Sumber daya material dan intelektual yang tersedia sebagai potensi pembebasan pastinya telah berkembang jauh melebihi penguasa yang ada, sehingga yang terjadi hanyalah peningkatan secara sistematis dalam upaya penghambatan dan penghancuran serta bagaimana desain politik memberikan pengaturan yang mampu menjaga sistem elektoral agar tetap berjalan..
Sangat sulit untuk dimengerti, mengapa terjadi krisis pangan dan anjloknya harga komoditi hasil produksi di masyarakat yang memiliki lahan subur.
Sebagai rakyat biasa, yang selama ini diharuskan tangguh dalam melalui krisis-krisis yang menghantam kehidupan sehari-hari, krisis sekarang ini sangatlah keterlaluan dan menjengkelkan. Pemerintah yang sudah jauh-jauh hari melihat kedatangan krisis tersebut, justru tidak memberi jaminan keselamatan bagi rakyat, tetapi meminta rakyat untuk terus semakin tangguh menyelami kehidupan di bawah tekanan krisis.
Rakyat pun sudah harus mempersiapkan fisik, mental dan kantungnya menghadapi Lebaran dengan harga-harga komoditas yang menjulang naik per tahunnya, sebagai dampak langsung dan tidak langsung kenaikan setiap harga barang dipasaran.
Lupakah kita semua, tentang janji-janji kebijakan negara di beberapa periode kepemipinan bangsa ini? Tentang keselamatan, kesejahteraan dan produktifitas rakyat yang dapat diistilakan dalam “paket solusi”?
Alih-alih dipandang mencarikan jalan keluar dari krisis, kebijakan negara justru lebih terlihat sedang memanfaatkan momentum jatuhnya kurs rupiah dan naiknya harga minyak mentah dunia saat ini untuk memperluas ruang gerak investasi global dalam mempercepat pengurasan sumberdaya alam Indonesia.
Skenario-skenario semacam ini akan dikemas dalam “paket solusi”. Terhadap paket kebijakan energi, moneter, fiscal dan ekonomi lainnya, yang semuanya berujung kepada upaya membuka ruang seluas-luasnya bagi pertumbuhan investasi, hal mana ditandai dengan lahirnya undang-undang Ivestasi dan undang-undang perpajakan serta peningkatan produksi minyak dalam negeri.
Tindakan-tindakan yang dicitrakan bersifat solutif sangat jauh dari upaya menjawab masalah mendasar. Sebaliknya, Paket Solusi tersebut akan menjadi pintu percepatan investasi dan eksploitasi sumberdaya alam, pembengkakan utang luar negeri dan privatisasi sektor publik.
Sulit untuk membayangkan bahwa “paket solusi” tersebut akan menyelamatkan rakyat dari krisis, karena rakyat dipaksa untuk hidup sebagai konsumen yang patuh dan tangguh untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dalam 10 tahun terakhir kondisi Masyarakat Adat, petani, buruh tani, nelayan dan perempuan semakin memburuk. Agenda-agenda seperti pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak rakyat melalui pengakuan wilayah adat, penyelesaian konflik agraria dan pemulihan lingkungan mundur jauh ke belakang. Penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU Cipta Kerja dan berbagai kebijakan di sektor agraria-SDA menjadi sinyal terbaru bahwa rezim pemerintahan yang berkuasa selama satu dekade terakhir ini sejatinya tidaklah bekerja untuk melindungi dan memenuhi hak-hak rakyat yang telah dijamin oleh Konstitusi. Negara masih terus menerus mengedepankan skenario hukum dengan latar kekuasaan yang berwatak merampas dan menindas yang tercermin dari skenario pengakuan hukum yang rumit, bertingkat-tingkat, sektoral, memisahkan proses pengakuan hak atas wilayah adat dari pengakuan masyarakat Adat, bahkan mengecualikan wilayah-wilayah adat yang berkonflik dari pengakuan. Dalam catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat sejak 2014-2022 terjadi 301 kasus yang merampas 8,5 juta Ha wilayah adat dan mengkriminalisasi 672 jiwa warga Masyarakat Adat.
Pada tahap akhir masa jabatan kedua Presiden Joko Widodo ini Indonesia memasuki era yang dipenuhi dengan tantangan yang semakin berlapis. Upaya untuk menyelesaikan konflik agraria, memulihkan lingkungan, mengatasi krisis iklim, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, Masyarakat Adat, petani, nelayan, perempuan serta penguatan demokrasi telah mengalami kemunduran, akibat berbagai politik kebijakan yang anti agenda kerakyatan. Seperti, UU Cipta Kerja, revisi UU Mineral dan Batubara, UU Komisi Pemberantasan Korupsi, UU Ibu Kota Negara, UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dll. hal mana justru lebih mengancam keberlangsungan hidup bangsa terus menerus dikeluarkan dengan cepat, sebaliknya, aturan dan kebijakan yang fundamental bagi perlindungan masyarakat dan telah lama didesakkan seperti RUU Masyarakat Adat, RUU Pertanahan yang sesuai dengan semangat Reforma Agraria, RUU Keadilan Iklim, dan Revisi Perpres Reforma Agraria, semua jalan di tempat.
Penyelesaian konflik agraria dengan prinsip pemulihan dan pengakuan hak atas tanah rakyat yang selama ini memperjuangkan keadilan agraria adalah satu dari banyak pekerjaan utama reforma agraria. Alih-alih dapat menyelesaikan konflik dan menjalankan reforma agraria sesuai janji politiknya. Presiden Jokowi dengan berbagai kebijakannya justru telah membawa Indonesia ke dalam krisis agraria yang semakin akut.
Dalam kurun waktu selama 9 tahun terakhir (2015-2023), Konsorsium Pembaharuan Agraris (KPA) mencatat sedikitnya terjadi 2.939 letusan konflik graria seluas 6,3 juta hektar yang berdampak pada 1,7 juta rumah tangga petani, buruh tani nelayan dan masyarakat adat. Sementara dalam kurun waktu yang sama, sebanyak 2.442 orang petani dan pejuang agraria mengalami kriminalisasi, 905 orang mengalami kekerasan, 84 tertembak dan 72 tewas di wilayah konflik agraria. Situasi ini jauh lebih buruk dibanding satu dekade sebelumnya.
Hadirnya ribuan konflik agraria dan kriminalisasi menandakan bahwa pemerintah enggan menyelesaikan konfik secara berkeadilan dalam kerangka reforma agraria. Tanah tidak diprioritaskan untuk rakyat, melainkan kepentingan investasi dan pembangunan yang berpihak pada badan usaha skala besar. Kini semua itu difasilitasi oleh berbagai politik kebijakan Pemerintah.
"Hal ini memberi isyarat bahwa rakyat harus siap siaga melawan badai"
Dengan maraknya kasus industri pertambangan yang masuk menyerang daerah-daerah yang beroperasi dalam wilayah yang berstatus masyarakat adat dan atau masyarakat hukum adat memberikan perhatian khusus terhadap studi baru tentang cara kerja kapitalisme secara marajalela dalam melakukan ekploitasi-eksploitasi dengan pola tak terlihat (invisible) yang mengakibatkan timbulnya kasus-kasus kriminalisasi maupun intimidasi terhadap rakyat serta terjadinya perampasan ruang hidup rakyat. Dengan demikian, sebesar-besarnya harapan dan manfaat yang bisa dipetik oleh rakyat kebanyakan adalah menjadi karyawan dan tenaga buruh, serta mengharapkan tetesan dana-dana kompensasi yang karitatif dan membunuh produktifitas dan kreatifitasnya.
Bagaimana hal itu terjadi? Jawabannya adalah percepatan investasi, langkah lama diambil pemerintah dengan mengundang sebesar-besarnya investasi asing agar mampu “menginfus” pertumbuhan ekonomi melalui produk kebijakan yang pro-modal. Sementara sederetan produk kebijakan yang telah dan akan lahir untuk tujuan tersebut mulai dari UU No.19 tahun 2004 tentang Kehutanan, Kepres No.36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Rancangan Perpres untuk Penggunaan Hutan, RUU Minerba dan RUU Energi seakan-akan menabrak hak-hak konstitusional atas kedaulatan masyarakat adat dan masyarakat hukum adat itu sendiri.
Perlu diketahui bahwa apapun paket kebijakan yang dikemas oleh negara untuk memberikan kepastian bagi pelepasan 1 juta hektar hutan lindung bagi Pertambangan Terbuka, alih fungsi tanah-tanah milik, Hutan Produksi dan Hutan Lindung menjadi Lapunhan Pembangunan Infrastruktur, Pertambangan Skala Besar dan Peningkatan Produksi Migas untuk kebutuhan Ekspor akan semakin meningkat. Sementara pengalaman lebih dari tiga dasawarsa menunjukkan bahwa pertambangan yang beroperasi dengan skala besar lebih banyak mudharat (kerusakan/bahaya) dibandingkan manfaatnya, mulai dari pengrusakan lingkungan hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) rakyat setempat.
Dengan fakta-fakta diatas, sudah semestinya rakyat bersiaga terhadap kondisi paling buruk akibat salah urus sumber energi yang selama ini menopang pembiayaan negara dan sengaja dilanggengkan oleh setiap rejim penguasa.
Rakyat pun harus semakin tahu diri, bahwa pemerintah, sebagai pengurus negara, sama sekali tidak memiliki agenda menjamin keselamatan, kesejahteraan dan produtkfitasnya, seperti yang digaungkan selama kampanye pemilihan presiden tahun lalu, Rakyat dalam hal masyarakat adat dan ataupun masyarakat hukum adat secara totalitas harus mempersiapkan diri menghadapi menurunnya kualitas hidupnya, mengelus dada karena jumlah balita busung lapar akan semakin meningkat, dan tumpukan utang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari akan semakin menggunung dan kualitas hasil produksi pangan secara tradisional akan mengalami deplasi. Rakyatpun akan turut menyaksikan perilaku-perilaku korup di kantor-kantor pemerintah dan kebijakan no-pro rakyat akan semakin menjadi-jadi.
Don't forget to think and discuss...