Ketika para filosof Arab membicarakan soal
Tuhan dan sifat-sifat-Nya, mereka tidak mungkin meninggalkan ajaran prinsip
yang telah ditetapkan oleh agama Islam, yaitu keesaan-Nya yang mutlak.
manawaLog - Sebagaimana
termaktub di dalam As-Shamdaniyyah
(Surah Al-Ikhlas) bahwasanya Allah telah berfirman: “Katakanlah (hai Muhammad):
Dialah Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala
sesuatu. Dia (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakan, dan tidak ada
apa pun yang setara dengan-Nya”. Walaupun di dalam Al-Qur’an terdapat
sifat-sifat Tasybih (menyerupakan)
seperti ayat-ayat yang menyebut istiwa
(bertahta) dan yad (tangan). Namun,
Allah menegaskan dalam Firman-Nya: “Tak ada apa pun yang menyerupai-Nya” (Laisa kamitslihi syaiun) dan Allah
adalah Maha Tinggi (Muta’al); yakni
jauh lebih luhur dan lebih tinggi dari seluruh alam wujud.
Para
filosof Arab mewarisi dua macam teori khusus mengenai Tuhan daripada filosof
Yunani. Yang satu teori Aristoteles, yang menyebut Tuhan sebagai
"Penggerak yang tidak bergerak", yakni Sebab Pertama bagi gerak
seluruh alam wujud. Aristoteles berpendapat Tuhan pasti ada, sebab
metafisikanya adalah "eksistensi". Menurut definisi Aristoteles,
pembahasan mengenai soal maujud (eksist) dari segi eksistensinya dia maujud,
dan dari segala maujud yang tertinggi ialah Yang Maujud Mutlak, yaitu Tuhan.
Jadi menurut pemikiran Aristoteles, Tuhan itu maujud (eksist, ada). Akan tetapi
sifat maujud itu, atau istilah a'la Aristoteles itu bukanlah nama dari
nama-nama agung (Al-Asma'ul-Husna)
yang terdapat di dalam Qur'an. Kita mengetahui banyak sekali para ahli fikir
Islam yang menolak penyebutan nama Tuhan, selain yang termaktub di dalam
Qur'an. Mereka tidak mau menyebut Allah dengan nama yang lazim kita gunakan
untuk menamai segala sesesuatu yang ada di alam wujud, yang kita pisah menjadi
dua unsur, yaitu: Zat (substansi) dan sifat (predikat).
Teori
yang kedua ialah teori Plato dan Neo-Platonisme (teori Plotinus), yaitu teori
yang memandang Allah "Esa", dan dari Yang Esa itu melimpahlah Al-'Aqlul-Awwal (First Mind, Akal
Pertama) kemudian Ar-Nafsul-Kulliyyah
(Universal Soul, Jiwa Keseluruhan) lalu Al-Hayula
(Primordial Matter, Benda Pertama, Natur atau Alam). "Yang Esa"
adalah sebutan nama Allah dan termasuk dalam Al-Asma'ul-Husna. Akan tetapi, "Yang Esa" menurut
pengertian metafisik pada dasar berbeda dengan pengertian metafisik eksistensi
yang dikuman-nya dangkan oleh Aristoteles.
Al-Kindi
sendiri bingung memahami dua macam pemikiran filsafat tersebut di atas. la
tidak sanggup menemukan cara untuk mempertemukan yang satu dengan yang lain. la
lebih cenderung pada pandangan Islam.
Teori
Aristoteles memandang alam ini qadim (tanpa awal). Pandangan tersebut membawa
konsekuensi mengingkari adanya "penciptaan". Menurut teori itu Tuhan
menggerakkan alam satu kali gerak saja, karena itu Aristoteles menyebut Tuhan
dengan "Penggerak yang tidak bergerak".
Teori
Plato berbicara tentang "pelimpahan" faidh, yakni alam itu keluar
dari Tuhan sebagai keharusan, ibarat cahaya keluar dari matahari atau air dari
mata air. Jadi, Tuhan tidak mempunyai kelebihan yang berupa kesanggupan mencipta.
Teori
Islam memisahkan Allah dari alam. Islam mengajarkan pengertian dasar bahwa alam
diciptakan dari ketiadaan. Pada mulanya alam tidak ada, kemudian menjadi ada
atas kehendak dan perintah Allah. Ini ditegaskan dalam firman-Nya: "Bila
Allah menghendaki sesuatu, Dia hanya berfirman kepadanya 'jadilah', maka terjadilah".
Oleh karena itu semua para ahli ilmu Kalam berpendapat bulat, bahwa Allah
adalah Al-Khaliq atau Maha Pencipta.
Mengenai
masalah tersebut sikap Al-Kindi berbeda dengan sikap Al-Farabi; Sikap Al Farabi
berbeda dengan sikap Ibn Sina; Sedangkan sikap Ibn Rusyd berbeda dengan semua
filosof sebelumnya.
Teori
Al-Kindi mengenai Tuhan dapat diringkas sebagai berikut: Allah ialah Al-Wahidul-Haqq (Satu Yang Hakiki).
Istilah "satu" biasa kita sebut untuk menamakan apa saja. Baik
"satu" dalam kaitannya dengan matematika, dalam kaitannya dengan ilmu
alam, atau dengan segala hal yang ada di alam wujud ini, hanya
"'satu" dalam arti mojaziy
(bukan hakiki). Sedangkan "Satu Yang Hakiki" (Al-Wahidul-Haqq) ialah "satu menurut substansinya yang tidak
akan menjadi banyak disebabkan oleh apa pun juga, tidak akan terbagi-bagi dalam
bentuk apa pun juga, tidak disebabkan oleh substansinya sendiri maupun oleh
hal-ihwal di luar substansinya; tidak bertempat dan tidak berwaktu, tidak
membawa dan tidak dibawa, bukan suatu keseluruhan (Kull) dan bukan suatu bagian (Juz').
Hubungan
antara Allah dan alam adalah hubungan ibda', hampir sema'na dengan KhalÄ…
(penciptaan), hanya ibda' menunjukkan arti lebih luas daripada KhalÄ….
Ibda' berarti menciptakan sesuatu dari ketiadaan (adam) di samping menunjukkan
arti "pengurusan" dan "pengaturan" sesuatu yang diciptakan.
Al-Kindi mengatakan pada akhir suratnya (kepada Al-Mu'tashim Billah) sebagai berikut: "Dengan demikian maka Al-Wahidul-Haqq ialah "Yang
Pertama","Yang Mencipta sesuatu dari ketiadaan dan "Yang
Menguasai" segala yang telah diciptakan-Nya. Sesuatu yang lepas dari
kekuasaan-Nya adalah durhaka dan pasti binasa".
Demikianlah
kita lihat Al-Kindi bersandar pada teori Islam mengenai keesaan Tuhan, mengenai
penciptaan dari ketiadaan (ibda').
Kemudian dengan mengutip apa yang dikatakan oleh para filosof mengenai
sifat-sifat Tuhan, ia menegaskan: Tuhan bukan jenis, bukan macam, bukan yang
membawa, bukan yang dibawa, dan bukan pula sifat-sifat lainnya yang serba
negatif.
Akan
halnya pendapat Al-Farabi, kita telah mengetahui ia adalah filosof pertama yang
mempertemukan filsafat Aristoteles dengan filsafat Neo-Platonisme, mempertemukan filsafat "eksistensi"-nya Aristoteles dengan filsafat
"Yang Satu"-nya Al-Kindi. Menurut pandangan Al-Farabi, Allah adalah Al-Maujudul-Awwal (Eksist Pertama). Yang
dimaksud Al-Awwal (Pertama) ialah
"Sumber Pertama" bagi seluruh alam wujud dan "Sebab
Pertama" bagi eksistensinya. Dalam pendahuluan bukunya Al-Farabi
mengemukakan pendapat penduduk Al-Madinatul-Fadhilah
sebagai berikut: Al-Maujudul-Awwal
ialah "Sebab Pertama bagi eksistensinya seluruh alam wujud".
Dalam buku Tahshilus-Sa'adah
Al-Farabi mengatakan: "Mengenai ilmu metafisika kita harus menempuh jalan
mengamati apa yang terdapat di alam wujud ini untuk mencari "Sebab
Utama"-nya, bagaimana alam wujud ini ada, untuk apa dia diadakan dan
kekuatan apakah yang mengadakannya. Demikianlah seterusnya hingga orang yang
melakukan pengamatan itu sampai kepada suatu
kesimpulan, bahwa Al-Maujudul-Awwal tidak
mungkin mempunyai sumber asal-Nya, tetapi bahkan Dia adalah "Sumber
Pertama" bagi eksistensinya seluruh alam wujud".
Baca juga: Sejarah Lahirnya Buku-buku Filsafat
Al-Farabi
kemudian menegaskan sifat Allah, bahwa Dia Maha Suci dari segala bentuk
kekurangan, kekal eksistensi-Nya baik esensi maupun substansi-Nya, Dialah yang
eksistensi-Nya tidak mungkin disebabkan oleh sesuatu yang mendahului
eksistensi-Nya. Dialah yang substansi-Nya berlainan dari segala sesuatu yang
bukan Dia, tidak mempunyai sekutu atau lawan apa pun juga.
Perlu di ketengahkan di sini, bahwa sebutan "Substansi" (Al-Jashar) yang dikenakan oleh Al-Farabi
pada Zat Allah ternyata tidak memuaskan Ibn Sina, dan Al-Kindi sendiri tidak
pernah menggunakan sebutan itu.
Dalam
menyebut sifat sifat Allah, Al-Farabi tidak berhenti pada sfat-sifat nisbi saja, tetapi bahkan menyebut-Nya dengan sifat tsubutiyyah (definitif, positif). Mengenai hal itu ia mengatakan: "Nama-nama yang seharusnya dikenakan pada "Yang Pertama" (Al-Awwal) ialah nama-ama yang kita pergunakan untuk menunjukk an hal-hal yang terdapat di alam wujud, yaitu nama-nama yang kita pandang paling sempurna dan lebih tinggi dari seluruh alam wujud" ). Jadi, Al-Farabi menyebut-Nya dengan sebutan sifat-sifat yang ada pada manusia, tetapi ia memaksudkan pengertiannya yang mutlak dan tertinggi, khususnya hanya bagi Tuhan, seperti: Maha Maujud., Maha Esa, Maha Hidup, Maha Sempurna, Maha Adil, Maha Pemurah...dan seterusnya.
Lain
halnya dengan Ibn Sina, ia menempuh jalan lain. Kendatipun ia sampai
batas-batas tertentu mengikuti Aristoteles dan Al-Farabi. namun dalam beberapa
persoalan ia berfikir mandiri. Ibn Sina adalah seorang filosof
"eksistensialis" (sealiran dengan Aristoteles). la mengikuti defenisi
Aristoteles mengenai metafisika; metafisika adalah ilmu tentang segala sesuatu
yang ada sebagaimana adanya." "Yang Pertama Ada" (Al-Maujudul-Awwal, Eksistensi Pertama),
"Yang Pasti Ada" (Al-Wajibul
Wujud), ialah Alah. Dalam teori filsafat ketuhanannya, Ibn Sina menyebut
Alah cukup dengan Al-Wajib, sedangkan
Al-Farabi lebih suka menyebut-Nya dengan Al-Awwal.
Letak perbedaan antara dua orang filosof itu ialah, bahwa Guru Kedua
(Al-Farabi) berpandangan: Allah sebagai "Sumber Pertama" sedangkan
Ibn Sina berpandangan: Allah sebagai Wajibul
Wujud.
Dengan
demikian jelaslah bahwa Allah adalah Maujud (Ada), tetapi bagaimanakah cara
kita mendefinisikan atau mengartikan Maujud itu?
Ibn Sina
tidak menetapkan difinisi apa pun juga, bahkan ia menyebut arti Maujud sebagai
salah satu pengertian "aqli (al-Ma'ani al-badihiyyah). Mengenai soal
ketuhanan itu ia mengatakan dalam bukunya Asy-Syifa
sebagai berikut: AI-Maujud,
"Sesuatu", "Yang Pasti", semua itu pengertiannya yang
pertama tergambar di dalam jiwa, tidak perlu disangkut-pautkan dengan sesuatu
yang lebih dapat memahami daripada jiwa".
Hal itu
merupakan objektifitas yang amat sederhana, karena kepastian tentang Wujudul-Maujud (adanya "Yang
Ada") merupakan problema yang harus dipecahkan oleh filsafat. Pernyataan
bahwa Wujud-Maujud sebagai gambaran
akal dan tidak membutuhkan keterangan atau dalil untuk memastikan kebenarannya,
berarti menghapuskan pandangan filsafat.
Bagaimanapun
juga kita perlu mengetahui ma sosatu yang tidak bisa tidak "pasti ada (Aiwajib-Al-wujud).
lbn Sina
membagi "suatu yang maujud" yang ada menurut pembagian secara
semantik, yaitu: Wajib mumkin (mungkin atau ja'iz) dan mumtani' (mustahil atau muhal), Difinisi tiga macam penggolongan tersebut amat sukar
ditetapkan dengan tepat, karena barang siapa yang ndak menetapkan definisi
wajitb ia harus bertolak darà batas-batas pengertian mukmin atau mustahil. Ibn
Sina mengatakan sebagai berikut: Al-Wajib
(yang pasti) bukanlah sesuat yang "tidak ada" (ma'dum), dan bukan pula sesuatu yang dapat diperkirakan "tidak
ada", atau sesuatu yang jika diperkirakan kebalikannya lalu mejadi "mustahil". Barangsiapa yang hendak
menetapkan definisi mumkin ia harus bertolak dari batas pengertian Al-Wajib atau Mustahil. Dengan demikian maka pengertian AI-Wajib termasuk pengertian elementer yang bersifat aksioma.
Baca juga: Sejarah Pemikiran - Bercorak Islam atau Bercorak Arab
Menurut
Ibn Sina, definisi Al-Wajibul-Wujud
ialah: "Sesuatu yang ada" (maujud)
yang jika ditetapkan "tidak ada" menimbulkan muhal (mustahil).
Sedangkan Al-Mumkinul Wujud (yang
adanya bersifat ja 'iz, yakni bisa ada dan bisa tidak) ialah sesuatu yang jika
ditetapkan "tidak ada" atau ditetapkan "ada" tidak
menimbulkan muhal (mustahil).
Sesuatu
yang "pasti ada" (Al-Wajitbul-Wujud)
kepastian adanya bisa disebabkan oleh zat (substansi)-nya sendiri, dan bisa
pula disebabkan oleh adanya yang lain. Yang "pasti ada disebabkan oleh
zatnya sendiri itulah yang jika diperkirakan "tidak ada ia terkena hukum
muhal (mustahil). Tegasnya ialah
bahwa yang "pasti ada" karena zatnya sendiri ia mustahil "tidak ada", Sesuatu yang "pasti
ada"-nya disebabkan oleh yang lain, dapat menjadi "ada" jika ia
memenuhi syarat-syarat tertentu yang diperlukan. Misalnya: Kebakaran terjadi
pada saat kayu bertemu api. Kebakaran itu menjadi "ada" karena adanya
yang lain, yaitu dengan adanya api yang mengandung kekuatan membakar Dengan
penjelasan tersebut maka terdapat tiga penggolongan Al-Wujud, yaitu:
Waitul Wujud Bidzatihi
(sesuatu yang kepastian adanya disebabkan oleh dzatnya sendiri),.
Wajibul Wutjud Bighairihi (sesuatu yang
kepastian adanya disebabkan oleh yang lain), dan
Mumkinul-Wujud (sesuatu yang bisa ada dan bisa tidak ada, atau
mungkin ada dan ngkin tidak ada).
Adapun
masalah maumkinat, yakni hal-ihwal yang bersifat mungkin, ialah segala sesuatu
yang ada di alam hissi (alam materi yang dapat dijangkau dengan daya-indra);
yaitu segala sesuatu yang bagi "ada"-nya dibutuhkan empat macam
sebab: (1) Sebab materi (material cause), (2) Sebab bentuk (formal cause), (3)
Sebab kekuatan (eficient cause), dan (4) Sebab tujuan (final cause). Jadi
segala sesuatu yang" "ada"-nya bersifat mungkin, ia membutuhkan
sebab lain yang ada di alam wujud.
Akan
tetapi kita tidak mungkin dapat memaparkan rangkaian sebab-musabab secara
bersambung tanpa titik penghabisan (la
nihayah). Tidak bisa lain kita mesti berhenti pada sebab pertama yang tidak
bersebab, yaitu Al Wajibu Wujud yang
"ada'"nya disebabkan oleh zatnya sendiri.
Dalil
tentang rangkaian sebab-musabab (illah)
seperti tersebut di atas berasal dari Aristoteles, yaitu rangkaian
setbab-musabab yang berakhir pada sebab segala sebab, yang tidak disebabkan
oleh sesuatu. yang lain. Sebab segala sebab itu ialah Sebab Yang Mutlak, Sebab
Yang Sempurna; yaitu Sebab bagi segala sesuatu yang ada, dan yang ada-Nya tidak
disebabkan oleh yang lain. Di antara nama-nama Sebab Pertama itu ialah Al-Mabda'ul-Awwal (Sumber Pertama)
sebagaimana disebutkan oleh Al-Farabi. Mengenai hal itu ia tidak mengemukakan hujjah (argumentasi) baru, karena semua
hujahnya berasal dari Aristoteles.
lbn Sina
menetapkan sifat-sifat positif bagi AL-Wajibul-Wujud,
antara lain yang paling pokok ialah sifat Wahid
(Esa). Kemudian ia melanjutkan dengan menyebut sifat-sifat negatif yang tidak
mungkin bagi zat Al-Wajibul-Wujud.
Dikatakannya Al-Wajibul-Wuud tidak
ber-mahiyah dan tidak berkaifiyyah (tidak dapat diperkirakan apa dan
bagaimana-Nya), tidak berkammiyyah
(tidak berbilang), tidak bertempat, tidak berwaktu, tidak berteman, tidak
bersekutu, dan tidak berlawan.
Al-Wajibul-Wujud adalah Aql Mahdh (Akal Semata-mata) karena
Zat-Nya tidak berkaitan dengan materi dalam bentuk apa pun juga. Dia pun Ma'qul Mahdh (Sesuatu yang diterima akal
semata-mata). Zat-Nya adalah Aql, Ma'qul dan
Aqil (berakal). Dia mengerti (ya'qilu) segala sesuatu yang khusus
dapat luput dari pengetahuan-Nya. Tak ada suatu apa pun walau sekecil atom, di
langit maupun di bumi, yang luput dari pengetahuan-Nya. Itu semua merupakan
ke'ajaiban yang penggambarannya membutuhkan kecermatan dan kecerdasan
berfikir").
Al-Wajibul-Wujud adalah Taammul- Wujud (eksistensi-Nya sempurna)
bahkan Fauqat-Taman (iauh di atas
sempurna, Maha Sempurma). la adalah Khair
Mahdh (Kebaikan semata-mata) karena 'ada'-Nya bersifat kebaikan
semata-mata. la pun Al-Haqq
(Kebenaran) karena keyakinan akan "ada"-Nya adalah benar. Tidak ada
kebenaran selain Dia yang berhak diyakini "ada"-nya dengan sungguh
dan benar.
Baca juga: Pengantar Epistemologi Islam
Dalam
bukunya berjudul Al-syarat kita lihat
Ibn Sina juga menempuh jalan hipotesa (thariq hadasi ) sebagai cara untuk
mengetahui rahasia gaib sesuai dengan filsafat isyaraqtyyah-nya yang bersifat kebatinan. Jadi, ia menempuh jalan
yang berlainan sekali dengan cara pembuktian sebagaimana yang disebutkan dalam
bukunya Al-llahiyyat dan An-Najat. ThariÄ… hadast ialah berfikir
merenungkan Al-iud tanpa
memperhatikan keadaan segala nakhluk ciptaan Tuhan. Ibn Sina berkata sebagai
berikut: Perhatikanlah bagaimana penjelasan kami yang memastikan adanya Al-Awwal dan Wahdaniyyah-Nya (Yang Pertama dan ke-E an-Nya), tidak membutuhkan
pemikiran apa pun juga selain Al-Wujud itu
sendiri; dan penjelasan kami itu pun tidak membutuhkan pemikiran tentang
ciptaan-Nya, sekalipun ciptaan-Nya itu merupakan petunjuk yang membuktikan
adanya Dia.
Adalah
wajar kalau Ibn Rusyd menempuh metoda lain dalam menetapkan pembuktian tentang
adanya Tuhan, karena ia sangat setia dan jujur terhadap ajaran Aristoteles
(A-Masysya 'byyak, dan tidak anehlah kalau ia menjadi salah seorang juru
tafsirnya yang paling terkemuka. Walaupun begitu ia juga menampilkan pendapat
pribadinya yang berlainan dari para juru tafsir Aristoteles yang terdahulu,
seperti Alexandre d'Aphrodise dan Thamestius yang keduanya juga menempuh jalan
filsafat Aristoteles.
Ibn
Rusyd mengambil jalan lain. la mengikuti jalan agama.
Jalan
filsafat yang ditempuh Ibn Rusyd dapat disingkat sebagai berikut: Tuhan adalah
Penggerak yang tidak bergerak. Dia adalah Maha Penggerak yang tak ada penggerak
selain Dia. Pada dasarnya pendapat Ibn Rusyd sejalan dengan syari'at, yaitu
bahwa Tuhan adalah Pencipta. Dapat dikatakan demikian karena jalan pertama yang
ditempuhnya: ia memandang segala sesuatu yang ada di alam wujud ini sebagai
kenyataan kongkrit (mahsusat), yakni
sebagai' "substansi" nyata. Disamping itu ia pun memandang semua yang
ada di alam wujud ini sebagai ciptaan Tuhan, dan semua yang diciptakan Tuhan
cocok dengan kepentingan manusia. Dua dalil tersebut oleh Ibn Rusyd dinamakan:
Dalil Ikhtira' (dalil penciptaan) dan Dalil Inayah (Dalil Pengurusan).
Dalam
bukunya Talkhish Ma Ba'dat- Thabi’ah
(Ringkasan Metafisika) lbn Rusyd membahas tiga masalah: A-Maujud, AL-Jauhar dan Al-Wahid
(Yang Exist, Substansi dan Yang Satu). Berbeda dengan lbn Sina Ibn Rusyd tidak
memandang Maujud sebagai salah satu pengertian aksioma, tetapi Al-Maujud itu
dikatakan olehnya dapat dibuktikan atas dasar tiga hal:
(1) Atas
dasar masing-masing dari sepuluh Maqulat
(Cathephorias, salah satu buku tentang pemikiran filsafat Plato, berisi 10
pembahasan):
(2) Atas
dasar kebenaran, bahwa apa yang ada di dalam fikiran sama dengan apa yang ada
di luarnya; dan
(3) Atas
dasar hakekat sesuatu yang mempunyai hakekat dan zat yang berada di luar nafs
(soul), baik zat yang telah dapat dibayangkan maupun yang belum dapat
dibayangkan.
Dari
semua pengertian yang ditampilkan di atas, yang paling terkenal ialah dua
pengertian tersebut belakangan, yaitu A-Maujud
yang dinyatakan sebagai zat, atau yang dinyatakan atas dasar kebenaran
sesungguhnya.
Jadi,
Tuhan adalah Maujud (Exist), dalam arti zat-Nya berada diluar diri kita, dan
berarti pula bahwa Tuhan adalah Hakekat Nyata. Apa yang kita fikirkan tentang
Dia adalah cocok dengan Hlakekat Nyata itu.
Kita
kembali kepada persoalan tentang al-maujud al-mahsus (eksistensi kongkrit) yang
merupakan maujud paling banyak dikenal. Al-maujud al-mahsus mempunyai empat
sebab pokok bagi eksistensinya, yaitu: Sebab materi (materia-cause), sebab
bentuk (formal-cause), sebab kekuatan (efficient-cause), dan sebab tujuan
(final-cause); misalnya, pohon ini, buku ini dan lain sebagainya, yang oleh
ristoteles dinamakan dengan istilah Substansi Pertama (Al-Jauharul-Awwal). Dari al-maujud al-mahsus (yang mempunyai
eksistensi kongkrit) yang bersifat juz'iy
(partial), akal fikiran dapat membayangkan pengertian yang bersifat kulliy (universal), seperti pada saat
kita mengucapkan "pohon" dan "buku". Kulliyyat (universalities) ialah yang dinamakan Substansi Kedua (Al-Jauharuts-T'sani) oleh Aristoteles.
Eksistensinya
al-maujudul-mahsus (eksistensi kongkrit)
cukup dengan Zatnya sendiri, tidak disebabkan oleh illah (sebab) yang berada di
luar zatnya. Dari diskusi panjang lebar mengenai hal itu Ibn Rusyd menerangkan,
bahwa shurah juz 'yyah (partial form)
dan maddah juz'iyyah (partial
matter), keduanya merupakan sebab bagi eksistensinya substansi sejenisnya. la
mengatakan, manusia adalah faktor bagi eksistensi mahluk sejenis yakni manusia
yang lain.
Dengan
perkataan lain: pohon itu eksistensinya cukup dengan adanya pohon itu sendiri, yakni yang mengadakan pohon itu adalah pohon lain sejenisnya... begitulah seterusnya. Akan tetapi kita tidak dapat terus-menerus merangkaikan "penggerak" atau 'sebab penggerak" tanpa ada akhirnya kita sampai kepada Penggerak Pertama sebagai titik terakhir, yang oleh lbn Rusyd diterang ngkan: zat-Nya tidak bergerak, tidak butuh bergerak, baik karena zat-Nya sendiri maupun karena sesuatu di luar zat-Nya. Kalau demikian maka Pengeerak itu pasti azali (eternal).
Dalil
tersebut di atas adalah dalil natural atau metafisik. Namun Ibn Rusyd
mengenmukıkan juga dalil lain yang sifat psikologis, karena didasarkan ada
prinsip-prinsip yang terdapat di dalam ilmu jiwa memperkuat dalilnya itu dengan
dalil agama yang berbunyi: kenalilah dirimu, engkau pasti mengenal
Tuhanmu"). la berpendapat, bahwa setiap "bentuk" (shurah, form)
mempunyai dua eksistensi: eksistensi kongkrit (wujud mahsus) dan eksistensi
dalam ratio (wujud ma'qul), karena terpisahnya "bentuk" dari Hayula
yang menggerakkan benda-benda cakrawala dengan "kerinduan".
Karena Hayula atau Al Uqulul-Mufariqa (Akal yang saling terpisah) jumlahnya sebanyak
benda-benda cakrawala maka Penggerak Pertama yang menggerakkan alam berdasarkan
"kerinduan" kepada-Nya, tidak bisa tidak pasti "Satu". Karena
alam itu hanya satu maka ia pun hanya mempunyai satu sumber-asal, tidak mungkin
mempunyai sumber-asal lebih dari satu. Sehubungan dengan itu Ibn Rusyd menunjuk
kepada ayat suci dalam Qur'an: "Jika di langit dan di bumi terdapat
beberapa Tuhan selain Allah, pasti rusaklah dua-duanya (langit dan
bumi).
Semua yang
disebutkan diatas merupakan garis besar pendapat para filosof dalam memastikan “ada”-Nya
Tuhan dan dalam menetapkan sifat-sifat layak bagi zat-Nya. Akan tetapi para
filosof pada zaman-zaman berikutnya, termasuk para ulama ilmu Kalam banyak yang
berpegang pada teori Ibn Sina, yaitu Tuhan adalah Wajibul-Wujud. Ini dapat diketahui dengan jelas dari Risalah Tauhid, karya Syaikh Muhammad ‘Abduh.