Certainty and Power Of Mind



Kepastian dan Kekuatan Pikiran (Certainty and Power Of Mind) — Manusia sebagai makhluk rasional pasti suka akan kepastian. Di tengah segala keterombang-ambingan dan ketidakmenentuan, kepastian adalah hal yang amat kita rindukan apalagi didalamnya menampakkan nilai-nilai rasional. Kepastian itu akan menjadi jaminan terhadap keinginan bersama manusia. Namun, kepastian bisa juga berisiko menjadi kemapanan dan status sosial (status quo) yang mandheg.

Kalau demikian, apakah dengan kepastian itu lalu menjadi halangan bagi manusia untuk terus berkembang. Paling berbahaya, jika kepastian yang mapan dan mandheg itu berkenaan dengan pemikiran. Di sini, kepastian bisa menjadi kebenaran yang tak mau diganggugugat karena dogmatisasi sosial.

Tak sulit mencari bukti dalam memenuhi standarisasi kepantasan historis, bahwa kepastian pun ternyata bisa menjadi rezim yang merasa mempunyai kebenaran tersendiri yang bersifat mutlak, kekuasaan hirarki, dan juga dalam hal pemikiran menjadi monarki yang tak dapat dibantah.

Di balik kekacauan atas kejadian-kejadian historis yang terungkap peran para kelompok yang berkuasa atas sejarah yang cenderung berorientasi pada dasar pembemtukan sistem struktur. Padahal jika ditelaah lebih mendalam, persoalan sejarah bukanlah untuk menjadikan sesuatu hal dapat menjadi koheren atau apa yang tidak koheren, dan bukan juga untuk mempertahankan rasionalitas yang bertentangan dengan realitas konfik kekuasaan masa lalu maupun dengan ideologi yang berkembang saat ini.

Jelaslah ketika hal ini dianggap sebagai titik balik antara kritik yang diarahkan pada konsepsi historis, maka harusnya ditelaah sebagai proses dari hasil dialektika panjang yang sedang hidup dan berkembang dengan rasionalitas. Melalui kehebatan dialektika inilah terdapat kemampuan rasionalitas untuk mengubah keadaan paradigma dari hal-hal yang dianggap kekurangan menjadi kekuatan, atau yang jahat menjadi sarana kebaikan, bahkan perbedaan pendapat dalam merasionalisasikan hal tersebut akan menjadi momentum dimana kesadaran akan lebih terbuka dan jelas.

Jika rasionalitas historis dianggap sebagai sintesis dari jalan keluar atas pengaruh dialektika yang panjang itu tidak lain hanyalah imajinasi aktif terhadap pemecahan-pemecahan masalah yang bersifat ahistoris dari antisipasi terhadap kontradiksi-kontradiksi sosial maupun konflik-konflik atas kepentingan yang telah berakar sejak lama. Kebenaran dialektika semacam itu perlu diberlakukan sebagai jalan keluar dari perbedaan kepentingan dan atau hubungan-hubungan pertarungan atas kekuatan solidaritas secara kolektif.


Pastinya manusia memerlukan daya penalaran yang cerdas agar dapat mengasumsikan kontradiksi-kontradiksi tersebut secara metodologis dan bukan justru menerapkan metodologi yang sebaliknya, yaitu menyadari bahwa perbedaan-perbedaan kepentingan dari setiap representasi maupun interpretasi pikiran akan menghasilkan hal yang lebih relevan dan terbuka.

=====
Bukankah kontradiksi atau akar konflik terhadap suatu peristiwa lalu itu tidak selalu harus ada jalan keluanya?
"Hal ini perlu dijawab serius agar mampu keluar dari cengkraman panatisme yang berkepanjangan"
=====

Hal yang mendasar pula jika manusia menolak untuk menggambarkan sejarah sebagai ilmu yang harus didiskusikan secara terbuka sebagai dialektika yang berkemajuan dari proses gerak tunggal pikiran yang seakan-akan diarahkan menuju satu tujuan bersama. Tujuan dari dialektika ini ialah bagaimana harus menjelaskan kesadaran manusia dan meningkatkan penguasaan manusia terhadap gagasan tentang identitas otonom atas kekuatan dan status keistimewaan hidup demi kesejahteraan.

Gagasan dogmatik historis seperti ini patut dicurigai, seakan-akan diantara tiap kejadian-kejadian itu hanya mempunyai satu sebab tunggal. Padahal, sebab atas suatu peristiwa tidak selalu tunggal. Cara berpikir ini justru cenderung untuk menafikkan perbedaan-perbedaan yang ada. Dengan demikian, ketika  terjadinya distabilitas sosial akibat konfik horisontal hanya dianggap sebagai krisis dalam tahap perkembangan manusia yang sedang mewujudkan hakikatnya dan atau malah ingin mempromosikan eksistensi mereka sebagai makhluk sosial yang heroik.

Kebanyakan dari aspek historis budaya mempunyai konsep sejarah teleologis seperti itu sehingga menerima perbedaan cenderung dianggap tidak koheren dengan hakikatnya secara otonom dan holistik.

====
Kritik lain terhadap kondisi sosial semacam ini muncul karena penggunaan analogi sosial historis dengan status kelas masyarakat yang pluralistik.
====

Cara pandang seperti ini justru akan mengesampingkan bentuk-bentuk hubungan sosial lain yang juga memiliki peran dalam status sosial dan tidak harus dalam bentuk persaingan dalam status quo selama nilai pluralisme itu dapat dinilai sebagai basis kekuatan sosial, misalnya antara hubungan kerja sama antarpelaku maupun tentang hubungan hidup perilaku antar budaya (akulturasi).

Konsepsi arena sosial seperti itu memungkinkan tersembunyinya kemungkinan pengalaman-pengalaman lain, seperti persahabatan, persaudaraan, cinta, dan belarasa dan hal-hal lain yang menyangkut dengan advokasi solidaritas untuk menunjukkan bahwa rasa tanggung jawab terhadap sesama dan advokasi solidaritas yang memiliki fungsi rasionalitas ini mempunyai tempat penting di dalam perannya terhadap sektor-sektor publik baik secara sosio-kultur maupun politik-struktur yang terbentuk.


Related Posts: