Gunung Berkaki Perahu (Boat-Footed Mountains). Disini, di batu tua ini — terlihatlah dari belakang mereka, dinyalakan semacam api unggun yang menyala. Di depan api tersebut, bergiatlah gerombolan orang-orang cerdik yang sedang mabuk dengan simbolik dalam riwayat sosio-antropologi yang siap dipentaskan.
Baca juga : Otoritas GEN Egois
Klik tautan untuk membaca lebih lanjut...
Berlanjut dari keadaan itu, — Lalu ada tahanan yang lepas dengan alasan kewarasan karena mengetahui dan mengalami langsung sebagai pelaku atas suatu peristiwa sadis memilih untuk tidak mencari potongan kayu sehingga membuat gumpalan api unggun tersebut lebih membara.
Setibanya di pinggiran nalar dekat dengan asumsi moral, ia melihat lautan yang memantulkan bayangan dari atas gunung bebatuan. Ia pun sadar bahwa dijalan setapak yang sedang ia lalui itu terdapat batu besar yang menghalangi cahayanya matahari. Kini mereka memilih buta dan memaksa untuk melihat kebelakang api unggun tadi secara pilosofis yang telah menjadi debu dan memudar hingga mendayung tuk jauh berlayar dari sakralnya bahasa falsafah.
---
Oleh karena secara kompleksitas, perilaku manusia baik sebagai individu maupun kelompok secara komunal bertitik tolak dari makna-makna simbolik pada objek kejadian di setiap zamannya, entah itu yang sampai saat ini dikultuskan maupun yang di sakralkan dalam pahaman manusia klasik untuk membentuk pola peradaban untuk memahami perubahan kontruksi pikiran yang mulai berevolusi menjadi saintifik. Di ibaratkan pamaham manusia tentang zat padat terhadap batu yang kemudian dapat dicairkan melalui alam pikiran modern saat ini yang penuh dengan kecanggihan teknologi hingga pada akhirnya manusia akan merasa paling benar dan berkuasa menjadi penguasa tunggal di bumi ini.
Dalam konteks antropologi, manusia dianggap sebagai subjek utama kajian. Salah satu disiplin ilmu yang mempelajari manusia secara holistik, mencakup berbagai aspek seperti budaya, bahasa, evolusi, sosial, dan fisik. Sudah barang tentu pandangan antropologi ini memiliki berbagai atribut dan karakteristik yang membedakannya dari makhluk lain di planet ini.
Studi tentang simbol dalam konteks manusia dahulu merupakan bagian penting dari antropologi. Manusia dahulu secara antropologi memahami simbol adalah tanda atau representasi yang memiliki makna kultural yang dalam dan sering kali dianggap sebagai hal yang dekat dengan nilai spritual. Namun, dalam antropologi, studi simbol justru membantu manusia untuk memahami cara berkomunikasi, memberi arti pada dunia sekitar, dan menciptakan identitas budaya. Misalnya tentang ritus dan upacara dari berbagai budaya memungkinkan antropolog untuk memahami simbolisme di balik tindakan dan objek ritual dan atau pemahaman tentang upacara pada suku-suku tertentu membantu mengungkapkan makna mendalam dari transformasi sosial dan spiritual.
Pada bagian lainnya, antropologi mengkaji hal-hal yang bersifat mitologi dan cerita rakyat dengan tujuan membantu mengidentifikasi simbol-simbol budaya yang tertanam dalam narasi kuno sekalipun mitologi seringkali mengungkapkan nilai-nilai, keyakinan, dan pandangan dunia masyarakat tersebut. Hal yang tak terabaikan oleh antropologi yakni kajian tentang linguistik dan bahasa yang juga terkait erat dengan simbolisme sehingga kata-kata dan frasa dari bahasa budaya memiliki makna kultural dan bisa mencerminkan pandangan dunia serta norma-norma sosial dari suatu masyarakat.
Fenomena seperti ini kerap terjadi, sebagian kelompok rasionalisme menganggapnya sebagai kekacauan sosial ialah terhadap rekayasa sosial genetik yang diperbaharui seiring berkembangnya zaman sampai hari ini, pasalnya masih terdapat cara pandang manusia dari aspek kebudayaan yang mempercayai simbol-simbol antropologi manusia dahulu yang diciptakan sebagai bentuk keyakinan spritual hingga kemudian di sandarkan pada pola zaman yang secara pundamental tidak mampu dikembangkan secara filsafat maupun sains. Oleh karena transformasi paradigma sosial yang kaku dan tidak seimbang dengan cara kerja dunia saat ini, akibatnya manusia terperangkap pada pola pikir yang dianggap menyesatkan nilai-nilai spritual tersebut.
Secara keseluruhan, manusia dalam konteks antropologi ini sejatinya merupakan objek penelitian yang lebih kompleks dan multiaspek, bukan malah dianggap sebagai suatu kebenaran absolute atas narasi lisan yang kebal terhadap kritikan yang kontruktif, namun sudah seharusnya menjadi suatu hal yang bukan lagi dapat dikatakan sebagai rahasia (confidential) melaikan harus mampu membuka diri dengan menerima seluruh pandangan dan pikiran yang perlu diselaraskan dengan budaya, bahasa, evolusi, dan interaksi sosial lainnya yang lebih relevan, sehingga menjadi fokus utama kajian dalam pembaharuan karakter serta cara pandang yang lebih rasional-empiris terhadap perkembangan zaman.
Kompilasi dari paradigma sosial yang tidak mengalami transformasi dalam perkembangan sumber daya manusia semacam ini malah akan melahirkan impek yang panjang untuk masa depan pembangunan yang lebih baik. Oleh karena akibat dari kekeliruan memahami hal-hal yang subtantif terhadap fenomena dari akar kultur maupun batang struktur sosial sehingga menyebabkan kekakuan moral pada dimensi politik sebagai cara hidup bermasyarakat. Akibatnya, semangat pembangunan dan cita-cita berkemajuan mendapat banyak hambatan akibat dari pola pikir masyarakat yang terhegomoni oleh keadaan yang serupa dengan itu.
Hal tersebut diatas tentunya memberikan tantangan baru terhadap kontruksi manusia antropologi hari ini untuk menjawab persoalan-persoalan mengenai: Bagaimana manusia antropolgi menghadapi tantangan pluralisme budaya dan agama, serta bagaimana mereka berinteraksi dan berbagi ruang dalam masyarakat yang semakin beragam (Multikulturalisme dan Pluralisme); Bagaimana menyikapi akar penyebab konflik antara kelompok-kelompok dalam masyarakat (social segregation) dalam studi tentang upaya perdamaian dan rekonsiliasi; Bagaimana implikasi budaya dan etika dari perkembangan teknologi baru, seperti komunikasi digital, rekayasa genetika, maupun kecerdasan buatan (artificial intelligence); Bagaimana tinjauan tentang ketidaksetaraan ekonomi, gender, dan akses terhadap sumber daya dalam konteks budaya dan sosial tertentu; Bagaimana perubahan sosial seperti urbanisasi, modernisasi, dan migrasi mempengaruhi identitas individu dan kelompok dalam budaya; Bagaimana aspek antropologi memberikan peluang untuk melakukan penelitian yang lebih mendalam yang etis secara pilosofis maupun akademis dan melibatkan komunitas dalam proses penelitian yang lebih terbuka.
Perihal-perhal diatas tentunya perlu dijawab secara serius agar tidak menjadi bias dalam upaya merekontruksi peradaban dimasa yang akan datang, dan yang paling terpenting menurut penulis ialah pandangan tentang kontruksi berpikir manusia sosio-antropologi yang dapat menjawab tentang perihal "bagaimana eksistensi kedudukan Hak Asasi Manusia (HAM) dapat diakui dan dihormati dalam berbagai budaya serta bagaimana dapat berkontribusi dalam memahami dan mempromosikan hak-hak istimewa ini secara pundamental.