Mentifact - Sosiofact


Manusia — selain kedudukannya sebagai makhluk sosial, juga merupakan makhluk yang secara nilai konperhensifnya mampu bertindak dengan segala macam kehendaknya yang bebas.

"Tak heran jika kejadian demi kejadian melahirkan hal penomenal yang berulang maupun kondisi baru yang mereka ciptakan sehingga melahirkan berbagai macam pandangan untuk diafsirkan baik secara mental maupun spritual sebagai konteks pembentukan paradigma dari perubahan sosial secara dinamis"

Kompilasi paradigma sosial yang tidak mengalami transformasi dalam perkembangan meningkatkan sumber daya manusianya melahirkan impek yang panjang untuk masa depan pembangunan yang baik.

Oleh karena kekeliruan memahami hal yang subtantif terhadap fenomena sosial dari akar kultur maupun batang struktur sosial menyebabkan terjadinya kekakuan moral pada dimensi politik dalam cara kehidupan bermasyarakat.

Akibatnya, semangat pembangunan dan cita-cita berkemajuan dalam skala infrastruktur maupun suprastruktur mendapat banyak hambatan akibat dari pola pikir masyarakat yang terhegomoni oleh keadaan yang serupa dengan itu..

Related Posts:

The Illusion of Mining Community Welfare



Dampak buruk dari pertambangan bukan lagi sebuah anomali, namun akan menjadi sebuah keniscayaan.
Kerakusan dan perampasan akan lahan dan air mampu membongkar segala isi perut bumi, memaksa kaum tani dan rakyat kecil desa untuk jauh dari sumber daya alam yang dibutuhkan sekalipun ada bayangan kesejahteraan dalam ilusi.

Sayangnya, masyarakat kita kerap lupa akan keniscayaan daya rusak akibat hadirnya pertambangan yang tak jarang menimbulkan konflik, kekerasan, pelanggaran HAM dan pemiskinan yang berkepanjangan.

Akibatnya, cerita tutur yang sama akan berulang, hanya dengan versi yang lebih baru dan mencekam serta memberikan rasa ketakutan terhadap kelangsungan ekologi, lingkungan dan yang paling penting tentang eksistensi masyarakat adat dari pengaruhnya penguasa-penguasa negeri yang sedang giat membangun kerajaan bisnis dan praktik politiknya melalui sektor pertambangan ini.

Kita dan generasi saat ini maupun yang akan datang harus sadar untuk tetap eksis memperbincangkan soal-soal ini lebih jauh dan mendalam. Memastikan statis dan kedudukan tanah bukanlah ladang bebas yang harus dijarah semena-mena oleh kaki-tangan negara dengan seluruh peralatannya. Kemampuan kolektifitas dan semangat solidaritas harus menjadi tolak ukur primer sebagai basis kekuatan menyelamatkan tanah milik rakyat atas kemanfaatan dan kepastian dihadapan hukum dalam cara-cara yang lebih adil dan bermartabat.. (to be continued...)

Related Posts:

Phenomenon of Positivistic Legal Logic

Memproteksi kehidupan manusia modern yang sedang menuju ke arah anomie, baik secara personal, sosial, maupun institusional. Anomie sebagai suatu keadaan sikap mental sosial yang berkembang pada dunia modern saat ini, nampaknya memperlihatkan manusia sudah tidak tahu lagi bagaimana standar perilaku yang harus diterapkan atau state of normlesness.

Jika dicermati pada tataran personal, seorang manusia gampang mencurigai manusia lain. Mereka juga akan gampang berperilaku seenaknya sendiri seolah-olah tidak ada lagi aturan-aturan yang dapat dijadikan pegangan dan kebenaran baik sebagai pedoman maupun falsafah sebagai nilai dalam kehidupan. Tindakan-tindakan tersebut menampilkan kebebasan kehendak yang melahirkan sikap emosional seperti menghujat, memfitnah, menjarah, membunuh, dan lain-lain. Bahkan tindakan pembunuhan pun tampak gampang sekali dilakukan di tengah-tengah definisi yang berlaku bahwa kita adalah bangsa dan manusia yang beradab. Sementara para pakar akan dapat mengatakan bahwa bangsa kita sedang menghidupkan hukum rimba yang sebenarnya telah diberlakukan sejak zaman orba.

Pada tataran sosial, tampak bangsa ini sedang mengembangkan dan menerapkan blind communal homogenous society (kehidupan homogen komunal yang membabi buta). Nampaknya dalam segmentasi kultur, sentimen untuk seorang personal dianggap sebagai sentimen kelompok, ketersinggungan personal disamakan dengan ketersinggungan kelompok. 

Akibatnya, perang antarkelompokpun terjadi ditengah-tengah masyarakat kita tanpa ada upaya prefentif sebagai jalan alternatif solusion. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat sosial menjalankan nilai-nilai kehidupan secara representatif dan berkesinambungan dengan ajaran moral. pergeseran paradigma sosial semacam ini mempengaruhi tatanan sosial lama dalam keadaan stigmatisasi sosial. Akibatnya kesadaran kelompok yang dahulunya memiliki nilai solidaritas yang terjaga, kini bergeser pada kesadaran ego pribadi antara sentimen kelompok tertentu.

Pada tingkatan institusional, terdapat ketidakmampuan hukum untuk mencegah dan mencegah anomie trend seperti itu. Hukum yang dimaksudkan disini adalah termasuk lembaga-lembaga penegakan hukum dalam arti luas (sebut saja seperti itu). Mereka tampak tidak berdaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi penegakan hukum ditengah-tengah kehidupan sosial, yang tentu saja tidak hanya menciptakan formal justice, tetapi juga substantial justice.

Harus kita akui, bahwa kita dan hukum kita lebih banyak berkutat pada bagaimana menciptakan formal justice daripada substansial justice. Akibatnya, hukum hanya berurusan dengan hal-hal teknis dan mekanistik semata dan atau bersifat technological maupun transaksionalitas. Sentuhan kemanusiaan hukum menjadi hilang. Hukum direduksi menjadi dua hal yang jukstaposisional, seperti benar-salah, hitam-putih, menang-kalah, halal-haram, dan lain sebagainya.

Pada saat yang bersamaan, kita sejatinya dihadapkan pada kenyataan bahwa kita semakin banyak ditaburi oleh berbagai peraturan dan undang-undang, yang semuanya adalah untuk mengatur perilaku manusia. Peraturan dan undang-undang itu semakin hari semakin bertambah oleh otoritas atau pada tiap kekuasaan yang berganti, sehingga tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa kita sedang memasuki suatu kondisi hiperregulated society.

Pertanyaan besarnya adalah mengapa setelah dihadapkan pada berbagai peraturan dan undang-undang yang serba-serbi itu, sikap tawar menawar yg fair sebagai solusi diplomatik pun tidak kunjung datang. Yang terjadi justru hukum tampak semakin hopeless (tanpa harapan) dan atau telihat kedodoran, sehingga penyelesaian hukum pun justru menciptakan persoalan baru daripada menuntaskan perihal-perihal kemanusiaan secara kompleks.

Dari maraknya fenomena dan peristiwa sosio-legal ini, dapat diasumsikan tidak cukup sekadar diselesaikan oleh undang-undang. Oleh karena itu, paradigma manusia yang hanya melihat hukum hanya sebatas undang-undang saja, sudah saatnya harus diubah cara pandangnya. Oleh karena kepastian terhadap undang-undang jangan diidentikkan dengan kepastian hukum, tetapi bagaimana memahami hukum sebagai metodologi yang mampu menyelesaikan setiap persoalan hidup yang dinamis. ***

Related Posts:

Habitus and Cultural Power

Habitus dan Kuasa Budaya (Habitus and Cultural Power) — Habitus dalam perkembangannya merupakan konsep yang menjelaskan mengapa individu bertindak dalam masyarakat sesuai dengan skema yang sudah ada sebelumnya, yang pada dasarnya cenderung mereproduksi hubungan-hubungan sosial yang ditandai oleh dominasi kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain. Dalam konteksnya dengan kondisi sosial, pastinya dominasi tersebut melingkupi habitus yang sifatnya individual dan habitus kelas sosial. Berangkat dari terminologi ini, keberatan utama terhadap konsep ini ialah pernyataan tentang kesatuan disposisi sosial yang keberlangsungannya selama hidup, dan pengaruhnya dalam segala situasi kehidupan sosial dimasa akan datang dalam membentuk pormasi sosial maupun kekuasaan.


Begini maksunya, orang bisa saja belajar dari berbagai sumber dan bukan hanya dari lingkungan keluarga saja tetapi bisa dari sekolah, lingkungan kerja, media, dan lain sebagainya. Lagi pula ketika ditinjau dari aspek sosialnya, keluarga bukan lagi lingkup sosialisasi yang sifatnya homogen, tetapi mungkin saja orang tua sebagai pendidik utama tidak mampu berkontribusi terhadap pendidikan anak. Misalnya saja ada anak yang kuliah di Universitas, lalu anak-anak mereka yang lain ada yang berhasil dalam belajar dan ada juga yang mengalami kegagalan. Hal-hal yang dapat disimulasi seperti ini pastinya memengaruhi perkembangan anak yang berasal dari hubungan-hubungan yang beragam sehingga dengan demikian, masa depan anak akan melahirkan masa depan yang cukup beragam juga, padahal proses sosialisasi dalam satu keluarga mungkin masing-masing melewati bentuk yang berbeda-beda.  Meskipun posisi asal-usul keluarga dalam hierarki sosial pada awalnya sudah mengarahkan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda pula.

Dalam konsep habitus ini, secara tersirat posisi sosial akan menitikberatkan pada sikap determinisme budaya dan kelas asalnya, status dan kedudukannya di dalam hierarki sosial. Kesan yang muncul akibat determinisme ini sebagian terjawab ketika pelaku sosial mampu menyatakan bahwa habitus sejatinya berfungsi seperti program yang memungkinkan adanya kreativitas dalam perkembangan cara pandang hidup sesuai dengan konteks jaman tergantung dengan apa yang diproyeksikan oleh solitdaritas sosial secara progresif dan kolektif. Tetapi, pembelaan terhadap hal yang demikian juga belum cukup memberi mutu kemandirian terhadap subyek sebagai pelaku sosial yang beragam, yang meskipun merupakan hasil dari pengkondisian sosial, namun tidak memperhatikan disposisinya dalam mempertimbangkan heterogenitas kebudayaan.

Pada dasarnya pelaku sosial tetap akan menjadi sumber kebebasan politik dan perubahan sosial. Pelaku sosial yang sudah terhegomoni oleh otoritarian budaya, tidak akan mengembangkan kemampuan refleksi yang sama yang dimiliki oleh pengamat dari luar, misalnya kelompok pemuda yang tercerahkan, akademisi maupun kesadaran-kesadaran yang lahir dari kelompok aktivis lainnya yang ingin berkontribusi demi perubahan dan pembangunan sosial yang pada kemungkinan-kemungkinannya akan terjadi refleksi terhadap tindakan dari disposisi sosial yang pasif.

=====
Dalam keadaan disposisi sosial yang sama, secara tidak langsung akan melahirkan bentuk kekerasan dan kecaman simbolik karena sulit dimengerti oleh mereka yang didominasi.
=====

Padahal posisi sosial yang beragam bermaksud untuk mengembangkan sikap kebudayaan yang bukan hanya akan berkontribusi terhadap pengetahuan, tetapi juga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan genealogi secara hirarkis.

Kekacauan habitus dalam disposisi sosial malah akan memperlihatkan cara hidup klasik sebagai antitesa dari metode yang sama sehingga kultur sosial menampakan dirinya sebagai stigma bahwa kehendak untuk berkembang menjadi proses dominasi terhadap otoritarian manusia terhadap manusia lain.

Padahal, setiap perkembangan pengetahuan terkait dengan obyek kekuasaan maupun dengan kaitannya terletak pada kemampuan pengetahuan untuk mendefinisikan realitas sosial tersebut secara holistik. Akibatnya perkembangan pengetahuan akan mengubah konstelasi struktur sosial.

***

Dalam struktur kekuasaan diwilayah yang regionalitasnya cenderung berpegang teguh pada prinsip dan nilai-nilai luhur secara kultur lebih berbentuk sesuatu yang produktif dimana setiap orang turut ambil bagian dalam menghasilkan realitas. Sudah barang tentu jika kekuasaan yang terbentuk secara demikian, dengan menempatkan palsafah hidup yang lebih dekat dengan humanisasi budaya justru mencerminkan efek-efek kekuasaan yang tidak perlu lagi digambarkan secara negatif sebagaimana sikap yang menafikkan hal-hal yang ideal, menindas dalam kebijakan, menolak gagasan-gagasan baru, menutupi ruang partisipasi sosial, dan bahkan berbagai sikap kebijakan lainnya yang tersembunyi.

Pada prinsipnya, kekuasaan berdasarkan nilai-nilai luhur secara kultur ini harusnya mampu memproduksikan sesuatu yang pada nilai kemanfaatannya (utility) akan menghasilkan sesuatu yang objektif riil, nilai spritualitas yang menghasilkan bidang-bidang obyek dan ritus-ritus kebenaran dengan mengesampingkan dogmatisme pikiran sebagai sikap panatik. Hal ini akan dapat terwujud jika individu dalam perilaku sosial dapat melanjutkan nilai-nilai tersebut dengan cara produktifitas pengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang lebih relevan.

Kalau dulu kekuasaan dapat terbentuk dan atau dilaksanakan melalui hasil perang, perjuangan, larangan atau melawan larangan. Sekarang ini, kekuasaan mestinya dapat terlaksana dalam bentuk pengaturan (management), ini pun dapat berlangsung jika kemampuan individu maupun kelompok-kelompok dalam masyarakat mempertimbangkan pengetahuan sebagai hal yang tidak mungkin diabaikan. Dengan demikian kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan.

Jika ditinjau dari aspek psikologi yang mendefinisikan tentang pribadi sosial yang dewasa, menekankan pada model identifikasi atau hal yang dicapai secara ideal melalui teknik tertentu untuk membentuk individu yang sadar melalui jalan pengetahuan. Dengan demikian maka dapat dikatakan individu memang hasil representasi ideologis masyarakat baik secara linear genealogi maupun non-linear genealogi dalam struktur pluralisme sosial. Sehingga pengakuan individu sebagai pelaku sosial merupakan representasi yang diciptakan oleh kultur kekuasaan yang berdaulat.

Dalam konteks masyarakat modern, kultur kekuasaan nampaknya mendorong perkembangan ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi maupun politik. Demikian sebaliknya pula, semua pengetahuan memungkinkan dan menjamin terjadinya pengoperasiannya kekuasaan.

Kehendak untuk mengetahui dan mengeksploitasi menjadi proses dominasi terhadap obyek dan kepada manusia lain dalam strata sosial. Dari sini, nampaknya kehendak itu memanfaatkan pengetahuan sebagai cara bagaimana kekuasaan dapat memaksakan diri kepada pelaku sosial tanpa memberi kesan bahwa sebenarnya kekuasaan itu datang dari situasi sosial tertentu yang terjadi secara permufakatan politik. Padahal jika klaim terhadap ini diterima, maka akan terkonstruk anggapan stigma bahwa kultur kekuasaan merupakan bagian dari strategi kekuasaan yang mungkin saja terjadi sejak lama dari strategi kekuasaan yang melekat pada kehendak untuk mengetahui dan mengeksploitasi.

======
Sebagai wacana, kehendak untuk mengetahui dan mengeksploitasi pastinya dapat terumus dalam pengetahuan. Kekuatan bahasa sebagai simbol budaya pun menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan sebagai peran pengendalian sosial.
======

Kekuasaan dan pengetahuan dalam kebenarannya harusnya mengandung makna-makna objektif-sosiologis dan pilosofis dari pernyataan-pernyataan yang lahir secara ilmiah dari individu sebagai pelaku sosial maupun dari rumpun masyarakat itu sendiri tentang eksistensi dan urgensinya tujuan hidup saat ini dan dimasa yang akan datang. Oleh karenanya semua masyarakat harus berusaha menyalurkan, mengontrol, dan mengatur wacana mereka sebagai stigma pluralistik agar sesuai dengan tuntutan yang lebih ilmiah. Bahayanya wacana semacam ini pun dianggap mempunyai otoritas tertentu dan dampak lain yang melahirkan issue tentang segregasi sosial maupun issue eksploitasi yang terbalik .

Jika kita kembali pada terminologi bahwa pengetahuan tidak bersumber pada subyek, tetapi ia tumbuh dalam hubungan-hubungan kekuasaan, maka sudah barang tentu kekuasaan menghasilkan pengetahuan dan atau kekuasaan dan pengetahuan itu saling terkait.

Faktanya, tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan pengetahuan tertentu, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus dengan hubungan kekuasaan. Namun ketika konsep ini dapat diterima, maka akan melahirkan terminologi baru tentang semua pengetahuan adalah hasil dari politik karena syarat-syarat kemungkinannya berada pada hubungan-hubungan kekuasaan itu sendiri.

Kondisi sosial dengan segala nilai pluralismenya memberikan gambaran baru terhadap anatomi politik yang menunjukkan bahwa teknik untuk memperoleh kekuasaan adalah cara produksi pengetahuan dari sumber yang sama, namun ini sangat terkesan ilusi.

====
Pada dasarnya anatomi politik itu tidak menciptakan pengetahuan, tetapi hirarki genealogi.
Sehingga kekuasaan menjadikan pengetahuan sebagai satu-satunya alat terhadap dominasi simbolik yang paten.
====

Dengan metode terapan dari hasil hirarki genealogi ini memperlihatkan bahwa kehendak untuk mengetahui dan mengeksploitasi menjadi proses dominasi terhadap manusia lain dalam struktur sosial secara simbolik. Relevansinya bisa saja terletak pada kemampuan individu sebagai pelaku sosial mampu menggunakan pengetahuan untuk mendefinisikan realitas atas kekuasaan yang terbentuk. Maka dengan mendefinisikan realitas atas kekuasaan itu berakibat pada cara asumsi pengetahuan yang berpengaruh mengubah konstelasi sosial.

Hambatanya ialah baigaimana peran generasi sebagai pelaku sosial yang aktif mampu menjawab tentang "penyebab reorganisasi terhadap realitas dan perubahan atas konstelasi sosial dan budaya".

Continued....

Related Posts:

Drought in Our Intellectual World


Kemarau di Dunia Intelektual Kita (Drought in Our Intellectual World) — Dunia intelektual kita saat ini terasa semakin mengalami krisis. Tandanya, dari sana sudah lama tidak lahir pemikiran-pemikiran alternatif yang dapat memberikan kesegaran dalam kehidupan politik dan kebudayaan kita. Hal ini, menurut seorang wartawan adalah inti pernyataan Abdurahman Wahid dan Emha Ainun Nadjib, yang baru saja diwawancarainya.

Terhadap gambaran state of the art dunia intelektual kita, saya tidak menggunakan konsep ''krisis", melainkan ''kemarau". Dunia intelektual kita diterjang musim "kemarau" (dan mungkin berkepanjangan), karena hal inilah penulis berkesempatan menguraikan beberapa hal yang menjadi keresahan sebagaimana topik dalam tulisan ini.

Pertama, demi hidup yang memang susah, para intelektual kita secara  diam-diam telah terjebak pada hal-hal yang lebih banyak bersifat teknis-praktis. Secara perlahan-lahan, tapi pasti, hal itu membuat mereka terperangkap dalam "sumur kering".

Kurangnya kesempatan merenung secara longgar, kurangnya kesempatan retreat dan menarik diri dari dirinya sendiri, membuat para intelektual itu berubah jadi birokrat atau teknokrat, yang selalu harus menghasilkan sesuatu yang pasti-pasti (pragmatisme), yang jelas tolak ukurnya, dan jika perlu, praktis dan mudah implementasinya. Refleksi menjadi barang yang mahal bagi para intelektual. Sudah menjadi malang tentunya kemampuan untuk berpikir dan bersikap transenden, menembus batas-batas dunia wadag, menjadi sesuatu yang lebih mahal lagi.

Kaum intelektual yang demikian, sebenarnya sudah tidak lagi memainkan peran intelektual. Mereka tidak lagi menjadi penjaga suara ruh dan melantunkan tembang-tembang surgawi buat memberikan perimbangan bagi hidup keduniaan yang semrawut. Benarkah kalau begitu, bahwa kaum intelektual (cendekiawan) sudah mati, meskipun dalam masyarakat kita ada wadah resmi (artinya direstui pemerintah) yang menampung dan menandai kehadiran mereka ditengah-tengah kita semua?

Kedua, ada perkara politis yang membuat para intelektual berperan demikian minor dalam masyarakat kita. Perkara itu terutama adalah karena posisi politis dalam dialog antara Negara dan masyarakat sipil amat tidak seimbang.

Kaum intelektual sebagai bagian dari masyarakat sipil, ternyata sama saja nyalinya dengan misalnya para petani, tukang becak, dan warga masyarakat bawah lainnya. Artinya, kaum intelektual pun tak bisa berbuat lain selain tunduk, patuh, dan menyerah tobat di depan kekuasaan.

Catatan singkat ini adalah suatu gambaran dari sosok budayawan senior Mohamad Sobary, dalam buku "Moralitas Kaum Pinggiran", untuk kita yang merasa bagian daripada kaum yang tercerahkan atau selalu menaruh posisi dan berpihak pada kebenaran dan rakyat kecil. Ditengah himpitan bangsa yang mengalami krisis luar biasa ini (krisis multidimensional), selaku kaum yang tercerahkan mesti tetap kuat dalam menancapkan kakinya dibumi perjuangan.

====
Kita mesti selalu responsif, dinamis, dan selalu aktif dalam memperbincangkan setiap wacana. Karena tanpa semua itu, ruang dialektika dan percakapan akan mati. Pada akhirnya masa depan bangsa dikemudian hari bukan lagi dilihat secara kacamata intelektual akan tetapi berubah menjadi suatu tanah gersang nan tandus yang disana terdapat jenis manusia barbarian dengan penuh emosional dan saling menggilas.
=====

Salam Literasi📖🔥


author : W.F.Tanasale — Muslim Intellectuals

Related Posts:

Certainty and Power Of Mind



Kepastian dan Kekuatan Pikiran (Certainty and Power Of Mind) — Manusia sebagai makhluk rasional pasti suka akan kepastian. Di tengah segala keterombang-ambingan dan ketidakmenentuan, kepastian adalah hal yang amat kita rindukan apalagi didalamnya menampakkan nilai-nilai rasional. Kepastian itu akan menjadi jaminan terhadap keinginan bersama manusia. Namun, kepastian bisa juga berisiko menjadi kemapanan dan status sosial (status quo) yang mandheg.

Kalau demikian, apakah dengan kepastian itu lalu menjadi halangan bagi manusia untuk terus berkembang. Paling berbahaya, jika kepastian yang mapan dan mandheg itu berkenaan dengan pemikiran. Di sini, kepastian bisa menjadi kebenaran yang tak mau diganggugugat karena dogmatisasi sosial.

Tak sulit mencari bukti dalam memenuhi standarisasi kepantasan historis, bahwa kepastian pun ternyata bisa menjadi rezim yang merasa mempunyai kebenaran tersendiri yang bersifat mutlak, kekuasaan hirarki, dan juga dalam hal pemikiran menjadi monarki yang tak dapat dibantah.

Di balik kekacauan atas kejadian-kejadian historis yang terungkap peran para kelompok yang berkuasa atas sejarah yang cenderung berorientasi pada dasar pembemtukan sistem struktur. Padahal jika ditelaah lebih mendalam, persoalan sejarah bukanlah untuk menjadikan sesuatu hal dapat menjadi koheren atau apa yang tidak koheren, dan bukan juga untuk mempertahankan rasionalitas yang bertentangan dengan realitas konfik kekuasaan masa lalu maupun dengan ideologi yang berkembang saat ini.

Jelaslah ketika hal ini dianggap sebagai titik balik antara kritik yang diarahkan pada konsepsi historis, maka harusnya ditelaah sebagai proses dari hasil dialektika panjang yang sedang hidup dan berkembang dengan rasionalitas. Melalui kehebatan dialektika inilah terdapat kemampuan rasionalitas untuk mengubah keadaan paradigma dari hal-hal yang dianggap kekurangan menjadi kekuatan, atau yang jahat menjadi sarana kebaikan, bahkan perbedaan pendapat dalam merasionalisasikan hal tersebut akan menjadi momentum dimana kesadaran akan lebih terbuka dan jelas.

Jika rasionalitas historis dianggap sebagai sintesis dari jalan keluar atas pengaruh dialektika yang panjang itu tidak lain hanyalah imajinasi aktif terhadap pemecahan-pemecahan masalah yang bersifat ahistoris dari antisipasi terhadap kontradiksi-kontradiksi sosial maupun konflik-konflik atas kepentingan yang telah berakar sejak lama. Kebenaran dialektika semacam itu perlu diberlakukan sebagai jalan keluar dari perbedaan kepentingan dan atau hubungan-hubungan pertarungan atas kekuatan solidaritas secara kolektif.


Pastinya manusia memerlukan daya penalaran yang cerdas agar dapat mengasumsikan kontradiksi-kontradiksi tersebut secara metodologis dan bukan justru menerapkan metodologi yang sebaliknya, yaitu menyadari bahwa perbedaan-perbedaan kepentingan dari setiap representasi maupun interpretasi pikiran akan menghasilkan hal yang lebih relevan dan terbuka.

=====
Bukankah kontradiksi atau akar konflik terhadap suatu peristiwa lalu itu tidak selalu harus ada jalan keluanya?
"Hal ini perlu dijawab serius agar mampu keluar dari cengkraman panatisme yang berkepanjangan"
=====

Hal yang mendasar pula jika manusia menolak untuk menggambarkan sejarah sebagai ilmu yang harus didiskusikan secara terbuka sebagai dialektika yang berkemajuan dari proses gerak tunggal pikiran yang seakan-akan diarahkan menuju satu tujuan bersama. Tujuan dari dialektika ini ialah bagaimana harus menjelaskan kesadaran manusia dan meningkatkan penguasaan manusia terhadap gagasan tentang identitas otonom atas kekuatan dan status keistimewaan hidup demi kesejahteraan.

Gagasan dogmatik historis seperti ini patut dicurigai, seakan-akan diantara tiap kejadian-kejadian itu hanya mempunyai satu sebab tunggal. Padahal, sebab atas suatu peristiwa tidak selalu tunggal. Cara berpikir ini justru cenderung untuk menafikkan perbedaan-perbedaan yang ada. Dengan demikian, ketika  terjadinya distabilitas sosial akibat konfik horisontal hanya dianggap sebagai krisis dalam tahap perkembangan manusia yang sedang mewujudkan hakikatnya dan atau malah ingin mempromosikan eksistensi mereka sebagai makhluk sosial yang heroik.

Kebanyakan dari aspek historis budaya mempunyai konsep sejarah teleologis seperti itu sehingga menerima perbedaan cenderung dianggap tidak koheren dengan hakikatnya secara otonom dan holistik.

====
Kritik lain terhadap kondisi sosial semacam ini muncul karena penggunaan analogi sosial historis dengan status kelas masyarakat yang pluralistik.
====

Cara pandang seperti ini justru akan mengesampingkan bentuk-bentuk hubungan sosial lain yang juga memiliki peran dalam status sosial dan tidak harus dalam bentuk persaingan dalam status quo selama nilai pluralisme itu dapat dinilai sebagai basis kekuatan sosial, misalnya antara hubungan kerja sama antarpelaku maupun tentang hubungan hidup perilaku antar budaya (akulturasi).

Konsepsi arena sosial seperti itu memungkinkan tersembunyinya kemungkinan pengalaman-pengalaman lain, seperti persahabatan, persaudaraan, cinta, dan belarasa dan hal-hal lain yang menyangkut dengan advokasi solidaritas untuk menunjukkan bahwa rasa tanggung jawab terhadap sesama dan advokasi solidaritas yang memiliki fungsi rasionalitas ini mempunyai tempat penting di dalam perannya terhadap sektor-sektor publik baik secara sosio-kultur maupun politik-struktur yang terbentuk.


Related Posts:

Manusia Ganda


Ketika Thanos diinterogasi oleh putrinya dari bangsa Avatar, "kenapa engkau membunuh sebagian dari bangsa kami" . Dengan tenang Thanos menjawab; "alam yang kita huni ini penuh dengan keterbatasan. Oleh karena itu sebagian dari kita sepatutnya dikorbankan untuk menghidupkan yang lainnya. Bila dengan jalan sukarela tidak dikehendaki maka paksaan bukan lagi menjadi pilihan melainkan sudah menjadi takdirnya".


Kisah diatas sebagai arlogi dalam geometri, bahwa kehidupan selalu memberikan pilihan pahit dalam racun sekalipun. Atas nama kekuasaan dan keberlangsungan hidup suatu bangsa mengandung sisi antagonis terhadap bangsa yang lain. Perihal itupun berlangsung sampai pada tingkat yang paling atomik yaitu individu.

Manusia secara natural baik berkelompok maupun perseorangan akan hidup dengan versinya masing-masing secara Darwinian, hidup saling menggunting demi mendapatkan ekses akan hidup lainnya. Disinilah kecenderungan altruismenya kita sebagai individu prinsifal, sebagai makhluk sosial maupun sebagai spesis umat manusia yang memiliki sikap agresif dan egoistik terhadap sesuatu selain dari golongan ataupun spesis yang berbeda dengan kita. Tentunya hal tersebut juga mampu memberi tanda bahwa egoisme merupakan watak alamiah manusia.

Menjadi pertanyaannya adalah bagaimana dan apa yang mendorong manusia bisa berempati maupun simpati antara satu dengan yang lainnya, memiliki rasa dan atau ketertarikan dengan yang lain?

Apakah itu juga gejala atau kecenderungan yang termanipulasi ?

Barangkali kita bisa menjawabnya dengan pandangan Ricard Dawkins bahwa yang alamiah dari manusia adalah selfish gene (gen egois). Gen Egois mendorong tiap-tiap manusia untuk bertahan dan setiap manusia memiliki gen yang egois secara matematis dalam sadar maupun terjaga oleh bayang-bayang rekayasa pikiran.

Sedangkan rasa ketertarikan dengan yang lain hanyalah kamuflase sebagai siasat dari genetik yang harus tetap bertahan dalam begumulan hidup. Oleh sebabnya, dalam ruang lingkup apapun keberpihakan yang dikehendaki, keberpihakan terhadap dirinya sendiri secara otonom akan mempertimbangkan kepentingannya sendiri menjadi bagian dari naturenya manusia. Hal tersebut memberikan isyarat tentang peleburan senyawa dalam keadaan alamiah junto ilmiah (saintis).

Author : Ramli Leuwayan

Related Posts:

Brief Gathering, "Great Politician Figures from Maluku"


Waktu memang banyak memberikan hadiah dalam setiap deretan perjalanan.
Begitu banyak ragam cerita dan kisah setiap waktu.

Kesempatan ini ada cerita yang menurut saya menarik, menarik perhatian publik pastinya, hehee...

Begini Ceritanya..

Beberapa waktu lalu. Dalam perjalanan saya dari Bandara Pattimura Ambon (setelah menyelesaikan beberapa pekerjaan di wilayah hukum provinsi Maluku) menuju Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Sesaat sebelum memasuki pesawat, — tiba-tiba saya merasa mual (masuk angin) akibat kebanyakan meminum kopi sejak pagi. Membawa perasaan pada hal-hal buruk ketika nantinya berada di kursi pesawat. Dalam perjalanan menuju ke pintu pesawat saya meminta tolong kepada rekan saya untuk memijat bagian belakang dan bahu, pada saat sedang dipijat — lewatlah sosok perempuan sembari menengok dan memberikan senyum sambil berucap “masuk angin yaa,?" saya pun menjawab “ia Mama kebanyakan minum kopi tadi nih". Sekilas setelah menjawab, saya memperhatikan ibu tersebut dengan penuh rasa penasaran "seperti kenal itu ibu".

Singkat cerita — kamipun bertemu di dalam pesawat tepatnya di satu deretan nomor Seat yang sama dibagian depan (saya 2B; Ibu tsb. 2C). Sambil basa-basi kamipun berkenalan, dan ternyata beliau di beberapa hari yang lalu baru berkunjung di kampung halaman saya (Negeri Tamilouw — salah satu negeri adat yang berada di Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah) dalam kegiatan Bimbingan Teknis Koordinasi Monev dan Pelaporan Perlindungan Perkebunan, sembari menunjukan salah satu foto tarian adat di kampung saya ( TarianCakalele ), dari situlah saya mulai merasa akrab dengan sesekali saya menyahut disetiap pembicaraan kami "Saya Mama" (sambil tersenyum 😊).

Uniknya, sewaktu beliau memperlihatkan foto yang buat saya teringat tentang suatu hal yang pernah viral dan menjadi trending topik hangat di media sosial beberapa waktu lalu, yakni foto Rapat Kerja Komisi IV DPR di Gedung DPR RI Jakarta. Alhasil, saya pun kaget dan sekaligus berkata "Astaga Mama, pantasan dari tadi ini kek saya pernah kenal tapi gak tau dimana" sembari saya mengulurkan tangan untuk berjabat dengan beliau.

Cerita dan diskusi kami pun berlanjut panjang sampai pesawat yang kami tumpangi mengudara menuju Makassar..

Ternyata oh ternyata...


Beliau merupakan sosok perempuan sekaligus Ibu yang beberapa waktu lalu sempat mengguncang media massa lantaran Argumentasi yang tegas dan responsif dari pikiran serta mewakili keresahan hati terkait program pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Maluku yang lebih tepatnya adalah peroalan menagih janji Presiden terkait dengan program Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan Ambon New Port (ANP) dalam Rapat Kerja Komisi IV DPR dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, pada kamis (24/3/2022) di Gedung DPR RI, Jakarta, yang sempat diwarnai protes dari beberapa anggota DPR RI asal Daerah Pemilihan Maluku. — ( klik untuk menonton videonya DiSINI )

Yaa.. Beliau, Saadiah Uluputty, Anggota DPR RI Dapil Maluku dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dengan lantangnya mengintrupsi dan memprotes jawaban Menteri Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, terkait rencana pembangunan pelabuhan baru Ambon atau Ambon New Port (ANP) yang dibatalkan dengan alasan tidak ada budget yang sampai saat ini masih dalam polemik yang panjang.

Ungkapan protes beliau terhadap narasi yang ucapkan oleh Manteri Kelautan dan Perikanan tersebut mampu memikat pikiran publik khususnya Rakyat Maluku dari suara lantangnya yang khas bagaikan petir menyambar karang di lautan.

Anggota Komisi IV DPR RI — Daerah Pemilihan Provinsi Maluku
(Politikus Partai Keadilan Sejahtera)
Menyikapi hal tersebut diatas, perkembangan implementasi Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan Ambon New Port (ANP) di Provinsi Maluku, maka pada sabtu (26/3/2022) seusai kegiatan Rapat Kerja PB BKMM-SULTRA Provinsi Maluku Periode 2022-2027 di Auditorium Unpatti Ambon, saat beliau ditanyai oleh awak media, beliau turut menyampaikan perkembangan terkait hasil Rapat Komisi IV yang turut menghadiri Menteri Kelautan dan Perikanan RI Sakti Wahyu Trenggono. Beliau “Saadiah Uluputty” menjelaskan setelah melalui penyampaian Komisi dirinya berharap nantinya bisa bertemu dengan Presiden untuk meminta kejelasan regulasi, agar bisa menjadi landasan hukum terkait konsep pengembangan Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan terintegerasi dengan pembangunan Ambon New Port (ANP) sesuai janji yang disampaikan oleh presiden. Pada kesempatan tersebut Beliau juga mengajak agar semua masyarakat untuk turut membantu dan mendoakan agar Lumbung Ikan Nasional (LIN) dan Ambon New Port (ANP) ini dapat segera diimplementasikan di Provinsi Maluku. — ( klik untuk menonton videonya DiSINI )

Bersama Umi Saadiah Uluputty,S.T. | Anggota Komisi IV DPR RI — Dapil Maluku
Bersama Umi Saadiah Uluputty,S.T. | Anggota Komisi IV DPR RI — Dapil Maluku

Tak heran jika sosok pribadi yang ramah ini dikenali oleh banyak kalangan apalagi di tanah Provinsi Maluku, sebab mengenal beliau secara pribadi maupun reputasinya sebagai wakil rakyat (DPR) layaknya melihat sosok ibu yang rela mempertaruhkan jiwa dan raga demi keluarga dan rakyat.

Kamipun berpisah di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar dan beliau melanjutkan perjalanan tugasnya.
Senang bertemu dengan beliau, saya menganggap beliau adalah salah satu tokoh dari Maluku yang saya sebut sebagai:
"Mama sekaligus INA bagi NUSA dan Generasi MALUKU".
Semoga tetap tegak berkiprah memperjuangkan amanah rakyat demi keadilan dan kesejahteraan pembangunan di Bumi Maluku.

=======
"Kita boleh mempunyai destinasi yang sama; menempuh jarak yang sama; dengan waktu tempuh yang juga sama"
Tapi percayalah, kita akan pulang dengan cerita yang berbeda; dan atau makna perjalanan yang beragam..
=======



Related Posts:

Wild Consciousness

"Semua kebenaran itu bengkok", kata Friedrich Wilhelm Nietzsche, (lahir 15 Oktober 1844 – 25 Agustus 1900, salah satu filsuf asal Jerman dan seorang ahli ilmu filologi yang meneliti teks-teks kuno, filsuf, kritikus budaya, penyair dan komposer). Demikianlah dinamika kehidupan yang serba ekstra ekonomis dan politis.


Hanya saja ketika menelaah kembali, kita meluruskan narasinya, memberikan pola-pola baru sebagai metodelogi untuk memahami terhadap makna yang lebih relevan dari sesuatu yang dianggap merupakan hasil dari abstraksi pikiran itu sendiri. Proses pengujian terhadap alam pemikiran sejatinya menjadi tolak ukur atas manifesto dari usaha untuk menelaah lebih jauh potensi kesadaran untuk tumbuh dan berkembang.

====
Jangan percaya pada gagasan yang tidak lahir di tengah udara bebas dan dalam gerakan yang merdeka.
====

Ketika itu pula, ada kemungkinan akan berbelok-belok, ke kiri atau ke kanan, serta menjadikan ruang putih terhimpit jeda di antara teks sebagai makna teks itu sendiri ataupun teks sebagai makna dari konteknya yang akan memenggal diri lama kita dari diri yang hendak menuju masa jarak tempuh waktu yang akan datang pada masa depan.. Anggap saja dan atau mungkin saja, pertentangan pada tiap gagasan tidak akan dapat dihapuskan dengan memilih satu atau menolak yang lainnya. Sedangkan yang seharusnya kita akan memilih satu diantara keduanya yang dianggap relevan dan rasional untuk dijadikan dasar dari pijakakn pikiran yang akan mengalmi perubahan subtansial.

Berangkat dari segala hal yang dianggap tabu, kita memerlukan lingkungan serta ruang yang lebih terbuka dengan menyatukan semangat organik sebagai sebagai bentuk dari kekuatan solidaritas baru terhadap moral kolektif yang berbasis pada kesadaran yang bebas dan merdeka. Sehinga sampai pada satu kesepakatan bahwa "kebebasan bukanlah sebuah hadiah cuma-cuma melainkan hal yang harus disadari baik secara individu dan diperjuangkan secara bersama-sama.

======
"Pada ruang putih ini pun menjadi transisi tanpa kata, ketika titik arus pikiran mulai berganti arah"
======


Related Posts:

Demokrasi, Keharusan Cerdas Memilih


Demokrasi kekinian adalah demokrasi yang mampu meningkatkan partisipasi politik masyarakat, sehingga mampu menjadi jawaban terhadap setiap masalah-masalah kebangsaan hari ini. Seperti halnya pemilihan umum baik pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan Presiden, seharusnya menjadi momen penting untuk menjalankan setiap sendi-sendi demokrasi, karena demokrasi bagi bangsa Indonesia merupakan tatanan kenegaraan yang paling sesuai dengan martabat manusia yang menghormati dan menjamin pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).

Namun disisi yang lain, ketika praktek demokrasi sudah dilaksanakan acap kali dijumpai kekecewaan-kekecewaan sebagian masyarakat yang tidak puas terhadap pelaksanaan pemilihan baik itu pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan Presiden tersebut. Contoh yang paling faktual adalah kekisruhan tentang banyaknya warga negara yang hilang akan hak memilihnya karena tidak terdaftar didalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) maupun desintergasi sosial ditengah-tengah masyarakat karena banyaknya calon peserta pemilu yang lahir dari satu daerah yang sama dengan sikap kompetitor dari beberapa rekomendasi partai yang berbeda. Hal tersebut justru marak terjadi di wilayah daerah pemilihan (dapil) khususnya di tingkat masyarakat desa. Akibatnya, memungkinkan kelompok-kelompok masyarakat tertentu saling berbeda pendapat dan saling serang-menyerang antara satu dengan lainnya.

Dalam konstelasi demikian, kemudian dikonklusikan kekecewaan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilihan secara langsung sebagai sebuah persengketaan yang pastinya akan memerlukan kepastian hukum. Sehingga payung hukum yang menjamin semua persengketaan didalam pelaksanaan pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan Presiden yang dilaksanakan secara lansung bisa diselesaikan dengan sebaik dan seadil mungkin menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi.

***

Mengawali pesta demokrasi 2024, partisipasi politik maupun aktor politis sejatinya harus lebih terbuka sejak dari pikiran. Menjelang agenda politik dalam sistem proporsional terbuka tentunya diperlukan suatu landasan berpikir politik untuk mengamati dan memahami secara objektif watak publik yang tak hanya dijadikan sebagai partisipan semata, melainkan eksistensinya harus memiliki nilai kesadaran politik yang bertujuan untuk saling menyelamatkan generasi. Bukan untuk saling menjatuhkan atau bahkan saling “sindir-menyindir” akibat aksi dan narasi yang dianggap berlawanan.

Mencermati keadaan dan kelemahan publik sebagai partisipan politik hari ini adalah kesalahan menggunakan momentum sebagai slogan untuk saling menghujat, generasi tua menghujat yang muda dan begitupun sebaliknya yang muda. Tradisi politik yang seperti ini harus dihilangkan karena relevansinya sudah tidak sesuai dengan tututan dan perkembangan zaman maupun terhadap kondisi demokrasi yang sehat.

Di zaman ‘Gen Z‘ ini, mestinnya tradisi politik yang harus dikedepankan dan diperjuangkan adalah lebih kepada nilai edukasi pikiran masyarakat, bagaimana partisipasi politik yang aktif memberikan pemahaman yang konstruktif terhadap masyarakat sehingga melahirkan kesadaran baru yang defenitif, bahwa :

Politik Demokrasi Kita sejatinya adalah Gerakan Kesadaran Manusia menuju penyadaran manusia-manusia yang lain

Demikian dengan makin maraknya “Politik Transaksional” yang biasa dikenal dengan istilah “money politics” akan hanya menimbulkan suatu kegagalan berdemokrasi kita, sehingga menjadi kesalahan fatal yang tidak bisa terpelihara, berakibat pada rusaknya moral generasi hari ini bahkan generasi yang akan datang.

Pemilu atau momentum politik adalah penentuan arah masa depan bersama pada satu periode kepemimpinan politik. Tugas kita adalah pada masa kepemimpinan itu bagimana menyiapkan dan mendistribusikan generasi. Sehingga pemaknaan pemahaman politik kita bukan pada melahirkan Orang Kaya Baru ‘plutokrasi‘, tapi bagaimana melahirkan Generasi Baru yang teruji secara mental, ide maupun gagasannya.

Politik distribusi ini harus menjadi agenda penting yang mestinya dikampanyekan oleh setiap aktor politik di tingkat lokal, provinsi, kabupaten maupun sampai di pelosok desa, mengingat banyak ketertinggalan dari berbagai aspek yang dihadapi, baik dari sisi pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Padahal jika kita mampu mencermati keadaan wilayah kita dari sisi potensi geografis, geokultur, geoekonomi, geostrategis maupun geopolitik dari wilayah yang kita tempati (timur Indonesia khususnya), mestinya memberikan peluang besar untuk mampu keluar dari amanat ketertinggalan itu.

Tak heran, jika hal tersebut dapat terjadi akibat dari kegagalan aktor politik yang sedari momentum politik hadir dengan berbagai strategi kampanye untuk meyakinkan publik dengan skema pembangunan yang tujuannya untuk memperoleh basis perolehan suara pada saat pemilu, namun harapan itu hilang ketika mereka terpilih hingga malah mengabaikan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Akibatnya, masyarakat hanya dikambinghitamkan sebagai korban politik.

Bukanlah fenomena yang baru dalam dinamika perpolitikan hari ini. Menghadapi pra-kondisi masa kampanye pemilu 2024, mulai dari terpajang dan tersebarnya pamflet-pamflet di ruas-ruas jalan maupun di media sosial yang dibumbuhi dengan slogan pujian dan dukungan. Hal ini sebenarnya memberikan ruang bebas untuk masyarakat menilai secara aktif dan cerdas terhadap para calon kandidat yang mampu memberikan gagasan idealnya untuk menentukan arah politik lima tahun mendatang dari pengalaman masyarakat tentang dinamika politik masa lalu yang memberikan kesan buruk terhadap bangunan kesejahteraan oleh karena kepentingan-kepentingan tertentu.

“Oleh karenanya — Watak penilaian masyarakat harus didasari oleh landasan berpikir yang sehat untuk memastikan aktor politik yang tampil dan dipilih adalah dia (calon kandidat) yang memiliki kompetensi memadai secara aktual maupun potensial pada aspek Sumber Daya Manusia (Kualitas SDM) yang mampu membawa harapan dan cita-cita masyarakat dalam amanah pembaharuan kesejahteraan dan pembangunan”.
Dinamika politik di tingkat lokal (pilkada dan legislatif) sering ditandai dengan terjadinya pemisahan kelompok sosial untuk saling berkompetitor, hal ini merepresentasikan partisipasi politik yang aktif dan sekaligus menjadi sarana kampanye yang terselubung dengan berbagai agenda yang dibuat secara tertutup untuk mendoktrin masyarakat melalui tim pemenang calon kandidat baik yang didominasi oleh doktrin budaya patrimonialistik maupun primodialistik yang berakibat saling sandera-menyandera.

Hal yang demikian pastinya berdampak pada praktek demokrasi yang tidak sehat yang cenderung memberikan kesan pragmatis oleh basis tim pemenang di tengah-tengah masyarakat sehingga menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang lebih substansial terhadap ‘kesadaran politik‘ maupun bagaimana cara masyarakat berdemokrasi dengan baik. Alih-alih peran generasi secara tidak langsung dipupuk menjadi pelaku perusak demokrasi, sementara keberadaan masyarakat yang berada di wilayah dengan kategori tingkat ekonominya maupun tingkat pendidikannya yang sangat kritis akan sangat rentan terpengaruh terhadap praktek budaya politik semacam ini.

Bahkan dalam hal yang lebih pluralisme pun di wilayah yang masih memelihara sistem fanatik kebudayaan, hal ini akan terjadi pengikisan watak akibat dari otorisasi gen egois yang dimainkan pada dinakima pahaman kultural maupun struktural yang hanya mengatasnamakan simpul-simpul moral semata.

Jalan keluarnya adalah menyiapkan generasi unggul dan mendistribusikan mereka secara kolektif pada ruang-ruang yang lebih strategis.


Tentang tujuan dari demokrasi politik.
Saatnya rakyat bertindak sebagai
“PELAKU DEMOKRASI YANG CERDAS”

Related Posts:

Polarisasi Politik


Salah satu dampak dari polarisasi politik yakni dapat merusak institusi demokrasi dengan menghambat proses pembuatan keputusan yang berbasis kepentingan rakyat dan memperkuat posisi satu pihak yang terlibat dalam polarisasi maupun berakibat pada terjadinya konflik politik antar generasi ditengah-tengah masyarakat..

Fenomena polarisasi ini ditandai dengan terpecahnya komitmen masyarakat, akibat dari kepentingan-kepentingan yang tak sejalan dan searah..

Jika konflik kepentingan ini terjadi, maka berpotensi pada terpecahnya kehendak masyarakat karena hanya lebih menguntungkan/memperkaya salah satu pihak (aktor) yang merasa paling benar dan kuat dibandingkan dengan bagaimana cara mendistribusikan kesadaran atas kehendak kepentingan masyarakat yang lebih luas dan kompleks.


Selain itu, terjadinya polarisasi politik ini dapat menyebabkan turunnya kredibilitas politik dan bahkan meningkatkan ketidakpercayaan masyarakat yang intoleran terhadap aktor politik dalam sistem politik..

Related Posts:

Kecerdasan & HAK DEMOKRASI



Menjelang momentum pemilu 2024 mendatang menghadirkan warna-warni dari banyak peserta pemilu (calon wakil rakyat) yang tampil bergairah dari berbagai kader partai hingga kian muncul diberanda-beranda akun media sosial.
Meskipun Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) telah menghimbau bahwa: “peserta pemilu atau partai politik harus menahan diri untuk melakukan kampanye sebelum waktunya”, hal tersebut tidaklah menghalangi dukungan dan pujian serta doa yang berhamburan membanjiri isi kolom komentar.

Hal yang tak terhindarkan adalah fenomena dimanika politik yang terjadi ditengah-tengah masyarakat (basis politik). Menyikapi hal tersebut tentu tak terlepas dari kecenderungan pengalaman masyarakat terhadap pesta demokrasi politik tahun 2019 bahkan tahun-tahun sebelumnya.

Apa yang seharusnya menjadi kategori rakyat untuk menilai dan memilih peserta pemilu adalah hal yang perlu direnungkan bersama sedari dini demi keinginan dan kebutuhan serta tujuan pembangunan yang berkelanjutan melalui kualifikasi calon wakil rakyat yang dapat dipercayai untuk mampu merubah nasib rakyat dalam amanah kesejahteraan secara aspiratif, akomodatif maupun selektif.

Terlepas dari itu, pertanggungjawaban aktor politik sebagai peserta pemilu (calon wakil rakyat) setidaknya dapat dipublikasikan secara terbuka dan bukan hanya sebatas pemanjangan pamplet-pamflet simpul dukungan semata, melainkan keharusan dari peserta pemilu yang diusung oleh partai mampu menyampaikan ‘NARASI POLITIK’ secara bebas dan terbuka untuk seluruh elemen masyarakat agar masyarakat secara kolektif dapat menilai dengan cermat peserta pemilu yang memiliki kemampuan maupun potensi kualitas sumberdaya manusia untum menjadi wakil rakyat nantinya.

Sesuai dengan penetapan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hal mana telah menetapkan masa kampanye Pemilu tahun 2024 akan dimulai pada 28 November 2023 mendatang sampai dengan 10 Februari 2024. Dengan demikian masa Kampanye Pemilu 2024 dilaksanakan selama 75 hari, waktu yang terbilang cepat dan singkat digunakan oleh peserta pemilu.

Hal yang sangat penting adalah: Pastikan Hak Demokrasi dan Kebebasan Memilih oleh rakyat dilandasi dengan Kecerdasan untuk menilai dan memilih Calon Wakil Rakyat.

Related Posts:

KUASA RAKYAT NYATA ADANYA - Rakyat bersatu tak bisa di kalahkan





Konsolidasi aksi masa dalam agenda penyebarluasan kesadaran masa untuk menuju perlawanan sepanjang masa harus terus berlanjut sewalaupun di depan mata praktik eksploitasi, akumulasi dan ekspansi kekuasaan terus berlangsung di atas kesengsaraan rakyat.

Selama kita menelusuri realitas sosial maka selama itu pula kita akan menemukan titik terang tentang problem kerakyatan sebagai delih awal untuk membangun benteng dalam mengkanter aksi otoritarianisme dan kediktatoran para penguasa, yang kian mematikan keasadaran masa dalam melakukan aksi masa menuju gerakan masa dalam mencapai Revolusi.
Tak bisa untuk kita pungkiri bahwa sebagian dari pemuda dari seluruh pemuda yang ada telah terkungkung dengan sifat acuh ta acuh oleh penyebarluasan paham oligarki yang telah di kembang biakan oleh penguasa yang sedang melangsungkan penindasan.

Juga tidak bisa untuk kita pungkiri di kala kita menyaksikan para kaum intelektual yang dulunya begitu semangat menemba ilmu di mana-mana namun kini berbalik arah untuk menjadi gerbong oligarki baru.

Realitas yang amat rebah-rebahan ini terus meloloskan hasrat politik komunalistik yang hendak mengatur ruang kehidupan rakyat dengan kemandulan konstitusi.
 
Sehingga di tengah kebingungan ini kekuasaan politik hari-hari terus berusaha untuk  menarik keuntungan sebesar-besarnya, Tetapi berdiri di atas politik picik lagi licik, tak etis jika terus di biarkan oleh pemuda yang berpikir dan berptindak maka hanya ada satu kata "LAWAN".

Tapi percayalah selama analisis kita masih terawat dengan ideologi yang jelas untuk memberlangsungkan agenda penyusunan penjelasan secara sistematis tentang revolusi untuk melangsungkan pembebasan oleh kelas tertindas untuk kelas tertindas dan dalam konteks ketertindasan masing-masing.  
Maka selama itu juga kekuasaan itu akan tampak mulai kehilangan keseimbangan, entah akan tergelicir ke dalam lumpur, atau tersesat di gurun pasir, kekuasaan itu akan tampak kelelahan untuk bertahan, tinggal sedikit dan itu bergantung pada cara kita memompa kesadaran masa untuk menuju aksi masa dalam menuntuskan berbagai masalah kerakyatan.

"Nyalakan Kesadaran untuk menuju Rakyat Kuasa"

MAJU ATAU HILANG UNTUK SELAMANYA,
SIAPKAN BARISAN DAN SIAP TUK MELAWAN.

#ProDemokrasiLengserkanOligarki

Related Posts:

Antara: PERUBAHAN dan PERUMPAMAAN


Khusus dengan angan-angan yang pernah di gaungkan pada sekujur tubuh sosial-politik, Kini mengingatkan kita akan janji-janji "PERUBAHAN" yang pernah di sampaikan dengan lisan yang hampir mengikat leher dan lidah hingga nyaris berhenti untuk bernapas, demi dapat menyampaikan SLOGAM PERUBAHAN" pada rakyat banyak.

Melalui hal itu, retorika dan hiruk-pikuk seputar isu “PERUBAHAN” kian terasa mengesankan sebagai sebuah jalan untuk mendapatkan jabatan politik oleh penguasa yang sedang hilang ingatan.

Begitu pula dengan semangat pemuda yang dulunya sangat proaktif dengan semangat yang membara dan menyala di dalam dunia gerakan dengan "SLOGAM PERUBAHAN", kini seolah-olah sedang merajut lumbung oligarki baru, akibatnya, "SLOGAM PERUBAHAN" yang pernah di gaungkan oleh "PEMUDA DAN PENGUASA", kini seakan-akan menjadi stempel politik untuk menjatuhkan lawan politik di waktu momen-momet tertentu.


Jikalaulah seperti ini posisi pemuda serta skenario penguasa dalam memenangkan kontestasi politik, maka secepatnya rakyat harus menformulasikan konsep dasar perjuangan baru untuk mendalami lebih dalam lagi tentang isu "PERUBAHAN", sebab praktik penguasa sekarang ini seolah-olah menunjukan mitos trauma dari takdir historis yang di pernah terlewatkannya dalam carut-marutnya dunia perpolitikan.

Perlu di tekankan bahwa disinilah sebenarnya pemuda di uji akan kesungguhannya dalam melihat dan mengawal kebijakan penguasa, dan disini pula pemuda harus perlahan lahan kembali kepada ketajaman pikiran, kehalusan perasaan dan kekokohan kemauan untuk memeriksa segala konsekuensi jabatan politik yang penuh dengan kontradiksi moral sekarang ini.

Sebab urgensinya kebijakan penguasa dan posisi pemuda adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat di atas tuntutan keadilan serta SLOGAM PERUBAHAN yang sempat di teriakan di jalanan maupun yang di sampaikan pada panggung politik di saat itu.


Perlu di pahami, bahwa penguasa yang mengeksploitasi di dalam sistem ideologi apapun, pasti menyengsarakan rakyat. Demikianlah posisi pemuda yang tidak netralitas dalam melihat dan menalar tatanan sosial pasti tidak akan dapat menyelamatkan demokrasi, malah akan membiarkan demokrasi itu terlilit dalam cengkraman oligarki.

Jadi di atas kedewasaan pikiran dan keteguhan tindakan, Kita harus memastikan bahwa penguasa yang sadar dan arah gerakan pemuda yang telah teruji netralitasnya dalam memandang fenomena yang ada, maka percayalah di situ kita akan mudah dalam menyusun kombinasi yang paling rasional antara peran pemuda dan peran penguasa dalam mengatasi problem kerakyatan untuk meraih PERUBAHAN yang telah di janjikan sebagai adanya.

Ingatlah, "REVOLUSI ADALAH PRAKTEK"

Tugas pergerakan adalah menyusun penjelasan sistematis tentang revolusi untuk membelangsungkan pembebasan terhadap penindasan oleh kelas tertindas dan dalam konteks ketertindasan masing-masing.


#MENOLAKTUNDUKMENUNTUTTANGGUNGJAWAB
#ProDemokrasiLawanOligarki

Related Posts:

ARSITEK REFORMASI 1998 YANG HAMPIR HILANG DARI KANCAH POLITIK INDONESIA

Dalam awal tahun 2023 ini jagat publik, dari sabang sampai merauke disibukkan dengan berbagai macam wacana, isu, dan berita-berita nasional tentang pemilihan presiden-wakil presiden tahun 2024. Setiap media, baik online maupun elektronik tiap saat mempertontonkan jagoan atau kandidatnya masing-masing ke publik. Dengan demikian saya mengajak kita semua selaku generasi era reformasi untuk kembali membuka literatur-literatur sejarah atau politik yang menggambarkan tentang suasana dan keadaan  pada tahun 1998.Dan siapa-siapa saja yang mempunyai andil dan pengaruh besar dalam memainkan peran pada saat penurunan presiden kedua RI, Jenderal Bintang Lima Suharto dari jabatannya secara damai, sah dan konstitusional.

Kita sebagai generasi era reformasi mestinya belajar dengan spirit yang tinggi untuk mengetahui secara detail dan utuh proses transisi kekuasaan, reformasi, konsolidasi demokrasi dan beserta aktor-aktornya pada 1998 silam dengan baik.Agar supaya kerangka sejarah kita tertata dengan sistematis dalam melihat dinamika politik tanah air yang mengalir begitu kuat.

Dibalik berakhirnya kekuasaan Jenderal Suharto tersebut tak bisa di lepas pisahkan dari berbagai macam taktik dan skenario. Apalagi yang dipaksa mundur adalah seorang Jenderal bintang lima, yang kalau tidak pandai-pandai memainkan ritme bisa menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia kala itu.

Dari peristiwa seperti inilah tampil seorang Cendekiawan muda, Intelektual, dan Pakar Hukum Tata Negara pada saat itu, usianya masih terbilang muda 41 tahun, untuk menyelesaikan mundurnya sebuah rezim otoriter dalam suasana damai tanpa pertumpahan darah antar sesama anak bangsa, dialah Prof. Yusril Ihza Mahendra.

Dalam petualangan Intelektual, Prof. Yusril Ihza Mahendra pernah aktif di HMI. Program S-1 nya beliau selesaikan di Universitas Indonesia dengan bidang Study Tata Negara dan Sastra (Filsafat), menyelesaikan study S-2 nya di Pakistan, dan doktornya beliau selesaikan juga di Malaysia atas rekomendasi budayawan kondang Sutan Takdir Alisjahbana.

Pada fase muda, Prof. Yusril bisa dibilang sangat beruntung. Karena beliau sempat berjumpa dan banyak berguru kepada para tokoh Nasional, tokoh bangsa, dan pelaku sejarah. Dengan Mohammad Natsir (Mantan Perdana Menteri 1950), beliau banyak belajar tentang banyak hal, terutama tentang politik Islam. Dengan Osman Raliby beliau belajar tentang politik, komunikasi politik, dan propaganda perang urat syaraf. Beliau juga belajar tentang Filsafat kepada Prof. H. M. Rasyidi, Abu Hanifah, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, Sutan Takdir Alisjahbana, dan tentang Hukum Tata Negara kepada Prof. Ismail Suny dan Prof. Hazairin. Masih ada banyak lagi yang tidak saya sebutkan satu persatu.Dari proses panjang inilah membentuk karakter seorang Yusril Ihza Mahendra menjadi manusia genius, multi talenta, sulit di ajak kompromi untuk hal-hal yang tidak dapat menguntungkan bangsa dan Negara.


Prestasi Yusril pasca tahun 1998 pun sangat gemilang. Mula-mula ia bekerja di sekretariat negara sebagai penulis pidato presiden Suharto dan B.J.Habibie. Ia pernah juga menjadi anggota DPR/MPR-RI. Kemudian selanjutnya menjabat sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia, dan Menteri Sekretaris Negara. Semuanya pada masa kepemimpinan Presiden Gus Dur, Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Presiden SBY. Jangan pula kita lupa bahwa di era beliaulah lahir UU Jabatan Notaris, UU KPK, UU MK, UU, Kepolisian, UU Advokat, UU PPATK, dan lain-lain.

Pentingnya memahami sejarah reformasi secara kritis adalah, agar kita mempunyai sikap yang tegas terhadap sejarah, agar tidak mudah epistemologi sejarah kita dipatahkan oleh kelompok yang mencoba melakukan pengaburan fakta sejarah. Salah satu musibah atau tragedi politik pernah juga dialami oleh Prof.Yusril.

Momentum bersejarah itu tercipta pada tahun 1999. Tahun dimana hampir sejengkal ia menjadi orang nomor satu di republik ini alias Presiden. Akan tetapi, yang namanya politik memang tidak bisa terhindar daripada apa yang biasa kita kenal dengan intrik, tipu daya, dan ambisi untuk memenangkan kelompok tertentu. Peristiwanya memang agak lucu dan aneh kalau kita mendengarnya. Bagaimana tidak, calon presiden pada tahun 1999 yang memenuhi syarat administrasi hanyalah Prof. Yusril, Megawati dan Gus Dur muncul secara tiba-tiba pada saat nama-nama itu diumumkan oleh Amien Rais, yang pada saat itu sebagai ketua MPR-RI. Itulah politik, nafsu selalu mendahului akal sehat. Mereka berdalih bahwa Prof. Yusril masih terlalu muda, sementara mereka sendiri tidak bisa berbuat apa-apa dan meninggalkan legacy yang tidak baik untuk bangsa ini.


Mempertahankan prinsip adalah menjaga idealisme. Prof.Yusril merupakan anak ideologis Masyumi dan Mohammad Natsir. Justru itulah beliau tidak pandai memainkan manuver atau dalam kosa kata politik indonesia kutu loncat dari satu partai ke partai lain. Di saat PBB (Partai Bulan Bintang) mengalami pasang-surut dari Pemilu ke Pemilu ia tetap berdiri kokoh menjaga warisan pemikiran Masyumi, yang semuanya sudah menjadi doktrin politik PBB.

Meneropong peta politik indonesia di tahun 2024, dengan tampilnya beberapa tokoh muda seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Agus Harimurti, dan Prabowo Subianto yang merupakan sang petarung lama. Selaku generasi pecinta dan pengikut ajaran-ajaran politik Mohammad Natsir dan Prof. Yusril masih tetap berharap kepada beliau. Walau secara geografi politik kecil kemungkinan untuk beliau tampil sebagai Capres atau Cawapres di tahun 2024.

Soal jejak rekam tidak perlu diragukan terhadap sosok Prof. Yusril. Beliau sudah lebih daripada cukup. sebagaimana meminjam kata-kata beliau sendiri 

"menjadi presiden itu mungkin sudah suratan takdir dari yang Maha Kuasa".

Demikian catatan singkat ini, semoga menjadi hikmah dan pelajaran untuk kita semua. Setidaknya membuat kita mampu mengenal dan membedakan mana para tokoh yang benar-benar tokoh dengan sejuta ide, gagasan, prestasi cemerlang. Hal mana yang hanya bermodalkan blusukan, pencitraan, ditopang oleh media dan oligarki-kapitalisme.

Walau tidak menjadi Presiden, menjadi Guru Bangsa sudah luar biasa, dan akan dikenang sampai kapanpun oleh sejarah Prof. Yusril Ihza Mahendra.

Related Posts: