Habitus and Cultural Power

Habitus dan Kuasa Budaya (Habitus and Cultural Power) — Habitus dalam perkembangannya merupakan konsep yang menjelaskan mengapa individu bertindak dalam masyarakat sesuai dengan skema yang sudah ada sebelumnya, yang pada dasarnya cenderung mereproduksi hubungan-hubungan sosial yang ditandai oleh dominasi kelompok tertentu terhadap kelompok yang lain. Dalam konteksnya dengan kondisi sosial, pastinya dominasi tersebut melingkupi habitus yang sifatnya individual dan habitus kelas sosial. Berangkat dari terminologi ini, keberatan utama terhadap konsep ini ialah pernyataan tentang kesatuan disposisi sosial yang keberlangsungannya selama hidup, dan pengaruhnya dalam segala situasi kehidupan sosial dimasa akan datang dalam membentuk pormasi sosial maupun kekuasaan.


Begini maksunya, orang bisa saja belajar dari berbagai sumber dan bukan hanya dari lingkungan keluarga saja tetapi bisa dari sekolah, lingkungan kerja, media, dan lain sebagainya. Lagi pula ketika ditinjau dari aspek sosialnya, keluarga bukan lagi lingkup sosialisasi yang sifatnya homogen, tetapi mungkin saja orang tua sebagai pendidik utama tidak mampu berkontribusi terhadap pendidikan anak. Misalnya saja ada anak yang kuliah di Universitas, lalu anak-anak mereka yang lain ada yang berhasil dalam belajar dan ada juga yang mengalami kegagalan. Hal-hal yang dapat disimulasi seperti ini pastinya memengaruhi perkembangan anak yang berasal dari hubungan-hubungan yang beragam sehingga dengan demikian, masa depan anak akan melahirkan masa depan yang cukup beragam juga, padahal proses sosialisasi dalam satu keluarga mungkin masing-masing melewati bentuk yang berbeda-beda.  Meskipun posisi asal-usul keluarga dalam hierarki sosial pada awalnya sudah mengarahkan kemungkinan-kemungkinan yang berbeda pula.

Dalam konsep habitus ini, secara tersirat posisi sosial akan menitikberatkan pada sikap determinisme budaya dan kelas asalnya, status dan kedudukannya di dalam hierarki sosial. Kesan yang muncul akibat determinisme ini sebagian terjawab ketika pelaku sosial mampu menyatakan bahwa habitus sejatinya berfungsi seperti program yang memungkinkan adanya kreativitas dalam perkembangan cara pandang hidup sesuai dengan konteks jaman tergantung dengan apa yang diproyeksikan oleh solitdaritas sosial secara progresif dan kolektif. Tetapi, pembelaan terhadap hal yang demikian juga belum cukup memberi mutu kemandirian terhadap subyek sebagai pelaku sosial yang beragam, yang meskipun merupakan hasil dari pengkondisian sosial, namun tidak memperhatikan disposisinya dalam mempertimbangkan heterogenitas kebudayaan.

Pada dasarnya pelaku sosial tetap akan menjadi sumber kebebasan politik dan perubahan sosial. Pelaku sosial yang sudah terhegomoni oleh otoritarian budaya, tidak akan mengembangkan kemampuan refleksi yang sama yang dimiliki oleh pengamat dari luar, misalnya kelompok pemuda yang tercerahkan, akademisi maupun kesadaran-kesadaran yang lahir dari kelompok aktivis lainnya yang ingin berkontribusi demi perubahan dan pembangunan sosial yang pada kemungkinan-kemungkinannya akan terjadi refleksi terhadap tindakan dari disposisi sosial yang pasif.

=====
Dalam keadaan disposisi sosial yang sama, secara tidak langsung akan melahirkan bentuk kekerasan dan kecaman simbolik karena sulit dimengerti oleh mereka yang didominasi.
=====

Padahal posisi sosial yang beragam bermaksud untuk mengembangkan sikap kebudayaan yang bukan hanya akan berkontribusi terhadap pengetahuan, tetapi juga terhadap hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan genealogi secara hirarkis.

Kekacauan habitus dalam disposisi sosial malah akan memperlihatkan cara hidup klasik sebagai antitesa dari metode yang sama sehingga kultur sosial menampakan dirinya sebagai stigma bahwa kehendak untuk berkembang menjadi proses dominasi terhadap otoritarian manusia terhadap manusia lain.

Padahal, setiap perkembangan pengetahuan terkait dengan obyek kekuasaan maupun dengan kaitannya terletak pada kemampuan pengetahuan untuk mendefinisikan realitas sosial tersebut secara holistik. Akibatnya perkembangan pengetahuan akan mengubah konstelasi struktur sosial.

***

Dalam struktur kekuasaan diwilayah yang regionalitasnya cenderung berpegang teguh pada prinsip dan nilai-nilai luhur secara kultur lebih berbentuk sesuatu yang produktif dimana setiap orang turut ambil bagian dalam menghasilkan realitas. Sudah barang tentu jika kekuasaan yang terbentuk secara demikian, dengan menempatkan palsafah hidup yang lebih dekat dengan humanisasi budaya justru mencerminkan efek-efek kekuasaan yang tidak perlu lagi digambarkan secara negatif sebagaimana sikap yang menafikkan hal-hal yang ideal, menindas dalam kebijakan, menolak gagasan-gagasan baru, menutupi ruang partisipasi sosial, dan bahkan berbagai sikap kebijakan lainnya yang tersembunyi.

Pada prinsipnya, kekuasaan berdasarkan nilai-nilai luhur secara kultur ini harusnya mampu memproduksikan sesuatu yang pada nilai kemanfaatannya (utility) akan menghasilkan sesuatu yang objektif riil, nilai spritualitas yang menghasilkan bidang-bidang obyek dan ritus-ritus kebenaran dengan mengesampingkan dogmatisme pikiran sebagai sikap panatik. Hal ini akan dapat terwujud jika individu dalam perilaku sosial dapat melanjutkan nilai-nilai tersebut dengan cara produktifitas pengetahuan dan pengalaman-pengalaman yang lebih relevan.

Kalau dulu kekuasaan dapat terbentuk dan atau dilaksanakan melalui hasil perang, perjuangan, larangan atau melawan larangan. Sekarang ini, kekuasaan mestinya dapat terlaksana dalam bentuk pengaturan (management), ini pun dapat berlangsung jika kemampuan individu maupun kelompok-kelompok dalam masyarakat mempertimbangkan pengetahuan sebagai hal yang tidak mungkin diabaikan. Dengan demikian kekuasaan tidak bisa dipisahkan dari pengetahuan.

Jika ditinjau dari aspek psikologi yang mendefinisikan tentang pribadi sosial yang dewasa, menekankan pada model identifikasi atau hal yang dicapai secara ideal melalui teknik tertentu untuk membentuk individu yang sadar melalui jalan pengetahuan. Dengan demikian maka dapat dikatakan individu memang hasil representasi ideologis masyarakat baik secara linear genealogi maupun non-linear genealogi dalam struktur pluralisme sosial. Sehingga pengakuan individu sebagai pelaku sosial merupakan representasi yang diciptakan oleh kultur kekuasaan yang berdaulat.

Dalam konteks masyarakat modern, kultur kekuasaan nampaknya mendorong perkembangan ilmu ekonomi, sosiologi, antropologi, psikologi maupun politik. Demikian sebaliknya pula, semua pengetahuan memungkinkan dan menjamin terjadinya pengoperasiannya kekuasaan.

Kehendak untuk mengetahui dan mengeksploitasi menjadi proses dominasi terhadap obyek dan kepada manusia lain dalam strata sosial. Dari sini, nampaknya kehendak itu memanfaatkan pengetahuan sebagai cara bagaimana kekuasaan dapat memaksakan diri kepada pelaku sosial tanpa memberi kesan bahwa sebenarnya kekuasaan itu datang dari situasi sosial tertentu yang terjadi secara permufakatan politik. Padahal jika klaim terhadap ini diterima, maka akan terkonstruk anggapan stigma bahwa kultur kekuasaan merupakan bagian dari strategi kekuasaan yang mungkin saja terjadi sejak lama dari strategi kekuasaan yang melekat pada kehendak untuk mengetahui dan mengeksploitasi.

======
Sebagai wacana, kehendak untuk mengetahui dan mengeksploitasi pastinya dapat terumus dalam pengetahuan. Kekuatan bahasa sebagai simbol budaya pun menjadi alat untuk mengartikulasikan kekuasaan pada saat kekuasaan harus mengambil bentuk pengetahuan sebagai peran pengendalian sosial.
======

Kekuasaan dan pengetahuan dalam kebenarannya harusnya mengandung makna-makna objektif-sosiologis dan pilosofis dari pernyataan-pernyataan yang lahir secara ilmiah dari individu sebagai pelaku sosial maupun dari rumpun masyarakat itu sendiri tentang eksistensi dan urgensinya tujuan hidup saat ini dan dimasa yang akan datang. Oleh karenanya semua masyarakat harus berusaha menyalurkan, mengontrol, dan mengatur wacana mereka sebagai stigma pluralistik agar sesuai dengan tuntutan yang lebih ilmiah. Bahayanya wacana semacam ini pun dianggap mempunyai otoritas tertentu dan dampak lain yang melahirkan issue tentang segregasi sosial maupun issue eksploitasi yang terbalik .

Jika kita kembali pada terminologi bahwa pengetahuan tidak bersumber pada subyek, tetapi ia tumbuh dalam hubungan-hubungan kekuasaan, maka sudah barang tentu kekuasaan menghasilkan pengetahuan dan atau kekuasaan dan pengetahuan itu saling terkait.

Faktanya, tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan yang terkait dengan pengetahuan tertentu, dan tidak ada pengetahuan yang tidak mengandaikan serta tidak membentuk sekaligus dengan hubungan kekuasaan. Namun ketika konsep ini dapat diterima, maka akan melahirkan terminologi baru tentang semua pengetahuan adalah hasil dari politik karena syarat-syarat kemungkinannya berada pada hubungan-hubungan kekuasaan itu sendiri.

Kondisi sosial dengan segala nilai pluralismenya memberikan gambaran baru terhadap anatomi politik yang menunjukkan bahwa teknik untuk memperoleh kekuasaan adalah cara produksi pengetahuan dari sumber yang sama, namun ini sangat terkesan ilusi.

====
Pada dasarnya anatomi politik itu tidak menciptakan pengetahuan, tetapi hirarki genealogi.
Sehingga kekuasaan menjadikan pengetahuan sebagai satu-satunya alat terhadap dominasi simbolik yang paten.
====

Dengan metode terapan dari hasil hirarki genealogi ini memperlihatkan bahwa kehendak untuk mengetahui dan mengeksploitasi menjadi proses dominasi terhadap manusia lain dalam struktur sosial secara simbolik. Relevansinya bisa saja terletak pada kemampuan individu sebagai pelaku sosial mampu menggunakan pengetahuan untuk mendefinisikan realitas atas kekuasaan yang terbentuk. Maka dengan mendefinisikan realitas atas kekuasaan itu berakibat pada cara asumsi pengetahuan yang berpengaruh mengubah konstelasi sosial.

Hambatanya ialah baigaimana peran generasi sebagai pelaku sosial yang aktif mampu menjawab tentang "penyebab reorganisasi terhadap realitas dan perubahan atas konstelasi sosial dan budaya".

Continued....

Related Posts:

Drought in Our Intellectual World


Kemarau di Dunia Intelektual Kita (Drought in Our Intellectual World) — Dunia intelektual kita saat ini terasa semakin mengalami krisis. Tandanya, dari sana sudah lama tidak lahir pemikiran-pemikiran alternatif yang dapat memberikan kesegaran dalam kehidupan politik dan kebudayaan kita. Hal ini, menurut seorang wartawan adalah inti pernyataan Abdurahman Wahid dan Emha Ainun Nadjib, yang baru saja diwawancarainya.

Terhadap gambaran state of the art dunia intelektual kita, saya tidak menggunakan konsep ''krisis", melainkan ''kemarau". Dunia intelektual kita diterjang musim "kemarau" (dan mungkin berkepanjangan), karena hal inilah penulis berkesempatan menguraikan beberapa hal yang menjadi keresahan sebagaimana topik dalam tulisan ini.

Pertama, demi hidup yang memang susah, para intelektual kita secara  diam-diam telah terjebak pada hal-hal yang lebih banyak bersifat teknis-praktis. Secara perlahan-lahan, tapi pasti, hal itu membuat mereka terperangkap dalam "sumur kering".

Kurangnya kesempatan merenung secara longgar, kurangnya kesempatan retreat dan menarik diri dari dirinya sendiri, membuat para intelektual itu berubah jadi birokrat atau teknokrat, yang selalu harus menghasilkan sesuatu yang pasti-pasti (pragmatisme), yang jelas tolak ukurnya, dan jika perlu, praktis dan mudah implementasinya. Refleksi menjadi barang yang mahal bagi para intelektual. Sudah menjadi malang tentunya kemampuan untuk berpikir dan bersikap transenden, menembus batas-batas dunia wadag, menjadi sesuatu yang lebih mahal lagi.

Kaum intelektual yang demikian, sebenarnya sudah tidak lagi memainkan peran intelektual. Mereka tidak lagi menjadi penjaga suara ruh dan melantunkan tembang-tembang surgawi buat memberikan perimbangan bagi hidup keduniaan yang semrawut. Benarkah kalau begitu, bahwa kaum intelektual (cendekiawan) sudah mati, meskipun dalam masyarakat kita ada wadah resmi (artinya direstui pemerintah) yang menampung dan menandai kehadiran mereka ditengah-tengah kita semua?

Kedua, ada perkara politis yang membuat para intelektual berperan demikian minor dalam masyarakat kita. Perkara itu terutama adalah karena posisi politis dalam dialog antara Negara dan masyarakat sipil amat tidak seimbang.

Kaum intelektual sebagai bagian dari masyarakat sipil, ternyata sama saja nyalinya dengan misalnya para petani, tukang becak, dan warga masyarakat bawah lainnya. Artinya, kaum intelektual pun tak bisa berbuat lain selain tunduk, patuh, dan menyerah tobat di depan kekuasaan.

Catatan singkat ini adalah suatu gambaran dari sosok budayawan senior Mohamad Sobary, dalam buku "Moralitas Kaum Pinggiran", untuk kita yang merasa bagian daripada kaum yang tercerahkan atau selalu menaruh posisi dan berpihak pada kebenaran dan rakyat kecil. Ditengah himpitan bangsa yang mengalami krisis luar biasa ini (krisis multidimensional), selaku kaum yang tercerahkan mesti tetap kuat dalam menancapkan kakinya dibumi perjuangan.

====
Kita mesti selalu responsif, dinamis, dan selalu aktif dalam memperbincangkan setiap wacana. Karena tanpa semua itu, ruang dialektika dan percakapan akan mati. Pada akhirnya masa depan bangsa dikemudian hari bukan lagi dilihat secara kacamata intelektual akan tetapi berubah menjadi suatu tanah gersang nan tandus yang disana terdapat jenis manusia barbarian dengan penuh emosional dan saling menggilas.
=====

Salam Literasi📖🔥


author : W.F.Tanasale — Muslim Intellectuals

Related Posts:

Certainty and Power Of Mind



Kepastian dan Kekuatan Pikiran (Certainty and Power Of Mind) — Manusia sebagai makhluk rasional pasti suka akan kepastian. Di tengah segala keterombang-ambingan dan ketidakmenentuan, kepastian adalah hal yang amat kita rindukan apalagi didalamnya menampakkan nilai-nilai rasional. Kepastian itu akan menjadi jaminan terhadap keinginan bersama manusia. Namun, kepastian bisa juga berisiko menjadi kemapanan dan status sosial (status quo) yang mandheg.

Kalau demikian, apakah dengan kepastian itu lalu menjadi halangan bagi manusia untuk terus berkembang. Paling berbahaya, jika kepastian yang mapan dan mandheg itu berkenaan dengan pemikiran. Di sini, kepastian bisa menjadi kebenaran yang tak mau diganggugugat karena dogmatisasi sosial.

Tak sulit mencari bukti dalam memenuhi standarisasi kepantasan historis, bahwa kepastian pun ternyata bisa menjadi rezim yang merasa mempunyai kebenaran tersendiri yang bersifat mutlak, kekuasaan hirarki, dan juga dalam hal pemikiran menjadi monarki yang tak dapat dibantah.

Di balik kekacauan atas kejadian-kejadian historis yang terungkap peran para kelompok yang berkuasa atas sejarah yang cenderung berorientasi pada dasar pembemtukan sistem struktur. Padahal jika ditelaah lebih mendalam, persoalan sejarah bukanlah untuk menjadikan sesuatu hal dapat menjadi koheren atau apa yang tidak koheren, dan bukan juga untuk mempertahankan rasionalitas yang bertentangan dengan realitas konfik kekuasaan masa lalu maupun dengan ideologi yang berkembang saat ini.

Jelaslah ketika hal ini dianggap sebagai titik balik antara kritik yang diarahkan pada konsepsi historis, maka harusnya ditelaah sebagai proses dari hasil dialektika panjang yang sedang hidup dan berkembang dengan rasionalitas. Melalui kehebatan dialektika inilah terdapat kemampuan rasionalitas untuk mengubah keadaan paradigma dari hal-hal yang dianggap kekurangan menjadi kekuatan, atau yang jahat menjadi sarana kebaikan, bahkan perbedaan pendapat dalam merasionalisasikan hal tersebut akan menjadi momentum dimana kesadaran akan lebih terbuka dan jelas.

Jika rasionalitas historis dianggap sebagai sintesis dari jalan keluar atas pengaruh dialektika yang panjang itu tidak lain hanyalah imajinasi aktif terhadap pemecahan-pemecahan masalah yang bersifat ahistoris dari antisipasi terhadap kontradiksi-kontradiksi sosial maupun konflik-konflik atas kepentingan yang telah berakar sejak lama. Kebenaran dialektika semacam itu perlu diberlakukan sebagai jalan keluar dari perbedaan kepentingan dan atau hubungan-hubungan pertarungan atas kekuatan solidaritas secara kolektif.


Pastinya manusia memerlukan daya penalaran yang cerdas agar dapat mengasumsikan kontradiksi-kontradiksi tersebut secara metodologis dan bukan justru menerapkan metodologi yang sebaliknya, yaitu menyadari bahwa perbedaan-perbedaan kepentingan dari setiap representasi maupun interpretasi pikiran akan menghasilkan hal yang lebih relevan dan terbuka.

=====
Bukankah kontradiksi atau akar konflik terhadap suatu peristiwa lalu itu tidak selalu harus ada jalan keluanya?
"Hal ini perlu dijawab serius agar mampu keluar dari cengkraman panatisme yang berkepanjangan"
=====

Hal yang mendasar pula jika manusia menolak untuk menggambarkan sejarah sebagai ilmu yang harus didiskusikan secara terbuka sebagai dialektika yang berkemajuan dari proses gerak tunggal pikiran yang seakan-akan diarahkan menuju satu tujuan bersama. Tujuan dari dialektika ini ialah bagaimana harus menjelaskan kesadaran manusia dan meningkatkan penguasaan manusia terhadap gagasan tentang identitas otonom atas kekuatan dan status keistimewaan hidup demi kesejahteraan.

Gagasan dogmatik historis seperti ini patut dicurigai, seakan-akan diantara tiap kejadian-kejadian itu hanya mempunyai satu sebab tunggal. Padahal, sebab atas suatu peristiwa tidak selalu tunggal. Cara berpikir ini justru cenderung untuk menafikkan perbedaan-perbedaan yang ada. Dengan demikian, ketika  terjadinya distabilitas sosial akibat konfik horisontal hanya dianggap sebagai krisis dalam tahap perkembangan manusia yang sedang mewujudkan hakikatnya dan atau malah ingin mempromosikan eksistensi mereka sebagai makhluk sosial yang heroik.

Kebanyakan dari aspek historis budaya mempunyai konsep sejarah teleologis seperti itu sehingga menerima perbedaan cenderung dianggap tidak koheren dengan hakikatnya secara otonom dan holistik.

====
Kritik lain terhadap kondisi sosial semacam ini muncul karena penggunaan analogi sosial historis dengan status kelas masyarakat yang pluralistik.
====

Cara pandang seperti ini justru akan mengesampingkan bentuk-bentuk hubungan sosial lain yang juga memiliki peran dalam status sosial dan tidak harus dalam bentuk persaingan dalam status quo selama nilai pluralisme itu dapat dinilai sebagai basis kekuatan sosial, misalnya antara hubungan kerja sama antarpelaku maupun tentang hubungan hidup perilaku antar budaya (akulturasi).

Konsepsi arena sosial seperti itu memungkinkan tersembunyinya kemungkinan pengalaman-pengalaman lain, seperti persahabatan, persaudaraan, cinta, dan belarasa dan hal-hal lain yang menyangkut dengan advokasi solidaritas untuk menunjukkan bahwa rasa tanggung jawab terhadap sesama dan advokasi solidaritas yang memiliki fungsi rasionalitas ini mempunyai tempat penting di dalam perannya terhadap sektor-sektor publik baik secara sosio-kultur maupun politik-struktur yang terbentuk.


Related Posts: