Baca juga : KEGELISAHAN KAUM INTELEKTUAL MUDA
Baca juga : DEMOKRASI DAN MASA DEPAN OTONOMI DAERAH
Baca juga : KEGELISAHAN KAUM INTELEKTUAL MUDA
Baca juga : DEMOKRASI DAN MASA DEPAN OTONOMI DAERAH
Konsolidasi aksi masa dalam agenda penyebarluasan kesadaran masa untuk menuju perlawanan sepanjang masa harus terus berlanjut sewalaupun di depan mata praktik eksploitasi, akumulasi dan ekspansi kekuasaan terus berlangsung di atas kesengsaraan rakyat.
Selama kita menelusuri realitas sosial maka selama itu pula kita akan menemukan titik terang tentang problem kerakyatan sebagai delih awal untuk membangun benteng dalam mengkanter aksi otoritarianisme dan kediktatoran para penguasa, yang kian mematikan keasadaran masa dalam melakukan aksi masa menuju gerakan masa dalam mencapai Revolusi.
Tak bisa untuk kita pungkiri bahwa sebagian dari pemuda dari seluruh pemuda yang ada telah terkungkung dengan sifat acuh ta acuh oleh penyebarluasan paham oligarki yang telah di kembang biakan oleh penguasa yang sedang melangsungkan penindasan.
Juga tidak bisa untuk kita pungkiri di kala kita menyaksikan para kaum intelektual yang dulunya begitu semangat menemba ilmu di mana-mana namun kini berbalik arah untuk menjadi gerbong oligarki baru.
Realitas yang amat rebah-rebahan ini terus meloloskan hasrat politik komunalistik yang hendak mengatur ruang kehidupan rakyat dengan kemandulan konstitusi.
Sehingga di tengah kebingungan ini kekuasaan politik hari-hari terus berusaha untuk menarik keuntungan sebesar-besarnya, Tetapi berdiri di atas politik picik lagi licik, tak etis jika terus di biarkan oleh pemuda yang berpikir dan berptindak maka hanya ada satu kata "LAWAN".
Tapi percayalah selama analisis kita masih terawat dengan ideologi yang jelas untuk memberlangsungkan agenda penyusunan penjelasan secara sistematis tentang revolusi untuk melangsungkan pembebasan oleh kelas tertindas untuk kelas tertindas dan dalam konteks ketertindasan masing-masing.
Maka selama itu juga kekuasaan itu akan tampak mulai kehilangan keseimbangan, entah akan tergelicir ke dalam lumpur, atau tersesat di gurun pasir, kekuasaan itu akan tampak kelelahan untuk bertahan, tinggal sedikit dan itu bergantung pada cara kita memompa kesadaran masa untuk menuju aksi masa dalam menuntuskan berbagai masalah kerakyatan.
"Nyalakan Kesadaran untuk menuju Rakyat Kuasa"
MAJU ATAU HILANG UNTUK SELAMANYA,
SIAPKAN BARISAN DAN SIAP TUK MELAWAN.
Disini muncul ketidakpastian tentang hak kita membunuh (berketidakadilan) dan kemampuan kita untuk saling meyakinkan. Tanpa kesalahan mutlak, tidak ada keadilan tertinggi.
Padahal kita semua pernah berbuat salah, meskipun, umpamanya kesalahan tersebut tidak terjangkau oleh tangan-tangan hukum, dan merupakan kejahatan yang tidak diketahui orang (invesible) dari kesalahan atas wewenang (misuse of authority) maupun penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Mungkin kita akan berprasangka bahwa tidak ada manusia yang benar-benar adil, yang ada hanyalah nurani yang berlebihan atau berkekurangan rasa keadilan. Hidup sedikitnya membuat kita paham akan hal ini serta menyebabkan kita sedikitnya berbuat kebajikan untuk mengimbangi kejahatan yang telah pernah kita perbuat semasa hidup. Hak hidup seperti ini, yang memberi kesempatan pada kita untuk memperbaiki diri, adalah hak alami semua manusia, bahkan mereka yang paling jahat sekalipun.
Tanpa hak tersebut, kehidupan moral menjadi mustahil dan orang akan menganggap tak ada keseimbangan yang abadi.
Tidak seorangpun diantara kita berhak memutuskan harapan orang lain maupun harapan terhadap diri sendiri, kecuali sesudah orang tersebut mati, dan mengubah hidupnya menjadi sekadar nasib yang harus dijalani, lalu menjatuhkan hukuman yang tidak dapat diubah oleh pikiran.
Akan tetapi menjatuhkan hukuman pasti tidak berubah sebelum seorang meninggal ataupun mereka akan menutup rekening dosa, sementara pemberi pinjaman masih ada, tidak ada yang berhak atas itu.
Dalam batasan ini, sekurang-kurangnya orang yang mengadili orang lain secara mutlak itu berarti menghukum diri sendiri secara mutlak pula dalam firasat kesadaran dan kealpaan. Continued…..
Pada dasarnya, manusia bisa saja memilih untuk melakukan “kin selection” dalam artian mendukung terjadinya suatu perubahan kultural terhadap suprastruktur atas keberhasilan suatu perkembangan tatanan masyarakat dan atau bersikap rasis sesuai dengan yang diinginkan dan atau membangun paradigma sosial yang lebih terbuka, progresif, dan penuh harmoni dengan manusia lainnya secara rasional tanpa memilah ataupun memilih sikap yang berbeda secara panatisme agama, ras, etnik maupun budaya..
Cerminan dari keadaan ethos manusia budaya terdahulu (mirorr thesis) yang menggambarkan pola hidup secara pilosofis memberikan harapan bahwa kondisi sosial hari ini mestinya masih memegang teguh prinsip dalam sikap sosial yang saling menguntungkan secara ekonomis maupun politis yang diperjuangkan bersama-sama. Sebagai abstraksi dari keadaan humasisasi, pastinya ada keinginan secara determinasi untuk merubah cara berperilaku hidup dalam mencapai tujuan tertentu baik secara individu maupun kelompok.
Sebagai bias dari perjalanan hidup dari masa ke masa mengharuskan manusia berada pada posisi yang lebih progresif untuk mewujudkan apa yang ia inginkan secara naluriah maupun batiniah (moral sosial). Hal ini menandakan maraknya polemik individu untuk saling memangsa satu dengan yang lainnya tanpa mempertimbangkan ongkos sosial yang berdampak pada lingkungan manusia lainnya yang secara politik akan memberikan kesan moral yang kabur bahkan menciptakan segregasi sosial pada iklim demografis.
Secara kultur manusia dapat memilih untuk membiarkan dirinya dikendalikan oleh otoritas genetik, dan atau menjadi subjek yang secara sadar mengambil kendali penuh terhadap kehendak dirinya secara bebas dan rasional. Namun terjadi hal yang berbeda ketika kehendak yang beralas rasionalitas dihantam oleh ego sentimental yang sudah barang tentu terjadinya benturan pada watak sosial yang tidak seimbang, padahal ada cita-cita bersama secara moral yang harus diperjuangkan demi kemaslahatan pembangunan yang berintegritas mendapat posisi partisipan yang aktif.
Apalah jadinya, jika dibilik-bilik panggung sosial yang lain dari pada itu, ada pengkultusan penuh terhadap gen yang egois dari benturan mental kekuasaan masa silam, memberikan makna absurditas dalam cara menata kehidupan sosial menjadi tujuan bersama yang lebih baik.
Pada ruang dinamika sosial, memberikan peluang politik pada ruang kompetitor antara kelompok optimis sosial dan panatik kultur berwatak politik, disisi lain terdapat kelompok baru yang hadir dengan semangat pembaharuan (intelectual organik) dari pertimbangan komposisi faktual. Kelompok ketiga ini memberikan perhatian penuh terhadap perkembangan aspek kehidupan disegala sektor. Dalam pada itu, keharusan mewujudkan tujuan hidup bersama sangat memerlukan potensi suprastruktur yang handal. Namun, kerap kali mendapat banyak hambatan akibat polemik kepentingan meraih kekuasaan yang terjadi antara kelompok optimis sosial dan kelompok panatik berwatak politik. Dari sini, muncul aktor elite kebudayaan sebagai upaya mempertahankan status quo dengan cara mengatasnamakan otoritas kultur sebagai basis pemegang tangkuh kekuasaan yang absolut.
Baca juga : Boat-Footed Mountains
Kelompok optimis sosial yang juga hadir dengan sikap kebudayaan yang menempatkan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan secara politik dalam keadaan kultur yang dikultuskan secara absolutisme, namun kelemahan dari pada itu adalah ketidaksiapan secara potensi sumberdaya manusia yang secara rasional dapat memberikan gambaran maupun solusi dari ketimpangan sosial yang berkepanjangan.
Sebagai reaksi dari pemecahan masalah etnosentrime sosial, kelompok optimis sosial memiliki kewenangan atas penyelesaian sengketa sosial secara privat, namun dalam perkembangannya kelompok ini mengalami kelemahan dalam cara memahami keadaan sosial yang dinamis dan kompilatif dari perubahan sosial hari ini sehingga peran sentral yang mampu mengimbangi stabilitas keadaan sosial secara politis ialah kelompok panatik kultur berwatak politik yang selalu hadir dengan kesanggupan solusi maupun memelihara keadaan segregasi yang statis dan akut.
Padahal, parameter untuk dapat melihat keadaan semacam ini ialah kelompok ketiga yang dapat disebut sebagai basis intelektual dengan mempertimbangkan keadaan maupun masa depan kultur maupun politik secara identitas. Namun sayangnya kehadiran mereka mendapat kecaman baik dari kelompok optimis sosial maupun kelompok panatisme dengan pengklaiman spontan terhadap ethos sosial dengan kata lain menolak rasionalitas yang dianggap menghalau kepentingan politik dari pahaman kebudayaan.
Mestinya, kekacauan paradigma sosio-kultur semacam ini mesti diluruskan melalui upaya prospek keadaan masa silam (konstalasi politik kultur dalam mempertahankan otoritas secara simbolik) secara antropologis yang tidak hanya memberikan kesan luka sosial maupun dendam masa lalu dengan watak arogan maupun sentimental, namun bagaimana cara pandang manusia dengan kemampuam sumber daya manusianya mampu menciptakan iklim sosial yang lebih rasional dan terbuka.
Pada dasarnya, manusia bisa saja memilih untuk melakukan “kin selection” dalam artian mendukung terjadinya suatu perubahan kultural terhadap suprastruktur atas keberhasilan suatu perkembangan tatanan masyarakat dan atau bersikap rasis sesuai dengan yang diinginkan dan atau membangun paradigma sosial yang lebih terbuka, progresif, dan penuh harmoni dengan manusia lainnya secara rasional tanpa memilah ataupun memilih sikap yang berbeda secara panatisme agama, ras, etnik maupun budaya..
Cerminan dari keadaan ethos manusia budaya terdahulu (mirorr thesis) yang menggambarkan pola hidup secara pilosofis memberikan harapan bahwa kondisi sosial hari ini mestinya masih memegang teguh prinsip dalam sikap sosial yang saling menguntungkan secara ekonomis maupun politis yang diperjuangkan bersama-sama. Sebagai abstraksi dari keadaan humasisasi, pastinya ada keinginan secara determinasi untuk merubah cara berperilaku hidup dalam mencapai tujuan tertentu baik secara individu maupun kelompok.
Sebagai bias dari perjalanan hidup dari masa ke masa mengharuskan manusia berada pada posisi yang lebih progresif untuk mewujudkan apa yang ia inginkan secara naluriah maupun batiniah (moral sosial). Hal ini menandakan maraknya polemik individu untuk saling memangsa satu dengan yang lainnya tanpa mempertimbangkan ongkos sosial yang berdampak pada lingkungan manusia lainnya yang secara politik akan memberikan kesan moral yang kabur bahkan menciptakan segregasi sosial pada iklim demografis.
Secara kultur manusia dapat memilih untuk membiarkan dirinya dikendalikan oleh otoritas genetik, dan atau menjadi subjek yang secara sadar mengambil kendali penuh terhadap kehendak dirinya secara bebas dan rasional. Namun terjadi hal yang berbeda ketika kehendak yang beralas rasionalitas dihantam oleh ego sentimental yang sudah barang tentu terjadinya benturan pada watak sosial yang tidak seimbang, padahal ada cita-cita bersama secara moral yang harus diperjuangkan demi kemaslahatan pembangunan yang berintegritas mendapat posisi partisipan yang aktif.
Apalah jadinya, jika dibilik-bilik panggung sosial yang lain dari pada itu, ada pengkultusan penuh terhadap gen yang egois dari benturan mental kekuasaan masa silam, memberikan makna absurditas dalam cara menata kehidupan sosial menjadi tujuan bersama yang lebih baik.
Pada ruang dinamika sosial, memberikan peluang politik pada ruang kompetitor antara kelompok optimis sosial dan panatik kultur berwatak politik, disisi lain terdapat kelompok baru yang hadir dengan semangat pembaharuan (intelectual organik) dari pertimbangan komposisi faktual. Kelompok ketiga ini memberikan perhatian penuh terhadap perkembangan aspek kehidupan disegala sektor. Dalam pada itu, keharusan mewujudkan tujuan hidup bersama sangat memerlukan potensi suprastruktur yang handal. Namun, kerap kali mendapat banyak hambatan akibat polemik kepentingan meraih kekuasaan yang terjadi antara kelompok optimis sosial dan kelompok panatik berwatak politik. Dari sini, muncul aktor elite kebudayaan sebagai upaya mempertahankan status quo dengan cara mengatasnamakan otoritas kultur sebagai basis pemegang tangkuh kekuasaan yang absolut.
Baca juga : Boat-Footed Mountains
Klik tautan untuk membaca lebih lanjut...
Kelompok optimis sosial yang juga hadir dengan sikap kebudayaan yang menempatkan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan secara politik dalam keadaan kultur yang dikultuskan secara absolutisme, namun kelemahan dari pada itu adalah ketidaksiapan secara potensi sumberdaya manusia yang secara rasional dapat memberikan gambaran maupun solusi dari ketimpangan sosial yang berkepanjangan.
Sebagai reaksi dari pemecahan masalah etnosentrime sosial, kelompok optimis sosial memiliki kewenangan atas penyelesaian sengketa sosial secara privat, namun dalam perkembangannya kelompok ini mengalami kelemahan dalam cara memahami keadaan sosial yang dinamis dan kompilatif dari perubahan sosial hari ini sehingga peran sentral yang mampu mengimbangi stabilitas keadaan sosial secara politis ialah kelompok panatik kultur berwatak politik yang selalu hadir dengan kesanggupan solusi maupun memelihara keadaan segregasi yang statis dan akut.
Padahal, parameter untuk dapat melihat keadaan semacam ini ialah kelompok ketiga yang dapat disebut sebagai basis intelektual dengan mempertimbangkan keadaan maupun masa depan kultur maupun politik secara identitas. Namun sayangnya kehadiran mereka mendapat kecaman baik dari kelompok optimis sosial maupun kelompok panatisme dengan pengklaiman spontan terhadap ethos sosial dengan kata lain menolak rasionalitas yang dianggap menghalau kepentingan politik dari pahaman kebudayaan.
Mestinya, kekacauan paradigma sosio-kultur semacam ini mesti diluruskan melalui upaya prospek keadaan masa silam (konstalasi politik kultur dalam mempertahankan otoritas secara simbolik) secara antropologis yang tidak hanya memberikan kesan luka sosial maupun dendam masa lalu dengan watak arogan maupun sentimental, namun bagaimana cara pandang manusia dengan kemampuam sumber daya manusianya mampu menciptakan iklim sosial yang lebih rasional dan terbuka.