Demokrasi kekinian adalah demokrasi yang mampu meningkatkan partisipasi politik masyarakat, sehingga mampu menjadi jawaban terhadap setiap masalah-masalah kebangsaan hari ini. Seperti halnya pemilihan umum baik pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan Presiden, seharusnya menjadi momen penting untuk menjalankan setiap sendi-sendi demokrasi, karena demokrasi bagi bangsa Indonesia merupakan tatanan kenegaraan yang paling sesuai dengan martabat manusia yang menghormati dan menjamin pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM).
Namun disisi yang lain, ketika praktek demokrasi sudah dilaksanakan acap kali dijumpai kekecewaan-kekecewaan sebagian masyarakat yang tidak puas terhadap pelaksanaan pemilihan baik itu pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan Presiden tersebut. Contoh yang paling faktual adalah kekisruhan tentang banyaknya warga negara yang hilang akan hak memilihnya karena tidak terdaftar didalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) maupun desintergasi sosial ditengah-tengah masyarakat karena banyaknya calon peserta pemilu yang lahir dari satu daerah yang sama dengan sikap kompetitor dari beberapa rekomendasi partai yang berbeda. Hal tersebut justru marak terjadi di wilayah daerah pemilihan (dapil) khususnya di tingkat masyarakat desa. Akibatnya, memungkinkan kelompok-kelompok masyarakat tertentu saling berbeda pendapat dan saling serang-menyerang antara satu dengan lainnya.
Dalam konstelasi demikian, kemudian dikonklusikan kekecewaan masyarakat terhadap pelaksanaan pemilihan secara langsung sebagai sebuah persengketaan yang pastinya akan memerlukan kepastian hukum. Sehingga payung hukum yang menjamin semua persengketaan didalam pelaksanaan pemilihan legislatif, pemilihan kepala daerah ataupun pemilihan Presiden yang dilaksanakan secara lansung bisa diselesaikan dengan sebaik dan seadil mungkin menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi.
***
Mengawali pesta demokrasi 2024, partisipasi politik maupun aktor politis sejatinya harus lebih terbuka sejak dari pikiran. Menjelang agenda politik dalam sistem proporsional terbuka tentunya diperlukan suatu landasan berpikir politik untuk mengamati dan memahami secara objektif watak publik yang tak hanya dijadikan sebagai partisipan semata, melainkan eksistensinya harus memiliki nilai kesadaran politik yang bertujuan untuk saling menyelamatkan generasi. Bukan untuk saling menjatuhkan atau bahkan saling “sindir-menyindir” akibat aksi dan narasi yang dianggap berlawanan.
Mencermati keadaan dan kelemahan publik sebagai partisipan politik hari ini adalah kesalahan menggunakan momentum sebagai slogan untuk saling menghujat, generasi tua menghujat yang muda dan begitupun sebaliknya yang muda. Tradisi politik yang seperti ini harus dihilangkan karena relevansinya sudah tidak sesuai dengan tututan dan perkembangan zaman maupun terhadap kondisi demokrasi yang sehat.
Di zaman ‘Gen Z‘ ini, mestinnya tradisi politik yang harus dikedepankan dan diperjuangkan adalah lebih kepada nilai edukasi pikiran masyarakat, bagaimana partisipasi politik yang aktif memberikan pemahaman yang konstruktif terhadap masyarakat sehingga melahirkan kesadaran baru yang defenitif, bahwa :
“Politik Demokrasi Kita sejatinya adalah Gerakan Kesadaran Manusia menuju penyadaran manusia-manusia yang lain”
Demikian dengan makin maraknya “Politik Transaksional” yang biasa dikenal dengan istilah “money politics” akan hanya menimbulkan suatu kegagalan berdemokrasi kita, sehingga menjadi kesalahan fatal yang tidak bisa terpelihara, berakibat pada rusaknya moral generasi hari ini bahkan generasi yang akan datang.
Pemilu atau momentum politik adalah penentuan arah masa depan bersama pada satu periode kepemimpinan politik. Tugas kita adalah pada masa kepemimpinan itu bagimana menyiapkan dan mendistribusikan generasi. Sehingga pemaknaan pemahaman politik kita bukan pada melahirkan Orang Kaya Baru ‘plutokrasi‘, tapi bagaimana melahirkan Generasi Baru yang teruji secara mental, ide maupun gagasannya.
Politik distribusi ini harus menjadi agenda penting yang mestinya dikampanyekan oleh setiap aktor politik di tingkat lokal, provinsi, kabupaten maupun sampai di pelosok desa, mengingat banyak ketertinggalan dari berbagai aspek yang dihadapi, baik dari sisi pendidikan, kesehatan dan ekonomi. Padahal jika kita mampu mencermati keadaan wilayah kita dari sisi potensi geografis, geokultur, geoekonomi, geostrategis maupun geopolitik dari wilayah yang kita tempati (timur Indonesia khususnya), mestinya memberikan peluang besar untuk mampu keluar dari amanat ketertinggalan itu.
Tak heran, jika hal tersebut dapat terjadi akibat dari kegagalan aktor politik yang sedari momentum politik hadir dengan berbagai strategi kampanye untuk meyakinkan publik dengan skema pembangunan yang tujuannya untuk memperoleh basis perolehan suara pada saat pemilu, namun harapan itu hilang ketika mereka terpilih hingga malah mengabaikan apa yang diharapkan oleh masyarakat. Akibatnya, masyarakat hanya dikambinghitamkan sebagai korban politik.
Bukanlah fenomena yang baru dalam dinamika perpolitikan hari ini. Menghadapi pra-kondisi masa kampanye pemilu 2024, mulai dari terpajang dan tersebarnya pamflet-pamflet di ruas-ruas jalan maupun di media sosial yang dibumbuhi dengan slogan pujian dan dukungan. Hal ini sebenarnya memberikan ruang bebas untuk masyarakat menilai secara aktif dan cerdas terhadap para calon kandidat yang mampu memberikan gagasan idealnya untuk menentukan arah politik lima tahun mendatang dari pengalaman masyarakat tentang dinamika politik masa lalu yang memberikan kesan buruk terhadap bangunan kesejahteraan oleh karena kepentingan-kepentingan tertentu.
Hal yang demikian pastinya berdampak pada praktek demokrasi yang tidak sehat yang cenderung memberikan kesan pragmatis oleh basis tim pemenang di tengah-tengah masyarakat sehingga menjauhkan masyarakat dari hal-hal yang lebih substansial terhadap ‘kesadaran politik‘ maupun bagaimana cara masyarakat berdemokrasi dengan baik. Alih-alih peran generasi secara tidak langsung dipupuk menjadi pelaku perusak demokrasi, sementara keberadaan masyarakat yang berada di wilayah dengan kategori tingkat ekonominya maupun tingkat pendidikannya yang sangat kritis akan sangat rentan terpengaruh terhadap praktek budaya politik semacam ini.
Bahkan dalam hal yang lebih pluralisme pun di wilayah yang masih memelihara sistem fanatik kebudayaan, hal ini akan terjadi pengikisan watak akibat dari otorisasi gen egois yang dimainkan pada dinakima pahaman kultural maupun struktural yang hanya mengatasnamakan simpul-simpul moral semata.
Jalan keluarnya adalah menyiapkan generasi unggul dan mendistribusikan mereka secara kolektif pada ruang-ruang yang lebih strategis.