Pemaknaan Konsep antara Gender dan Feminisme

manawaLog - Kajian tentang gender telah banyak dilakukan oleh para peneliti dalam memahami realitas sosial yang berkaitan dengan perempuan dan laki-laki. Wacana tentang gender tidak hanya dikaji dari sudut pandang sosial saja, tetapi juga ekonomi, politik, agama, maupun pendidikan.


Konsepsi Gender

Konsep kesetaraan perempuan dan laki-laki yang juga biasa dikenal dengan istilah feminisme, yaitu konsep yang ditawarkan oleh Barat. Akan tetapi, konsep tersebut baru dibicarakan dalam beberapa tahun belakangan ini.

Ketika membicarakan gender, kesan yang muncul adalah tentang feminisme dan perempuan. Padahal keduanya hanya merupakan bagian dari gender itu sendiri. Berbicara feminisme berarti membicarakan ideologi, bukan wacana.

Di masyarakat, gerakan dan konsep feminisme dan gender menjadi stigma. Mereka berasumsi bahwa gerakan para feminis dan gender merupakan gerakan yang menolak kemapanan terhadap keberadaan laki-laki dan perempuan.

Hal itu menjadi makin berkembang di mana masyarakat menggali media yang menampakkan perilaku kelompok-kelompok feminis yang radikal, seperti melegitimasi perempuan menjadi imam dalam salat Jumat, azan, dan lain-lain. 

Ditambah lagi muncul gerakan feminis lesbian serta pengaju kritik terhadap heteroseksual sebagai sesuatu yang dilegalkan atau dianggap normal-normal saja.

Olehnya, perlu diretas ulang konsep feminisme dan gender yang sebenarnya, sehingga dapat dijadikan perbandingan antarkonsep feminis dan gender dan realitas yang terjadi di masyarakat.

Pada dasarnya feminisme dan gender merupakan konsep yang cukup sederhana, di mana perempuan ingin mendapatkan keadilan dalam berbagai hal, terutama di bidang edukasi, bukan untuk menyaingi atau melebihi laki-laki dan kodratnya.

Olehnya, para feminis membentuk suatu konsep gender yang berangkat dari perbedaan perempuan dan laki-laki yang terjadi karena konstruksi sosial di masyarakat, bukan karena bawaan dari lahir (aspek kodrati).
Persoalan perbedaan kodrati itu tidak lagi dikaji karena hal itu memang sudah diatur oleh Tuhan. Sedangkan perbedaan sosial menjadi fokus yang utama dalam pokok kajian feminis atau peminat gender hingga dewasa ini.

Adapun gender pada dasarnya digunakan sebagai identification terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek sosial budaya.

Berbeda dengan gender, istilah seks secera sederhana bertujuan untuk mengetahui perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek biologis. Istilah seks lebih memfokuskan kepada anatomi biologi manusia, seperti perbedaan anatomi fisik, karakteristik biologis, komposisi kimia, dan hormon dalam tubuh.

Sedangkan gender, fokus utamanya adalah pada aspek sosial, psikologi, budaya, dan aspek-aspek non-biologis lainnya.

Heddy Shri Ahimsa membedakan pemaknaan gender menjadi beberapa pengertian, yakni :
1) Gender sebagai sebuah istilah asing dengan makna tertentu; 
2) Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya; 
3) Gender sebagai suatu kesadaran sosial; 
4) Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya; 
5) Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis; 
6) Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.

Istilah gender lebih banyak digunakan daripada istilah seks dalam menjelaskan proses pertumbuhan seorang anak menjadi seorang laki-laki yang maskulin (masculinity) atau menjadi perempuan yang feminin (femininity).


Perspektif Sejarah

Sejarah awal arus pergerakan perempuan (first wave feminism) di dunia telah dimulai pada tahun 1800-an. Perempuan pada saat itu merasa tertinggal jauh dikarenakan kebanyakan perempuan masih buta aksara (tidak bisa membaca), menjadi kelas bawah, dan tidak mempunyai keahlian.

Kemudian pada tahap selanjutnya, kelompok perempuan kelas menengah mulai menyadari akan ketertinggalan mereka di masyarakat. Mereka kemudian mulai keluar dari wilayah domestik (rumah) dan melihat maraknya ketimpangan sosial dengan para perempuan sebagai korban.

Hingga kemudian muncul seorang filsuf dari Prancis, Simone de Beauvior, yang dengan karya pertamanya berjudul The Second Sex, membahas tentang rancangan teori feminis, sehingga mulai bermunculan pergerakan perempuan Barat (Second Wave Feminism) yang menuntut terhadap persoalan ketidakadilan (inequity), seperti cuti haid, upah yang tidak sesuai, aborsi, hingga kekerasan mulai didiskusikan dengan terbuka.
Baja juga: Kesadaran Berpikir
Tokoh-tokoh yang terkenal dengan perjuangannya mengedepankan perubahan sistem sosial di mana perempuan bisa ikut dalam pemilu pada saat itu, yaitu Susan B. Anthony, Elizabet Cady Stanton, dan Marry Wollstonecraft.

Aktivitas feminisme dan penggiat gender dalam perkembangannya, hingga kini, memiliki perbedaan antarnegara dengan setting budaya masing-masing. Begitu pula dengan sebuah isme dalam pergerakan kaum feminis juga mengalami interpretasi dan penekanan yang berbeda di masing-masing tempat.

Feminis di Italia, misalnya, lebih menekankan kesamaan peran dalam mengupayakan setiap pelayanan sosial, dan hak-hak perempuan sebagai istri, ibu, dan pekerja. Adapun feminis Indonesia, menggiatkan hal yang sama yang dicontoh dari gerakan Dewi Sartika, RA. Kartini, dan Cut Nyak Dien.

Sedangkan penggiat gender dan feminis di Perancis menolak disebut sebagai feminis, akan tetapi lebih memilih dijuluki Mouvment de liberation des femmes atau gerakan pembebasan perempuan yang berbasis psikoanalisis (fungsi dan perilaku psikologis manusia) dan kritik sosial.

Disini kita mampu memahami antara segala macam problem yang mengaitkan tentang soal-soal gender yang selalu diperbincangkan pada aspek sosial, agama, politik maupun budaya. Sehingga penulis menitik beratkan permasalahan gender bukan berada para soal kekuatan dan superioritas antara golongan maskulin dan feminisme. 

Gender tidak serta merta mencari dan mendudukan diri sebagai simbol diskriminasi antara maskulin dan feminis sebagai hasil dari kritik, melainkan meletakannya pada sisi keadilan secara fungsional dalam kehidupan, disitu akan hadir stigma bahwa keadilan bukanlah hasil produksi dari superioritas suatu golongan semata (diskriminatif), melainkan aplikasi kehendak manusia yang sadar sebagai upaya untuk memerdekakan diri dari aspek kognisi, afeksi, konasi maupun aksi. Sehingga dalam aktualisasi diri, manusia mampu memecahkan segala problematika dalam hidup yang dapat direduksi dan dipertanggungjawabkan secara bersama. 


Related Posts:

MARHAENISME dan Tradisi Pela Gandong di Maluku

manawaLog - Tulisan primer ini adalah refleksi ontologis dari upaya untuk meleburkan dan mengsingkronisasikan relasi-relasi objektif antara perkataan MARHENISME ajaran bung Karno dan tradisi "Pela Gandong" di Maluku yang sudah tumbuh subur ratusan tahun di tubuh masyarakat Maluku.


https://manawalog.blogspot.com/2019/08/marhaenisme-dan-tradisi-pela-gandong-di.html

Bermula dari pertanyaan teoritis apa dan bagaimana singkronitas antara "Marhaenisme dan "Pela Gandong"itu?? Dan kemudian berupaya untuk sistesiskan kedua perkataan ini dalam presfektif realitas sosial!

Presfektif Sosial “Pela Gandong”
Negara Indonesia adalah negara kaya akan jenis dan ragam, budaya,bahasa daerah dan suku.
Jenis-jenis keragaman itu sudah tumbuh subur beratus-ratus tahun lamanya di dalam pergaulan hidup masyarakat Indonesia.
Bahkan oleh para leluhur keberagaman itu di jadikan sebagai alat untuk memperkuat dan membangun bangsa ini dan di ikat dalam satu semboyan "BHINEKA TUNGGAL IKA" secara sosiologis dan politik kultural yang di kontruksikan untuk membangun bangsa ini tidak terlepas dari  anatomi perkembangan historis dan kultural yang sarat dengan kebersamaan, saling tolong-menolong, menghargai satu sama lain. Anatomi sub-kultural itu di jadikan sebagai instrumen negosiasi konflik.
Sejarah telah membuktikan kultur masyarakat Indonesia yang sudah begitu lama hidup berdampingan, saling dan bergaul secara harmonis, menjaga toleransi antar umat beragama katakan saja Maluku dengan tradisi pela gandongnya yang masih subur dan tetap terjaga.
"Pela Pandong" menjadi satu refleksi objektif historikal  yang ternyata masih kuat, ikatan persaudaraan di tengah-tengah gebiarnya geterogenitas suku bangsa dewasa ini memiliki tantangan tersendiri.
Pada masa penjajahan dulu bangsa kolonial katakanlah portugis dan belanda pernah mencobah untuk mempertentangkan agama-agama yang ada di Maluku, untuk kepentingan monopoli politik dan ekonomi. 
Akan tetapi para leluhur sadar betul akan upaya pejat para kolonial itu, bahwa masyarakat Maluku sedang di adudomba dan ingin mengikis nilai-nilai kultural itu.
Pendekatan Terminologi
Pela berasal dari kata "pila" yang bermakna membuat sesuatu untuk bersama!!.
Adapun yang menghubungkan kata "pela" dengan "pela-pela" yang berarti saling tolong-menolong. "Pela" juga bisa di artikan pekerjaan saling membantu satu sama lain. Tujuannya untuk menjaga persatuan, persaudaraan/kekeluargaan antar 2 desa/lebih, dan saling merasakan senasip dan sependeritaan.
Sebagai institusi nilai yang hidup di level masyarakat desa/negeri atau dalam sebutan lainnya. Masyarakat Maluku sangat mengimani "Pela Gandong" sebagai jargon penyelesaian berbagai sengketa-sengketa politik, ekonomi maupun sosial.
Pela  gandong muncul karena ada ikatan keturunan, biasanya antara negeri satu dengan negeri yang lainnya, memiliki hubungan keturunan.
Pela gandong juga bisa terjadi antara negeri satu dengan negeri yang lain yang menganggap diri mereka bersaudara walau berbedah agama dan bahasa maka bisa terjadi pela gandong, faktor sosiologis inilah yg harus dan hendak di jaga agar bangsa Indonesia yang kaya akan ragam budaya ini bisa tumbuh dan menjadi bangsa yang besar.
Suprastruktur sosial itu diikat berupa perjanjian-perjanjian yang mengikat, adapula acara-acara adat seperti panas gandong sala satu acara adat yang di bentuk untuk mengingat kembali jalinan persaudaraan itu.
Hubungan – Pela Gandong memiliki bias yang sangat penting di mana semua elemen masyarakat turut serta untuk menjunjung tinggi persatuan dan persaudaraan. Dengan animo ini akan menjadi tolak ukur untuk menghidupkan negosiasi ketika ada sengketa/kesalapahaman yang berpotensi konflik.
Selain mengikat negeri-negeri sedaratan, juga mengikat negeri-negeri berlainan pulau serta mengikat antar etnis dan agama.
Selama ini tradisi ini mampu menyelesaikan perselisihan paham di tengah-tengah masyarakat yang biasanya terjadi karena pemaknaan tentang ajaran agama dan bias sejarah, enisitas dan kepentingan politik dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Baca juga : Kontemplasi Kosmos
Marhaenisme Ideologi Persaudaraan
Secara garis besar di atas telah di uraikan secara sederhana dan objektif tentang ruang lingkup dari "Pela Gandong". 
Maka saya mengajak untuk memahami dengan sederhana gambaran singkat tentang Marhaenisme dan hubungan teoretis di dalamnya.
Marhaenisme adalah hasil refleksi-ontologis dan epistemologis yang di kembangkan dari pemikiran presiden pertama Republik Indonesia "Ir. Soekarno". Marhaenisme dalam ajaran bung Karno adalah sintesis dari filsafat neo-marxis yang mengidamkan satu tatanan masyarakat yang adil dan makmur di dalamnya tidak ada lagi kelas-kelas yang saling bertentangan, dan saling menindas untu hidup dalam iklim persaudaraan dan persatuan.
Ide marxisme ini di adopsi di nusantara sesuai dengan kultur dan natur bangsa Indonesia. 
Bung Karno katakan: “Marxisme menitik-fokuskan perhatiannya yang pada ploretar yang bergerak di wilayah industri”. Sedangan psikologis masyarakat Indonesia bukan ploletar semata tapi lebih kompleks dari pada itu yaitu kaum Marhaen. 
Komunitas ini menjadi mayoritas masyarakat yang hidup di Indonesia, mereka bukan hanya proletar yang tidak memiliki alat-alat produksi tapi jauh daripada itu.
Mereka ada yang memiliki dan ada pula yang tidak memiliki alat produksi sama sekali. Tapi kondisi ekonomi masyarakat Indonesia sama-sama sangat memprihatinkan, di sebabkan karena sistem.
Sistem politik dan ekonomi yang di bangun yang membentuk kondisi kehidupan mereka. Sistem inilah yang di sebut sebagai sistem penindasan manusia atas manusia!.
Marhaenisme di ambil dari nama yang merupakan sosok petani miskin yang di temui Soekarno yang bernama Marhen, petani ini  yang memiliki alat produksi tapi tetap miskin karena ulah dari sistem pada saat itu.
Kondisi keprihatinan para petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bung Karno untuk mengadopsi gagasan kaum ploletar ala Marxisme kala itu, dan di jadikan sebagai teori perjuangan untuk mempersatukan dan membangun persaudaraan senasib oleh seluruh bangsa Indonesia untuk membongkar sistem penindasan yang terjadi di Nusantara.
Idiologi Marhaenisme sesungguhnya ialah marwah dari bangsa dan negara Indonesia di mana tidak adanya batas pembedah untuk semua kelas-kelas sosial di Indonesia.
Oleh karena itu, Marhenisme menitik-beratkan perhatian untuk menentang penindasan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa.
Mempersatukan masyrakat, membangun persaudaraan dan mempererat serta memperkokoh talih persaudaraan dengan semangat kesamaan nasib itulah maka setiap bangsa Indonesia harus menjaga toleransi atas etnis, agama, suku dan budaya.

Unsur-unsur pembentuk Marhaenisme
Secara teoretis Marhaenisme terbentuk dari 3 (tiga). Unsur pemikiran, yang nantinya 3 unsur ini akan di jabarkan  menjadi 5 (lima) unsur oleh bung Karno dalam sidang BPUPKI di sebut sebagai Pancasila, antara lain:
- Sosio-Nasionalisme
- Sosio-Demokrasi
- Ketuhanan yang Maha Esa.
Sosio- Nasionalisme: adalah nasionalisme masyarakat Indonesia. Nasionalisme yang bukan saja mencintai bangsa Indonesia tapi nasionalisme yang tumbuh di taman sarinya internasionalisme. Nasionalisme Indonesia adalah rasa cinta terhadap manusia dan kemanusiaan.
Nasionalisme Indonesia di bangun di atas dasar persatuan, persaudaraan dan toleransi antar golongan antar kelas sosial .
Sosio-Nasionalisme menghendaki adanya satu sistem sosial dunia yang hidup dengan damai dengan penuh persaudaraan tanpa adanya penindasan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa. Oleh sebab itu, maka Sosio-Nasionalisme menghendaki persaudaraan antar agama, suku dan etnitas.
Cita-cita sistem sosial inilah yang idam-idamkan oleh bung Karno dengan nama sistem sosial yang disebut Gotong-Royong.
Bung Karno menyatakan sosio-nasionalisme menghendaki perjuangan untuk mengemansipasi nasion tidak terpisakan dengan mendamaikan nasion-nasion lainnya dunia, untuk mencapai masyarakat tanpa kelas atau masyarakat sama rasa-sama rata/adil dan makmur.
Oleh karena itu, pemahaman tentang Sosio-Nasionalisme atau nasionalisme Indonesia sebagai refleksi dari kultur dan natur bangsa indonesia yang mencintai sesama manusia yang hidup tolong-menolong,membanting tulang bersama, karena nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang hidup di atas prinsip-prinsip persatuan dan persaudaraan.

Sosio-Demokrasi: adalah demokrasinya rakyat. Demokrasi yang bukan hanya rakyat/kaum Marhaen yang menguasai politik, tapi juga ekonomi.
Demokrasi Indonesia bukan seperti demokrasi barat yang hanya demokrasi di lapangan politik tapi demokrasi Indonesia adalah demokrasi di mana rakyat mengusai negara baik politik ekonomi maupun kebudayaan.
Demokrasi Indonesia menghendaki satu manifestasi persatuan dan persaudaraan. 
Selama 350 tahun lamanya, bangsa Indonesia telah di jajah oleh satu sistem ekonomi-politik yang sangat menindas itu yang melatar belakangi bahwa demokrasi indonesia yang mencari keselamatan manusia dan memberi kemakmuran dan keadilan sosial  bagi masyarakat.
Demokrasi Indonesia ditekankan pada prinsip “permusyawaratan dan kebijaksanaan” agar perdebatan di lembaga-lembaga permusyawaratan harus memprioritaskan nilai toleransi, saling menghargai, menjaga persaudaraan dan suasana sidang rakyat, sehingga dari pembenturan antara ide-ide itu dapat ajukan sebagai nilai persaudaraan.
Demokrasi-dengan semangat musyawarah yang menjadi karakter asli bangsa Indonesia. Inilah yang akan mewarnai rancang-bangun sistem ketatanegaraan Indonesia untuk mencapai sosialisme ekonomi dan yang benar adil.
Maka, Sosio-Demokrasi melihat seluruh masyarakat untuk hidup dalam satu gerbong, persatuan, persaudaraan, hidup tolong menolong membangun negara dan bangsa agar penguasan alat-alat produksi negara bisa di kuasai dan di kontrol baik itu di lapangan politik ekonomi maupun di lapangan sosial untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketuhanan yang maha Esa - Menurut bung Karno ketuhanan yang Maha Esa haruslah tumbuh di atas nilai-nilai tolerasi yang sudah mengakar kuat di dalam nilai, dan norma sosial-kultural serta budih pekerti yang luhur.
Ke-Tuhan-an yang hormat menghormati agama satu dengan agama yang lain. Dalam pusaran kuntinyuitas perjalanan historis bangsa Indonesia, agama tidak pernah sekedar mengurusi urusan-urusan personal semata akan tetapi juga terlibat aktif mengolah urusan-urusan publik.
Masyarakat yang hidup di kepulauan nusantara ini tidak memiliki satu budaya yang pahit seperti bangsa-bangsa eropa yang secara total dan sengaja, melibatkan agama di ruang-ruang politik untuk kepentingan perut buncit mereka dengan memakai dalil tuhan untuk memeras dan menindas umat manusia.
Lebih dari itupula penyemaian doktrin sekularisme politik oleh rezim kolonial berjalan secara kontinyu-simultatif dengan peran agama sehingga membangkitkan persatuan perlawanan di dalam masyarakat.

Teoretis-Komparatif
Melalui tulisan minor dan sederhana di atas sudah menguraikan gambaran-gambaran singkat secara argumentatif tentang perkataan "Marhaenisme dan "Pela Gandong".
Dalam pesfektif teoretis-komparatif ini saya ingin memperbandingkan apa unsur-unsur dan inti sari dari kedua narasi di atas.
Bahwa “Marhaenisme” sebagai ajaran bung Karno dan "Pela Gandong" merupakan satu  refleksi dari kepribadian bangsa Indonesia, tentunya bukan saja budaya masyarakat Maluku dengan "Pela Gandongnya" tapi masih banyak budaya-budaya lain di seluruh Indonesia ini yang masih memiliki kandungan akan arti persatuan, persaudaraan dan nilai Gotong-royong.
Pela Gandong” memiliki persamaan-persamaan dan hubungan-hubungan substansial yang terserap kuat di dalam fikiran-fikiran bung karno tentang Marhaenisme, terutama pada prinsip-prinsip persatuan, persaudaraan dan toleransi sebagai kerangka nilai MARHAENISME.
Dalam naskah pidato bung Karno 1 juni 1945 yang di kenal dengan hari lahirnya Pancasila. Di depan sidang BPUPKI, bung Karno dengan lugasnya berbicara gagasan persatuan, persaudaraan dan toleransi yang lama hidup sebagai kultur dan natur bangsa Indonesia.
"kita mendirikan negara indonesia yang kita semua harus mendukungnya, semua buat semua, bukan Kristen buat Indoneaia, bukan golongan  Islam buat golongan  Indonesia, bukan Hindhu buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Nitisomito buat Indonesia, tapi semua buat semua, perkataan sosio-nasionalisme, sosia-demokrasi dan ketuhanan jika di peras maka akan menjadi satu yaitu Gotong- Royong. Negara Indonesia adalah negara gotong-royong”.
Dari uraian pidato bung karno di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa “Pela Gandong” sala satu tradisi yang menghendaki satu sistem sosial dimana semua golongan baik agama, suku dan etnisitas. Semua harus bersatu paduh, bekerja bersama, membanting tulang dan keringat secara bersama-sama, saling hormat menghormati, saling tolong menolong manusia antar manusia, masyarakat antar masyarakat, negeri antar negeri maupun bangsa antar bangsa. 
Inilah refleksi dari soaialisme Indonesia!!!

Semoga tulisan sederhana ini bernilai guna bagi pembaca!
MERDEKA!.

_____________________________________________
Editor   : Alie Al-Hakim

Related Posts:

GMNI - SEBAGAI GERBONG PENJAGA TOLERANSI


GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA (GmnI) 
SEBAGAI GERBONG PENJAGA TOLERANSI
https://manawalog.blogspot.com/

manawaLog – Berawal dari pertanyaan yang mendasar, mengapa Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) di sandingkan dengan perkataan toleransi. Seperti judul narasi di atas??

Secara historikal, GmnI di lahir dari hasil proses peleburan 3 (tiga) organisasi kemahasiswaan yang memiliki kesamaan ideologi. "Marhaenisme" ajaran bung Karno. 
Ketiga organisasi itu, adalah:
· Gerakan Mahasiswa Marhaenis (GMM) yang berpusat di Yogyakarta.
· Gerakan Mahasiswa Merdeka (GM-Merdeka) yang berpusat di Surabaya.
· Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) yang berpusat di Jakarta.

Asal muasal dan latar belakang dari upaya peleburan itu tak lain dan tak bukan sala satunya adalah untuk menjaga persatuan, kesatuan dan toleransi antar mahasiswa, nilai-nilai atau moral etis inilah yang harus di pegang teguh oleh kaders GmnI di tengah-tengah konjangan gelombang kapitalisme di era milenial ini. Upaya politis untuk menggiring nilai-nilai kultural toleransi yang menjadi karakter bangsa Indonesia mulai mengikis dan ironisnya, pengikisan nilai-nilai itu, terjadi di berbagai dimensi termaksud media sosial (medsos) tentunya ini menjadi bumerang tersendiri dalam mengolah kehidupan sosial. 

Oleh sebab itu, bangsa Indonesia patut bersyukur karena beruntung memiliki GmnI  sebagai sala satu organisasi kemahasiswaan terbesar dan terpenting yang memiliki peran strategis untuk melahirkan kader Marhaenis yang menjujung tinggi nilai-nilai toleransi yang kuat, hidup tumbuh sebagai tradisi pergaulan sosial  di dalam masyarakat untuk mencapai sosialiame sesuai dengan tujuan GmnI yang di amanatkan dalam  konstitusi pasal 3 AD/ART bahwa GmnI bertujuan “sebagai organisasi kader dan organisasi perjuangan untuk menciptakan masyarakat sosialisme Indonesia yang berdasarkan Pancasila 1 juni 1945 dan UUD 1945”.

Marhaenisme sebagai idiologi
Gerakan MAhasiswa Nasional Indonesia (GmnI) sebagai organisasi perjuangan yang menjadikan "marhaenisme" ajaran Bung Karno sebagai ideologi" perjuangannya haruslah memiliki peran aktif secara kontinyuitas perjalanan historis kehidupan berbangsa dan bernegara, harus memiliki posisi tawar dan peran strategis dalam konfigurasi kebangsaan untuk melahirkan generasi mudah intelektual yang berwatak marhaenisme yang siap menjawab tantangan politik kebangsaan kekinian.

Sebagai agen perubahan
Sebagai organisasi massa mahasiswa GmnI harus pula menjujung tinggi tugas dan peran kemahasiswaannya sebagai Agent of change. Sebagai aset sosial menghargai perbedaan, pembangunan, persatuan, persaudaraan dan sangat menjaga toleransi antar umat beragama sebagai syarat untuk menciptakan masyarakat sosialisme Indonesia.

Tantangan
Belakangan ini, kader GmnI sudah terjebak dengan problem-problem politik praktis yang reme- teme.
Dalam pusaran itu tak ayal kaders GmnI seringkali di jadikan bara api politik para elite politisi dan tak obahnya sebagai oposan partai politik (parpol) tertentu untuk kepentingan bejat para mafya yang hanya mementingkan kepentingan kekuasaan dan bisnis.

Kongres Ambon dan Rekontruksi GmnI
Melalui Kongres yang nantinya diadakan di kota Ambon beberapa bulan kedepan dalam ruang dialektika itu, GmnI harus membongkar kebiasaan lama. Membongkar pola fikir, menata dan merekontrusi kembali semangat pereburan 3 (tiga) organisasi agar wadah GmnI sebagai organisasi perjuangan yang independen yang berjuang dan memiliki tugas memperjuangkan hak-hak kaum marhaen.

Kongres GmnI 2019, yang akan di adakan di kota Ambon. Negeri Para Raja, negeri laborarorium toleransi ini memiliki arti dan nilai tersendiri diberbagai sengketa politik internal, dan berbagai problematika keorganisasian dan kebangsaan saat ini bisa bangun melalui ide-ide, kebijakan-kebijakan yang akan yang tertuang dalam perhelatan kongres nantinya.

Suasana toleransi kota Ambon juga akan memberi semangat tersendiri dalam kongres sesuai dengan karakter dan sifat asli masyarakat Maluku yang sangat mencintai akan toleransi.

Maka GmnI sebagai lokomotif gerakan dan pemersatu seluruh kaulah mudah dari Sabang sampai Meraoke hendaknya dapat mempertegas jalannya revolusi indonesia sesuai dengan amanat Bung Karno "sosialisme Indonesia bisa tercapai hanya dengan berdiri di atas prinsip "PERSATUAN, PERSAUDARAAN, PERMUSYAWARATAN, KEADILAN dan KETUHANAN".
Inilah satu-satunya prinsip untuk memperkuat toleransi.

MERDEKA

GMNI JAYA



_____________________________________________
Penulis: Bung Adam Wailissa
Editor   : Alie Al-Hakim


Related Posts: