Sebelum saya menulis lebih
jauh tentang “demokrasi dan masa depan daerah dalam tinjauan otonomi daerah”.
Penulis ingin mengatakan tidak ada maksud untuk mengurui siapapun dalam hal ini.
Tulisan ini murni lahir dari kegelisahan atas demokrasi dan masa depan daerah
sebagai putra daerah yang dibesarkan disalah satu desa sederhana di Kabupaten Buru Selatan, desa yang belum memiliki akses jalan darat dan laut pun masih
sering terkendala dengan gelombang laut dan jadwal fery yang tidak menentu.
Bahkan penulis masih teringat betul ungkapan satire yang dikeluarkan, bahwa
kecamatan kami adalah kecataman bokong basah (kecamatan panta babasa) begitulah
orang-orang yang saya kenal memangil saya seperti itu. Penulis anggap hal yang
terjadi tidak terlepas dari sistem pemerintahan yang sedemikian rupa. Terlepas
dari itu tentu sajah tulisan ini lahir dari pikiran akademik penulis yang telah
sampai pada titik akhir semester di fakultas hukum.
Berbicara tentang demokrasi, Demokrasi lahir dari proses yang tidak mudah.
Butuh perjuangan yang berdarah-darah untuk
melahirkan demokrasi, merujuk pada pengertian etimologi tentang demokrasi,
demokrasi memiliki pengertian demos dan kratos, yang berarti pemerintahan dari
rakyat. Demokrasi pada prinsipnya sudah
dipraktikan pada masa yunani kuno. Tidak jauh berbeda dengan konsep dasar
demokrasi hari ini yakni, pemerintahan atas kehendak rakyat. Namun demokrasi
mulai tampil secara eksplisit pasca revolusi prancis, kehendak kekuasaan raja
lois kalah itu membuat kaum borjuis dan proletar menempuh jalur diplomasi
kekerasan dengan dipengalnya kepala raja lois. Aspek historis ini juga yang
kemudian membuat sisitem perwakilan sebagai salah satu bentuk implementasi
demokrasi.
Sebagaimana yang diketahui, parlement dalam bahasa prancis (bicara) “parle”, bicara atas kehendak orang-orang yang dia wakili entah itu golongan bawah maupun menengah, satu hal yang pasti sistem keterwakilan yang hari ini dapat kita nikmati tidak terlepas dari pola pikir orang-orang eropa kalah itu. Namun pada penerapannya hal yang seharusnya menjadi ideal, berubah menjadi relatif membahayakan.
Kenapa penulis menempatkan
redaksi “membahayakan” mungkin bukan lagi menjadi rahasia semua orang tahu
bahwasannya sistem keterwakilan pada aspek perekrutan pencalonan legislatif
partai politik tidak melihat pada aspek sumber daya pengetahuan yang ingin
mencalonkan diri, namun partai politik cenderung mengunakan kacamata lain,
kacamata yang dipakai partai politik adalah kacamata kekuatan uang (the
power of many) dari setiap calon legislatif. Hal demikian sebenarnya partai
politik tidak bisa disalahkan secara
langsung, penulis melihat hal tersebut terjadi karena secara yuridis dan secara
sosiologis partai politik ini tersandera atas biyaya kampanye yang mahal. Sehingga
mau tidak mau partai politik harus melihat aspek materi, apakah hal demikian
terjadi dan tidak ada problem.? Tentu sajah tidak jika logika demokrasi yang
dipakai demikian maka akan berdampak pada tindakan dan kebijakan dari setiap
legislatif yang telah terpilih. secara manusiawi tentu anggota legislatif yang
telah terpilih akan memikirkan modal
besar yang telah dia keluarkan untuk maju sebagai anggota parlement.
Miris bukan.? Bukan saja itu, terdapat efek domino yang lain yang pasti akan
berdampak pada pembangunan daerah.
Jika merujuk pada aspek otonomi daerah ada satu penyesalan dari penulis secara pribadi dalam hal defacto, penyeselan itu kenapa Maluku dalam konteks negara tidak mendapatkan otonomi khusus seperti yang terdapat pada wilayah profinsi lain sebut sajah aceh, papua, dan djogjakarta. Daerah-daerah tersebut mendapatkan otonomi khusus tidak terlepas dari konteks sejarah. Jika aspek sejarah ingat bahwa Maluku berperan penting dalam pembangunan bangsa juga. Bahkan Maluku pernah menempatkan posisinya menjadi titik pusat integral perdagangan kalah itu.
Otonomi
daerah dapat kita pahami sebagai pemerintahan yang dijalankan secara mandiri
oleh pemerintahan daerah. Konsep otonomi daerah penulis melihat terdapat
kelebihan dan kekurangannya masing-masing seperti pisau bermata dua. Agak rancuh jika tidak melihat otonomi daerah
secara kritis karena otonomi daerah cenderung akan melahirkan elit-elit lokal (oligarki)
dan cenderung mengunakan cara apapun untuk mempertahankan kekuasannya, penulis
teringat betul pekataan dari Lord Acton “Kekuasaan yang absolut itu cenderung
akan korup”. Hal yang disampaikan oleh Lord Acton benar terjadi pada beberapa
daerah.
Namun penulis menyadari otonomi daerah juga memiliki dampak positif pada daerah-daerah, dampak positif itu membuat pemerintahan daerah dapat berkreatifitas dengan Angaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Karena secara prinsip pemerintahan daerah lebih kenal dekat masyarakat secara kebudayaan dan kebutuhan ekonomi yang mendasar. Hal ini menjadi ideal apabila dalam prinsip-prinsip asas pemerintahan yang baik benar-benar dijalankan. Asas-asas itu diantaranya; Asas kepastian hukum, asas tertib penyelegaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profersionalitas, dan asas akuntabilitas dengan tujuan utama untuk menghindari kekuasaan yang cacat (detournement de pouvoir).
Secara eksplisit asas-asas ini jika
dijalankan maka pemerintahan daerah dan sistem keterwakilan di daerah bisa
berjalan dengan efektif dan baik. Penulis sadar betul antara teori dan praktik
(dasein dan dasolen) adalah kedua hal yang berbeda. meskipun kedua hal yang
berbeda namun sepatutnya dan sepantasnya teori menjadi pijakan dalam cara
manusia bernegara. Ada satu ungkapan dari hakim agung di amerika dia mengatakan
“meskipun hukum itu buruk, tapi berikan kami hakim yang baik maka akan berubah
hukum itu. Pada konteks ini penulis ingin mengatakan dari lubuk hati yang
paling dalam, sekalipun daerah itu tidak kaya secara sumber daya alam (SDA) dan
sumber daya manusia (SDM) itu tidak ada sama sekali, namun berikan kami
pemerintahan yang baik maka akan sejaterah dan bahagia daerah itu.