Pemaknaan Konsep antara Gender dan Feminisme

manawaLog - Kajian tentang gender telah banyak dilakukan oleh para peneliti dalam memahami realitas sosial yang berkaitan dengan perempuan dan laki-laki. Wacana tentang gender tidak hanya dikaji dari sudut pandang sosial saja, tetapi juga ekonomi, politik, agama, maupun pendidikan.


Konsepsi Gender

Konsep kesetaraan perempuan dan laki-laki yang juga biasa dikenal dengan istilah feminisme, yaitu konsep yang ditawarkan oleh Barat. Akan tetapi, konsep tersebut baru dibicarakan dalam beberapa tahun belakangan ini.

Ketika membicarakan gender, kesan yang muncul adalah tentang feminisme dan perempuan. Padahal keduanya hanya merupakan bagian dari gender itu sendiri. Berbicara feminisme berarti membicarakan ideologi, bukan wacana.

Di masyarakat, gerakan dan konsep feminisme dan gender menjadi stigma. Mereka berasumsi bahwa gerakan para feminis dan gender merupakan gerakan yang menolak kemapanan terhadap keberadaan laki-laki dan perempuan.

Hal itu menjadi makin berkembang di mana masyarakat menggali media yang menampakkan perilaku kelompok-kelompok feminis yang radikal, seperti melegitimasi perempuan menjadi imam dalam salat Jumat, azan, dan lain-lain. 

Ditambah lagi muncul gerakan feminis lesbian serta pengaju kritik terhadap heteroseksual sebagai sesuatu yang dilegalkan atau dianggap normal-normal saja.

Olehnya, perlu diretas ulang konsep feminisme dan gender yang sebenarnya, sehingga dapat dijadikan perbandingan antarkonsep feminis dan gender dan realitas yang terjadi di masyarakat.

Pada dasarnya feminisme dan gender merupakan konsep yang cukup sederhana, di mana perempuan ingin mendapatkan keadilan dalam berbagai hal, terutama di bidang edukasi, bukan untuk menyaingi atau melebihi laki-laki dan kodratnya.

Olehnya, para feminis membentuk suatu konsep gender yang berangkat dari perbedaan perempuan dan laki-laki yang terjadi karena konstruksi sosial di masyarakat, bukan karena bawaan dari lahir (aspek kodrati).
Persoalan perbedaan kodrati itu tidak lagi dikaji karena hal itu memang sudah diatur oleh Tuhan. Sedangkan perbedaan sosial menjadi fokus yang utama dalam pokok kajian feminis atau peminat gender hingga dewasa ini.

Adapun gender pada dasarnya digunakan sebagai identification terhadap perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek sosial budaya.

Berbeda dengan gender, istilah seks secera sederhana bertujuan untuk mengetahui perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek biologis. Istilah seks lebih memfokuskan kepada anatomi biologi manusia, seperti perbedaan anatomi fisik, karakteristik biologis, komposisi kimia, dan hormon dalam tubuh.

Sedangkan gender, fokus utamanya adalah pada aspek sosial, psikologi, budaya, dan aspek-aspek non-biologis lainnya.

Heddy Shri Ahimsa membedakan pemaknaan gender menjadi beberapa pengertian, yakni :
1) Gender sebagai sebuah istilah asing dengan makna tertentu; 
2) Gender sebagai suatu fenomena sosial budaya; 
3) Gender sebagai suatu kesadaran sosial; 
4) Gender sebagai suatu persoalan sosial budaya; 
5) Gender sebagai sebuah konsep untuk analisis; 
6) Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang kenyataan.

Istilah gender lebih banyak digunakan daripada istilah seks dalam menjelaskan proses pertumbuhan seorang anak menjadi seorang laki-laki yang maskulin (masculinity) atau menjadi perempuan yang feminin (femininity).


Perspektif Sejarah

Sejarah awal arus pergerakan perempuan (first wave feminism) di dunia telah dimulai pada tahun 1800-an. Perempuan pada saat itu merasa tertinggal jauh dikarenakan kebanyakan perempuan masih buta aksara (tidak bisa membaca), menjadi kelas bawah, dan tidak mempunyai keahlian.

Kemudian pada tahap selanjutnya, kelompok perempuan kelas menengah mulai menyadari akan ketertinggalan mereka di masyarakat. Mereka kemudian mulai keluar dari wilayah domestik (rumah) dan melihat maraknya ketimpangan sosial dengan para perempuan sebagai korban.

Hingga kemudian muncul seorang filsuf dari Prancis, Simone de Beauvior, yang dengan karya pertamanya berjudul The Second Sex, membahas tentang rancangan teori feminis, sehingga mulai bermunculan pergerakan perempuan Barat (Second Wave Feminism) yang menuntut terhadap persoalan ketidakadilan (inequity), seperti cuti haid, upah yang tidak sesuai, aborsi, hingga kekerasan mulai didiskusikan dengan terbuka.
Baja juga: Kesadaran Berpikir
Tokoh-tokoh yang terkenal dengan perjuangannya mengedepankan perubahan sistem sosial di mana perempuan bisa ikut dalam pemilu pada saat itu, yaitu Susan B. Anthony, Elizabet Cady Stanton, dan Marry Wollstonecraft.

Aktivitas feminisme dan penggiat gender dalam perkembangannya, hingga kini, memiliki perbedaan antarnegara dengan setting budaya masing-masing. Begitu pula dengan sebuah isme dalam pergerakan kaum feminis juga mengalami interpretasi dan penekanan yang berbeda di masing-masing tempat.

Feminis di Italia, misalnya, lebih menekankan kesamaan peran dalam mengupayakan setiap pelayanan sosial, dan hak-hak perempuan sebagai istri, ibu, dan pekerja. Adapun feminis Indonesia, menggiatkan hal yang sama yang dicontoh dari gerakan Dewi Sartika, RA. Kartini, dan Cut Nyak Dien.

Sedangkan penggiat gender dan feminis di Perancis menolak disebut sebagai feminis, akan tetapi lebih memilih dijuluki Mouvment de liberation des femmes atau gerakan pembebasan perempuan yang berbasis psikoanalisis (fungsi dan perilaku psikologis manusia) dan kritik sosial.

Disini kita mampu memahami antara segala macam problem yang mengaitkan tentang soal-soal gender yang selalu diperbincangkan pada aspek sosial, agama, politik maupun budaya. Sehingga penulis menitik beratkan permasalahan gender bukan berada para soal kekuatan dan superioritas antara golongan maskulin dan feminisme. 

Gender tidak serta merta mencari dan mendudukan diri sebagai simbol diskriminasi antara maskulin dan feminis sebagai hasil dari kritik, melainkan meletakannya pada sisi keadilan secara fungsional dalam kehidupan, disitu akan hadir stigma bahwa keadilan bukanlah hasil produksi dari superioritas suatu golongan semata (diskriminatif), melainkan aplikasi kehendak manusia yang sadar sebagai upaya untuk memerdekakan diri dari aspek kognisi, afeksi, konasi maupun aksi. Sehingga dalam aktualisasi diri, manusia mampu memecahkan segala problematika dalam hidup yang dapat direduksi dan dipertanggungjawabkan secara bersama. 


Related Posts:

MARHAENISME dan Tradisi Pela Gandong di Maluku

manawaLog - Tulisan primer ini adalah refleksi ontologis dari upaya untuk meleburkan dan mengsingkronisasikan relasi-relasi objektif antara perkataan MARHENISME ajaran bung Karno dan tradisi "Pela Gandong" di Maluku yang sudah tumbuh subur ratusan tahun di tubuh masyarakat Maluku.


https://manawalog.blogspot.com/2019/08/marhaenisme-dan-tradisi-pela-gandong-di.html

Bermula dari pertanyaan teoritis apa dan bagaimana singkronitas antara "Marhaenisme dan "Pela Gandong"itu?? Dan kemudian berupaya untuk sistesiskan kedua perkataan ini dalam presfektif realitas sosial!

Presfektif Sosial “Pela Gandong”
Negara Indonesia adalah negara kaya akan jenis dan ragam, budaya,bahasa daerah dan suku.
Jenis-jenis keragaman itu sudah tumbuh subur beratus-ratus tahun lamanya di dalam pergaulan hidup masyarakat Indonesia.
Bahkan oleh para leluhur keberagaman itu di jadikan sebagai alat untuk memperkuat dan membangun bangsa ini dan di ikat dalam satu semboyan "BHINEKA TUNGGAL IKA" secara sosiologis dan politik kultural yang di kontruksikan untuk membangun bangsa ini tidak terlepas dari  anatomi perkembangan historis dan kultural yang sarat dengan kebersamaan, saling tolong-menolong, menghargai satu sama lain. Anatomi sub-kultural itu di jadikan sebagai instrumen negosiasi konflik.
Sejarah telah membuktikan kultur masyarakat Indonesia yang sudah begitu lama hidup berdampingan, saling dan bergaul secara harmonis, menjaga toleransi antar umat beragama katakan saja Maluku dengan tradisi pela gandongnya yang masih subur dan tetap terjaga.
"Pela Pandong" menjadi satu refleksi objektif historikal  yang ternyata masih kuat, ikatan persaudaraan di tengah-tengah gebiarnya geterogenitas suku bangsa dewasa ini memiliki tantangan tersendiri.
Pada masa penjajahan dulu bangsa kolonial katakanlah portugis dan belanda pernah mencobah untuk mempertentangkan agama-agama yang ada di Maluku, untuk kepentingan monopoli politik dan ekonomi. 
Akan tetapi para leluhur sadar betul akan upaya pejat para kolonial itu, bahwa masyarakat Maluku sedang di adudomba dan ingin mengikis nilai-nilai kultural itu.
Pendekatan Terminologi
Pela berasal dari kata "pila" yang bermakna membuat sesuatu untuk bersama!!.
Adapun yang menghubungkan kata "pela" dengan "pela-pela" yang berarti saling tolong-menolong. "Pela" juga bisa di artikan pekerjaan saling membantu satu sama lain. Tujuannya untuk menjaga persatuan, persaudaraan/kekeluargaan antar 2 desa/lebih, dan saling merasakan senasip dan sependeritaan.
Sebagai institusi nilai yang hidup di level masyarakat desa/negeri atau dalam sebutan lainnya. Masyarakat Maluku sangat mengimani "Pela Gandong" sebagai jargon penyelesaian berbagai sengketa-sengketa politik, ekonomi maupun sosial.
Pela  gandong muncul karena ada ikatan keturunan, biasanya antara negeri satu dengan negeri yang lainnya, memiliki hubungan keturunan.
Pela gandong juga bisa terjadi antara negeri satu dengan negeri yang lain yang menganggap diri mereka bersaudara walau berbedah agama dan bahasa maka bisa terjadi pela gandong, faktor sosiologis inilah yg harus dan hendak di jaga agar bangsa Indonesia yang kaya akan ragam budaya ini bisa tumbuh dan menjadi bangsa yang besar.
Suprastruktur sosial itu diikat berupa perjanjian-perjanjian yang mengikat, adapula acara-acara adat seperti panas gandong sala satu acara adat yang di bentuk untuk mengingat kembali jalinan persaudaraan itu.
Hubungan – Pela Gandong memiliki bias yang sangat penting di mana semua elemen masyarakat turut serta untuk menjunjung tinggi persatuan dan persaudaraan. Dengan animo ini akan menjadi tolak ukur untuk menghidupkan negosiasi ketika ada sengketa/kesalapahaman yang berpotensi konflik.
Selain mengikat negeri-negeri sedaratan, juga mengikat negeri-negeri berlainan pulau serta mengikat antar etnis dan agama.
Selama ini tradisi ini mampu menyelesaikan perselisihan paham di tengah-tengah masyarakat yang biasanya terjadi karena pemaknaan tentang ajaran agama dan bias sejarah, enisitas dan kepentingan politik dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Baca juga : Kontemplasi Kosmos
Marhaenisme Ideologi Persaudaraan
Secara garis besar di atas telah di uraikan secara sederhana dan objektif tentang ruang lingkup dari "Pela Gandong". 
Maka saya mengajak untuk memahami dengan sederhana gambaran singkat tentang Marhaenisme dan hubungan teoretis di dalamnya.
Marhaenisme adalah hasil refleksi-ontologis dan epistemologis yang di kembangkan dari pemikiran presiden pertama Republik Indonesia "Ir. Soekarno". Marhaenisme dalam ajaran bung Karno adalah sintesis dari filsafat neo-marxis yang mengidamkan satu tatanan masyarakat yang adil dan makmur di dalamnya tidak ada lagi kelas-kelas yang saling bertentangan, dan saling menindas untu hidup dalam iklim persaudaraan dan persatuan.
Ide marxisme ini di adopsi di nusantara sesuai dengan kultur dan natur bangsa Indonesia. 
Bung Karno katakan: “Marxisme menitik-fokuskan perhatiannya yang pada ploretar yang bergerak di wilayah industri”. Sedangan psikologis masyarakat Indonesia bukan ploletar semata tapi lebih kompleks dari pada itu yaitu kaum Marhaen. 
Komunitas ini menjadi mayoritas masyarakat yang hidup di Indonesia, mereka bukan hanya proletar yang tidak memiliki alat-alat produksi tapi jauh daripada itu.
Mereka ada yang memiliki dan ada pula yang tidak memiliki alat produksi sama sekali. Tapi kondisi ekonomi masyarakat Indonesia sama-sama sangat memprihatinkan, di sebabkan karena sistem.
Sistem politik dan ekonomi yang di bangun yang membentuk kondisi kehidupan mereka. Sistem inilah yang di sebut sebagai sistem penindasan manusia atas manusia!.
Marhaenisme di ambil dari nama yang merupakan sosok petani miskin yang di temui Soekarno yang bernama Marhen, petani ini  yang memiliki alat produksi tapi tetap miskin karena ulah dari sistem pada saat itu.
Kondisi keprihatinan para petani miskin itu telah menerbitkan inspirasi bung Karno untuk mengadopsi gagasan kaum ploletar ala Marxisme kala itu, dan di jadikan sebagai teori perjuangan untuk mempersatukan dan membangun persaudaraan senasib oleh seluruh bangsa Indonesia untuk membongkar sistem penindasan yang terjadi di Nusantara.
Idiologi Marhaenisme sesungguhnya ialah marwah dari bangsa dan negara Indonesia di mana tidak adanya batas pembedah untuk semua kelas-kelas sosial di Indonesia.
Oleh karena itu, Marhenisme menitik-beratkan perhatian untuk menentang penindasan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa.
Mempersatukan masyrakat, membangun persaudaraan dan mempererat serta memperkokoh talih persaudaraan dengan semangat kesamaan nasib itulah maka setiap bangsa Indonesia harus menjaga toleransi atas etnis, agama, suku dan budaya.

Unsur-unsur pembentuk Marhaenisme
Secara teoretis Marhaenisme terbentuk dari 3 (tiga). Unsur pemikiran, yang nantinya 3 unsur ini akan di jabarkan  menjadi 5 (lima) unsur oleh bung Karno dalam sidang BPUPKI di sebut sebagai Pancasila, antara lain:
- Sosio-Nasionalisme
- Sosio-Demokrasi
- Ketuhanan yang Maha Esa.
Sosio- Nasionalisme: adalah nasionalisme masyarakat Indonesia. Nasionalisme yang bukan saja mencintai bangsa Indonesia tapi nasionalisme yang tumbuh di taman sarinya internasionalisme. Nasionalisme Indonesia adalah rasa cinta terhadap manusia dan kemanusiaan.
Nasionalisme Indonesia di bangun di atas dasar persatuan, persaudaraan dan toleransi antar golongan antar kelas sosial .
Sosio-Nasionalisme menghendaki adanya satu sistem sosial dunia yang hidup dengan damai dengan penuh persaudaraan tanpa adanya penindasan manusia atas manusia, bangsa atas bangsa. Oleh sebab itu, maka Sosio-Nasionalisme menghendaki persaudaraan antar agama, suku dan etnitas.
Cita-cita sistem sosial inilah yang idam-idamkan oleh bung Karno dengan nama sistem sosial yang disebut Gotong-Royong.
Bung Karno menyatakan sosio-nasionalisme menghendaki perjuangan untuk mengemansipasi nasion tidak terpisakan dengan mendamaikan nasion-nasion lainnya dunia, untuk mencapai masyarakat tanpa kelas atau masyarakat sama rasa-sama rata/adil dan makmur.
Oleh karena itu, pemahaman tentang Sosio-Nasionalisme atau nasionalisme Indonesia sebagai refleksi dari kultur dan natur bangsa indonesia yang mencintai sesama manusia yang hidup tolong-menolong,membanting tulang bersama, karena nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang hidup di atas prinsip-prinsip persatuan dan persaudaraan.

Sosio-Demokrasi: adalah demokrasinya rakyat. Demokrasi yang bukan hanya rakyat/kaum Marhaen yang menguasai politik, tapi juga ekonomi.
Demokrasi Indonesia bukan seperti demokrasi barat yang hanya demokrasi di lapangan politik tapi demokrasi Indonesia adalah demokrasi di mana rakyat mengusai negara baik politik ekonomi maupun kebudayaan.
Demokrasi Indonesia menghendaki satu manifestasi persatuan dan persaudaraan. 
Selama 350 tahun lamanya, bangsa Indonesia telah di jajah oleh satu sistem ekonomi-politik yang sangat menindas itu yang melatar belakangi bahwa demokrasi indonesia yang mencari keselamatan manusia dan memberi kemakmuran dan keadilan sosial  bagi masyarakat.
Demokrasi Indonesia ditekankan pada prinsip “permusyawaratan dan kebijaksanaan” agar perdebatan di lembaga-lembaga permusyawaratan harus memprioritaskan nilai toleransi, saling menghargai, menjaga persaudaraan dan suasana sidang rakyat, sehingga dari pembenturan antara ide-ide itu dapat ajukan sebagai nilai persaudaraan.
Demokrasi-dengan semangat musyawarah yang menjadi karakter asli bangsa Indonesia. Inilah yang akan mewarnai rancang-bangun sistem ketatanegaraan Indonesia untuk mencapai sosialisme ekonomi dan yang benar adil.
Maka, Sosio-Demokrasi melihat seluruh masyarakat untuk hidup dalam satu gerbong, persatuan, persaudaraan, hidup tolong menolong membangun negara dan bangsa agar penguasan alat-alat produksi negara bisa di kuasai dan di kontrol baik itu di lapangan politik ekonomi maupun di lapangan sosial untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Ketuhanan yang maha Esa - Menurut bung Karno ketuhanan yang Maha Esa haruslah tumbuh di atas nilai-nilai tolerasi yang sudah mengakar kuat di dalam nilai, dan norma sosial-kultural serta budih pekerti yang luhur.
Ke-Tuhan-an yang hormat menghormati agama satu dengan agama yang lain. Dalam pusaran kuntinyuitas perjalanan historis bangsa Indonesia, agama tidak pernah sekedar mengurusi urusan-urusan personal semata akan tetapi juga terlibat aktif mengolah urusan-urusan publik.
Masyarakat yang hidup di kepulauan nusantara ini tidak memiliki satu budaya yang pahit seperti bangsa-bangsa eropa yang secara total dan sengaja, melibatkan agama di ruang-ruang politik untuk kepentingan perut buncit mereka dengan memakai dalil tuhan untuk memeras dan menindas umat manusia.
Lebih dari itupula penyemaian doktrin sekularisme politik oleh rezim kolonial berjalan secara kontinyu-simultatif dengan peran agama sehingga membangkitkan persatuan perlawanan di dalam masyarakat.

Teoretis-Komparatif
Melalui tulisan minor dan sederhana di atas sudah menguraikan gambaran-gambaran singkat secara argumentatif tentang perkataan "Marhaenisme dan "Pela Gandong".
Dalam pesfektif teoretis-komparatif ini saya ingin memperbandingkan apa unsur-unsur dan inti sari dari kedua narasi di atas.
Bahwa “Marhaenisme” sebagai ajaran bung Karno dan "Pela Gandong" merupakan satu  refleksi dari kepribadian bangsa Indonesia, tentunya bukan saja budaya masyarakat Maluku dengan "Pela Gandongnya" tapi masih banyak budaya-budaya lain di seluruh Indonesia ini yang masih memiliki kandungan akan arti persatuan, persaudaraan dan nilai Gotong-royong.
Pela Gandong” memiliki persamaan-persamaan dan hubungan-hubungan substansial yang terserap kuat di dalam fikiran-fikiran bung karno tentang Marhaenisme, terutama pada prinsip-prinsip persatuan, persaudaraan dan toleransi sebagai kerangka nilai MARHAENISME.
Dalam naskah pidato bung Karno 1 juni 1945 yang di kenal dengan hari lahirnya Pancasila. Di depan sidang BPUPKI, bung Karno dengan lugasnya berbicara gagasan persatuan, persaudaraan dan toleransi yang lama hidup sebagai kultur dan natur bangsa Indonesia.
"kita mendirikan negara indonesia yang kita semua harus mendukungnya, semua buat semua, bukan Kristen buat Indoneaia, bukan golongan  Islam buat golongan  Indonesia, bukan Hindhu buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Nitisomito buat Indonesia, tapi semua buat semua, perkataan sosio-nasionalisme, sosia-demokrasi dan ketuhanan jika di peras maka akan menjadi satu yaitu Gotong- Royong. Negara Indonesia adalah negara gotong-royong”.
Dari uraian pidato bung karno di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa “Pela Gandong” sala satu tradisi yang menghendaki satu sistem sosial dimana semua golongan baik agama, suku dan etnisitas. Semua harus bersatu paduh, bekerja bersama, membanting tulang dan keringat secara bersama-sama, saling hormat menghormati, saling tolong menolong manusia antar manusia, masyarakat antar masyarakat, negeri antar negeri maupun bangsa antar bangsa. 
Inilah refleksi dari soaialisme Indonesia!!!

Semoga tulisan sederhana ini bernilai guna bagi pembaca!
MERDEKA!.

_____________________________________________
Editor   : Alie Al-Hakim

Related Posts:

GMNI - SEBAGAI GERBONG PENJAGA TOLERANSI


GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA (GmnI) 
SEBAGAI GERBONG PENJAGA TOLERANSI
https://manawalog.blogspot.com/

manawaLog – Berawal dari pertanyaan yang mendasar, mengapa Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GmnI) di sandingkan dengan perkataan toleransi. Seperti judul narasi di atas??

Secara historikal, GmnI di lahir dari hasil proses peleburan 3 (tiga) organisasi kemahasiswaan yang memiliki kesamaan ideologi. "Marhaenisme" ajaran bung Karno. 
Ketiga organisasi itu, adalah:
· Gerakan Mahasiswa Marhaenis (GMM) yang berpusat di Yogyakarta.
· Gerakan Mahasiswa Merdeka (GM-Merdeka) yang berpusat di Surabaya.
· Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) yang berpusat di Jakarta.

Asal muasal dan latar belakang dari upaya peleburan itu tak lain dan tak bukan sala satunya adalah untuk menjaga persatuan, kesatuan dan toleransi antar mahasiswa, nilai-nilai atau moral etis inilah yang harus di pegang teguh oleh kaders GmnI di tengah-tengah konjangan gelombang kapitalisme di era milenial ini. Upaya politis untuk menggiring nilai-nilai kultural toleransi yang menjadi karakter bangsa Indonesia mulai mengikis dan ironisnya, pengikisan nilai-nilai itu, terjadi di berbagai dimensi termaksud media sosial (medsos) tentunya ini menjadi bumerang tersendiri dalam mengolah kehidupan sosial. 

Oleh sebab itu, bangsa Indonesia patut bersyukur karena beruntung memiliki GmnI  sebagai sala satu organisasi kemahasiswaan terbesar dan terpenting yang memiliki peran strategis untuk melahirkan kader Marhaenis yang menjujung tinggi nilai-nilai toleransi yang kuat, hidup tumbuh sebagai tradisi pergaulan sosial  di dalam masyarakat untuk mencapai sosialiame sesuai dengan tujuan GmnI yang di amanatkan dalam  konstitusi pasal 3 AD/ART bahwa GmnI bertujuan “sebagai organisasi kader dan organisasi perjuangan untuk menciptakan masyarakat sosialisme Indonesia yang berdasarkan Pancasila 1 juni 1945 dan UUD 1945”.

Marhaenisme sebagai idiologi
Gerakan MAhasiswa Nasional Indonesia (GmnI) sebagai organisasi perjuangan yang menjadikan "marhaenisme" ajaran Bung Karno sebagai ideologi" perjuangannya haruslah memiliki peran aktif secara kontinyuitas perjalanan historis kehidupan berbangsa dan bernegara, harus memiliki posisi tawar dan peran strategis dalam konfigurasi kebangsaan untuk melahirkan generasi mudah intelektual yang berwatak marhaenisme yang siap menjawab tantangan politik kebangsaan kekinian.

Sebagai agen perubahan
Sebagai organisasi massa mahasiswa GmnI harus pula menjujung tinggi tugas dan peran kemahasiswaannya sebagai Agent of change. Sebagai aset sosial menghargai perbedaan, pembangunan, persatuan, persaudaraan dan sangat menjaga toleransi antar umat beragama sebagai syarat untuk menciptakan masyarakat sosialisme Indonesia.

Tantangan
Belakangan ini, kader GmnI sudah terjebak dengan problem-problem politik praktis yang reme- teme.
Dalam pusaran itu tak ayal kaders GmnI seringkali di jadikan bara api politik para elite politisi dan tak obahnya sebagai oposan partai politik (parpol) tertentu untuk kepentingan bejat para mafya yang hanya mementingkan kepentingan kekuasaan dan bisnis.

Kongres Ambon dan Rekontruksi GmnI
Melalui Kongres yang nantinya diadakan di kota Ambon beberapa bulan kedepan dalam ruang dialektika itu, GmnI harus membongkar kebiasaan lama. Membongkar pola fikir, menata dan merekontrusi kembali semangat pereburan 3 (tiga) organisasi agar wadah GmnI sebagai organisasi perjuangan yang independen yang berjuang dan memiliki tugas memperjuangkan hak-hak kaum marhaen.

Kongres GmnI 2019, yang akan di adakan di kota Ambon. Negeri Para Raja, negeri laborarorium toleransi ini memiliki arti dan nilai tersendiri diberbagai sengketa politik internal, dan berbagai problematika keorganisasian dan kebangsaan saat ini bisa bangun melalui ide-ide, kebijakan-kebijakan yang akan yang tertuang dalam perhelatan kongres nantinya.

Suasana toleransi kota Ambon juga akan memberi semangat tersendiri dalam kongres sesuai dengan karakter dan sifat asli masyarakat Maluku yang sangat mencintai akan toleransi.

Maka GmnI sebagai lokomotif gerakan dan pemersatu seluruh kaulah mudah dari Sabang sampai Meraoke hendaknya dapat mempertegas jalannya revolusi indonesia sesuai dengan amanat Bung Karno "sosialisme Indonesia bisa tercapai hanya dengan berdiri di atas prinsip "PERSATUAN, PERSAUDARAAN, PERMUSYAWARATAN, KEADILAN dan KETUHANAN".
Inilah satu-satunya prinsip untuk memperkuat toleransi.

MERDEKA

GMNI JAYA



_____________________________________________
Penulis: Bung Adam Wailissa
Editor   : Alie Al-Hakim


Related Posts:

Kasuistik Pikiran



manawaLOG — Mengesankan rotasi keilmuan yang menyebabkan terjadinya keterpisahan antara praktisi dan teori dalam sejarah pengetahuan saintisme..
Berbagai gejolakpun kian menerpai lembaran mazhab-mazhab berpikir, diatas kritisismenya idiologi hingga akan melahirkan pengetahuan baru menuju pengetahuan murni dari rangkaian peristiwa yang terjadi berabad-abad lamanya..
Hal yang unik terjadi pada aspek pergaulatan pikiran antara kesadaran murni dan kesadaran buatan manusia sampai tak tersisa pada produk kehendak manusia layaknya embrio yang gagal berkecambah menjadi produktifitas manusia sebagai binatang yang rasional. Manakala kesukaran itupun terjadi, maka akan berdampak pada tragis dan matinya sumber daya manusia dimuka bumi yang menjadikan teknologi lebih berperan penting dalam mengaplikasikan dan mengaktualisasikan dirinya sebagai mikro kosmis di planet kehidupan ini..
Keterpurukan kehidupan didalam masyarakat modern sering terlihat nampak sebagai wujud dari terbitnya cahaya baru yang kelam sebagai kekekalan dan takdir menuju suatu ketetapan nasib yang terbentur dengan nilai-nilai kemanusiaan..
Yang menjadi perihal dari kekakuan paradigma menempatkan pikiran sebagai bingkisan hidup yang lebih berwarna adalah kepunahan hasrat untuk mengenal diri dengan kemampuan alamiah berpikir, mencari pengetahuan yang tersimpan dalam misteri keabadian adalah batu yang mestinya dipecahkan oleh makhluk yang berpikir.
Apa yang kita harapkan?
Kesadaran manusia mestinya menjadi arah penentu terbukanya pintu kehidupan di hari kemudian untuk menentukan dan menciptakan sejarah baru sebagai pembaharuan hidup yang lebih bermartabat. Bukan sebagai hidangan yang disantap sebagai praktisi dalam gemelutnya lidah yang sekejap hilang manisnya dan kekenyangan sesaat, melainkan harus menjadi bekal yang diwarisi kepada regenerasi berikutnya.
Dalam mencapai suatu hal yang dicapai oleh manusia sebagai kebutuhan hidup seringkali terjadi dan terjebak antara ketetapan kebutuhan dan nilai penunjang dihari besok. Aktualisasi diri yang pada prinsipnya adalah manifestasi yang seharusnya dijadikan sebagai prinsip primer dalam upaya mengoptimisasi keberlangsungan hidup orang banyak dan bukan sebagai hal pragmatisme behavioral manusia semata, sehingga menghambat proses pencapaian manusia menuju kehidupan yang lebih beradap akan tercapai dalam manifesto kehendak yang primodial.
Diambang batas kehancuran manusia mengenai pergulatan hidup kian dirundung kebuntuan akibat patahan pemikiran yang merambah sampai pada timbulnya egosentrisme psikitalis manusia dari semangat mentalitas yang menjadi suara palsu dengan adanya kesadaran buatan, menjelma sebagai khalifah di muka bumi yang merdeka. 
Tak lepas pula ingatan terhadap berbagai kehancuran yang terjadi berabad-abad lamanya. Hingga kini, manusia hanya mampu menutupi kegelisahan diri dengan properti kehidupan yang semakin memperparah kondisi diri mereka semntara yang lain menampakkan dirinya sebagai wujud heroik dan yang lain pula berkamuplase dengan semboyan tipuan dunia untuk sementara waktu tampa memperdulikan nasib manusia lain yang secara lemah membutuhkan pertolongan dari tangan-tangan manusia yang mampu secara rasional. 
Masihkan kita mampu berpikir?
Setidaknya hanya sedikit dari mereka yang merelakan nasib hidup demi kedaulatan sebagai hidup yang baru. Dengan adanya upaya menyeimbangan nasib yang tanpa batas. 
Lantas manusia hanya berupaya untuk lari dari kenyataan dan mencari jalan lain untuk berdomisili dibawah kolom keistimewaan yang fana.
Itu sebabnya, ada sikap penegasan yang mengasumsikan bahwa manusia tidak dapat berpikir tentang kebenaran, dan kita pun tidak dapat berpikir tentang pencerahan, kita tidak dapat berpikir tentang cinta, dan bahkan secara prontal dapat dikatakan manusia tidak bisa memikirkan semua hal-hal besar dalam hidup karena mereka belum dapat diadopsi ke dalam kesadaran masa lalu.
Apa yang terjadi? 
Dalam skala untuk mencari jawaban yang manusia butuhkan adalah kecerdasan dan menelaah buku-buku besar dengan waktunya yang terbatas. Manusia harus sangat waspada dan cerdas untuk menemukan semua fakta dan angka yang relevan untuk memberikan jawaban atas kehidupan pikiran mandiri. Mereka yang biasanya mendapatkan predikat  pertama mulai kehilangan pegangan karena mereka tidak memiliki kecerdasan yang fleksibel, mereka hanya memiliki pikiran, dan sekarang pikiran itu menjadi penyumbatan masib tanpa batas.
Ini semua masih sangat primitif.
Kecerdasan dan kesadaran mereka akan dilihat dari cara menggunakan remote kontrol – bagaimana menggunakannya dengan bijak, bagaimana untuk tidak bercampur, bagaimana memahami pertanyaan-pertanyaan cerdas sehingga ia dapat menemukan jawaban yang cerdas pula. Tapi itu bukan pertanyaan dari pikiran. Jenis pendidikan yang berbeda pun akan dangat diperlukan sebagai upaya untuk mengajarkan manusia menjadi cerdas. Pada saat yang sama ketika pulpen diciptakan, manusia mulai kehilangan tulisan tangan mereka yang indah yang dahulu hanya menggunakan pena kuno sederhana manusia dapat menulis lebih baik daripada dengan pulpen modern.
Hal yang sama pula akan terjadi dengan kecerdasan palsu di waktu kini dan mendatang. 
Kesadaran bukanlah masalah karena pikiran hanya sebagai mesin penggerak. Masalahnya adalah isi dari pikiran itu yang memiliki kesadaran untuk berkehendak. Pikiran hanyalah sebuah wadah, dan di masing-masing kehidupan manusia berkesempatan untuk mendapatkan wadah kesadaran yang baru, manakala konten yang lama telah digeser sebagai sebuah lapisan yang mengelilingi kesadaran baru manusia.
Pastinya, terdapat kesadaran yang hadir dalam setiap kehidupan yang baru dan masih segar. Sampai manusia menjadi tercerahkan pun ia tetap menempel pada diri manusia. Namun, Ia  hanyalah debu dari semua kehidupan yang telah hidup, kenangan yang dilepaskan pikiran setelah manusia mati sehingga kenangan itu akan menempel di sekitar pusaran kesadaran yang menjadi lapisan yang tebal mengeras seperti batu.

Inilah yang seharusnya disadari oleh setiap individu, agar perilaku dari kehendak iltelektualitas harus dipelihara dan dijunjung tinggi secara sadar oleh pelaku kosmosentris yang dinamis.

Related Posts:

EKSISTENSI TUHAN DALAM PANDANGAN FILOSOF ARAB


Ketika para filosof Arab membicarakan soal Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mereka tidak mungkin meninggalkan ajaran prinsip yang telah ditetapkan oleh agama Islam, yaitu keesaan-Nya yang mutlak. 
Eksistensi Tuhan dalam pandangan Filsof Arab
manawaLog - Sebagaimana termaktub di dalam As-Shamdaniyyah (Surah Al-Ikhlas) bahwasanya Allah telah berfirman: “Katakanlah (hai Muhammad): Dialah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakan, dan tidak ada apa pun yang setara dengan-Nya”. Walaupun di dalam Al-Qur’an terdapat sifat-sifat Tasybih (menyerupakan) seperti ayat-ayat yang menyebut istiwa (bertahta) dan yad (tangan). Namun, Allah menegaskan dalam Firman-Nya: “Tak ada apa pun yang menyerupai-Nya” (Laisa kamitslihi syaiun) dan Allah adalah Maha Tinggi (Muta’al); yakni jauh lebih luhur dan lebih tinggi dari seluruh alam wujud.
Para filosof Arab mewarisi dua macam teori khusus mengenai Tuhan daripada filosof Yunani. Yang satu teori Aristoteles, yang menyebut Tuhan sebagai "Penggerak yang tidak bergerak", yakni Sebab Pertama bagi gerak seluruh alam wujud. Aristoteles berpendapat Tuhan pasti ada, sebab metafisikanya adalah "eksistensi". Menurut definisi Aristoteles, pembahasan mengenai soal maujud (eksist) dari segi eksistensinya dia maujud, dan dari segala maujud yang tertinggi ialah Yang Maujud Mutlak, yaitu Tuhan. Jadi menurut pemikiran Aristoteles, Tuhan itu maujud (eksist, ada). Akan tetapi sifat maujud itu, atau istilah a'la Aristoteles itu bukanlah nama dari nama-nama agung (Al-Asma'ul-Husna) yang terdapat di dalam Qur'an. Kita mengetahui banyak sekali para ahli fikir Islam yang menolak penyebutan nama Tuhan, selain yang termaktub di dalam Qur'an. Mereka tidak mau menyebut Allah dengan nama yang lazim kita gunakan untuk menamai segala sesesuatu yang ada di alam wujud, yang kita pisah menjadi dua unsur, yaitu: Zat (substansi) dan sifat (predikat).
Teori yang kedua ialah teori Plato dan Neo-Platonisme (teori Plotinus), yaitu teori yang memandang Allah "Esa", dan dari Yang Esa itu melimpahlah Al-'Aqlul-Awwal (First Mind, Akal Pertama) kemudian Ar-Nafsul-Kulliyyah (Universal Soul, Jiwa Keseluruhan) lalu Al-Hayula (Primordial Matter, Benda Pertama, Natur atau Alam). "Yang Esa" adalah sebutan nama Allah dan termasuk dalam Al-Asma'ul-Husna. Akan tetapi, "Yang Esa" menurut pengertian metafisik pada dasar berbeda dengan pengertian metafisik eksistensi yang dikuman-nya dangkan oleh Aristoteles.
Al-Kindi sendiri bingung memahami dua macam pemikiran filsafat tersebut di atas. la tidak sanggup menemukan cara untuk mempertemukan yang satu dengan yang lain. la lebih cenderung pada pandangan Islam.
Teori Aristoteles memandang alam ini qadim (tanpa awal). Pandangan tersebut membawa konsekuensi mengingkari adanya "penciptaan". Menurut teori itu Tuhan menggerakkan alam satu kali gerak saja, karena itu Aristoteles menyebut Tuhan dengan "Penggerak yang tidak bergerak".
Teori Plato berbicara tentang "pelimpahan" faidh, yakni alam itu keluar dari Tuhan sebagai keharusan, ibarat cahaya keluar dari matahari atau air dari mata air. Jadi, Tuhan tidak mempunyai kelebihan yang berupa kesanggupan mencipta.
Teori Islam memisahkan Allah dari alam. Islam mengajarkan pengertian dasar bahwa alam diciptakan dari ketiadaan. Pada mulanya alam tidak ada, kemudian menjadi ada atas kehendak dan perintah Allah. Ini ditegaskan dalam firman-Nya: "Bila Allah menghendaki sesuatu, Dia hanya berfirman kepadanya 'jadilah', maka terjadilah". Oleh karena itu semua para ahli ilmu Kalam berpendapat bulat, bahwa Allah adalah Al-Khaliq atau Maha Pencipta.
Mengenai masalah tersebut sikap Al-Kindi berbeda dengan sikap Al-Farabi; Sikap Al Farabi berbeda dengan sikap Ibn Sina; Sedangkan sikap Ibn Rusyd berbeda dengan semua filosof sebelumnya.
Teori Al-Kindi mengenai Tuhan dapat diringkas sebagai berikut: Allah ialah Al-Wahidul-Haqq (Satu Yang Hakiki). Istilah "satu" biasa kita sebut untuk menamakan apa saja. Baik "satu" dalam kaitannya dengan matematika, dalam kaitannya dengan ilmu alam, atau dengan segala hal yang ada di alam wujud ini, hanya "'satu" dalam arti mojaziy (bukan hakiki). Sedangkan "Satu Yang Hakiki" (Al-Wahidul-Haqq) ialah "satu menurut substansinya yang tidak akan menjadi banyak disebabkan oleh apa pun juga, tidak akan terbagi-bagi dalam bentuk apa pun juga, tidak disebabkan oleh substansinya sendiri maupun oleh hal-ihwal di luar substansinya; tidak bertempat dan tidak berwaktu, tidak membawa dan tidak dibawa, bukan suatu keseluruhan (Kull) dan bukan suatu bagian (Juz').
Hubungan antara Allah dan alam adalah hubungan ibda', hampir sema'na dengan KhalÄ… (penciptaan), hanya ibda' menunjukkan arti lebih luas daripada KhalÄ…. Ibda' berarti menciptakan sesuatu dari ketiadaan (adam) di samping menunjukkan arti "pengurusan" dan "pengaturan" sesuatu yang diciptakan. Al-Kindi mengatakan pada akhir suratnya (kepada Al-Mu'tashim Billah) sebagai berikut: "Dengan demikian maka Al-Wahidul-Haqq ialah "Yang Pertama","Yang Mencipta sesuatu dari ketiadaan dan "Yang Menguasai" segala yang telah diciptakan-Nya. Sesuatu yang lepas dari kekuasaan-Nya adalah durhaka dan pasti binasa".
Demikianlah kita lihat Al-Kindi bersandar pada teori Islam mengenai keesaan Tuhan, mengenai penciptaan dari ketiadaan (ibda'). Kemudian dengan mengutip apa yang dikatakan oleh para filosof mengenai sifat-sifat Tuhan, ia menegaskan: Tuhan bukan jenis, bukan macam, bukan yang membawa, bukan yang dibawa, dan bukan pula sifat-sifat lainnya yang serba negatif.
Akan halnya pendapat Al-Farabi, kita telah mengetahui ia adalah filosof pertama yang mempertemukan filsafat Aristoteles dengan filsafat Neo-Platonisme, mempertemukan filsafat "eksistensi"-nya Aristoteles dengan filsafat "Yang Satu"-nya Al-Kindi. Menurut pandangan Al-Farabi, Allah adalah Al-Maujudul-Awwal (Eksist Pertama). Yang dimaksud Al-Awwal (Pertama) ialah "Sumber Pertama" bagi seluruh alam wujud dan "Sebab Pertama" bagi eksistensinya. Dalam pendahuluan bukunya Al-Farabi mengemukakan pendapat penduduk Al-Madinatul-Fadhilah sebagai berikut: Al-Maujudul-Awwal ialah "Sebab Pertama bagi eksistensinya seluruh alam wujud". 
Dalam buku Tahshilus-Sa'adah Al-Farabi mengatakan: "Mengenai ilmu metafisika kita harus menempuh jalan mengamati apa yang terdapat di alam wujud ini untuk mencari "Sebab Utama"-nya, bagaimana alam wujud ini ada, untuk apa dia diadakan dan kekuatan apakah yang mengadakannya. Demikianlah seterusnya hingga orang yang melakukan pengamatan itu sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa Al-Maujudul-Awwal tidak mungkin mempunyai sumber asal-Nya, tetapi bahkan Dia adalah "Sumber Pertama" bagi eksistensinya seluruh alam wujud".
Baca juga: Sejarah Lahirnya Buku-buku Filsafat
Al-Farabi kemudian menegaskan sifat Allah, bahwa Dia Maha Suci dari segala bentuk kekurangan, kekal eksistensi-Nya baik esensi maupun substansi-Nya, Dialah yang eksistensi-Nya tidak mungkin disebabkan oleh sesuatu yang mendahului eksistensi-Nya. Dialah yang substansi-Nya berlainan dari segala sesuatu yang bukan Dia, tidak mempunyai sekutu atau lawan apa pun juga.
Perlu di ketengahkan di sini, bahwa sebutan "Substansi" (Al-Jashar) yang dikenakan oleh Al-Farabi pada Zat Allah ternyata tidak memuaskan Ibn Sina, dan Al-Kindi sendiri tidak pernah menggunakan sebutan itu.
Dalam menyebut sifat sifat Allah, Al-Farabi tidak berhenti pada sfat-sifat nisbi saja, tetapi bahkan menyebut-Nya dengan sifat tsubutiyyah (definitif, positif). Mengenai hal itu ia mengatakan: "Nama-nama yang seharusnya dikenakan pada "Yang Pertama" (Al-Awwal) ialah nama-ama yang kita pergunakan untuk menunjukk an hal-hal yang terdapat di alam wujud, yaitu nama-nama yang kita pandang paling sempurna dan lebih tinggi dari seluruh alam wujud" ). Jadi, Al-Farabi menyebut-Nya dengan sebutan sifat-sifat yang ada pada manusia, tetapi ia memaksudkan pengertiannya yang mutlak dan tertinggi, khususnya hanya bagi Tuhan, seperti: Maha Maujud., Maha Esa, Maha Hidup, Maha Sempurna, Maha Adil, Maha Pemurah...dan seterusnya.
Lain halnya dengan Ibn Sina, ia menempuh jalan lain. Kendatipun ia sampai batas-batas tertentu mengikuti Aristoteles dan Al-Farabi. namun dalam beberapa persoalan ia berfikir mandiri. Ibn Sina adalah seorang filosof "eksistensialis" (sealiran dengan Aristoteles). la mengikuti defenisi Aristoteles mengenai metafisika; metafisika adalah ilmu tentang segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya." "Yang Pertama Ada" (Al-Maujudul-Awwal, Eksistensi Pertama), "Yang Pasti Ada" (Al-Wajibul Wujud), ialah Alah. Dalam teori filsafat ketuhanannya, Ibn Sina menyebut Alah cukup dengan Al-Wajib, sedangkan Al-Farabi lebih suka menyebut-Nya dengan Al-Awwal. Letak perbedaan antara dua orang filosof itu ialah, bahwa Guru Kedua (Al-Farabi) berpandangan: Allah sebagai "Sumber Pertama" sedangkan Ibn Sina berpandangan: Allah sebagai Wajibul Wujud.
Dengan demikian jelaslah bahwa Allah adalah Maujud (Ada), tetapi bagaimanakah cara kita mendefinisikan atau mengartikan Maujud itu?
Ibn Sina tidak menetapkan difinisi apa pun juga, bahkan ia menyebut arti Maujud sebagai salah satu pengertian "aqli (al-Ma'ani al-badihiyyah). Mengenai soal ketuhanan itu ia mengatakan dalam bukunya Asy-Syifa sebagai berikut: AI-Maujud, "Sesuatu", "Yang Pasti", semua itu pengertiannya yang pertama tergambar di dalam jiwa, tidak perlu disangkut-pautkan dengan sesuatu yang lebih dapat memahami daripada jiwa".
Hal itu merupakan objektifitas yang amat sederhana, karena kepastian tentang Wujudul-Maujud (adanya "Yang Ada") merupakan problema yang harus dipecahkan oleh filsafat. Pernyataan bahwa Wujud-Maujud sebagai gambaran akal dan tidak membutuhkan keterangan atau dalil untuk memastikan kebenarannya, berarti menghapuskan pandangan filsafat.
Bagaimanapun juga kita perlu mengetahui ma sosatu yang tidak bisa tidak "pasti ada (Aiwajib-Al-wujud).
lbn Sina membagi "suatu yang maujud" yang ada menurut pembagian secara semantik, yaitu: Wajib mumkin (mungkin atau ja'iz) dan mumtani' (mustahil atau muhal), Difinisi tiga macam penggolongan tersebut amat sukar ditetapkan dengan tepat, karena barang siapa yang ndak menetapkan definisi wajitb ia harus bertolak darí batas-batas pengertian mukmin atau mustahil. Ibn Sina mengatakan sebagai berikut: Al-Wajib (yang pasti) bukanlah sesuat yang "tidak ada" (ma'dum), dan bukan pula sesuatu yang dapat diperkirakan "tidak ada", atau sesuatu yang jika diperkirakan kebalikannya lalu mejadi "mustahil". Barangsiapa yang hendak menetapkan definisi mumkin ia harus bertolak dari batas pengertian Al-Wajib atau Mustahil. Dengan demikian maka pengertian AI-Wajib termasuk pengertian elementer yang bersifat aksioma.
Baca juga: Sejarah Pemikiran - Bercorak Islam atau Bercorak Arab
Menurut Ibn Sina, definisi Al-Wajibul-Wujud ialah: "Sesuatu yang ada" (maujud) yang jika ditetapkan "tidak ada" menimbulkan muhal (mustahil). Sedangkan Al-Mumkinul Wujud (yang adanya bersifat ja 'iz, yakni bisa ada dan bisa tidak) ialah sesuatu yang jika ditetapkan "tidak ada" atau ditetapkan "ada" tidak menimbulkan muhal (mustahil).
Sesuatu yang "pasti ada" (Al-Wajitbul-Wujud) kepastian adanya bisa disebabkan oleh zat (substansi)-nya sendiri, dan bisa pula disebabkan oleh adanya yang lain. Yang "pasti ada disebabkan oleh zatnya sendiri itulah yang jika diperkirakan "tidak ada ia terkena hukum muhal (mustahil). Tegasnya ialah bahwa yang "pasti ada" karena zatnya sendiri ia mustahil "tidak ada", Sesuatu yang "pasti ada"-nya disebabkan oleh yang lain, dapat menjadi "ada" jika ia memenuhi syarat-syarat tertentu yang diperlukan. Misalnya: Kebakaran terjadi pada saat kayu bertemu api. Kebakaran itu menjadi "ada" karena adanya yang lain, yaitu dengan adanya api yang mengandung kekuatan membakar Dengan penjelasan tersebut maka terdapat tiga penggolongan Al-Wujud, yaitu:
Waitul Wujud Bidzatihi (sesuatu yang kepastian adanya disebabkan oleh dzatnya sendiri),. 
Wajibul Wutjud Bighairihi (sesuatu yang kepastian adanya disebabkan oleh yang lain), dan 
Mumkinul-Wujud (sesuatu yang bisa ada dan bisa tidak ada, atau mungkin ada dan ngkin tidak ada).
Adapun masalah maumkinat, yakni hal-ihwal yang bersifat mungkin, ialah segala sesuatu yang ada di alam hissi (alam materi yang dapat dijangkau dengan daya-indra); yaitu segala sesuatu yang bagi "ada"-nya dibutuhkan empat macam sebab: (1) Sebab materi (material cause), (2) Sebab bentuk (formal cause), (3) Sebab kekuatan (eficient cause), dan (4) Sebab tujuan (final cause). Jadi segala sesuatu yang" "ada"-nya bersifat mungkin, ia membutuhkan sebab lain yang ada di alam wujud.
Akan tetapi kita tidak mungkin dapat memaparkan rangkaian sebab-musabab secara bersambung tanpa titik penghabisan (la nihayah). Tidak bisa lain kita mesti berhenti pada sebab pertama yang tidak bersebab, yaitu Al Wajibu Wujud yang "ada'"nya disebabkan oleh zatnya sendiri.
Dalil tentang rangkaian sebab-musabab (illah) seperti tersebut di atas berasal dari Aristoteles, yaitu rangkaian setbab-musabab yang berakhir pada sebab segala sebab, yang tidak disebabkan oleh sesuatu. yang lain. Sebab segala sebab itu ialah Sebab Yang Mutlak, Sebab Yang Sempurna; yaitu Sebab bagi segala sesuatu yang ada, dan yang ada-Nya tidak disebabkan oleh yang lain. Di antara nama-nama Sebab Pertama itu ialah Al-Mabda'ul-Awwal (Sumber Pertama) sebagaimana disebutkan oleh Al-Farabi. Mengenai hal itu ia tidak mengemukakan hujjah (argumentasi) baru, karena semua hujahnya berasal dari Aristoteles.
lbn Sina menetapkan sifat-sifat positif bagi AL-Wajibul-Wujud, antara lain yang paling pokok ialah sifat Wahid (Esa). Kemudian ia melanjutkan dengan menyebut sifat-sifat negatif yang tidak mungkin bagi zat Al-Wajibul-Wujud. Dikatakannya Al-Wajibul-Wuud tidak ber-mahiyah dan tidak berkaifiyyah (tidak dapat diperkirakan apa dan bagaimana-Nya), tidak berkammiyyah (tidak berbilang), tidak bertempat, tidak berwaktu, tidak berteman, tidak bersekutu, dan tidak berlawan.
Al-Wajibul-Wujud adalah Aql Mahdh (Akal Semata-mata) karena Zat-Nya tidak berkaitan dengan materi dalam bentuk apa pun juga. Dia pun Ma'qul Mahdh (Sesuatu yang diterima akal semata-mata). Zat-Nya adalah Aql, Ma'qul dan Aqil (berakal). Dia mengerti (ya'qilu) segala sesuatu yang khusus dapat luput dari pengetahuan-Nya. Tak ada suatu apa pun walau sekecil atom, di langit maupun di bumi, yang luput dari pengetahuan-Nya. Itu semua merupakan ke'ajaiban yang penggambarannya membutuhkan kecermatan dan kecerdasan berfikir").
Al-Wajibul-Wujud adalah Taammul- Wujud (eksistensi-Nya sempurna) bahkan Fauqat-Taman (iauh di atas sempurna, Maha Sempurma). la adalah Khair Mahdh (Kebaikan semata-mata) karena 'ada'-Nya bersifat kebaikan semata-mata. la pun Al-Haqq (Kebenaran) karena keyakinan akan "ada"-Nya adalah benar. Tidak ada kebenaran selain Dia yang berhak diyakini "ada"-nya dengan sungguh dan benar.
Baca juga: Pengantar Epistemologi Islam
Dalam bukunya berjudul Al-syarat kita lihat Ibn Sina juga menempuh jalan hipotesa (thariq hadasi ) sebagai cara untuk mengetahui rahasia gaib sesuai dengan filsafat isyaraqtyyah-nya yang bersifat kebatinan. Jadi, ia menempuh jalan yang berlainan sekali dengan cara pembuktian sebagaimana yang disebutkan dalam bukunya Al-llahiyyat dan An-Najat. ThariÄ… hadast ialah berfikir merenungkan Al-iud tanpa memperhatikan keadaan segala nakhluk ciptaan Tuhan. Ibn Sina berkata sebagai berikut: Perhatikanlah bagaimana penjelasan kami yang memastikan adanya Al-Awwal dan Wahdaniyyah-Nya (Yang Pertama dan ke-E an-Nya), tidak membutuhkan pemikiran apa pun juga selain Al-Wujud itu sendiri; dan penjelasan kami itu pun tidak membutuhkan pemikiran tentang ciptaan-Nya, sekalipun ciptaan-Nya itu merupakan petunjuk yang membuktikan adanya Dia.
Adalah wajar kalau Ibn Rusyd menempuh metoda lain dalam menetapkan pembuktian tentang adanya Tuhan, karena ia sangat setia dan jujur terhadap ajaran Aristoteles (A-Masysya 'byyak, dan tidak anehlah kalau ia menjadi salah seorang juru tafsirnya yang paling terkemuka. Walaupun begitu ia juga menampilkan pendapat pribadinya yang berlainan dari para juru tafsir Aristoteles yang terdahulu, seperti Alexandre d'Aphrodise dan Thamestius yang keduanya juga menempuh jalan filsafat Aristoteles.
Ibn Rusyd mengambil jalan lain. la mengikuti jalan agama.
Jalan filsafat yang ditempuh Ibn Rusyd dapat disingkat sebagai berikut: Tuhan adalah Penggerak yang tidak bergerak. Dia adalah Maha Penggerak yang tak ada penggerak selain Dia. Pada dasarnya pendapat Ibn Rusyd sejalan dengan syari'at, yaitu bahwa Tuhan adalah Pencipta. Dapat dikatakan demikian karena jalan pertama yang ditempuhnya: ia memandang segala sesuatu yang ada di alam wujud ini sebagai kenyataan kongkrit (mahsusat), yakni sebagai' "substansi" nyata. Disamping itu ia pun memandang semua yang ada di alam wujud ini sebagai ciptaan Tuhan, dan semua yang diciptakan Tuhan cocok dengan kepentingan manusia. Dua dalil tersebut oleh Ibn Rusyd dinamakan: Dalil Ikhtira' (dalil penciptaan) dan Dalil Inayah (Dalil Pengurusan).
Dalam bukunya Talkhish Ma Ba'dat- Thabi’ah (Ringkasan Metafisika) lbn Rusyd membahas tiga masalah: A-Maujud, AL-Jauhar dan Al-Wahid (Yang Exist, Substansi dan Yang Satu). Berbeda dengan lbn Sina Ibn Rusyd tidak memandang Maujud sebagai salah satu pengertian aksioma, tetapi Al-Maujud itu dikatakan olehnya dapat dibuktikan atas dasar tiga hal:
(1) Atas dasar masing-masing dari sepuluh Maqulat (Cathephorias, salah satu buku tentang pemikiran filsafat Plato, berisi 10 pembahasan):
(2) Atas dasar kebenaran, bahwa apa yang ada di dalam fikiran sama dengan apa yang ada di luarnya; dan
(3) Atas dasar hakekat sesuatu yang mempunyai hakekat dan zat yang berada di luar nafs (soul), baik zat yang telah dapat dibayangkan maupun yang belum dapat dibayangkan.
Dari semua pengertian yang ditampilkan di atas, yang paling terkenal ialah dua pengertian tersebut belakangan, yaitu A-Maujud yang dinyatakan sebagai zat, atau yang dinyatakan atas dasar kebenaran sesungguhnya.
Jadi, Tuhan adalah Maujud (Exist), dalam arti zat-Nya berada diluar diri kita, dan berarti pula bahwa Tuhan adalah Hakekat Nyata. Apa yang kita fikirkan tentang Dia adalah cocok dengan Hlakekat Nyata itu.
Kita kembali kepada persoalan tentang al-maujud al-mahsus (eksistensi kongkrit) yang merupakan maujud paling banyak dikenal. Al-maujud al-mahsus mempunyai empat sebab pokok bagi eksistensinya, yaitu: Sebab materi (materia-cause), sebab bentuk (formal-cause), sebab kekuatan (efficient-cause), dan sebab tujuan (final-cause); misalnya, pohon ini, buku ini dan lain sebagainya, yang oleh ristoteles dinamakan dengan istilah Substansi Pertama (Al-Jauharul-Awwal). Dari al-maujud al-mahsus (yang mempunyai eksistensi kongkrit) yang bersifat juz'iy (partial), akal fikiran dapat membayangkan pengertian yang bersifat kulliy (universal), seperti pada saat kita mengucapkan "pohon" dan "buku". Kulliyyat (universalities) ialah yang dinamakan Substansi Kedua (Al-Jauharuts-T'sani) oleh Aristoteles.
Eksistensinya al-maujudul-mahsus (eksistensi kongkrit) cukup dengan Zatnya sendiri, tidak disebabkan oleh illah (sebab) yang berada di luar zatnya. Dari diskusi panjang lebar mengenai hal itu Ibn Rusyd menerangkan, bahwa shurah juz 'yyah (partial form) dan maddah juz'iyyah (partial matter), keduanya merupakan sebab bagi eksistensinya substansi sejenisnya. la mengatakan, manusia adalah faktor bagi eksistensi mahluk sejenis yakni manusia yang lain.
Dengan perkataan lain: pohon itu eksistensinya cukup dengan adanya pohon itu sendiri, yakni yang mengadakan pohon itu adalah pohon lain sejenisnya... begitulah seterusnya. Akan tetapi kita tidak dapat terus-menerus merangkaikan "penggerak" atau 'sebab penggerak" tanpa ada akhirnya kita sampai kepada Penggerak Pertama sebagai titik terakhir, yang oleh lbn Rusyd diterang ngkan: zat-Nya tidak bergerak, tidak butuh bergerak, baik karena zat-Nya sendiri maupun karena sesuatu di luar zat-Nya. Kalau demikian maka Pengeerak itu pasti azali (eternal).
Dalil tersebut di atas adalah dalil natural atau metafisik. Namun Ibn Rusyd mengenmukıkan juga dalil lain yang sifat psikologis, karena didasarkan ada prinsip-prinsip yang terdapat di dalam ilmu jiwa memperkuat dalilnya itu dengan dalil agama yang berbunyi: kenalilah dirimu, engkau pasti mengenal Tuhanmu"). la berpendapat, bahwa setiap "bentuk" (shurah, form) mempunyai dua eksistensi: eksistensi kongkrit (wujud mahsus) dan eksistensi dalam ratio (wujud ma'qul), karena terpisahnya "bentuk" dari Hayula yang menggerakkan benda-benda cakrawala dengan "kerinduan".
Karena Hayula atau Al Uqulul-Mufariqa (Akal yang saling terpisah) jumlahnya sebanyak benda-benda cakrawala maka Penggerak Pertama yang menggerakkan alam berdasarkan "kerinduan" kepada-Nya, tidak bisa tidak pasti "Satu". Karena alam itu hanya satu maka ia pun hanya mempunyai satu sumber-asal, tidak mungkin mempunyai sumber-asal lebih dari satu. Sehubungan dengan itu Ibn Rusyd menunjuk kepada ayat suci dalam Qur'an: "Jika di langit dan di bumi terdapat beberapa Tuhan selain Allah, pasti rusaklah dua-duanya (langit dan bumi).
Semua yang disebutkan diatas merupakan garis besar pendapat para filosof dalam memastikan “ada”-Nya Tuhan dan dalam menetapkan sifat-sifat layak bagi zat-Nya. Akan tetapi para filosof pada zaman-zaman berikutnya, termasuk para ulama ilmu Kalam banyak yang berpegang pada teori Ibn Sina, yaitu Tuhan adalah Wajibul-Wujud. Ini dapat diketahui dengan jelas dari Risalah Tauhid, karya Syaikh Muhammad ‘Abduh.

Related Posts: