Mensiasati Romantisme Masa Lalu



Pada dasarnya, manusia bisa saja memilih untuk melakukan “kin selection” dalam artian mendukung terjadinya suatu perubahan kultural terhadap suprastruktur atas keberhasilan suatu perkembangan tatanan masyarakat dan atau bersikap rasis sesuai dengan yang diinginkan dan atau membangun paradigma sosial yang lebih terbuka, progresif, dan penuh harmoni dengan manusia lainnya secara rasional tanpa memilah ataupun memilih sikap yang berbeda secara panatisme agama, ras, etnik maupun budaya..

Lantas bagaimana sebaliknya, menyikapi kenyataan mengenai aspek sosio-kultur yang makin kritis hari ini dari hamparan dinamika politik yang jauh dari tujuan substansinya?

Cerminan dari keadaan ethos manusia budaya terdahulu (mirorr thesis) yang menggambarkan pola hidup secara pilosofis memberikan harapan bahwa kondisi sosial hari ini mestinya masih memegang teguh prinsip dalam sikap sosial yang saling menguntungkan secara ekonomis maupun politis yang diperjuangkan bersama-sama. Sebagai abstraksi dari keadaan humasisasi, pastinya ada keinginan secara determinasi untuk merubah cara berperilaku hidup dalam mencapai tujuan tertentu baik secara individu maupun kelompok.

Sebagai bias dari perjalanan hidup dari masa ke masa mengharuskan manusia berada pada posisi yang lebih progresif untuk mewujudkan apa yang ia inginkan secara naluriah maupun batiniah (moral sosial). Hal ini menandakan maraknya polemik individu untuk saling memangsa satu dengan yang lainnya tanpa mempertimbangkan ongkos sosial yang berdampak pada lingkungan manusia lainnya yang secara politik akan memberikan kesan moral yang kabur bahkan menciptakan segregasi sosial pada iklim demografis.

Secara kultur manusia dapat memilih untuk membiarkan dirinya dikendalikan oleh otoritas genetik, dan atau menjadi subjek yang secara sadar mengambil kendali penuh terhadap kehendak dirinya secara bebas dan rasional. Namun terjadi hal yang berbeda ketika kehendak yang beralas rasionalitas dihantam oleh ego sentimental yang sudah barang tentu terjadinya benturan pada watak sosial yang tidak seimbang, padahal ada cita-cita bersama secara moral yang harus diperjuangkan demi kemaslahatan pembangunan yang berintegritas mendapat posisi partisipan yang aktif.

Apalah jadinya, jika dibilik-bilik panggung sosial yang lain dari pada itu, ada pengkultusan penuh terhadap gen yang egois dari benturan mental kekuasaan masa silam, memberikan makna absurditas dalam cara menata kehidupan sosial menjadi tujuan bersama yang lebih baik.

Pada ruang dinamika sosial, memberikan peluang politik pada ruang kompetitor antara kelompok optimis sosial dan panatik kultur berwatak politik, disisi lain terdapat kelompok baru yang hadir dengan semangat pembaharuan (intelectual organik) dari pertimbangan komposisi faktual. Kelompok ketiga ini memberikan perhatian penuh terhadap perkembangan aspek kehidupan disegala sektor. Dalam pada itu, keharusan mewujudkan tujuan hidup bersama sangat memerlukan potensi suprastruktur yang handal. Namun, kerap kali mendapat banyak hambatan akibat polemik kepentingan meraih kekuasaan yang terjadi antara kelompok optimis sosial dan kelompok panatik berwatak politik. Dari sini, muncul aktor elite kebudayaan sebagai upaya mempertahankan status quo dengan cara mengatasnamakan otoritas kultur sebagai basis pemegang tangkuh kekuasaan yang absolut.

Baca juga : Boat-Footed Mountains

Kelompok optimis sosial yang juga hadir dengan sikap kebudayaan yang menempatkan dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan secara politik dalam keadaan kultur yang dikultuskan secara absolutisme, namun kelemahan dari pada itu adalah ketidaksiapan secara potensi sumberdaya manusia yang secara rasional dapat memberikan gambaran maupun solusi dari ketimpangan sosial yang berkepanjangan.

Sebagai reaksi dari pemecahan masalah etnosentrime sosial, kelompok optimis sosial memiliki kewenangan atas penyelesaian sengketa sosial secara privat, namun dalam perkembangannya kelompok ini mengalami kelemahan dalam cara memahami keadaan sosial yang dinamis dan kompilatif dari perubahan sosial hari ini sehingga peran sentral yang mampu mengimbangi stabilitas keadaan sosial secara politis ialah kelompok panatik kultur berwatak politik yang selalu hadir dengan kesanggupan solusi maupun memelihara keadaan segregasi yang statis dan akut.

Padahal, parameter untuk dapat melihat keadaan semacam ini ialah kelompok ketiga yang dapat disebut sebagai basis intelektual dengan mempertimbangkan keadaan maupun masa depan kultur maupun politik secara identitas. Namun sayangnya kehadiran mereka mendapat kecaman baik dari kelompok optimis sosial maupun kelompok panatisme dengan pengklaiman spontan terhadap ethos sosial dengan kata lain menolak rasionalitas yang dianggap menghalau kepentingan politik dari pahaman kebudayaan.

Mestinya, kekacauan paradigma sosio-kultur semacam ini mesti diluruskan melalui upaya prospek keadaan masa silam (konstalasi politik kultur dalam mempertahankan otoritas secara simbolik) secara antropologis yang tidak hanya memberikan kesan luka sosial maupun dendam masa lalu dengan watak arogan maupun sentimental, namun bagaimana cara pandang manusia dengan kemampuam sumber daya manusianya mampu menciptakan iklim sosial yang lebih rasional dan terbuka.

Inilah yang menurut hemet penulis merupakan “bagian liar dari titik balik perkelahian antara otoritas "rasionalitas dan GEN Egois— continued….

Related Posts: