Kemarau di Dunia Intelektual Kita
(Drought in Our Intellectual World) — Dunia intelektual kita saat ini terasa
semakin mengalami krisis. Tandanya, dari sana sudah lama tidak lahir
pemikiran-pemikiran alternatif yang dapat memberikan kesegaran dalam kehidupan
politik dan kebudayaan kita. Hal ini, menurut seorang wartawan adalah inti
pernyataan Abdurahman Wahid dan Emha Ainun Nadjib, yang baru saja
diwawancarainya.
Terhadap gambaran state of the art dunia intelektual kita, saya tidak
menggunakan konsep ''krisis", melainkan ''kemarau". Dunia intelektual
kita diterjang musim "kemarau" (dan mungkin berkepanjangan), karena
hal inilah penulis berkesempatan menguraikan beberapa hal yang menjadi
keresahan sebagaimana topik dalam tulisan ini.
Pertama, demi hidup yang memang susah, para intelektual kita secara
diam-diam telah terjebak pada hal-hal yang lebih banyak bersifat
teknis-praktis. Secara perlahan-lahan, tapi pasti, hal itu membuat mereka
terperangkap dalam "sumur kering".
Kurangnya kesempatan merenung secara longgar, kurangnya kesempatan retreat dan
menarik diri dari dirinya sendiri, membuat para intelektual itu berubah jadi
birokrat atau teknokrat, yang selalu harus menghasilkan sesuatu yang
pasti-pasti (pragmatisme), yang jelas tolak ukurnya, dan jika perlu, praktis
dan mudah implementasinya. Refleksi menjadi barang yang mahal bagi para
intelektual. Sudah menjadi malang tentunya kemampuan untuk berpikir dan
bersikap transenden, menembus batas-batas dunia wadag, menjadi sesuatu yang
lebih mahal lagi.
Kaum intelektual yang demikian, sebenarnya sudah tidak lagi memainkan peran
intelektual. Mereka tidak lagi menjadi penjaga suara ruh dan melantunkan
tembang-tembang surgawi buat memberikan perimbangan bagi hidup keduniaan yang
semrawut. Benarkah kalau begitu, bahwa kaum intelektual (cendekiawan) sudah
mati, meskipun dalam masyarakat kita ada wadah resmi (artinya direstui
pemerintah) yang menampung dan menandai kehadiran mereka ditengah-tengah kita
semua?
Kedua, ada perkara politis yang membuat para intelektual berperan demikian
minor dalam masyarakat kita. Perkara itu terutama adalah karena posisi politis
dalam dialog antara Negara dan masyarakat sipil amat tidak seimbang.
Kaum intelektual sebagai bagian dari masyarakat sipil, ternyata sama saja
nyalinya dengan misalnya para petani, tukang becak, dan warga masyarakat bawah
lainnya. Artinya, kaum intelektual pun tak bisa berbuat lain selain tunduk,
patuh, dan menyerah tobat di depan kekuasaan.
Catatan singkat ini adalah suatu gambaran dari sosok budayawan senior Mohamad
Sobary, dalam buku "Moralitas Kaum Pinggiran", untuk kita yang merasa
bagian daripada kaum yang tercerahkan atau selalu menaruh posisi dan berpihak
pada kebenaran dan rakyat kecil. Ditengah himpitan bangsa yang mengalami krisis
luar biasa ini (krisis multidimensional), selaku kaum yang tercerahkan mesti
tetap kuat dalam menancapkan kakinya dibumi perjuangan.
====
Kita mesti selalu responsif, dinamis, dan selalu aktif dalam memperbincangkan
setiap wacana. Karena tanpa semua itu, ruang dialektika dan percakapan akan
mati. Pada akhirnya masa depan bangsa dikemudian hari bukan lagi dilihat secara
kacamata intelektual akan tetapi berubah menjadi suatu tanah gersang nan tandus
yang disana terdapat jenis manusia barbarian dengan penuh emosional dan saling menggilas.
=====
Salam Literasi📖🔥
author : W.F.Tanasale — Muslim Intellectuals