjadi kerajaan Kristen/Katolik pertama di Nusantara, bahkan mungkin satu-satunya. Adalah bangsa Portugis yang membawa ajaran agama itu ke Larantuka pada abad ke-16.
Semula, Portugis hanya singgah ke Larantuka untuk transit dalam pelayaran dari Malaka menuju pusat rempah-rempah di Maluku. Ternyata, di Larantuka banyak terdapat komoditi yang laku dijual di Eropa, salah satunya adalah cendana. Maka, kemudian Portugis membangun koloni di kawasan ini, sekaligus untuk menyebarkan agama Katolik.
Agama Katolik yang semula disyiarkan oleh kaum misionaris Portugis sebenarnya sudah cukup lama masuk ke wilayah Timor. Huub J. W. M. Boelaars (2005:69) dalam buku Indonesianisasi: Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia bahkan mencatat bahwa pada 1606, jumlah umat Katolik di kepulauan itu sudah mencapai 50 ribu orang. Tidak sulit bagi Portugis untuk mengambil hati orang-orang Larantuka, termasuk para pembesar kerajaannya.
Raja-raja yang memerintah di Larantuka pun menyandang gelar bernuansa Portugis. Mereka dibaptis menggunakan nama Katolik dan memakai marga Diaz Viera de Godinho (DVG) beserta gelar Don, di samping gelar atau nama asli. Raja Katolik-Portugis pertama di Larantuka adalah Ola Adobala bergelar Don Francisco DVG (M. Nijhoff, Anthropologica, Volume 140, 1984:324).
Status sebagai kerajaan Katolik menjadikan penguasa Kerajaan Larantuka juga memiliki peran sebagai pemimpin urusan agama selain pemimpin pemerintahan. Raja, misalnya, berwewenang mengatur kegiatan-kegiatan keagamaan yang penting dan sakral. Hingga kini, ritual-ritual ala Vatikan masih banyak dijumpai di Larantuka.
Gelar Portugis untuk raja-raja Larantuka masih digunakan hingga Don Lorenzo III DVG pada dekade ketiga abad ke-20 (Karel Steenbrink, Catholics in Indonesia, 1808-1942: A Documented History, 2002:89), Ia merupakan raja terakhir yang sebenarnya tidak memiliki kewenangan lagi karena saat itu Kerajaan Larantuka sudah dihapuskan Belanda.
  Baca Juga: Karena Korupsi, VOC Bubar Saat Jelang Tahun Baru
Korban Perang Imperialisme
Belanda alias VOC menancapkan pengaruhnya di Timor sejak abad ke-15. Kala itu, VOC mulai memberikan tekanan terhadap Portugis yang memang lebih dominan. Pada 1613, Belanda menaklukkan benteng Portugis di Solor, pulau di sebelah timur Larantuka (Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur, 1984:43).
Kekalahan di Solor membuat Portugis memusatkan kekuatannya di Larantuka. Di sinilah persaingan politik antar-bangsa imperialis terjadi di Nusantara yang kaya-raya. Portugis mendapat dukungan dari Kerajaan Larantuka untuk mempertahankan penguasaan atas perdagangan cendana yang diincar oleh Belanda.
Di sisi lain, Belanda juga tidak sendiri. VOC merangkul kerajaan-kerajaan lain di Nusa Tenggara Timur yang memusuhi Portugis, terutama aliansi kerajaan Islam yang tergabung dalam persekutuan Watan Lema atau Lima Pantai (Didik Pradjoko, "Kerajaan Larantuka dan Politik Kolonial Belanda", dikutip dari Republika, 1 Januari 1970).
Perang antara dua kubu ini terjadi cukup lama, hingga menjelang pertengahan abad ke-16. Salah satu pertempuran terbesar terjadi pada 1749 atau Perang Penfui (Dominikus Meak Parera & ‎Gregor Neonbasu, Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor, 1994:21). Pasukan Portugis-Larantuka yang membawa 40 ribu tentara menyerang benteng Belanda di Kupang.

Portugis-Larantuka menang untuk sementara, dan Belanda hanya bisa bertahan. Namun, nantinya justru terjadi perselisihan sendiri di kubu ini. Perselisihan bermula dari kelompok yang disebut Zwarte Portugeesen atau Portugis-Hitam, kalangan yang terdiri dari warga lokal keturunan Portugis yang bercampur dengan orang Melayu dari Malaka (Didik Pradjoko, dkk., Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia, 2013:261).
Kelompok ini mula-mula berada di dalam barisan Portugis dan Larantuka. Setelah memenangkan Perang Penfui, golongan Portugis-Hitam menjalin aliansi lebih luas dengan kekuatan lokal di wilayah Timor lainnya. Bahkan, pasukan Zwarte Portugeesen kemudian mengusir seorang Gubernur Portugis sampai melarikan diri ke Dili (Timor bagian timur atau Timor-Timur, kini Timor Leste).

Tamat di Tangan Belanda
Situasi tersebut membuat kekuatan Portugis dan Larantuka melemah. Di sisi lain, Belanda justru semakin berpengaruh di kawasan Timor bagian barat. Belanda dengan posisi yang menguat mulai melakukan penaklukan menuju timur. Ende dikuasai pada 1838, dan setahun berikutnya, giliran Larantuka yang diserang. Saat itu, Belanda telah beralih-rupa dari VOC menjadi pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Baca Juga: Belanda Melepas Manhattan Demi Pulau Kecil di Maluku
Kondisi Larantuka yang sedang guncang, ditambah melemahnya Portugis, membuat Belanda berhasil memaksakan untuk dilakukan perundingan yang mulai dirintis pada 1851. Tanggal 20 April 1859, Portugis akhirnya menyerahkan wilayah Flores, termasuk Larantuka, kepada Belanda (M. Koehuan, dkk., Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Nusa Tenggara Timur, 1982:66).
Sejak saat itulah, Larantuka dikuasai Belanda. Memasuki abad ke-20, pemerintahan kerajaan di Larantuka dihapuskan dan diperintah langsung oleh Gubernemen Hindia Belanda. Dengan demikian, riwayat Larantuka sebagai kerajaan Katolik pertama di Nusantara –dan barangkali satu-satunya, dipastikan tamat meskipun masih ada raja yang hanya diposisikan sebagai simbol semata.
Belanda menyerah kepada Jepang pada 1942. Tiga tahun lebih berselang, gantian Jepang yang kalah sehingga memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk merdeka. Larantuka pun bergabung dengan NKRI dan kemudian menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Flores Timur di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kerajaan Larantuka membantu Portugis untuk melawan Belanda di NTT.
_________________________________________
Reporter  : Iswara N Raditya
Penulis    : Iswara N Raditya
Editor      : Zen RS

Related Posts:

Jalan Setapak Syekh Siti Jenar


Oleh: Iswara N Raditya || 28 November 2017

Jalan Setapak Syekh Siti Jenar
Masjid Agung Demak. FOTO/commons.wikimedia.org
Ajaran tasawuf yang diyakini Syekh Siti Jenar ditentang oleh Walisongo. Mati adalah hukuman yang dirasa paling pantas untuknya.

Suatu hari di Istana Argapura, Giri (Gresik), para wali dan sejumlah tokoh penting menggelar sarasehan. Telah hadir Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, Sunan Kudus, Tan Go Wat alias Syekh Bentong, Pangeran Palembang, Panembahan Madura, hingga Syekh Lemah Abang.
Masing-masing hadirin bergantian memaparkan pengetahuan dan pemahaman mereka tentang agama atau hal-hal lainnya. Saat tiba giliran Syekh Lemah Abang, ia berucap dengan mantap:
“Menyembah Allah dengan bersujud beserta ruku'-nya, pada dasarnya sama dengan Allah, baik yang menyembah maupun yang disembah. Dengan demikian, hambalah yang berkuasa, dan yang menghukum pun hamba juga." (Ngabei Ranggasutrasna, dkk., Centhini: Tambangraras-Amongraga, Jilid I, 1991:120-123).
Kata-kata itu membuat forum riuh seketika. Beberapa orang menuding Syekh Lemah Abang berdosa besar karena menyamakan dirinya dengan Tuhan. Banyak pula yang menyebutnya keblinger, terlalu jauh dalam memaknai tasawuf.
Syekh Lemah Abang tetap tenang. Dengan kalem, ia menjawab segala tudingan yang diarahkan kepadanya itu, “Biar jauh tapi benar, sementara yang dekat belum tentu benar.”
Suasana kembali ramai. Beberapa wali memperingatkan bahwa pemikiran Syekh Siti Jenar itu bisa berdampak hukuman mati karena melenceng dari Islam (Achmad Chodjim, Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan, 2007:11).
Pandangan Syekh Siti Jenar dianggap mengancam proses tumbuh-kembang Islam yang sedang subur-suburnya di Jawa selepas runtuhnya Majapahit itu. Apalagi Syekh Siti Jenar punya banyak murid dan pengikut yang beberapa di antaranya cukup berpengaruh.
Sosok sufi yang memantik kontroversi di kalangan Walisongo dan kaum ulama serta tokoh-tokoh penting dalam pusaran kekuasaan di pusat peradaban Jawa itulah yang juga dikenal dengan nama Syekh Siti Jenar.
Jejak Syekh Siti Jenar
Keberadaan Syekh Siti Jenar secara fisik masih menjadi perdebatan. Lokasi di mana jasadnya dikebumikan setelah dihukum penggal pada masa-masa akhir kepemimpinan Raden Patah (1475-1518) selaku penguasa Demak pun masih simpang-siur.
Yang menjadi pegangan bahwa Syekh Siti Jenar memang pernah hadir dan berperan penting adalah peninggalan ajarannya yang disebut pupuh atau ajaran budi pekerti. Beberapa sumber lama berupa babad maupun serat merekam apa saja yang dipelajari, diyakini, dan dijalankan Syekh Siti Jenar yang dianggap sesat itu.
Syekh Siti Jenar diyakini berasal dari Persia (Iran), lahir sekitar 1404 M. Ia berguru kepada ayahnya, Sayyid Shalih, yang dikenal sebagai ahli tafsir kitab suci. Konon, Jenar sudah hafal Alquran sejak usia 12 tahun (Shohibul Farojo Al-Robbani, Kumpulan Tanya Jawab Islam: Hasil Bahtsul Masail dan Tanya Jawab Agama Islam, 2013:1474).
Dirunut dari silsilah, para pengikutnya yakin bahwa Syekh Siti Jenar keturunan langsung Nabi Muhammad melalui jalur Siti Fatimah dan Ali bin Abi Thalib (Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo, 1995:49).
Pada usia 17 tahun, Jenar tiba di Kepulauan Nusantara, mengikuti ayahnya berdagang sekaligus berdakwah di Malaka. Ayah Jenar lalu diangkat sebagai mufti (ulama yang berwenang menafsirkan kitab dan memberikan fatwa kepada umat) oleh penguasa Kesultanan Malaka saat itu, yakni Sultan Iskandar Syah (1414-1424).
Setelah Sultan Iskandar Syah meninggal dunia, Sayyid Shalih pindah ke Cirebon pada 1425 dan dipercaya sebagai penasihat agama kesultanan di sana, bersama Maulana Malik Ibrahim atau yang kelak dikenal sebagai Sunan Gresik.
Sayyid Shalih wafat di Cirebon. Jenar pun ditunjuk sebagai penerusnya. Inilah mengapa Abdul Munir Mulkhan (1999:50) dalam Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa menyebut Jenar merupakan keturunan bangsawan Cirebon sebelum datang ke Demak.
Di Demak yang merupakan pusat ajaran Islam di Jawa, Jenar berguru kepada sejumlah wali, termasuk Sunan Ampel dan Sunan Gunung Jati. Mohammad Zazuli dalam Syekh Siti Jenar: Mengungkap Misteri dan Rahasia Kehidupan (2011:18), meyakini bahwa Jenar juga sempat berguru kepada pertapa Hindu/Buddha. Dari sinilah ia mulai mengenal konsep manunggaling kawula gusti.
Kendati demikian, perlu untuk dipahami bahwa mistisisme dalam Islam, yang dikenal sebagai tasawuf atau sufisme, sudah muncul jauh sebelumnya. Beberapa mistikus Islam sudah berperan dan memainkan pengaruhnya di berbagai belahan dunia Islam, bahkan sudah muncul sejak abad-abad pertama perkembangan Islam.

Manunggaling Kawula Gusti
Syekh Siti Jenar bermukim di Jepara, memimpin pondok pesantren. Suatu kali, ketika Jenar sedang mengajar santri-santrinya di dalam masjid, tiba rombongan dari Demak. Ada Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Geseng (Raden Mas Cakrajaya), dan lainnya. Mereka datang untuk menyampaikan titah dari Raden Patah, Sultan Demak.
Sunan Bonang berucap salam. Tapi salam itu rupanya tidak terdengar karena suasana yang sedang ramai oleh para santri. Merasa tidak dihargai, Sunan Bonang naik pitam dan mendatangi Syekh Siti Jenar seraya berkata keras:
“Wahai Jenar yang sedang berada di alam kematian. Hentikan sejenak pengajaranmu. Jangan kau teruskan mengajar murid-muridmu!” bentak Sunan Bonang (R. Sasrawidjaja, Serat Syaikh Siti Jenar, 1958:48). Rupanya kedatangan para ulama sekaligus politisi berpengaruh dari Demak itu atas perintah Raden Patah. Sang sultan mendapatkan kabar bahwa apa yang diajarkan oleh Jenar terindikasi telah menyimpang dari ajaran Islam.

Para wali dan ulama di wilayah kekuasaan Demak kala itu, termasuk Syekh Siti Jenar, hanya diberi kewenangan mengajarkan syahadat dan tauhid. Sementara Jenar dikabarkan sudah berani memberikan materi tentang ilmu ma’rifat dan hakikat.
Digelarlah forum sebagai ajang pertanggungjawaban atas keyakinan Jenar itu. Sebagian besar anggota Walisongo hadir dan “mengeroyok” Jenar dengan melancarkan berbagai argumen tentang ketuhanan.
Bagi Syekh Siti Jenar, inti paling mendasar tentang syahadat dan tauhid adalah manunggal (bersatu). Artinya, seluruh ciptaan Tuhan pasti akan kembali menyatu dengan yang menciptakan, manunggaling kawula gusti. Para wali beramai-ramai menyanggah keyakinan Jenar itu.
“Allah adalah yang bewujud haq,” kata Sunan Gunung Jati.
“Allah itu tidak berwarna, tidak berupa, tidak berarah, tidak bertempat, tidak berbahasa, tidak bersuara, wajib adanya, mustahil tidak adanya,” tandas Sunan Bonang.
“Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan,” imbuh Sunan Giri.
“Allah itu adalah seumpama (dalang) memainkan wayang,” sambung Sunan Kalijaga.
Sebagai penegas sekaligus sabda pamungkas, Sunan Kudus mengatakan, “Adapun Allah itu tidak bersekutu dengan sesama (manusia).”
Namun, Syekh Siti Jenar tetap bertahan dengan keyakinannya. “Tak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun (saya) inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati,” balasnya (R. Tanaja, Suluk Walisanga, 1954:54).
“Jika Anda menanyakan di mana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada zat yang tempatnya tidak jauh, yaitu bersemayam di dalam tubuh (manusia itu sendiri),” lanjut Syekh Siti Jenar.
Masih panjang paparan Jenar tentang konsep ketuhanan versinya yang oleh Walisongo disebut musyrik karena menganggap diri sebagai Tuhan. Jenar sebenarnya hanya ingin meyakinkan bahwa manusia dan Sang Pencipta suatu saat akan bertemu dan bersatu.
Dan, forum diskusi itu pun beralih fungsi menjadi persidangan. Dengan suara bulat memutuskan bahwa Syekh Siti Jenar harus diproses hukum, kemungkinan besar hukuman mati.
Vonis mati dijatuhkan kepada Syekh Siti Jenar dalam sidang para wali yang dipergelarkan di Cirebon (Achmad Chodjim, 2007:13). Belum dapat dipastikan, kapan tepatnya nyawa Jenar dipungkasi, diperkirakan antara tahun 1515 hingga 1517.
Sosok pasti Syekh Siti Jenar memang masih menjadi misteri. Namun, berdasarkan penemuan jejak pemikirannya yang kemudian dirangkum oleh berbagai sumber berupa babad, serat, kitab, atau bentuk referensi lainnya, Jenar tidak pernah takut mati, justru itulah yang diyakininya sebagai titik kesempurnaan manusia.
“Syukur jika saya sampai tiba di alam kehidupan yang sejati… Sakit dan sehat saya temukan di dunia ini. Lain halnya apabila saya sudah lepas di alam kematian. Saya akan hidup sempurna, langgeng, tiada ini dan itu.” (R. Sasrawidjaja, 1958:20).
“Tak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun (saya) inilah Allah," kata Syekh Siti Jenar.
_________________________________________
Reporter  : Iswara N Raditya
Penulis    : Iswara N Raditya
Editor      : Zen RS

Related Posts: