History Held Hostage

manawaLOG | Banyak orang enggan untuk berbicara ataupun sekedar mengenang. Ingatan rakat mungkin akan 'tersandera' dalam trauma panjang. 


Sekian tahun bahkan di abad-abad yang lalu, ketakutan justru berubah menjadi lahan subur hadirnya kultur kebisuan dari beragam rekontruksi sosial-politik sebagai dasar bangunan struktur sosial. Hal tersebut bahkan menular dan menurun pada sekian lintasan generasi. Banyak dari sekian memilih 'diam' untuk tidak lagi beresiko menyentuh dan mengorek-orek ingatan masa lalu.

Dari sekian waktu itu, kultur kebisuan begitu kokohnya bertahan. Bayang kecemasan atas keberulangan sejarah berhasil menutup nalar keberanian untuk melihat sejarah lebih jujur dan objektif. 

Di tengah kebisuan dan hasil rekayasa sosial dengan paradigma pasif, kuasa negara mendapat lahan basahnya, melenggangkan stigma menjadi tafsir utama yang harus diamini oleh sosio-kultur dengan keinginan menguasai oleh para predator sistem. Luka batin yang menggores berubah menjadi trauma gelap atas stigmatisasi teror luka sejarah yang menakutkan sehingga wajah kekerasan dan ketidakadilan telah dilegalkan dalam tradisi sosial, budaya bahkan politik. 

Demikianlah, tahun demi tahun, pada fenomena-fenomena polemik kekuasaan yang silih berganti, struktur ingatan kolektif berubah menjadi ketakutan refresif atas ingatan masa lalu hingga bermetamorfosis menjadi wajah kepatuhan.

Dalam konstruksi sosial, kekuasaan berhasil memanipulasi cara bagaimana manusia memandang sistem sebagai sesuatu yang pasif, dogmatisme tetap terbentuk membungkus cara pandang manusia melalui hal-hal yang dianggap memiliki ruang mistisisme sehingga kehidupan dianggap sebagai takdir yang final.

Pada aspek sistem sosial, kekuasaan mampu membentuk sikap kepatuhan tak terbantahkan melalui mekanisme formulasi kelas sosial yang menandakan lahirnya feodalisme dalam praktek struktural. Pada aspek yang lebih umum, stigmatisasi rakyat justru dipupuk dalam nilai kepatuhan buta dengan tidak dibenarkan cara berpikir kritis sebagai pengembangan dan pendalaman sejarah, rakyat dikonstruk untuk mengikuti apa yang dikehendaki oleh penguasa secara patuh dan dianggap benar.

Kelupaan yang panjang membuat manusia berhak memilih apa yang dikehendakinya secara berkelompok untuk membentuk satu tatanan sosial baru dari hasil kontruksi. Cara produksi sistem ini menandai adanya pembaharuan hidup yang berkembang sesuai zaman. Namun apakah yang dipilih dari hasil kontruksi itu mampu menjamin kesadaran sosial dan atau mengarahkan sistem sosial itu ke arah yang mudah dikendalikan oleh sistem?. 

Perlu secara seksama dipahami, akar kebudayaan sosial mengalami fase begitu panjang yang tidak terlepas dari wacana feodalisme. Secara kebudayaan, bahkan peradaban manusia secara mengalami hal yang serupa. Hal ini penting dipahami sebagai skema pembangunan tatanan dengan misi pembaharuan. Alih-alih mengilhami sistem tersebut justru menjadikan doktrin kebudayaan tanpa berlandaskan cara pandang sejarah melalui hukum-hukum berpikir yang futuristik. 

Bagaimana cara memilih bangkit dengan kedasaran berdaulat atau tenggelam dalam keterpurukan dogmatisasi melalui rekayasa konstruk sosial dan ambisi kekuasaan yang pada bagian ini merupakan soal yang harus tuntas untuk dijawab secara pantas. 

Related Posts: