Sejarah panjang tentang bagaimana manusia saling merebut kekuasan telah membawah warna tersendiri dalam sejarah perpolitikan, perebutan kekuasaan selalu ditandai dengan tawaran formula perubahan kesejateraan atas nama rakyat. Bahkan ketika Adolf Hitler dengan fasismenya mengambil alih kekuasaan di Jerman pada tahun 1933, dunia melihat bagaimana nyanyian tentang teriakan-teriakanya dijalanan mampu menarik perhatian publik warga jerman hingga doktrin identitas buta atas nama kekuasaan.
Ketika demokrasi melahirkan penguasa baru, rakyat berharap akan menampakan wajah baru perubahan. Namun sejarah dan perdaban selalu memiliki cara untuk menunjukan kepada kita bahwa yang selalu berubah hanyalah wajah penguasanya bukan wataknya. Dari Italia, semasa hidup Maciaveli hingga dibawah kekuasaan Fasisme Jerman, dan dari ruang kekuasaan modern hingga layar perpolitikan hari post-modernisme, bayangan tentang kejamnya kekuasaan akan selalu abadi dalam pergulatan yang tidak pernah selesai.
Hitler mampu memadukan daya tarik identitas ras dengan teriakan kesejateraan menjadi senjata yang ampuh sebagai simpati publik untuk merebut kekuasaan. Ia datang dengan misi perubahan, namun berakhir dengan kekuasaan mutlak. Dalam sekejap, demokrasi menjadi mainan sandera-menyandera etnis dan bangsa. Kerap kali hal ini mengingatkan kita bahwa fenomena itu bukanlah sebuah kebetulan melainkan persitiwa bersejarah. Nicolo maciaveli, dalam karya fenomenalnya IL Principe (sang penguasa), telah lama menjelaskan kepada kita semua bahwa kekuasaan memiliki wataknya sendiri, licik dan penuh strategi. Seorang penguasa yang baru naik ditampuh kekuasaan menurut maciaveli harus mampu mengendalikan kekuasaan dengan menghalalkan cara apapun. Tujuan akhirnya hanya satu, menjaga stabilitas dan mempertahankan kekuasaan itu sendiri.
Bagaimana jika Maciaveli hidup di jaman demokrasi hari ini? Apakah dia akan merevisi tulisan panjangnya tentang il principe, ataukah dia akan duduk dan bertobat seraya berkata ampuni kami semua TUHAN.? Ilutrasi tentang Maciaveli berdoa ketika dia hidup di jaman ini sebagai bentuk paradoks betapa kacaunya manusia modern membangun dinamika politiknya.
Penulis ingin mengatakan bahwa watak perebutan kekuasaan seperti yang dimainkan oleh Hitler akan menampakan dirinya hidup di setiap zaman, bahkan di era hari ini. Era dimana semua orang di anggap setara dan semua orang punya hak yang sama.
Lantas apa yang membuat Maciaveli berserah seolah-olah ketika dia hidup di zaman ini ia akan berdoa dan menganggap doa adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari kekacauan yang bahkan lebih kejam dari yang diciptakan fasismenya Hitler ketika perang dunia II.
Mari kita tinggalkan satire tentang doanya Maciaveli dan menyelami pikiranya tentang politik dan watak kekuasaan manusia. Bagi Maciaveli, kekuasaan adalah medan tempur bagi moral manusia. Ia menggoda, memikat, lalu menelanjangi siapa diri kita sebenarnya. Hari ini kita sendiri menyaksikan wujud kekuasaan dari pemimpin kita yang lahir dari demokrasi struktural dengan irah-irah perubahan rakyat. Namun seiring waktu mereka berada pada puncak kekuasaan, mereka berubah menjadi bayangan dari kekuasaan lama yang mereka lawan. Orasi perlawanan merdu tentang kekuasaan yang berada pada tataran genetik, nyanyian tidur tentang kesejateraan dan perubahan sosial hanya menjadi bumbu penyedap dalam upaya merebut kekuasaan.
Mungkinkah kita harus skeptis dan bertanya secara serius? bukanlah siapa yang berkuasa, tapi apakah manusia mampu berkuasa tanpa kehilangan kemanusiaanya. Karena disitulah kata Maciaveli terletak perbedaan antara pemimpin yang besar dan tiran yang abadi. Mungkin Maciaveli benar bahwa politik bukan soal kebenaran moral, melainkan kemampuan bertahan. Akan tetapi tanpa batas moral, politik akan selalu melahirkan penindasan gaya baru, hanya dengan wajah yang berbeda.
Kendati demokrasi menghendaki pergantian kekuasaan, namun yang membedakanya hanya wajah yang berganti, wataknya tetaplah sama.
Sejarah perjalanan politik selalu bergerak dalam pola yang sama pemimpin datang dengan semangat perubahan, berbicara atas kepentingan rakyat dan menggunakan simbol perjuangan rakyat lalu perlahan berubah menjadi serigalah pemangsa bagi serigalah yang lainya. Dari suara keadilan yang menggebuh-gebuh berubah menjadi seperti instrumen kelompok bagi hasil, layaknya ibu-ibu arisan yang sibuk dengan pengaturan putaran arisan setiap minggunya.
Situasi hari ini tidak berbeda dengan Hitler, Musolini dan Kaisar Hirahito. Cara perebutan kekuasaanya legal secara hukum dan diakui oleh rakyatnya, justru dengan demikian demokrasi sering kali melahirkan tirani yang halus, bukan dengan pedang maupun senjata, melainkan dengan birokrasi, citra, dan narasi populis. Disinilah menurut Maciaveli, letak kejeniusan sekaligus brutalnya politik. Kendati demikian, gambaran tersebut merupakan cermin, ia menunjukan karakter sejati manusia. Orang yang tampak suci dan idealis diluar kekuasaan seringkali berubah ketika terlibat didalamnya. Bukan karena kekuasaan membuatnya menjadi jahat, akan tetapi kekuasaan memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya. Perihal ini Maciaveli ingin menandai bahwa politik tanpa kesadaran moral akan selalu melahirkan penguasa yang sama dan hanya dengan nama yang berbeda. Hitler adalah contoh ekstrem dari logika kekuasaan tanpa nurani. Tapi bentuk-bentuk kecilnya hadir dikehidupan kita setiap hari tanpa kita sadari. Sebut saja penyalahgunaan jabatan, sandera menyadera penegakan hukum korupsi atau politik transaksional.
Maciaveli tidak perlu hidup di abad ke 21 untuk memahami semuanya. Ia sudah lama menulis bahwa politik tanpa kesadaran moral akan selalu melahirkan penindas baru (diktator). bukan karena sistemnya demikian yang menghendaki tapi karena watak manusia dibaliknya.
A. R. Tuarita