ARSITEK REFORMASI 1998 YANG HAMPIR HILANG DARI KANCAH POLITIK INDONESIA

Dalam awal tahun 2023 ini jagat publik, dari sabang sampai merauke disibukkan dengan berbagai macam wacana, isu, dan berita-berita nasional tentang pemilihan presiden-wakil presiden tahun 2024. Setiap media, baik online maupun elektronik tiap saat mempertontonkan jagoan atau kandidatnya masing-masing ke publik. Dengan demikian saya mengajak kita semua selaku generasi era reformasi untuk kembali membuka literatur-literatur sejarah atau politik yang menggambarkan tentang suasana dan keadaan  pada tahun 1998.Dan siapa-siapa saja yang mempunyai andil dan pengaruh besar dalam memainkan peran pada saat penurunan presiden kedua RI, Jenderal Bintang Lima Suharto dari jabatannya secara damai, sah dan konstitusional.

Kita sebagai generasi era reformasi mestinya belajar dengan spirit yang tinggi untuk mengetahui secara detail dan utuh proses transisi kekuasaan, reformasi, konsolidasi demokrasi dan beserta aktor-aktornya pada 1998 silam dengan baik.Agar supaya kerangka sejarah kita tertata dengan sistematis dalam melihat dinamika politik tanah air yang mengalir begitu kuat.

Dibalik berakhirnya kekuasaan Jenderal Suharto tersebut tak bisa di lepas pisahkan dari berbagai macam taktik dan skenario. Apalagi yang dipaksa mundur adalah seorang Jenderal bintang lima, yang kalau tidak pandai-pandai memainkan ritme bisa menjadi bumerang bagi bangsa Indonesia kala itu.

Dari peristiwa seperti inilah tampil seorang Cendekiawan muda, Intelektual, dan Pakar Hukum Tata Negara pada saat itu, usianya masih terbilang muda 41 tahun, untuk menyelesaikan mundurnya sebuah rezim otoriter dalam suasana damai tanpa pertumpahan darah antar sesama anak bangsa, dialah Prof. Yusril Ihza Mahendra.

Dalam petualangan Intelektual, Prof. Yusril Ihza Mahendra pernah aktif di HMI. Program S-1 nya beliau selesaikan di Universitas Indonesia dengan bidang Study Tata Negara dan Sastra (Filsafat), menyelesaikan study S-2 nya di Pakistan, dan doktornya beliau selesaikan juga di Malaysia atas rekomendasi budayawan kondang Sutan Takdir Alisjahbana.

Pada fase muda, Prof. Yusril bisa dibilang sangat beruntung. Karena beliau sempat berjumpa dan banyak berguru kepada para tokoh Nasional, tokoh bangsa, dan pelaku sejarah. Dengan Mohammad Natsir (Mantan Perdana Menteri 1950), beliau banyak belajar tentang banyak hal, terutama tentang politik Islam. Dengan Osman Raliby beliau belajar tentang politik, komunikasi politik, dan propaganda perang urat syaraf. Beliau juga belajar tentang Filsafat kepada Prof. H. M. Rasyidi, Abu Hanifah, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanudin Harahap, Sutan Takdir Alisjahbana, dan tentang Hukum Tata Negara kepada Prof. Ismail Suny dan Prof. Hazairin. Masih ada banyak lagi yang tidak saya sebutkan satu persatu.Dari proses panjang inilah membentuk karakter seorang Yusril Ihza Mahendra menjadi manusia genius, multi talenta, sulit di ajak kompromi untuk hal-hal yang tidak dapat menguntungkan bangsa dan Negara.


Prestasi Yusril pasca tahun 1998 pun sangat gemilang. Mula-mula ia bekerja di sekretariat negara sebagai penulis pidato presiden Suharto dan B.J.Habibie. Ia pernah juga menjadi anggota DPR/MPR-RI. Kemudian selanjutnya menjabat sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan, Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia, dan Menteri Sekretaris Negara. Semuanya pada masa kepemimpinan Presiden Gus Dur, Presiden Megawati Soekarnoputri, dan Presiden SBY. Jangan pula kita lupa bahwa di era beliaulah lahir UU Jabatan Notaris, UU KPK, UU MK, UU, Kepolisian, UU Advokat, UU PPATK, dan lain-lain.

Pentingnya memahami sejarah reformasi secara kritis adalah, agar kita mempunyai sikap yang tegas terhadap sejarah, agar tidak mudah epistemologi sejarah kita dipatahkan oleh kelompok yang mencoba melakukan pengaburan fakta sejarah. Salah satu musibah atau tragedi politik pernah juga dialami oleh Prof.Yusril.

Momentum bersejarah itu tercipta pada tahun 1999. Tahun dimana hampir sejengkal ia menjadi orang nomor satu di republik ini alias Presiden. Akan tetapi, yang namanya politik memang tidak bisa terhindar daripada apa yang biasa kita kenal dengan intrik, tipu daya, dan ambisi untuk memenangkan kelompok tertentu. Peristiwanya memang agak lucu dan aneh kalau kita mendengarnya. Bagaimana tidak, calon presiden pada tahun 1999 yang memenuhi syarat administrasi hanyalah Prof. Yusril, Megawati dan Gus Dur muncul secara tiba-tiba pada saat nama-nama itu diumumkan oleh Amien Rais, yang pada saat itu sebagai ketua MPR-RI. Itulah politik, nafsu selalu mendahului akal sehat. Mereka berdalih bahwa Prof. Yusril masih terlalu muda, sementara mereka sendiri tidak bisa berbuat apa-apa dan meninggalkan legacy yang tidak baik untuk bangsa ini.


Mempertahankan prinsip adalah menjaga idealisme. Prof.Yusril merupakan anak ideologis Masyumi dan Mohammad Natsir. Justru itulah beliau tidak pandai memainkan manuver atau dalam kosa kata politik indonesia kutu loncat dari satu partai ke partai lain. Di saat PBB (Partai Bulan Bintang) mengalami pasang-surut dari Pemilu ke Pemilu ia tetap berdiri kokoh menjaga warisan pemikiran Masyumi, yang semuanya sudah menjadi doktrin politik PBB.

Meneropong peta politik indonesia di tahun 2024, dengan tampilnya beberapa tokoh muda seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Agus Harimurti, dan Prabowo Subianto yang merupakan sang petarung lama. Selaku generasi pecinta dan pengikut ajaran-ajaran politik Mohammad Natsir dan Prof. Yusril masih tetap berharap kepada beliau. Walau secara geografi politik kecil kemungkinan untuk beliau tampil sebagai Capres atau Cawapres di tahun 2024.

Soal jejak rekam tidak perlu diragukan terhadap sosok Prof. Yusril. Beliau sudah lebih daripada cukup. sebagaimana meminjam kata-kata beliau sendiri 

"menjadi presiden itu mungkin sudah suratan takdir dari yang Maha Kuasa".

Demikian catatan singkat ini, semoga menjadi hikmah dan pelajaran untuk kita semua. Setidaknya membuat kita mampu mengenal dan membedakan mana para tokoh yang benar-benar tokoh dengan sejuta ide, gagasan, prestasi cemerlang. Hal mana yang hanya bermodalkan blusukan, pencitraan, ditopang oleh media dan oligarki-kapitalisme.

Walau tidak menjadi Presiden, menjadi Guru Bangsa sudah luar biasa, dan akan dikenang sampai kapanpun oleh sejarah Prof. Yusril Ihza Mahendra.

Related Posts:

Kuasa Rakyat, Bersatu Tak Terkalahkan



Konsolidasi aksi masa dalam agenda penyebarluasan kesadaran masa untuk menuju perlawanan sepanjang masa harus terus berlanjut sewalaupun di depan mata praktik eksploitasi, akumulasi dan ekspansi kekuasaan terus berlangsung di atas kesengsaraan rakyat.

Selama kita menelusuri realitas sosial maka selama itu pula kita akan menemukan titik terang tentang problem kerakyatan sebagai delih awal untuk membangun benteng dalam mengkanter aksi otoritarianisme dan kediktatoran para penguasa, yang kian mematikan keasadaran masa dalam melakukan aksi masa menuju gerakan masa dalam mencapai Revolusi.

Tak bisa untuk kita pungkiri bahwa sebagian dari pemuda dari seluruh pemuda yang ada telah terkungkung dengan sifat acuh ta acuh oleh penyebarluasan paham oligarki yang telah di kembang biakan oleh penguasa yang sedang melangsungkan penindasan.

Juga tidak bisa untuk kita pungkiri di kala kita menyaksikan para kaum intelektual yang dulunya begitu semangat menemba ilmu di mana-mana namun kini berbalik arah untuk menjadi gerbong oligarki baru.

Realitas yang amat rebah-rebahan ini terus meloloskan hasrat politik komunalistik yang hendak mengatur ruang kehidupan rakyat dengan kemandulan konstitusi.

Sehingga di tengah kebingungan ini kekuasaan politik hari-hari terus berusaha untuk  menarik keuntungan sebesar-besarnya, Tetapi berdiri di atas politik picik lagi licik, tak etis jika terus di biarkan oleh pemuda yang berpikir dan berptindak maka hanya ada satu kata "LAWAN".

Tapi percayalah selama analisis kita masih terawat dengan ideologi yang jelas untuk memberlangsungkan agenda penyusunan penjelasan secara sistematis tentang revolusi untuk melangsungkan pembebasan oleh kelas tertindas untuk kelas tertindas dan dalam konteks ketertindasan masing-masing.  

Maka selama itu juga kekuasaan itu akan tampak mulai kehilangan keseimbangan, entah akan tergelicir ke dalam lumpur, atau tersesat di gurun pasir, kekuasaan itu akan tampak kelelahan untuk bertahan, tinggal sedikit dan itu bergantung pada cara kita memompa kesadaran masa untuk menuju aksi masa dalam menuntuskan berbagai masalah kerakyatan.

"Nyalakan Kesadaran untuk menuju Rakyat Kuasa"

MAJU ATAU HILANG UNTUK SELAMANYA,

SIAPKAN BARISAN DAN SIAP TUK MELAWAN.

Related Posts:

Social Punishment



Disini muncul ketidakpastian tentang hak kita membunuh (berketidakadilan) dan kemampuan kita untuk saling meyakinkan. Tanpa kesalahan mutlak, tidak ada keadilan tertinggi.

Padahal kita semua pernah berbuat salah, meskipun, umpamanya kesalahan tersebut tidak terjangkau oleh tangan-tangan hukum, dan merupakan kejahatan yang tidak diketahui orang (invesible) dari kesalahan atas wewenang (misuse of authority) maupun penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

Mungkin kita akan berprasangka bahwa tidak ada manusia yang benar-benar adil, yang ada hanyalah nurani yang berlebihan atau berkekurangan rasa keadilan. Hidup sedikitnya membuat kita paham akan hal ini serta menyebabkan kita sedikitnya berbuat kebajikan untuk mengimbangi kejahatan yang telah pernah kita perbuat semasa hidup. Hak hidup seperti ini, yang memberi kesempatan pada kita untuk memperbaiki diri, adalah hak alami semua manusia, bahkan mereka yang paling jahat sekalipun.

Penjahat yang paling keji dan hakim paling adil berdiri berdampingan, bersama-sama mengalami nasib malang dalam solidaritasnya yang terorganisir maupun yang mencari jalan lintasan untuk melunak.

@manawaLOG_

Tanpa hak tersebut, kehidupan moral menjadi mustahil dan orang akan menganggap tak ada keseimbangan yang abadi.

Tidak seorangpun diantara kita berhak memutuskan harapan orang lain maupun harapan terhadap diri sendiri, kecuali sesudah orang tersebut mati, dan mengubah hidupnya menjadi sekadar nasib yang harus dijalani, lalu menjatuhkan hukuman yang tidak dapat diubah oleh pikiran.

Akan tetapi menjatuhkan hukuman pasti tidak berubah sebelum seorang meninggal ataupun mereka akan menutup rekening dosa, sementara pemberi pinjaman masih ada, tidak ada yang berhak atas itu.

Dalam batasan ini, sekurang-kurangnya orang yang mengadili orang lain secara mutlak itu berarti menghukum diri sendiri secara mutlak pula dalam firasat kesadaran dan kealpaan. Continued…..

Related Posts:

Mensiasati Romantisme Masa Lalu



Pada dasarnya, manusia bisa saja memilih untuk melakukan “kin selection” dalam artian mendukung terjadinya suatu perubahan kultural terhadap suprastruktur atas keberhasilan suatu perkembangan tatanan masyarakat dan atau bersikap rasis sesuai dengan yang diinginkan dan atau membangun paradigma sosial yang lebih terbuka, progresif, dan penuh harmoni dengan manusia lainnya secara rasional tanpa memilah ataupun memilih sikap yang berbeda secara panatisme agama, ras, etnik maupun budaya..

Lantas bagaimana sebaliknya, menyikapi kenyataan mengenai aspek sosio-kultur yang makin kritis hari ini dari hamparan dinamika politik yang jauh dari tujuan substansinya?

Cerminan dari keadaan ethos manusia budaya terdahulu (mirorr thesis) yang menggambarkan pola hidup secara pilosofis memberikan harapan bahwa kondisi sosial hari ini mestinya masih memegang teguh prinsip dalam sikap sosial yang saling menguntungkan secara ekonomis maupun politis yang diperjuangkan bersama-sama. Sebagai abstraksi dari keadaan humasisasi, pastinya ada keinginan secara determinasi untuk merubah cara berperilaku hidup dalam mencapai tujuan tertentu baik secara individu maupun kelompok.

Sebagai bias dari perjalanan hidup dari masa ke masa mengharuskan manusia berada pada posisi yang lebih progresif untuk mewujudkan apa yang ia inginkan secara naluriah maupun batiniah (moral sosial). Hal ini menandakan maraknya polemik individu untuk saling memangsa satu dengan yang lainnya tanpa mempertimbangkan ongkos sosial yang berdampak pada lingkungan manusia lainnya yang secara politik akan memberikan kesan moral yang kabur bahkan menciptakan segregasi sosial pada iklim demografis.

Secara kultur manusia dapat memilih untuk membiarkan dirinya dikendalikan oleh otoritas genetik, dan atau menjadi subjek yang secara sadar mengambil kendali penuh terhadap kehendak dirinya secara bebas dan rasional. Namun terjadi hal yang berbeda ketika kehendak yang beralas rasionalitas dihantam oleh ego sentimental yang sudah barang tentu terjadinya benturan pada watak sosial yang tidak seimbang, padahal ada cita-cita bersama secara moral yang harus diperjuangkan demi kemaslahatan pembangunan yang berintegritas mendapat posisi partisipan yang aktif.

Apalah jadinya, jika dibilik-bilik panggung sosial yang lain dari pada itu, ada pengkultusan penuh terhadap gen yang egois dari benturan mental kekuasaan masa silam, memberikan makna absurditas dalam cara menata kehidupan sosial menjadi tujuan bersama yang lebih baik.

Pada ruang dinamika sosial, memberikan peluang politik pada ruang kompetitor antara kelompok optimis sosial dan panatik kultur berwatak politik, disisi lain terdapat kelompok baru yang hadir dengan semangat pembaharuan (intelectual organik) dari pertimbangan komposisi faktual. Kelompok ketiga ini memberikan perhatian penuh terhadap perkembangan aspek kehidupan disegala sektor. Dalam pada itu, keharusan mewujudkan tujuan hidup bersama sangat memerlukan potensi suprastruktur yang handal. Namun, kerap kali mendapat banyak hambatan akibat polemik kepentingan meraih kekuasaan yang terjadi antara kelompok optimis sosial dan kelompok panatik berwatak politik. Dari sini, muncul aktor elite kebudayaan sebagai upaya mempertahankan status quo dengan cara mengatasnamakan otoritas kultur sebagai basis pemegang tangkuh kekuasaan yang absolut.

Baca juga : Boat-Footed Mountains

Kelompok optimis sosial yang juga hadir dengan sikap kebudayaan yang menempatkan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan secara politik dalam keadaan kultur yang dikultuskan secara absolutisme, namun kelemahan dari pada itu adalah ketidaksiapan secara potensi sumberdaya manusia yang secara rasional dapat memberikan gambaran maupun solusi dari ketimpangan sosial yang berkepanjangan.

Sebagai reaksi dari pemecahan masalah etnosentrime sosial, kelompok optimis sosial memiliki kewenangan atas penyelesaian sengketa sosial secara privat, namun dalam perkembangannya kelompok ini mengalami kelemahan dalam cara memahami keadaan sosial yang dinamis dan kompilatif dari perubahan sosial hari ini sehingga peran sentral yang mampu mengimbangi stabilitas keadaan sosial secara politis ialah kelompok panatik kultur berwatak politik yang selalu hadir dengan kesanggupan solusi maupun memelihara keadaan segregasi yang statis dan akut.

Padahal, parameter untuk dapat melihat keadaan semacam ini ialah kelompok ketiga yang dapat disebut sebagai basis intelektual dengan mempertimbangkan keadaan maupun masa depan kultur maupun politik secara identitas. Namun sayangnya kehadiran mereka mendapat kecaman baik dari kelompok optimis sosial maupun kelompok panatisme dengan pengklaiman spontan terhadap ethos sosial dengan kata lain menolak rasionalitas yang dianggap menghalau kepentingan politik dari pahaman kebudayaan.

Mestinya, kekacauan paradigma sosio-kultur semacam ini mesti diluruskan melalui upaya prospek keadaan masa silam (konstalasi politik kultur dalam mempertahankan otoritas secara simbolik) secara antropologis yang tidak hanya memberikan kesan luka sosial maupun dendam masa lalu dengan watak arogan maupun sentimental, namun bagaimana cara pandang manusia dengan kemampuam sumber daya manusianya mampu menciptakan iklim sosial yang lebih rasional dan terbuka.

Inilah yang menurut hemet penulis merupakan “bagian liar dari titik balik perkelahian antara otoritas "rasionalitas dan GEN Egois— continued….

Related Posts:

Otoritas "GEN EGOIS"



Pada dasarnya, manusia bisa saja memilih untuk melakukan “kin selection” dalam artian mendukung terjadinya suatu perubahan kultural terhadap suprastruktur atas keberhasilan suatu perkembangan tatanan masyarakat dan atau bersikap rasis sesuai dengan yang diinginkan dan atau membangun paradigma sosial yang lebih terbuka, progresif, dan penuh harmoni dengan manusia lainnya secara rasional tanpa memilah ataupun memilih sikap yang berbeda secara panatisme agama, ras, etnik maupun budaya..

Lantas bagaimana sebaliknya, menyikapi kenyataan mengenai aspek sosio-kultur yang makin kritis hari ini dari hamparan dinamika politik yang jauh dari tujuan substansinya?

Cerminan dari keadaan ethos manusia budaya terdahulu (mirorr thesis) yang menggambarkan pola hidup secara pilosofis memberikan harapan bahwa kondisi sosial hari ini mestinya masih memegang teguh prinsip dalam sikap sosial yang saling menguntungkan secara ekonomis maupun politis yang diperjuangkan bersama-sama. Sebagai abstraksi dari keadaan humasisasi, pastinya ada keinginan secara determinasi untuk merubah cara berperilaku hidup dalam mencapai tujuan tertentu baik secara individu maupun kelompok.

Sebagai bias dari perjalanan hidup dari masa ke masa mengharuskan manusia berada pada posisi yang lebih progresif untuk mewujudkan apa yang ia inginkan secara naluriah maupun batiniah (moral sosial). Hal ini menandakan maraknya polemik individu untuk saling memangsa satu dengan yang lainnya tanpa mempertimbangkan ongkos sosial yang berdampak pada lingkungan manusia lainnya yang secara politik akan memberikan kesan moral yang kabur bahkan menciptakan segregasi sosial pada iklim demografis.

Dari aspek yang sederhana ini kian memunculkan pertanyaan mengenai:
“Perlukah kita menolak premis etnosentris yang tentunya dikhawatirkan akan berujung pada terjadinya segregasi moral terhadap adab kebudayaan?”

Secara kultur manusia dapat memilih untuk membiarkan dirinya dikendalikan oleh otoritas genetik, dan atau menjadi subjek yang secara sadar mengambil kendali penuh terhadap kehendak dirinya secara bebas dan rasional. Namun terjadi hal yang berbeda ketika kehendak yang beralas rasionalitas dihantam oleh ego sentimental yang sudah barang tentu terjadinya benturan pada watak sosial yang tidak seimbang, padahal ada cita-cita bersama secara moral yang harus diperjuangkan demi kemaslahatan pembangunan yang berintegritas mendapat posisi partisipan yang aktif.

Apalah jadinya, jika dibilik-bilik panggung sosial yang lain dari pada itu, ada pengkultusan penuh terhadap gen yang egois dari benturan mental kekuasaan masa silam, memberikan makna absurditas dalam cara menata kehidupan sosial menjadi tujuan bersama yang lebih baik.

Pada ruang dinamika sosial, memberikan peluang politik pada ruang kompetitor antara kelompok optimis sosial dan panatik kultur berwatak politik, disisi lain terdapat kelompok baru yang hadir dengan semangat pembaharuan (intelectual organik) dari pertimbangan komposisi faktual. Kelompok ketiga ini memberikan perhatian penuh terhadap perkembangan aspek kehidupan disegala sektor. Dalam pada itu, keharusan mewujudkan tujuan hidup bersama sangat memerlukan potensi suprastruktur yang handal. Namun, kerap kali mendapat banyak hambatan akibat polemik kepentingan meraih kekuasaan yang terjadi antara kelompok optimis sosial dan kelompok panatik berwatak politik. Dari sini, muncul aktor elite kebudayaan sebagai upaya mempertahankan status quo dengan cara mengatasnamakan otoritas kultur sebagai basis pemegang tangkuh kekuasaan yang absolut.

Baca juga : Boat-Footed Mountains

Klik tautan untuk membaca lebih lanjut...

Kelompok optimis sosial yang juga hadir dengan sikap kebudayaan yang menempatkan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan secara politik dalam keadaan kultur yang dikultuskan secara absolutisme, namun kelemahan dari pada itu adalah ketidaksiapan secara potensi sumberdaya manusia yang secara rasional dapat memberikan gambaran maupun solusi dari ketimpangan sosial yang berkepanjangan.

Sebagai reaksi dari pemecahan masalah etnosentrime sosial, kelompok optimis sosial memiliki kewenangan atas penyelesaian sengketa sosial secara privat, namun dalam perkembangannya kelompok ini mengalami kelemahan dalam cara memahami keadaan sosial yang dinamis dan kompilatif dari perubahan sosial hari ini sehingga peran sentral yang mampu mengimbangi stabilitas keadaan sosial secara politis ialah kelompok panatik kultur berwatak politik yang selalu hadir dengan kesanggupan solusi maupun memelihara keadaan segregasi yang statis dan akut.

Padahal, parameter untuk dapat melihat keadaan semacam ini ialah kelompok ketiga yang dapat disebut sebagai basis intelektual dengan mempertimbangkan keadaan maupun masa depan kultur maupun politik secara identitas. Namun sayangnya kehadiran mereka mendapat kecaman baik dari kelompok optimis sosial maupun kelompok panatisme dengan pengklaiman spontan terhadap ethos sosial dengan kata lain menolak rasionalitas yang dianggap menghalau kepentingan politik dari pahaman kebudayaan.

Mestinya, kekacauan paradigma sosio-kultur semacam ini mesti diluruskan melalui upaya prospek keadaan masa silam (konstalasi politik kultur dalam mempertahankan otoritas secara simbolik) secara antropologis yang tidak hanya memberikan kesan luka sosial maupun dendam masa lalu dengan watak arogan maupun sentimental, namun bagaimana cara pandang manusia dengan kemampuam sumber daya manusianya mampu menciptakan iklim sosial yang lebih rasional dan terbuka.

Inilah yang menurut hemet penulis merupakan “bagian liar dari titik balik perkelahian antara otoritas "rasionalitas dan GEN Egois— continued….

Related Posts: