Mentifact - Sosiofact


Manusia — selain kedudukannya sebagai makhluk sosial, juga merupakan makhluk yang secara nilai konperhensifnya mampu bertindak dengan segala macam kehendaknya yang bebas.

"Tak heran jika kejadian demi kejadian melahirkan hal penomenal yang berulang maupun kondisi baru yang mereka ciptakan sehingga melahirkan berbagai macam pandangan untuk diafsirkan baik secara mental maupun spritual sebagai konteks pembentukan paradigma dari perubahan sosial secara dinamis"

Kompilasi paradigma sosial yang tidak mengalami transformasi dalam perkembangan meningkatkan sumber daya manusianya melahirkan impek yang panjang untuk masa depan pembangunan yang baik.

Oleh karena kekeliruan memahami hal yang subtantif terhadap fenomena sosial dari akar kultur maupun batang struktur sosial menyebabkan terjadinya kekakuan moral pada dimensi politik dalam cara kehidupan bermasyarakat.

Akibatnya, semangat pembangunan dan cita-cita berkemajuan dalam skala infrastruktur maupun suprastruktur mendapat banyak hambatan akibat dari pola pikir masyarakat yang terhegomoni oleh keadaan yang serupa dengan itu..

Related Posts:

The Illusion of Mining Community Welfare



Dampak buruk dari pertambangan bukan lagi sebuah anomali, namun akan menjadi sebuah keniscayaan.
Kerakusan dan perampasan akan lahan dan air mampu membongkar segala isi perut bumi, memaksa kaum tani dan rakyat kecil desa untuk jauh dari sumber daya alam yang dibutuhkan sekalipun ada bayangan kesejahteraan dalam ilusi.

Sayangnya, masyarakat kita kerap lupa akan keniscayaan daya rusak akibat hadirnya pertambangan yang tak jarang menimbulkan konflik, kekerasan, pelanggaran HAM dan pemiskinan yang berkepanjangan.

Akibatnya, cerita tutur yang sama akan berulang, hanya dengan versi yang lebih baru dan mencekam serta memberikan rasa ketakutan terhadap kelangsungan ekologi, lingkungan dan yang paling penting tentang eksistensi masyarakat adat dari pengaruhnya penguasa-penguasa negeri yang sedang giat membangun kerajaan bisnis dan praktik politiknya melalui sektor pertambangan ini.

Kita dan generasi saat ini maupun yang akan datang harus sadar untuk tetap eksis memperbincangkan soal-soal ini lebih jauh dan mendalam. Memastikan statis dan kedudukan tanah bukanlah ladang bebas yang harus dijarah semena-mena oleh kaki-tangan negara dengan seluruh peralatannya. Kemampuan kolektifitas dan semangat solidaritas harus menjadi tolak ukur primer sebagai basis kekuatan menyelamatkan tanah milik rakyat atas kemanfaatan dan kepastian dihadapan hukum dalam cara-cara yang lebih adil dan bermartabat.. (to be continued...)

Related Posts:

Phenomenon of Positivistic Legal Logic

Memproteksi kehidupan manusia modern yang sedang menuju ke arah anomie, baik secara personal, sosial, maupun institusional. Anomie sebagai suatu keadaan sikap mental sosial yang berkembang pada dunia modern saat ini, nampaknya memperlihatkan manusia sudah tidak tahu lagi bagaimana standar perilaku yang harus diterapkan atau state of normlesness.

Jika dicermati pada tataran personal, seorang manusia gampang mencurigai manusia lain. Mereka juga akan gampang berperilaku seenaknya sendiri seolah-olah tidak ada lagi aturan-aturan yang dapat dijadikan pegangan dan kebenaran baik sebagai pedoman maupun falsafah sebagai nilai dalam kehidupan. Tindakan-tindakan tersebut menampilkan kebebasan kehendak yang melahirkan sikap emosional seperti menghujat, memfitnah, menjarah, membunuh, dan lain-lain. Bahkan tindakan pembunuhan pun tampak gampang sekali dilakukan di tengah-tengah definisi yang berlaku bahwa kita adalah bangsa dan manusia yang beradab. Sementara para pakar akan dapat mengatakan bahwa bangsa kita sedang menghidupkan hukum rimba yang sebenarnya telah diberlakukan sejak zaman orba.

Pada tataran sosial, tampak bangsa ini sedang mengembangkan dan menerapkan blind communal homogenous society (kehidupan homogen komunal yang membabi buta). Nampaknya dalam segmentasi kultur, sentimen untuk seorang personal dianggap sebagai sentimen kelompok, ketersinggungan personal disamakan dengan ketersinggungan kelompok. 

Akibatnya, perang antarkelompokpun terjadi ditengah-tengah masyarakat kita tanpa ada upaya prefentif sebagai jalan alternatif solusion. Hal tersebut dapat terjadi disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat sosial menjalankan nilai-nilai kehidupan secara representatif dan berkesinambungan dengan ajaran moral. pergeseran paradigma sosial semacam ini mempengaruhi tatanan sosial lama dalam keadaan stigmatisasi sosial. Akibatnya kesadaran kelompok yang dahulunya memiliki nilai solidaritas yang terjaga, kini bergeser pada kesadaran ego pribadi antara sentimen kelompok tertentu.

Pada tingkatan institusional, terdapat ketidakmampuan hukum untuk mencegah dan mencegah anomie trend seperti itu. Hukum yang dimaksudkan disini adalah termasuk lembaga-lembaga penegakan hukum dalam arti luas (sebut saja seperti itu). Mereka tampak tidak berdaya untuk melaksanakan fungsi-fungsi penegakan hukum ditengah-tengah kehidupan sosial, yang tentu saja tidak hanya menciptakan formal justice, tetapi juga substantial justice.

Harus kita akui, bahwa kita dan hukum kita lebih banyak berkutat pada bagaimana menciptakan formal justice daripada substansial justice. Akibatnya, hukum hanya berurusan dengan hal-hal teknis dan mekanistik semata dan atau bersifat technological maupun transaksionalitas. Sentuhan kemanusiaan hukum menjadi hilang. Hukum direduksi menjadi dua hal yang jukstaposisional, seperti benar-salah, hitam-putih, menang-kalah, halal-haram, dan lain sebagainya.

Pada saat yang bersamaan, kita sejatinya dihadapkan pada kenyataan bahwa kita semakin banyak ditaburi oleh berbagai peraturan dan undang-undang, yang semuanya adalah untuk mengatur perilaku manusia. Peraturan dan undang-undang itu semakin hari semakin bertambah oleh otoritas atau pada tiap kekuasaan yang berganti, sehingga tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa kita sedang memasuki suatu kondisi hiperregulated society.

Pertanyaan besarnya adalah mengapa setelah dihadapkan pada berbagai peraturan dan undang-undang yang serba-serbi itu, sikap tawar menawar yg fair sebagai solusi diplomatik pun tidak kunjung datang. Yang terjadi justru hukum tampak semakin hopeless (tanpa harapan) dan atau telihat kedodoran, sehingga penyelesaian hukum pun justru menciptakan persoalan baru daripada menuntaskan perihal-perihal kemanusiaan secara kompleks.

Dari maraknya fenomena dan peristiwa sosio-legal ini, dapat diasumsikan tidak cukup sekadar diselesaikan oleh undang-undang. Oleh karena itu, paradigma manusia yang hanya melihat hukum hanya sebatas undang-undang saja, sudah saatnya harus diubah cara pandangnya. Oleh karena kepastian terhadap undang-undang jangan diidentikkan dengan kepastian hukum, tetapi bagaimana memahami hukum sebagai metodologi yang mampu menyelesaikan setiap persoalan hidup yang dinamis. ***

Related Posts: