Pertengahan tahun 2025, bumi timur Indonesia digemparkan lagi dengan isu industrialisasi pertambangan. Alih-alih mendapat dukungan rakyat, justru rakyat menyikapinya dengan serius sehingga bertaburan hastag pro-kontra di media sosial dengan tagar penolakan secara kritis. Hal ini memicu kontra persepsi dikalangan masyarakat adat tentang perlindungan dan kelangsungan hak atas tanah secara berdaulat baik secara hukum adat maupun kebijakan negara.
Pertambangan rakyat merupakan aktivitas penambangan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan alat sederhana di wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai pertambangan rakyat (WPR). Kebutuhan ini lahir dari kebutuhan ekonomi masyarakat, terutama di daerah yang kaya sumber daya alam namun minim akses lapangan kerja formal. Meskipun legal dalam batas tertentu, praktik tambang rakyat kerap kali menimbulkan permasalahan dari sisi hukum, sosial, dan lingkungan.
Dalam ruang penegakan hukum, tambang rakyat diatur dalam undang-undang No.30 Tahun 2020 Tentang pertambangan minerale dan batu bara. Dalam regulasi tersebut, dijelaskan bahwa kegiatan tambang rakyat hanya dapat dilakukan oleh perorangan atau kelompok masyarakat lokal, bukan oleh badan hukum seperti PT (perseroan Terbatas), selain itu, para pelaku tambang rakyat wajib memiliki izin usaha pertambangan rakyat (IUPR) yang diberikan oleh pemerintah daerah.
Dari sisi sosial, tambang rakyat memberikan kontribusi nyata terhadap penyerapan tenaga kerja, terutama di wilayah pedesaan dan desa-desa dengan tingkat kemiskinan ekstrem dan sumber daya manusia (SDM) yang terbatas. Aktivitas ini dianggap menjadi alternatif ekonomi bagi masyarakat yang memiliki lahan pertanian namun tidak memiliki akses pasar yang memadai, sehingga masyarakat diperhadapkan dengan pilihan satu-satunya yaitu memilih masuknya ijin operasi tambang atau mati dalam keadaan miskin. Akan tetapi tambang rakyat memiliki tantangan dan prolematik, lemahnya pengawasan menyebabkan tambang rakyat rawan kecelakaan kerja, konflik antar penambang, hingga konflik lahan antar warga dan kerusakan lingkungan dengan skala yang besar dan berkepanjangan.
Secara ekonomi, tambang rakyat seolah-olah memberikan kontribusi terhadap pendapatan keluarga dan perputaran ekonomi lokal namun bahaya laten dari pendapatan yang tinggi berdampak pada inflasi (kenaikan harga barang dan jasa) yang menyebar sampai skala kabupaten kota. Tak lebih daripada itu, meningkatnya tingkat kriminalitas dan muncul fenomena pelacuran di daerah pertambangan sering disebut sebagai bagian dari ekonomi bayangan (shadow ekonomy) contoh lebih spesifik dikenal dengan istilah: pelacuran di kawasan tambang atau secara akademik sering disebut “ seks komersial terkait migrasi tambang”. Hal tersebut merupakan siklus bahaya laten yang sering terjadi di wilayah pertambangan.
Patut diingat bahwa tambang rakyat umumnya dilakukan secara tradisional, kontribusinya terhadap pendapatan daerah dan negara relatif kecil apabila dilaksanakan sebagaimana perintah dari Undang-Undang. Sehingga dengan situasi yang demikian tidak menguntungkan korporat dan negara, hal ini dimanfaatkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan korporat untuk bagaimana menggunakan mekanisme dan polah mematikan seolah-olah tampil dengan wajah malaikat namun berwatak iblis untuk meraup keuntungan. Mekanisme dan polah yang dimakud adalah:
- PT. bersembunyi dibalik koperasi atau kelompok masyarakat untuk mengelolah tambang rakyat;
- PT. membeli hasil tambang rakyat secara langsung tanpa izin resmi sering disebut sebagai “penampung liar”;
- PT menggunakan masyarakat sebagai “kedok” untuk masuk ke wilayah pertambangan rakyat (WPR);
- Masyarakat disuruh kerja di tambang yang sebenarnya dikuasai atau dibiayai oleh PT.
Modus operandi yang telah penulis jelaskan tidak terjadi dengan sendirinya melainkan atas legitimasi yang diberikan oleh Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dan khususnya pemerintahan desa itu sendiri sebagai ujung dari pemberian izin dan akses eksplorasi sampai produksi. Jika hal demikian terjadi masyarakat lokal jangan pernah berharap tambang rakyat yang menggunakan metode demikian sebagai solusi dari pemberantasan kemiskinan. Sebaliknya, justru yang terjadi adalah timbulnya persoalan lain yakni, semakin menipis ruang bercocok tanam bagi masyarakat lokal disertai dengan aset pertanian dan perkebunan masyarakat berupa komuditas tanaman lokal yang telah lama dipelihara dengan keringat dan air mata akan mati dengan sekejap diakibatkan oleh kehadiran operasi wilayah tambang rakyat namun tidak sesuai dengan prosedur tambang rakyat sebagaimana mestinya yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karenanya secara tegas korporasi tidak diperbolehkan untuk masuk dalam lingkar wilayah tambang rakyat.
Tambang rakyat berada dalam posisi dilematis antara solusi ekonomi alternatif atau kepentingan korparasi. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah seharusnya melindungi wilayah pertambangan rakyat (Pasal 22 UU Minerba) mengawasi dan menindak pelanggaran izin serta tidak boleh mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) untuk 'PT' di wilayah pertambangan rakyat, pemerintah daerah dalam hal ini sering bermain dua kaki membiarkan 'PT' masuk tapi juga membiarkan tambang rakyat tetap beroperasi. Selain itu, perlu adanya pendampingan teknologi, peningkatan kesadaran hukum, dan pelibatan masyarakat dalam pengawasan lingkungan. Dengan demikian, tambang rakyat dapat menjadi bagian dari ekonomi lokal yang legal, aman, dan berkelanjutan.
Tidak bertindak hari ini, sama halnya dengan kita memilih jalan setapak yang terjal dan dengan sengaja membuat kiamat di atas makam para leluhur kita sendiri.
______________________________
Qs. Ar.Rum Ayat 41
ظَهَرَ
ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم
بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
Artinya: telah nampak kerusakan di darat dan dilaut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. (melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).