Tanah Adat dan Tantangan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Dalam Pembangunan Politik Hukum


Tanah Adat dan Masyarakat Hukum Adat (MHA), dapat dikatakan sebagai suatu wacana pembangunan politik hukum negara yang kurang mendapat tempat, entah dari kalangan akademis maupun pemerhati pembangunan politik hukum hal demikian di pengaruhi oleh banyak faktor yang sifatnya mungkin subjektif untuk di jelaskan.

Tulisan ini berangkat dari hasil kajian dan kegiatan yang di laksanakan oleh kawan-kawan IPPMARY Makassar pada tanggal 23 bulan Oktober 2022 bertepatan dengan hari lahir IPPMARY Makassar, suatu organisasi kedaerahan Maluku yang berdomisili di Makassar.

Tanah yang terdapat pada wilayah Masyarakat Hukum Adat (MHA) tidak bisa kita pahami sebagai benda yang tidak bergerak semata, akan tetapi tanah yang memilki sifat kepemilikan bersama (komunal) memiliki nilai spiritual yang di anggap sebagai suatu hal yang sangat di hargai dalam bentuk peribadatan kebudayaan, hal ini memliki perbedaan mendasar antara negara dan masyarakat hukum adat dalam melihat prinsip utilitis nilai tanah tersebut. Begitupun sebaliknya dengan masyarakat hukum adat yang  berangkat dari terminologi yang jauh berbeda dengan prinsip-prinsip cara pandang negara.

Negara menggunakan nilai-nilai rasional dalam membangun manusia, sedangkan adat menggunakan nilai-nilai batiniah dalam membangun manusia kedua hal yang tentunya sudah bertolak belakang. Kehadiran tatanan adat yang hidup lebih lama sebelum hadirnya negara, memaksa negara harus menyesuaikan diri dengan tatanan adat yang telah mendara daging di masyarakat hukum adat. Hal demikian tertuang dalam spirit UUD 1945 yang mendapatkan legitimasi norma hukum untuk hidup di negara. Namun dalam perspektif politik hukum hal yang sudah dijelaskan tidak cukup sampai disitu. Mengigat bahwa yang tertuang di dalam UUD butuh aturan-aturan di bawahnya atau peraturan pelaksananya yang dapat mengatur masyarakat adat dengan status kepemilikan tanahnya. 

BACA JUGA Pembagian Kekuasaan di Wilayah Desa Adat

Jika di pelajari lebih jauh sebenarnya hal demikian sudah ada dalam beberapa peraturan yang mengatur Masyarakat Hukum Adat (MHA) dengan tanahnya. Akan tetapi, negara tidak bersungguh-sungguh untuk membentuk aturan hukum yang dapat melindungi tatanan tersebut. Bagaimana tidak dalam Undang-Undang kehutanan yang mengusung kembali semangat asas domein verklaring yang bertolak belakang dengan prinsip kepemilikan tanah.

Dalam asas domein verklaring, tanah yang terdapat pada wilayah indonesia adalah tanah milik negara atau milik kerajaan yang di berlakukan pada wilayah jawa dan madura pada zaman hindia belanda. padahal lahirnya peraturan ini sebagai respon negara dalam menyikapi hasil konsensus PBB yang dilaksanakan pada tahun 1999 di washignton yang menghasilkan satu paradigma baru terhadap kepemilikan tanah adat, negara-negara yang mengikuti sidang tersebut meyakini bahwa negara manapun yang mengambil tanah adat dengan regulasi yang jelas di anggap sebagai suatu perbuatan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Kedudukan negara atas penguasaan tanah melalui pasal 33 UUD dan ayat 1 UUPA membolehkan negara dapat menguasai tanah, redaksional normatifnya tidak mengatur tanah dapat dimiliki oleh negara, akan tetapi terdapat paradoks yang menjadi rancu bagaimana tidak terdapat perbedaan tipis antara memiliki dan menguasai yang sulit untuk dibedakan. 

Tanah dapat di bedakan menjadi dua bentuk yang pertama adalah tanah persukutuan dan tanah perorangan, secara pelaksanaan hukum dan regulasi pada tanah perorangan penulis anggap sudah cukup kompleks, hal yang bertolak belakang dengan tanah persukutuan atau tanah adat yang dimiliki oleh kelompok entitas tertentu berdasarkan genealogi. Tulisan ini penulis tidak menitikberatkan pada aspek politik atau diskursus lainnya. 

Tulisan ini murni menggunakan pendekatan politik hukum yang lebih mengerucut pada pembangunan politik di bidang hukum,  misalnya beberapa peraturan-pertauran yang belum mampu melindungi kepemilikan tanah adat. sebut sajah Peraturan Menteri Agraria No.5 tahun 1999, di dalam Peraturan Mahkamah Agung (PMA) ini tidak semua tanah adat di anggap sebagai milik masyarakat adat, terdapat dua hal tanah itu di anggap sebagai tanah adat yang pertama adalah tanah ulayat harus di berdayakan, dan kedua tatanan adat harus di lembagakan secara formal, penulis tidak sepakat dengan kedua syarat yang di ajukan oleh negara, pasalnya sebagaian Masyarakat Hukum Adat (MHA) mengangap tanah memiliki nilai spritual yang tinggi dan yang di baluti dengan mitos-mitos kebudayaan tertentu.

Hal demikian lebih di perparah dengan UU No.41 tahun 1999 tentang kehutanan yang mengatakan bahwa tanah adat adalah tanah milik negara, dengan di keluarkannya UU tersebut beberapa elemen peduli masyarakat hukum adat merespon dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal yang di anggap mencederai semangat UUD 1945 sehinggah di batalkanlah beberapa pasal yang di nilai  kontroversi. 

BACA JUGA Gelombang Agraria dan Badai Kapitalisme

Bahkan Tidak sampai disitu pemerintah tetap mencari celah agar bagaimana bisa terhindar dari putusan MK No.35 tahun 2012 sehingga melalui peraturan pemerintah tahun 2012 tentang perencanaan hutan, mengharuskan dirjen planalogi dapat menetapkan kawasan hutan tanpa persetujuan masyarakat adat, dan masyarakat adat harus memiliki izin untuk menduduki tanah adat yang telah ditetapkan oleh dirjen planalogi, dan di dalam PP ini juga mewajibkan pengukuhan masyarakat hukum adat dan status kepemilikan tanah adat harus melalui PERDA, penulis merasa beberapa wilayah di indonesia yang belum memiliki PERDA adat untuk melindungi masyarakat adat dan tanah adat. Padahal melalui PERDA masyarakat hukum adat memliki eksistensi dan penguasaan penuh atas tanahnya. Namun, legislatif lambat dalam melihat aspek demikian, sehingga sampai zaman semoderen ini beberapa wilayah khusunya indonesia timur belum memliki instrumen PERDA adat yang dapat melindungi masyarakat hukum adat dan tanah adat hal tersebut merupakan tanda bahaya bagi kelangsungan masyarakat hukum adat.

Sedangkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengakui keberadaan masyarakat hukum adat berbanding terbalik dengan peraturan pelaksananya, hal tersebut tertuang dengan jelas dalam PMA/ Kepala BPN No 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian hak ulayat masyarakat hukum adat.

Keberadaan masyarakat ulayat yang masih ada harus di daftarkan dalam peta dasar pendaftran tanah dengan membuktikan tanda kartografi, dalam hal ini, tidak di terbitkannya sertifikat. Penentuan tanah ulayat tidak boleh hanya dengan peta ingatan atau pengakuan dari penguasa adat. Beberapa kendala yang penulis anggap serius adalah contraditur delitate atau persetujuan pemilik tanah yang berbatasan. Sehingga hal demikian terjadi beberapa kendala pada penerapannya, kemudian jika kepemilikan tanah harus melalui sertifikat menurut hemat penulis hal ini sulit untuk di wujudkan karena sertifikat adalah keputusan yang di keluarkan oleh pemerintah yang memiliki sifat individual, sedangkan tanah adat adalah tanah yang di kuasai oleh banyak orang dengan demikian hal tersebut sulit untuk dilaksanakan. Bukan berarti tidak bisa sama sekali namun, daerah harus memiliki formula yang dapat menjawab tantangan perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan tanah adat.  

Related Posts:

The spirit of the younger generation

 


"Sejarah bangsa ini telah banyak memberikan pelajaran bahwa sejatinya perjuangan adalah untuk merebut dan menyelamatkan hak kemerdekaan tiap-tiap manusia melalui pertentangan pikiran dan gagasan-gasan besar, ideologi dunia bahkan sampai pada memperebutkan hak hidup secara kolektif yang bermuara pada kelahiran falsafah kedaulatan hidup berbangsa dan bernegara"

@aliealhakim_

Menyikapi polemik serta desintegrasi iklim sosial, politik, pembangunan dan segala permasalahan-permasalahan dalam dinamika kehidupan baik secara struktural maupun kultural yang menyangkut tentang Hak Asasi Manusia (HAM) sudah sepantasnya perlu disikapi secara serius oleh pemerintah maupun para 'stakeholder' tanpa ada kepentingan individu ataupun kelompok tertentu maupun intimidasi dari pihak manapun.

Oleh karrna habitus disepakati oleh komunitas tertentu dan dimulai dari pendidikan, maka akan semakin banyak masyarakat di dalamnya mengadopsi kesadasaran reflektif yang mampu mengontrol mereka untuk keluar dari simbol dan simpul sosial lama.

Namun disisi lain dimensi pendidikan juga turut mengambil peran dalam menghadapi permasalahan ekonomi yang terus mengalami inflasi seiring dengan bergulirnya jaman tentang taraf hidup maupun tuntutan sosial.

Maka untuk menjaga dan menghidupkan habitus baru tentunya membutuhkan lingkungan budaya yang mampu melindungi pembaruan etis, pikiran dan nilai hingga akan mengubah kebiasaan buruk sebuah komunitas tertentu, sehingga tidak cukup hanya perubahan kerangka penafsiran pikiran semata. Justru loyalitas kita hanya ada pada kemampuan menyerap realitas sebagai hasil konkrit dalam pikiran sadar dan moral manusia. Sadar atau tidaknya, untuk merubah sikap dan paradigma sudah barang tentu merupakan potensi yang harus selalu diasah tanpa adanya batasan apapun..

Artinya wacana baru mestinya memiliki nilai konstruktif ketika kita mampu menumbuhkan praktik-praktik sosial yang baru sebagai wujud dari fakta mental (mentifact) para binatang yang lebih rasional dan bermartabat..

Sejatinya, kesadaran adalah 'a posteriori' dari wujud hukuman atas jiwa

Related Posts: